Thursday, April 1, 2010

Mereka yang Ditaklukkan


Masih kuingat pagi itu udara sedikit berkabut. Jarum panjang jam baru bergerak menuju angka satu. Hampir pukul enam lewat lima. Sekali dua terdengar celotehan ayam dari halaman tetangga sebelah, saat aku melangkahkan kaki keluar pagar bergegas menuju wartel dekat kos. Rencananya, pagi ini aku mau menelepon Ibu.

Ruangan di dalam wartel itu sendiri agak gelap karena lampu-lampunya sudah dimatikan. Barangkali agar menghemat tagihan listrik, pikirku. Si akang yang bertugas jaga pagi itu sedang sibuk menyapu lantai dengan sapu ijuk butut yang sudah terlihat botak. Sejak pertama kali menggunakan jasa wartel ini hampir dua tahun lalu, sepertinya sapu itu tak pernah berganti. Dengan sapu sebutut itu dan lampu yang sudah dimatikan, bagaimana mungkin dia bisa betul membersihkan lantai semen telanjang tanpa tegel di wartel ini? Ah biarlah, dia pasti sudah tahu itu. Mungkin saja tujuannya bukan betul-betul untuk membersihkan, melainkan agar tubuhnya sedikit bergerak dan ada yang bisa dia lakukan. Pasti membosankan sekali pekerjaan menunggu wartel semacam ini setiap hari.

”A dead end job”, demikian istilah yang baru kudengar dari satu film Amerika yang cakram padat digitalnya kami sewa duaribu rupiah perkeping dari persewaan di dekat gerbang kampus. Artinya kurang lebih adalah pekerjaan membosankan yang tak butuh kemampuan intelektualitas mumpuni untuk bisa menyelesaikannya sehingga tak semua orang mau melakoninya, jikalau tidak karena terpaksa. Tapi apalagi yang bisa dilakukan penduduk asli sekitar sini selain ’melayani’ kami, para pendatang yang lebih beruntung dari mereka? Penduduk asli di sini tidak lebih dari sekelompok masyarakat agraris yang sudah lama ditaklukkan. Bidang-bidang tanah yang dulu mereka jadikan sumber pendapatan sudah lama berpindah tangan ke penguasa. Bidang tanah yang harus kuakrabi selama empat tahun agar beroleh selembar surat sakti yang kuharap dapat membukakan lebih banyak pintu peluang, demi bisa makan enak dan naik mobil mahal. Agar aku tidak berakhir sama seperti penduduk asli tempat ini yang cukup mengambil posisi jadi penonton di tepian, hanya bisa melongo melihat kemajuan melaju cepat meninggalkan mereka.

Hanya ada tiga bilik kecil di wartel itu. Bilik pertama dikhususkan untuk panggilan lokal. Pesawat teleponnya tak bisa dipergunakan untuk menelpon keluar kode wilayah nol-dua-dua, apalagi menghubungi telepon selular. Tak kumengerti mengapa diatur demikian. Padahal kalau bilik pertama itu difungsikan sama seperti dua bilik lainnya, tentu akan lebih besar pemasukan yang diterima. Bilik kedua ternyata ada orangnya. Karena pintunya hanya kaca transparan, bisa kulihat jelas seorang perempuan muda sedang menunduk, kepalanya ditumpukan di telapak tangan. Kulihat angka tarif yang terus bergerak bertambah banyak di depan perempuan itu. Wah, sudah lebih dari tigapuluhribu rupiah. Pasti dia sudah lama tersambungkan, paling tidak limabelas menit. Anehnya, tak kudengar perempuan itu berkata sepatahpun. Mungkin dia sedang diminta menunggu oleh lawan bicaranya.

Bilik ketiga kosong, langsung aku masuk dan memutar nomer telepon rumah. Dinding pelapis yang memisahkan setiap bilik dibuat hanya dari selembar triplek menjadikan pembicaraan apapun yang terjadi di bilik sebelah, bisa terdengar jelas. Meskipun begitu, masih tak kudengar suara dari situ. Namun aku memang sedang berkonsentrasi pada nada panggil di teleponku. Lama sekali tak ada jawaban, karenanya kukembalikan gagang telepon itu ke tempatnya.

Baru pada saat itulah aku mendengar suara aneh di bilik sebelah. Suaranya sedikit mendesah. Lamat-lamat seperti orang sedang menangis. Ah, tak mungkin, batinku. Baru jam enam pagi dan sudah menangis sesedih itu? Ada anggota keluarga yang berpulang, barangkali? Pasti hidupnya sepanjang sisa hari itu akan terasa menyesakkan. Kasihan. Tapi sesungguhnya aku tak ikhlas bersimpati. Soalnya tak kukenal perempuan itu. Setidaknya, bagian belakang tubuhnya yang sempat kulihat itu tak kukenali.

Perempuan itu terdengar begitu susah berbicara. Barangkali karena dia harus menelan tangisnya sebelum bisa mengucap kata, itu pun masih ada isakan-isakan menjeda. ”Kamu kok bisa-bisanya begitu sama aku?” ... hiks ... ”Padahal ...” hiks hiks ”padahal kan aku sudah penuhin semua mau kamu ...” hiks sroot terdengar bunyi ingus yang disedot kembali ke liang hidung hiks lagi ... ”Kamu harusnya ngerti posisi aku juga dong. Gak bisa ...” hiks hiks ”gak bisa kayak gini terus.”

Satu tanganku yang sudah kembali menempelkan gagang telepon di telinga dan satu lagi yang sedang memencet-mencet nomor telepon rumah mendadak berhenti. Wah! Pagi-pagi sudah drama! Ini pasti salah satu kisah asmara yang sedang dilanda prahara. Buset, bahasaku tujuhpuluhan banget ya. Karena terlalu berkonsentrasi dengan suara-suara haru-biru di bilik sebelah, sejenak aku lupa kalau nomor telepon yang kutuju belum kugenapi. Artinya, belum selesai kutekan seluruhnya. Sampai tahun jadi tigabelas bulan juga tak bakal panggilan itu tersambungkan.

Kucoba mengulangi urutan nomor telepon Ibu, sambil telingaku yang bebas difokuskan untuk menguping. Lalu tiba-tiba ...

”Halo?”

Ah, Ibu!

”Hai hoi. ... bla bla bla”, langsung aku mencerocos. Kebiasaanku memang seperti itu setiap kali menelepon ke rumah. Tak kuanggap perlu memperkenalkan diri. Tugas orang-tua lah untuk mengenali suara anak-anaknya. Kali itu pembicaraanku dengan Ibu hanya berlangsung sebentar. Saat kuletakkan kembali gagang telepon, tarif panggilan yang harus kubayarkan tak lebih dari sepuluhribu rupiah. Saat keluar dari bilik nomor tiga itu, kulihat bilik sebelah masih diisi sosok perempuan yang sama, masih dengan pose duduk yang sama. Melihatnya, seolah waktu sempat berhenti, atau jalannya pelan sekali. Bedanya, kali ini tarif bicara yang harus dia bayarkan sudah lebih dari limapuluhribu. Buset, cewek ini pasti sedang menghubungi nomor telepon selular. Pemborosan luar biasa, kalau dia justru nyaris tak berbicara, lebih banyak diam dengan selingan isakan yang ditahan.

Usai melunasi kewajiban pada si akang penjaga wartel, kulangkahkan kaki keluar dan melihat ke kiri kanan. Biasanya ada akang penjual bubur ayam yang lewat membawa pikulannya jam segini. Ah, sayang sekali sosoknya belum kelihatan. Barangkali aku kepagian? Kalau begitu aku balik saja dulu ke kamarku dan tidur lagi. Kuliah hari ini baru mulai jam sepuluh, masih ada waktu untuk kembali menodai bantalku dengan tetesan air liur dari mulutku yang membuka kala tidur. Hah! Jorok? Biarin!

Sembari berjalan kembali pikiranku tertuju pada sosok yang kutemui di wartel pagi itu. Bukan, bukan si perempuan. Sejujurnya, aku tak terlalu peduli padanya. Membuka hati agar bisa ditaklukkan cinta, tentu ada akibatnya. Sakit hati, terluka dan patah hati adalah resiko yang harus siap ditanggung kalau berani menjalin hubungan asmara. Istilahnya, kalau takut jatuh dan luka, jangan mencoba naik sepeda. Berjalan kaki saja terus, dan jadilah penonton saat kehidupan melaju cepat meninggalkanmu.

Yang kupikirkan adalah si akang itu. Pikiran yang diselubungi rasa curiga. Bisa jadi, sebenarnya saat sedang menyapu lantai itu, dia sedang berpura-pura sibuk agar tak kentara sedang mencuri dengar pembicaraan perempuan di bilik nomor dua. Bisa jadi, pembicaraan-pembicaraan semacam itu menjadi selingan, memberi warna beda dalam hidupnya yang monokrom kala menjaga wartel. Bisa jadi, setelah menutup wartel malam itu dan kembali bertemu keluarganya, si akang akan punya cerita untuk dituturkan sembari menyeruput kopi tubruk dan mengisap sebatang rokok kretek. Ah, sebuah gambaran hidup yang terlalu klise, tapi sepertinya cocok dengan si akang. Bisa jadi, di usianya yang mungkin hanya bertaut kurang dari satu windu denganku, pintu-pintu peluang sudah lama tertutup rapat baginya. Dan bisa jadi, pintu-pintu yang masih bisa dia buka dengan leluasa hanyalah pintu-pintu wartel yang punya tiga bilik telepon itu. Pintu-pintu yang hanya kami, para mahasiswa pendatang seperti aku, buka kala hendak berbagi cerita pada keluarga dan kerabat, atau ketika menuturkan rencana dan mimpi-mimpi kepada para sahabat. Hanya sisa-sisa napas dan aroma keringat kami saja yang akan bisa dirasakan si akang ketika membuka pintu-pintu itu. Sedangkan semua cerita dan mimpi yang sempat terucap kami bawa pergi bersama langkah-langkah kami kala meninggalkan wartel dengan tiga bilik itu. Sempat tergelitik imajinasiku untuk bertanya pada si akang penjaga wartel, ”Bagaimana rasanya menjalani hidup sebagai penonton mimpi-mimpi orang lain?” Tapi kuyakin dia akan tergeragap, tak akan dia bisa berikan jawaban atas pertanyaanku itu.

Saat berjalan kaki pulang menuju kos, aku berpapasan dengan seorang bapak tua bercaping dan berpakaian lusuh kotor, sedang memikul cangkul yang terlihat sama tuanya dengan keriput di wajahnya. Dengan basa-basi kuanggukkan kepala dan kupajang seulas senyuman di wajah saat berselisih jalan dengan bapak itu. Satu suara kecil namun tajam berkelebat di dalam benak, ”Ini dia satu lagi orang yang sudah ditaklukkan. Bahkan mungkin dia menggunakan cangkul tuanya itu untuk mengubur mimpi-mimpinya satu persatu.”





Illustration image courtesy of Sam Luce

No comments: