Friday, October 31, 2008

Yang Menyebalkan, dan Yang Tidak.


Apa sajakah hal-hal yang lebih menyebalkan daripada terpaksa menunggu tanpa kejelasan tentang kepastian waktu?

Tentu saja, ada!

Dan jawabnya bermacam-macam, bisa jadi antara lain:
(1) Terpaksa menanggung malu akibat kekeliruan – atau kebodohan – yang dilakukan oleh orang lain dan karena satu kondisi khusus, kita ikut kena ‘getah’ –nya; atau
(2) Terpaksa menahan rasa kebelet – entah itu pipis ataupun poop – karena harus mengantri menggunakan toilet umum; atau
(3) Terpaksa menahan rasa emosi yang memuncak karena orang yang menyebabkan timbulnya gejolak instabilitas emosi itu dengan behavior-nya yang sungguh ingin membuatmu menginjaknya sampai gepeng adalah sumber penghasilan kita (atau yang dapat juga dibaca: klien), dan uang yang bisa didapatkan darinya relatif besar jumlahnya; atau bisa juga
(4) Terpaksa bolak-balik mengeluarkan uang gara-gara jatuh sakit padahal sakitnya itu ditularkan oleh orang lain dan hanya karena pekerjaan saja yang menyebabkan kita terpaksa berhubungan / menjalin kontak langsung dengan si pesakitan (sudah macam narapidana di pengadilan saja istilahnya); atau
(5) Terpaksa membatalkan janji kencan dengan pacar karena ada pekerjaan mendadak yang baru masuk dengan deadline yang sangat mepet alias harus di-submit ke klien petang itu juga; serta
(6) Dan lain sebagainya.

Kalau mau dilanjutkan terus, daftar ini bisa akan sangat panjang kali lebar dan pastinya akan lebih panjang daripada daftar belanjaan bulananku di sebuah hypermarket langganan.

Kata teman-temanku, semenjak aku mulai kembali berhubungan asmara (ih, geli sendiri membaca istilah ini), dalam artian ”In a Relationship”, auraku jadi lebih cerah, aku jadi lebih relax dan sudah tidak terlalu negatif lagi dalam menghadapi segala macam hal?

Mungkin ada benarnya, entahlah. Tapi bagus juga kalau Dia bisa memberikan pengaruh sangat positif padaku.

Hanya ada satu keluhan ringan dalam hubungan ini, sejak jalan bersama Dia, aku jadi boros banget. Ha! Ha! Jadilah rencana giat menabung dengan cita-cita untuk bisa beli MacBook berwarna hitam terpaksa dilupakan dulu.

Tapi mohon diperhatikan dan dicatat serta dicamkan baik-baik dalam benak Anda para pembaca terhormat, ini bukanlah sebuah keluhan, lho!

Thursday, October 30, 2008

About Losing


Losing one of my personal stuff will make me peevish for days
Losing my creativity obviously means that I will lose my job
Losing my virginity, I never complained about
Losing money would not worry me more than

Losing a lover,
because it will unquestionably break my heart,
yet

Losing a best friend will definitely shattered me in pieces

Wednesday, October 29, 2008

Bermain Sabun



Selama ini, bisa dikatakan aku memiliki sistem pencernaan yang lancar jaya.
Syukurlah.
Itu berarti, pengeluaran nyaris tidak pernah mampet. Tiap pagi pasti ada setoran.

Tidak perlu sampai menderita seperti seorang rekan di kantor yang terkadang sampai semingguan tidak bisa menjalankan aktivitas yang seharusnya rutin dilakukan setiap hari itu. Malah satu dua kali kejadian dalam dua tiga tahun belakangan ini, saking lamanya dia tidak melakukan ritual harian itu dan karena perutnya semakin membuncit – konsekuensi akibat absennya pengeluaran limbah dalam massa relatif berat, rekan sekantor ini berimajinasi bahwa dirinya sedang hamil lagi, lantas membeli test pack untuk dicobakan atas dirinya. Terasa lucu untuk ditertawakan, sekaligus sedikit ironis karena itu justru merupakan tanda-tanda ketidaksehatan tubuh yang perlu diwaspadai. Bukan begitu, teman-teman?

Kembali lagi pada kondisi diriku. Terkadang kalau tingkat konsumsiku sedang tinggi-tingginya dan volume makananku lagi banyak-banyaknya, seperti kemarin (mengkonsumsi menu berikut: roti kismis Sari Roti empat iris, coklat panas Frisian Flag satu mug, biskuit coklat Ceres sebungkus, raisin oatmeal-nya Famous Amos hampir seratus gram, paket satu nasi dan satu ayam dari McDonald, sepincuk nasi bogana yang enak banget dari Mawar Merah Katering, dan ditutup dengan sepiring bakmi spesial Toko Tiga Jl. Wahid Hasyim plus jeruk panas yang asem-asem segar), tidaklah mengeherankan kalau volume eksresi pagi ini jadi banyak banget.

Namun tak jarang, dalam cukup seringkali kejadian, pengeluaran begitu lancar bisa sampai dua-tiga kali sehari !
Itulah sebabnya sekarang di mejaku di kantor sudah selalu tersedia sabun cair Lifebuoy Deep Clean warna tutup botol hijau pupus dan sekotak tissue Paseo. Kemarin dulu sih belinya Lifebuoy yang warna koneng menjurus oranye gonjreng gitu, jenis aromanya apa ya itu? Lupa euy. Anyway, karena pengen pakai yang wewangiannya lebih lembut daripada itu, jadilah kuganti pakai versi Deep Clean.

Pertama dua kali pakai, ga ada masalah, biasa-biasa aja. Selanjutnya, baru mulai sadar kalau sabun cair ini malah membuat kulit tangan terasa kering dan kasar. Agak mengganggu, karena jari-jemariku sudah terbiasa terasa lembut sehingga bisa berkonsentrasi dalam mengetuk-ngetukkan jari di tuts kibord PC ini dengan lancar.

Belum lagi, warna dan tingkat kekentalan solusi ini tidak setebal dan sekaya rekannya si sabun cair Lifebuoy koneng menjurus oranye menyala, membuat imajinasiku cenderung terbang membubung tinggi melayang setiap kali mempergunakannya. Bisa jadi memang pikiranku saja yang terlalu rajin berotasi di seputar selangkangan, tapi melihat cairan sabun itu meluncur di tangan dengan sedikit tersendat, entah mengapa aku berpikir rasanya seperti habis masturbasi, dan yang sedang melekat di tanganku ...
Kalimat selanjutnya silahkan diteruskan sendiri, pastinya mulai kebayang apa maksudku, ya kan?

Memilih sabun mandi memang gampang-gampang susah.
Jadi teringat pada salah satu kerabat yang waktu masih kecil kukunjungi, dan bikin rada shock (berlebihan ga sih kalau anak kecil dikatakan bisa shock?) karena mereka sekeluarga mandi dengan memakai Sabun Cap Tangan. Padahal di rumah, sabun itu biasa kami pakai untuk memandikan anjing kalau barusan berkotor-kotoran di lumpur.
Dulu banget kami sekeluarga memakai Palmolive, terus waktu di grocery store entah mengapa sabun itu berhenti pasokannya, lantas kami beralih memakai Lux. Waktu itu bintang iklannya masih Ida Iasha. Terasa jaman dulu banget, ya’?
Lompat sekian puluh tahun kemudian ke masa sekarang, biasanya aku pakai Dettol. Entah benar-benar bisa membasmi kuman, entah tidak. Yah, terpaksa percaya saja apa kata iklannya. Selama ga bikin kulit terasa kering dan kalau digaruk jadi putih-putih seakan bersisik (hiiiii ... !!), berarti ga ada masalah dengan merk sabun mandi tersebut.

Ngomong-ngomong soal mandi dan sabunnya, jadi pengen berendam air hangat di bath-tub nih. Rasanya enak, buat mengatasi pegal-pegal sehabis kemarin wiken seharian mallhopping di seputaran Jakarta Selatan. Tapi sayangnya, sedang tidak ada si Dia yang pasti rela dan mau menggosokkan punggungku saat mandi.

Kapan ya Dia balik dari liburannya di Eropa?
Kangen nih.





Tuesday, October 28, 2008

His Pair of Angelic Eyes



We were taking a walk along the pond in the park
David and William and Michael and me
It was such a cloudy Sunday afternoon
The leaves on the trees moved and fell with the breezing wind
The birds were busy chirping on the branches of the trees
Yet we still filled the time with our cheerful chatter
When suddenly my gaze struck upon these two people
Standing face to face across the pond away from us

The moment I saw him again,
The one I used to know too well
I couldn’t stop my mind from the memories flowing back
How they hurt just to remember all the good times
Made me wonder whether he felt the same
Will the memories bring back the pain?

And that afternoon I clearly saw him
Holding hands together with this beautiful young girl
And the way he looked at her ...
Boy, it gave me shiver
Because he used to look at me that way

Probably I should walk right up to them and interrupt their conversation
And tell her, “Be careful, girl. It’s a game he likes to play.”

It was Michael who held my arm
Warned me by saying,
“Just don’t. Please.”
While David imbued,
“You have to get him out of your mind.”
And Michael added to it,
“You have to forget everything.”

I knew they had their point
Because once you set eyes upon his pair of angelic eyes
Just one look and you’re hypnotized
You will think you’re in paradise
But one day when you already went deep and it was all too late
You’ll find out for all those times he wears a very good disguise
While his only intention is to take your heart
In the end it’s you who have to pay the price

Still I managed to whisper to the wind
Hoping the breeze will carry it across the pond and drop it to her ear
And right in time she could hear
What I sincerely hope she would never do

“Girl, for whatever reason, just don’t look too deep into his pair of angelic eyes.”

Friday, October 24, 2008

Hargai Hidup, Nikmati Musik !


Mungkin saja apabila ada pihak-pihak tertentu yang kebetulan sedang mencari contoh dari sesiapa yang layak dikategorikan sebagai Generasi MTV, bisa jadi aku adalah salah satu sampel yang bisa diajukan. Meskipun sebenarnya, aku mengenal MTV baru sekitar akhir dasawarsa ‘80-an dan awal ’90-an, ketika MTV telah melewati usia 5 tahun dan aku sendiri berusia hampir dua kali lipatnya.

Saat itu, menonton MTV menjadi semacam “candu” hiburan yang bisa membuatmu betah duduk terpaku menonton selama berjam-jam. Padahal apabila mencoba kembali mengingat masa-masa itu, sulit rasanya membayangkan betapa aku bisa terpesona melihat penampilan band rock maupun group vocal dengan dandanan baju penuh warna dan kemerilip, pulasan make-up yang untuk standar sekarang hanya mungkin terlihat ketika akan menyambut Halloween, dan yang paling penting ... rambut megar bak surai singa!

Namun aktivitas menikmati musik dan lagu itu benar-benar menyenangkan. Siapa juga yang bisa menyangkalnya? Aku sendiri menjadi semakin teryakinkan tentang hal ini, ketika tadi pagi mengecek koleksi lagu di dalam PC, dan menemukan lebih dari 2600 track audio berupa lagu dan musik dari berbagai genre serta lintas generasi dan setidaknya mempergunakan empat bahasa, yang apabila diputar back-to-back tanpa putus (non-stop), akan membutuhkan waktu lebih dari 190 jam untuk memperdengarkan semuanya.

Barangkali, kesukaanku pada musik kurang lebih sama dan berakar pada manusia purba yang hidup belasan ribu lebih dulu daripada aku. Sebagaimana yang bisa dibuktikan dari temuan-temuan sejarah, musik dan lagu adalah salah satu bentuk kesenian yang paling awal diciptakan oleh manusia, bahkan jauh sebelum mereka mengenal aksara dan sistem perdagangan purba.

Terlepas dari beberapa resistensi yang dilakukan oleh sementara pihak terhadap perkembangan jenis musik dan lagu tertentu di berbagai era – generasi senior yang sekarang berusia di atas 50-an tahun di negeri ini tentu masih bisa mengingat bagaimana almarhum Presiden Soekarno di masa-masa jayanya pernah melarang peredaran dan dimainkannya musik ngak-ngik-ngok semacam The Beatles di seluruh Nusantara – tidak bisa dipungkiri kalau musik selalu berkembang pesat seiring perkembangan kebudayaan umat manusia.
Hingga hari ini, ada begitu banyak jenis ragam genre maupun subgenre yang telah diciptakan manusia, niscaya akan membuat pengkategorian dalam penghargaan musik harus lebih spesifik dan beragam apabila ingin merangkul semua aliran yang ada.

Kembali kepada diriku sendiri, susah rasanya menyebutkan jenis musik apa yang paling kugemari. Biasanya aku akan menjawab yang paling gampang : pop, tanpa bisa menyebut secara spesifik. Padahal kalau melihat koleksi musikku berupa kaset dan CD, bisa jadi akan sedikit membingungkan mereka yang ingin membuktikan pernyataanku ini. Barangkali tidak bisa dipungkiri betapa besar pengaruh MTV dalam menentukan selera musikku, khususnya terkait artis-artis dan musisi-musisi internasional.

Namun bagaimana dengan pengetahuan dan selera tentang artis dan musisi lokal? Bagi mereka yang pernah mengenal masa-masa jayanya TVRI sebagai satu-satunya saluran televisi nasional di era 1980-an, pasti sudah akrab dengan program Album Minggu Kita, Selekta Pop dan Aneka Ria Safari. Kedua program inilah yang bisa dinilai paling bertanggung jawab dalam membentuk selera musik seluruh penduduk nusantara. Sama seperti yang terjadi di keluarga kami. Tiap hari Minggu, kami sekeluarga ketika melakukan aktivitas apapun, cenderung memilih yang bisa dilakukan sembari menonton televisi. Terkadang, kami sekeluarga bahkan tidak melakukan apapun selain semuanya duduk di posisi masing-masing, Bapak dan Ibu di kursi, sedangkan anak-anaknya dalam berbagai pose, mulai dari ikut duduk di sofa sampai menggelesor di atas karpet, semua mata tertuju ke layar kaca, menikmati barisan penyanyi Indonesia yang muncul bergantian untuk berdendang dan bergoyang.

Masih bisa kuingat samar-samar kemunculan grup band yang kini legendaris, Slank, dengan lagu hit pertama mereka, “Suit Suit He He”. Saking terkagum-kagumnya dengan lagu itu, aku dan adikku sampai menulis surat untuk kakak kami yang paling tua yang baru saja masuk kuliah, surat pertama kami untuk anggota keluarga sendiri, dan kami berdua sampai mencantumkan judul lagu Slank itu di bagian akhir surat. Entah untuk tujuan apa, konyol juga rasanya bila diingat sekarang.

Siapa juga yang bisa lupa dengan grup rock asal negeri jiran, Search, dengan hit fenomenal, ”Isabella”? Lagu yang sempat dilarang peredarannya di negeri kita dengan alasan agama. Masih bisa kuingat bagaimana seorang teman sekelas di sekolah dasar, seorang anak perempuan yang tiap kali pelajaran kesenian ketika kami disuruh maju satu demi satu untuk menyanyi, dia akan menyanyikan ”Isabella” dengan penuh penghayatan hingga bercucuran air mata. Sesuatu yang bukan hanya bisa dilakukan oleh Kellie Pickler seorang.

Bagaimana dengan aku sendiri? Malu rasanya bila kini mengingat masa itu, repertoire andalanku ketika giliran menyanyi di depan kelas tiba, adalah lagu-lagunya Julius Sitanggang, mulai dari ”Danau Toba” hingga ”Maria”.

Ada sisi positif juga bertumbuh-kembang di dalam keluarga yang sangat menyukai musik. Keuntungan paling gampang adalah, bisa mendukung pekerjaanku sekarang. Tanpa bermaksud tepuk dada tanya selera (seperti rumah makan padang), aku jadi bisa tahu banyak lagu lintas generasi melebihi yang diketahui oleh atasanku. Bahkan pengetahuan tentang lagu-lagu dan artis-artis musisi yang kumiliki lebih ekstensif daripada petugas talent koordinator kantorku. Terkadang, dia malah jadi repot mencari contact person musisi yang dia belum pernah dengar karena aku yang minta untuk mendukung konsep acara rancanganku. Demikian juga ketika sedang menikmati masa-masa bersantai bersama Dia, entah itu di lounge maupun di nightclub tertentu. Acapkali Dia terkejut dan kagum karena aku tahu lagu apa yang sedang diputar di P.A. atau dimainkan langsung oleh penampil saat itu.

Dan karena selalu ada dua sisi dari setiap cerita, maka tentu saja ada sisi (agak) negatif dari hal ini. Salah satunya yang sempat membuatku malu, adalah ketika jajaran senior management dan direksi salah satu bank terbesar di Indonesia, atas usulan asal-asalan atasanku, memintaku menyanyikan satu-dua bagian dari lagu Dewi Perssik yang rencananya akan mereka jadikan main entertainer dalam acara mereka. Meskipun aku tahu persis lagu apa yang mereka ingin dengar, tapi tidak mungkin rasanya aku memenuhi permintaan yang satu itu. Alhasil saat itu suasana berubah menjadi sangat tidak enak dan kikuk sekali bagiku, ketika para bos itu menatapku menungguku bersuara dan berdendang, sedangkan saat itu dengan ketetapan hati kuputuskan tak akan ada kekuatan apapun di muka bumi ini yang bisa memaksa aku saat itu membuka mulut dan menyanyikan bait demi bait “Mimpi Manis”.

Hidup di dunia bisa jadi belum lengkap tanpa bisa menikmati musik. Namun ternyata, sebagaimana yang dibuktikan sendiri olehku, punya kemampuan yang relatif lebih dalam mengapresiasi musik tidak selamanya berbuah manis. Tapi apakah karena hal itu lantas membuatku kapok dan berhenti mendengarkan musik dan lagu? Jawabannya sudah pasti : tidak mungkin.

Karena bagiku, hidup tanpa musik bagaikan perkawinan tanpa seks.

Thursday, October 23, 2008

Writers Association, for Real


Reality shows may not have the kind of scripts used in conventional TV dramas and comedies, but they do have scripts that plot stories, suggest dialogue, and indicate how the final cut should be framed. Increasingly, those responsible for formulating those scripts in USA’s television businesses are demanding the benefits of the already established TV writers, who formed union under Writers Guild of America.

Well, that’s in the U.S. How about here, in Indonesia?

Jangankan untuk penulis skrip TV program, untuk mewakili SELURUH pekerja industri kreatif di negeri ini saja tidak ada union-nya. Tidak ada organisasi profesi yang mewakili dan menyuarakan hak-hak pekerja industri ini. Cukup memprihatinkan.
Mungkin gara-gara zaman dulu, katanya, Partai Komunis Indonesia mempergunakan berbagai organisasi dan serikat profesi sebagai onderbow pendukung gerakan partai, jadilah sampai beberapa tahun lalu, masih banyak saja yang alergi atau minimal mencurigai, pada upaya-upaya dari sementara pihak yang ingin membentuk serikat pekerja (apapun).
Sekedar gambaran saja, kalau di era Orde Baru dulu, sosok macam Muchtar Pakpahan dan Budiman Sudjatmiko yang aktif memberikan pendidikan organisasi kepada para buruh itulah yang dianggap sebagai simbolisasi bangkitnya kembali kekuatan komunisme di negeri ini (yeah, right! *rolling eyes*).
Lalu bagaimana dengan sekarang? Ternyata mereka sudah berhasil menduduki kursi wakil rakyat di Senayan sana.

Sebagai seorang yang pernah meniti karir di dunia pertelevisian Indonesia, jelas hal-hal semacam ini menjadi perhatianku. Meskipun kini tidak lagi mencari nafkah di dunia tersebut, tapi aku masih punya banyak kenalan yang bertanggung-jawab dalam menciptakan dan memproduksi berbagai program siaran yang menghiasi layar kaca ratusan juta unit televisi negeri ini.
Terkadang kalau bertemu mereka dalam berbagai kesempatan berbeda, biasanya yang sering terucap dari mulut teman-temanku ini adalah berbagai keluhan mengenai pekerjaannya. Yang terlalu menyita waktu lah, yang menguras fisik dan stamina lah, yang bikin stress karena dikejar target rating lah, yang gajinya terasa ga pernah mencukupi lah, dan masih banyak alasan lainnya.

Aku juga punya keluhan sendiri dengan pekerjaanku yang sekarang, tapi setiapkali mendengar curhatan teman-temanku ini, deep down inside aku malah jadi berucap syukur. Masih diingatkan bahwa apa yang kudapatkan sekarang, meski terkadang kurasa tidak memadai, ternyata masih lebih daripada teman-temanku yang lain.

Padahal mulai tahun ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah meminta secara khusus dukungan dari jajaran pembantunya, semacam menteri-menteri dan departemen terkait, untuk mendukung pertumbuhan industri kreatif Indonesia, yang katanya, dan memang ada betulnya juga, sangat potensial sebagai alternatif dalam meningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tampaknya Bapak kita ini “termakan” dengan fenomena kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta, yang katanya secara hitung-hitungan bisnis minimal sudah sekian belas kali melewati BEP-nya.

Namun agak sukar rasanya membayangkan pertumbuhan industri kreatif dengan tingkat yang menggiurkan akan terjadi – dan kalaupun betul kejadian, akan berlangsung secara kontinyu – tanpa adanya keterwakilan dalam bentuk organisasi profesi, seperti pada profesi-profesi lainnya (masa buruh pabrik saja punya asosiasi?).

But for this time being, sepertinya para pekerja industri kreatif (terpaksa) harus berpuas diri dulu untuk terus (dipacu) berkarya demi mengejar Rupiah (bonus kalau target rating terlampaui), demi bisa bertahan hidup (dan berbelanja di mall kelas menengah-atas). Dan mudah-mudahan saja kondisi tanpa keterwakilan ini tidak bertahan lama.
Kabar-kabarnya sih, di Senayan sana sedang ada upaya pembentukan organisasi profesi bagi para pelaku industri kreatif yang dilindungi oleh Undang-undang.

Semoga saja tidak jadi organisasi macan ompong. Karena yang begitu itu sih sudah banyak.

Monday, October 20, 2008

Yang Muda Gemar Bercerita


Setiap kali hasratku memuncak dan membuatku ingin berkencan dengannya, terpaksalah aku harus bersabar menunggu hingga tibanya akhir pekan. Rumah pribadinya yang bergaya etnik kontemporer minimalis (butuh imajinasi berdaya luas untuk bisa membayangkannya hanya dengan deskripsi sesingat ini) berada di luar kota, dan di kota ini ia tinggal di apartemen yang disewakan oleh kantornya. Satu unit beraksen modern minimalis itu ditinggali berdua dengan seorang kolega. “Tak enak kalau bersamamu di apartemen, tak bisa bebas,” itu selalu alasan yang dikemukakannya. Barangkali yang dimaksudkannya dengan bebas adalah ketika berbusana menjadi satu hal opsional. Di rumah pribadinya yang sebenarnya hanyalah berjarak dua setengah jam perjalanan dengan kondisi lalu lintas normal dari pusat kota, tersedia halaman luas dan banyak ditumbuhi oleh semak rerimbunan dan pepohonan berdaun lebat. Merangsang imajinasi kami untuk berfantasi sebagai manusia rimba yang hidup begitu bersahabat dengan alam. Sungguh menciptakan sensasi gairah penuh sensualitas, meskipun selama melakukannya kami harus tetap waspada penuh pada kemungkinan mendapatkan gangguan dari reptilia maupun serangga. Untung saja selama ini tak pernah ada peristiwa buruk terjadi selama kami mencoba melakukannya.

Namun tentu saja, ada satu hal yang sungguh masih sukar untuk kupahami, adalah kenapa kali ini di sini dengan mudahnya aku bercerita.

Saturday, October 18, 2008

At The Section of Forgotten Toys



At the section of forgotten toys
There is a lonely plastic doll in the form of a little girl
Standing alone inside its original wrapping
Still smiling even though its box are covered with dust and its colors gradually fading

It has been abandoned for almost all of its shelf life
Nobody wants any business with it but a little crippled girl
Who once visited the big toy store along with other similar looking children
Has only one arm, or one leg, or simply can not walk and has to be pushed away in wheelchairs

The little crippled girl picked the box with the plastic little girl doll standing alone inside
Her face gleamed with happiness and smile
“Hey, little pretty doll, how are you doing today?”
“My name is Molly and from now on, I want you to be my friend.”

But a grown up woman’s hand picked the box up from Molly’s hands
And return the plastic little girl doll to the shelf along with other plastic toys,
“Not this one, Molly. Because you are allowed to have a more beautiful doll than this.”
And ushered the little crippled girl away

The lonely plastic doll can not remember how long it stays on its shelf
Until one day a big hairy hand grabbed its box and throw it into the small steely cart
Where it stuck on the top and piled up with other deformed boxes of toys
And pushed away into the little dark room where the lights are seldom switched on
And there’s no blowing breeze from the air condition
Where the lonely little plastic girl doll remains untouched
For days, months and eventually, years

At the section of forgotten toys
There is a lonely plastic doll in the form of a little girl
Standing alone and yet it keeps smiling
Because it still remembers Molly,
The little crippled girl who hand-picked and kissed her box
And told her that she wanted to be her friend
Before she was ushered away

Wednesday, October 15, 2008

Ironi Dalam Bungkus "Nasionalisme"

Hari ini seorang teman mem-posting-kan citra berikut di dalam akun Facebook-nya.


Sebagaimana yang bisa Anda baca dan simpulkan sendiri, citra yang di-posting-kan kembali ini merupakan sebuah undangan untuk menghadiri suatu acara sosial pada akhir pekan.

Yang sampai menggelitik perasaan ingin berkomentar, sehingga pada akhirnya menghasilkan tulisan iseng ini, adalah judul acaranya yang mencantumkan ejaan yang lama dan masih belum lagi mengalami penyempurnaan : “SERATOES PERSEN INDONESIA”.

Memberikan kesan bahwa pihak penyelenggara ingin membangkitkan lagi rasa nasionalisme di antara para undangan. Yang harusnya ditanggapi positif, andai saja tampilan dalam undangan tersebut benar-benar sesuai dengan semangat yang ingin diciptakannya.

Namun pada kenyataannya, kesan yang timbul setelah melihat citra tampilan undangan ini adalah sebaliknya. Sebab apabila memang ingin unjuk diri, busung dada, bangga hati, dan ingin memperlihatkan jati diri sebagai orang Indonesia yang 100 persen kadar keasliannya, kenapa body copy undangan ini seluruhnya justru malah mempergunakan bahasa asing ?

Padahal bahasa nasional kita jelas merupakan salah satu identitas bangsa, sebagaimana yang diikrarkan oleh para pemuda dan pemudi bangsa kita 80 tahun lalu dalam Kerapatan Pemoeda-Pemoedi atau yang kemudian lebih dikenal sebagai Kongres Pemuda II.

Kira-kira, apa ya komentar para pemuda dan pemudi Indonesia yang hadir 80 tahun lalu di dalam acara tersebut melihat bahwa kini bangsa yang pembentukannya sangat dicita-citakan itu lebih gemar bertutur dalam bahasa Inggris – dan bukan bahasa Belanda – ketimbang bahasa ibu sendiri?

Tuesday, October 14, 2008

Tapi, ... Tipu !


Jaman dahulu kala, bahkan ketika angka tahun masih ribuan tahun lamanya sebelum Masehi, berdasarkan catatan dalam kitab suci agama-agama Abrahamic, tersebutlah kisah tentang seorang perempuan, istri dari seorang pejabat di kerajaan Mesir, yang memfitnah seorang lelaki gagah nan ganteng yang menolak untuk menghampirinya (bahasa halus untuk tidur bersama / melakukan hubungan badan). Perempuan yang katanya memiliki kecantikan jasmaniah itu ternyata tidak terima “suguhan gula-gulanya” diemohi oleh this hunk, formerly known as her husband’s slave. Merasa terhina dengan penolakan tersebut, dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya, dia melakukan pembalasan nan keji, dengan melaporkan kepada suaminya apa yang menurut dia telah dicoba dilakukan oleh si lelaki: pemerkosaan. Tak perlulah kusebutkan nama sesiapapun di sini, Anda pasti bisa dengan mudah menebak orangnya.

Mari kita fast forward ke sekian millennium kemudian.
What was supposed to be one of the oldest trick in the book(s) – in this case, the books referred to are Torah, Bible and Koran – yaitu pernyataan / kesaksian palsu (alias fitnah) ternyata masih lazim dipraktekkan dalam kehidupan nyata untuk merusak reputasi dan menjatuhkan seseorang, meskipun bisa jadi dengan maksud dan alasan yang berbeda jauh dari contoh di atas. Terkadang, pernyataan palsu ini menimbulkan akibat yang begitu mengerikan, seperti pembantaian massal di Rosewood dan penyerangan pasukan Sekutu pimpinan Amerika Serikat atas Irak.

Apabila kemudian kita mencoba membahas dampak negatif perbuatan hina ini dari sudut pandang ketidaknyataan, alias fiktif, salah satu contoh yang harus disebutkan adalah To Kill a Mockingbird, ketika desakan mayoritas penduduk Maycomb, Alabama, membuat seorang lelaki Afro-Amerika yang dituduh memperkosa seorang gadis kulit putih terpaksa menemui ajal.

Dalam tataran fiktif terkait konteks geografis Indonesia, ada kisah tentang Titian Serambut Dibelah Tujuh, sebuah film klasik dari tahun 1959 karya sutradara Asrul Sani yang di-remake oleh Chaerul Umam di tahun 1982.
Dikisahkan, seorang guru muda yang berupaya mengubah cara berpikir dan sistem pendidikan yang masih kolot (i.e. sangat menekankan aspek agamis) di sebuah desa yang sangat kuat akar keagamaannya, mendapat tentangan sangat kuat dari kalangan yang lebih mapan dan diuntungkan oleh kondisi status quo desa tersebut, salah satunya adalah istri dari si guru tua. Berbagai cara dilakukan untuk menyingkirkan si guru muda, termasuk dengan intrik-intrik keji, yaitu memfitnah si guru muda melakukan perundungan seksual terhadap seorang perempuan. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah si guru muda mencoba memberikan bantuan nafas buatan (CPR) setelah menyelamatkan si perempuan yang nyaris tenggelam. Alhasil, penduduk desa ramai-ramai memusuhi si guru muda dan memintanya angkat kaki dari desa mereka tersebut.

Kita coba fast forward lagi ke sekian dekade kemudian.
Dalam sinetron Cinta Maia yang saat artikel ini ditulis masih ditayangkan di jam prime time salah satu stasiun televisi swasta nasional, dikisahkan seorang perempuan culas yang rela melakukan apa saja agar bisa merebut hati seorang lelaki muda, kaya-raya dan naïf (cliché!), berpura-pura tenggelam agar diselamatkan oleh si lelaki muda, kaya-raya, naïf, DAN pemberani serta jago renang.
Dikarenakan suatu kebetulan yang sangat amat kebetulan sekali, si gadis cantik, baik hati, jujur, pemaaf dan tertindas serta menderita (another cliché, which obviously translated as the protagonist-main role-titular character) yang menaruh hati pada si lelaki, menyaksikan kejadian penyelamatan itu. Dan sesuai harapan si perempuan culas (dan produser, sutradara serta penulis scenario), si gadis cantik lantas mempersepsikan apa yang dilihatnya persis seperti yang dirancang-harapkan oleh sih perempuan culas. Si gadis cantik yang predikatnya harus ditambah dengan ‘bodoh’ itu kemudian menganggap bahwa lelaki muda pujaan hatinya itu bermain air (karena jelas-jelas nyemplung ke kolam renang) dengan perempuan lain. Itu artinya, tipu-tipu si perempuan culas, berhasil gemilang !

Ternyata, ribuan tahun setelah bangsa Israel melepaskan diri dari penjajahan Firaun di tanah Mesir, tipu-muslihat dan fitnah dengan bumbu seks, masih saja menjadi trik yang manjur bin mustajab diterapkan untuk merusak reputasi seseorang (atau subjek plural lain).

Manusia memang paling susah belajar dari pengalaman (dan sejarah).




Bagi para pembaca kritis yang benar-benar mengenal sosok penulis, pasti akan bertanya-tanya, apa yang tidak sedang kulakukan sehingga bisa-bisanya malah membuang waktu dengan menonton sinetron ga penting.

Friday, October 10, 2008

Nobel Peace Prize Winners, Made in Indonesia


Petang itu baru saja aku signed out dari akun surat elektronik Yahoo! –ku, yang akan secara otomatis mengembalikan pengguna ke halaman muka situs Yahoo!, ketika pandanganku tertumbuk pada laman terbarunya yang mencantumkan headline berikut : “Nobel Peace Prize Winner has been announced”. Foto yang menyertai headline itu memperlihatkan seorang pria Kaukasia tua. Unrecognizable. Karena penasaran, segera kuklik link-nya.

Aku diarahkan ke satu laman artikel yang dengan cepat kubaca. Artikel tersebut memberitakan, bahwa baru beberapa jam sebelumnya, Komite Nobel Norwegia mengumumkan siapa sosok peraih penghargaan Nobel Perdamaian untuk tahun ini.

Namanya, Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia.
Salah satu alasan Komite memilih Bapak Ahtisaari sebagai pemenang, adalah karena kerja keras beliau yang hasilnya sangat memuaskan dalam mewujudkan kesepakatan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah RI, yang dinilai berhasil dan sukses mengakhiri konflik senjata yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade.

Selamat untuk Bapak Ahtisaari.

Namun seharusnya, penghargaan bagi Bapak Ahtisaari ini lebih dipandang sebagai tamparan telak bagi bangsa kita. Karena ini menjadi kali kedua nama Indonesia kembali disebut oleh Komite Nobel sebagai alasan yang mendasari penganugerahan penghargaan paling prestisius ini, dan keduanya untuk alasan yang tidak mengenakkan. Baru 12 tahun sebelumnya, Uskup Timor-Timur (dulu) Carlos Felipe Ximenes Belo dan tokoh Fretilin, José Ramos Horta, diumumkan sebagai peraih penghargaan serupa atas upaya-upaya mereka untuk mewujudkan perdamaian di daerah Timor-Timur (sekarang Timor Leste) yang terus bergejolak.

Itu artinya, dalam dua kali kesempatan penghargaan yang berselisih duabelas tahun ini, nama Indonesia disebutkan dalam konteks cenderung negatif dan tidak pantas dibanggakan oleh Komite Nobel. Adalah militer Indonesia yang brutal dan opresif lah yang menjadi “tokoh antagonis” dan penyebab utama ketiga tokoh di atas meraih Nobel Perdamaian.

Andai saja Bapak Pramoedya Ananta Toer yang kabarnya berulang-kali masuk bursa nominasi penghargaan betul-betul berhasil meraih Nobel Sastra sebelum akhirnya dijemput ajal, lengkaplah sudah wajah bengis keantagonisan militer Indonesia. Bagi para penikmat karya-karya Bapak Pram, demikian beliau biasa dipanggil di masa hidupnya, tentu mengerti betul alasannya.

Dan jika saja pemerintah Republik ini, atau elemen-elemen tertentu yang terkait dan memang relatif memiliki power, terus saja melakukan ketidakadilan dan kekerasan di negara ini, bisa jadi di masa yang akan datang kembali lahir peraih penghargaan Nobel berikutnya, made in Indonesia.

Thursday, October 9, 2008

Loose Knots


I remember when
Both of us laughed
On the side of the road under the traffic light

Holding hands
You promised me that
You’d always stay the same

When those diamonds shone in your eyes
How could I not trust you?
How could I not believe in you?

Yet things did not go as we’ve planned together

Now all that is left behind is I who keep wondering

What it is that holds together the loose knots of our relationship?

Wednesday, October 8, 2008

The Curious Case of Coincidence


One of my very best and closest friend broke up with his boyfriend.
It happened last night.

I just found out less than ten minutes ago. And it was accidentally, when I discovered that he's not listed in my Facebook. So I asked him what's wrong with his account. And that's when he dropped the unpleasantly surprising news.

Now I guess that explained my nightmare, which troubled me so much when I woke up this morning.
In that dream, my upper lip are bleeding and there was nothing I could do to stop it. When I felt a wave of panic rising from my abdomen, I woke up. Abruptly.

I completely forgot about that incubus because I was so busy catching up with deadlines and two meetings today. After all have set and finished, I logged in into my Facebook to read my friends newsfeed. I did this daily not only to keep up with my friends' updates, but also because I am now a (self-confessed) Facebook addict.

However, some unexplainable feeling made me checked on my best friend's account, of which I failed to find. Curiousity made me texted him for inquiries.

But I was not prepared for that kind of answer from him.

He texted me back, telling me that he deleted his Facebook account. Because he broke up last night. And that (supposedly hard ?) break-up made him feel uneasy towards the outside world. And now he just wants to retract himself from reality. Hopefully, for a very short time.

Guilty - eventhough only for a bit - is what I feel right now.

Because it was me who talked him out to end his rocky relationship with this guy, whom I also know. But I remember I told him that he should do it only in one condition, when he has come to the culmination point of uncertainty on where their relationship is heading.
This happened last Sunday.

Whether he really took my suggestion or not,
Whether I also am the one to blame here,
Whether his decision to call it off had anything to do with my nightmare,
... I really don't know.

My best friend promised he'd tell me the whole story tonight.

Now what I would hear from him, I can promise you, I won't reveal here.

Because I am not the type who kiss and tell.

Tuesday, October 7, 2008

Untukmu, Bayu


Mudik sudah menjadi semacam tradisi yang sangat identik dengan perayaan Idul Fitri di negara ini. Dan setiap tahunnya, saat jelang pekan-pekan terakhir bulan Ramadhan, minggu Eid-al-Fitr hingga kurang-lebih tujuh hari setelahnya, semua stasiun televisi nasional seakan saling berlomba memberikan laporan terbaru dan terkini berkaitan dengan pergerakan massal arus manusia musiman ini.

Sama seperti tengah malam ini, ketika Selasa tanggal tujuh Oktober belum lagi berusia tigapuluh menit. Aku belum lagi terlelap, dan memang disengaja, karena baru saja menghabiskan sepotong muffin rasa coklat. Selain karena ingin memberikan sedikit waktu ekstra bagi pencernaanku untuk bekerja menyesuaikan diri dengan asupan kalori sebanyak itu di waktu yang tidak biasa, adalah juga karena ingin menyaksikan siaran berita. Biasanya tengah malam begini adalah jam-jamnya beberapa stasiun televisi menyiarkan kabar dan peristiwa terkini. Belakangan ini aku memang selalu berusaha agar jangan sampai ketinggalan informasi terkait negeri carut-marut bernama Indonesia ini, meskipun seringkali menonton siaran berita kulakukan sembari mengerjakan aktivitas lainnya (multitasking), mulai dari menggunting kuku sampai membaca buku.

Dan sebagaimana program-program berita yang dipancarteruskan sejak beberapa minggu lalu, malam ini juga ada satu segmen khusus liputan tentang hal-ihwal arus mudik. Salah satu laporannya ketika itu membuatku menghentikan aktivitas menyimak bagian prolog sebuah memoir.

Terpampang penuh di layar kaca, seorang anak lelaki yang tengah menangis sesenggukan, wajahnya di-shoot full close-up. Oleh sang narrator, dikabarkan ke pemirsa bahwa si bocah lelaki bernama Bayu Pramana ini tak bisa berhenti menangis melihat kedua orang-tuanya sudah tergeletak bersimbah darah tak lagi bernyawa di tepi jalan, tepatnya di daerah Jembrana, Bali. Tragisnya, pasangan suami-istri itu tewas di depan mata anak mereka sendiri, dalam perjalanan mereka bertiga kembali ke rumah dari mudik di Banyuwangi.

Saat melintasi jalan raya Gilimanuk-Denpasar, sepeda motor yang dikemudikan oleh si ayah tak sengaja menabrak bagian jalan yang tidak rata, yang kemudian mengakibatkan ia dan istrinya terjatuh ke jalan, sedangkan anaknya Bayu terpental ke rerumputan di pinggir jalan. Malang tak dapat ditolak, maut langsung menyambar nyawa ayah dan ibu Bayu ketika sebuah bis antarkota – yang hingga berita ditayangkan oleh redaksi Kabar Malam tvone belum berhasil diidentifikasikan – yang tengah melaju kencang persis di belakang sepeda motor keluarga tersebut, tak sempat menghindar dan langsung melindas pasangan suami istri tersebut hingga tewas seketika. Si sopir bis segera melarikan diri meninggalkan pasangan tersebut, dan anak mereka, Bayu Pramana yang baru berusia 10 tahun, menangis histeris melihat nasib tragis yang menimpa kedua orangtuanya.

Bisa kubayangkan betapa shock-nya Bayu, melihat dengan mata kepalanya sendiri kedua orang-tuanya meninggal dengan cara yang sedemikian mengerikan. Mungkin di tengah kekalutan pikiran dan perasaannya saat itu, bisa jadi Bayu masih belum memikirkan perubahan drastis dalam hidupnya. Bahwa sejak detik terjadinya kecelakaan itu, dia menjadi sebatang kara di dunia. Yatim piatu. Dan yang lebih menyakitkan lagi, almarhumah ibunya ketika meninggal tengah hamil anak kedua, calon adik Bayu. Libur Lebaran si bocah yang dimulai dengan manis, terpaksa berakhir sedemikian tragis dengan cara paling buruk yang mungkin terjadi, dengan sebuah tragedi yang akan terus dibawa di dalam ingatannya dan meninggalkan jejak trauma di jiwanya.

Untukmu, Bayu Pramana, bocah kecil yang baru berusia sepuluh warsa, yang nasibnya berubah secara tragis pada hari Senin siang tanggal enam Oktober, semoga kamu diberi kekuatan dan ketabahan hati. Akan kupanjatkan doa untukmu malam ini.

Singkat Cerita Tentang Belanja


Paling sebel rasanya kalau lagi pas punya duit ekstra buat dibelanjakan– which is tumben-tumbenan terjadi belakangan ini – untuk keperluan kurang penting dan tidak mendesak, terus hepi banget nemu fashion items bagus di toko favorit di mall, ternyata ... ukurannya ga ada yang cocok.

Seperti kemarin waktu nemenin Dia mencari hadiah ulang tahun untuk abangnya di Zara, ga sengaja nemu loafer berwarna putih yang tampak menarik dan enak dipakai. Kuintip bagian dalamnya, ternyata size 42. Itu kan ukuran kakiku saat masih jadi pelajar SMP !! Karena sudah terlanjur suka dengan that loafer’s looks, ditambah lagi dengan approval dari Dia yang bilang bakalan bagus di kakiku, maka kutanyalah kepada shop attendant terdekat apakah mereka memiliki stok dengan ukuranku. Jawabannya sangat mengecewakan, katanya that’s the only pair left. Siyal! Dengan kecewa kukembalikan pasangan loafers itu ke raknya.

Tapi biasanya aku akan lebih sebel lagi kalau sudah berhemat ekstra dan menabung serta menahan keinginan untuk beli ini-itu, pas duitnya sudah terkumpul dengan jumlah yang mencukupi, eh, itu barang yang diidam-idamkan dan menjadi alasan utama menabung, ternyata sudah habis terjual.

Pengalaman pribadi yang tak bisa terlupakan adalah waktu dulu masih kecil, kayanya masih duduk di kelas 3 SD. Kebetulan, orang-tuaku tidak membiasakan anaknya jajan sembarangan di luar, kebutuhan gizi kami 99,99 % dipenuhi di rumah. Implikasinya, aku dan saudara-saudaraku nyaris tak pernah diberi uang saku buat dijajanin. Kalau misalnya kami ingin punya mainan tertentu, biasanya harus minta dibelikan sama orang-tua. Tapi masalahnya, belum tentu permintaan tersebut akan dikabulkan.
Sama seperti suatu hari ketika dibawa orang-tuaku berbelanja di toko kelontong langganan yang lokasinya berada di luar kompleks, aku dan adikku memilih untuk berkeliaran di pojok yang memajang mainan sementara kedua orang-tua kami sibuk berbelanja. Saat sedang asyik melihat-lihat tumpukan mainan, pandangan mataku tertuju pada sebuah mainan bis bertingkat berwarna merah menyala yang dibuat dari bahan logam. Saat pertama melihatnya, aku langsung tahu kalau aku harus memilikinya. Tapi apa daya, ternyata Ibu menolak untuk membelikan. Aku lupa alasan persisnya saat itu. Yang jelas, aku jadi sangat kecewa. Dan selama beberapa minggu berikutnya, mainan bis bertingkat berwarna merah itu terus menggelayuti imajinasiku.
Beberapa bulan berlalu, dan setiap kali aku dibawa ke toko kelontong itu, yang selalu langsung kutuju untuk diperiksa adalah pojok mainan, untuk melihat apakah mainan bis bertingkat berwarna merah itu masih ada. Dan kalau misalnya sedang tidak ada yang memperhatikan, akan kuambil ia dari tumpukan di rak dan kumain-mainkan, sampai kudengar suara Ibu memanggil-manggil mencariku atau ada pembantu toko yang kebetulan lewat lantas melarang aku terus memainkannya.
Hingga suatu hari ada seorang Paman datang berkunjung dari jauh bersama istrinya. Mereka berdua sudah lanjut usia, bahkan mungkin sudah lebih tua daripada kedua orang-tuaku. Mungkin itu sebabnya mereka berdua sangat memperhatikan kami yang masih kanak-kanak, karena di mata mereka, kami sudah dianggap selayaknya cucu sendiri. Setelah menginap selama kurang lebih seminggu di rumah kami, mereka berdua pun pamit hendak pulang. Sebelum berpisah, tidak lupa Bibi menyelipkan salam tempel ke dalam genggaman tanganku. Saat kubuka telapak tangan ini untuk melihat apa isinya, hatiku terlonjak kegirangan melihat selembar Kartini terlipat-lipat di atasnya. Akhirnya aku bisa membeli mainan bis merah itu!
Tak sabar rasanya menunggu tibanya hari kunjungan belanja ke toko kelontong itu lagi. Harus bersama Ibu dan Bapak perginya, karena kami sebenarnya dilarang keluar kompleks tanpa pengawasan orang dewasa. Setidaknya demikianlah peraturan yang dikeluarkan oleh bagian Security kompleks.
Ketika hari berbelanja itu tiba, senang banget rasanya. Jantungku seakan melompat-lompat di dalam dada. Begitu mobil berhenti di halaman parkir toko, aku segera melompat keluar dan berlari kencang menuju rak di pojokan yang selama ini sudah begitu akrab bagiku. Celingukan pandanganku mencari, melongok-longok leherku mencoba meneliti. Aku tak bisa percaya penglihatanku, tapi mainan bis bertingkat berwarna merah menyala itu sudah tidak ada! Dengan rasa kecewa dan tak percaya yang membubung tinggi, kutanyakan perihal keberadaan mainan bis merah itu kepada anak penjaga toko kelontong yang kebetulan melintas di dekatku. Jawaban yang diberikannya membuatku sedih alang-kepalang : itu adalah mainan bis satu-satunya dari jenis dan bahan itu, dan itupun sudah terjual beberapa hari sebelumnya.
Buat seorang anak kecil yang memendam harap sebegitu besar dan lantas dikecewakan, kebayang dong emosinya kaya apa. Memang sih aku ga sampai nangis-nangis gitu, no way lah. Cuma barangkali ini salah satu penyebabnya aku jadi punya obsesi terpendam : ingin berkunjung ke London, hanya agar dapat menaiki bis bertingkatnya yang berwarna merah itu dan berwisata keliling ibukota Inggris.


Masih ada satu kondisi belanja lagi yang belum terbahaskan. Yaitu begini : ada satu barang yang sudah kita taksir sedemikian lama dan kemudian saking pengennya, kita sampai rela mengeluarkan duit ekstra untuk bisa memilikinya, meskipun implikasinya adalah kita harus berhemat ketat untuk sektor-sektor pengeluaran lainnya hingga jangka waktu tertentu. Saat kita lagi senang-senangnya dengan barang baru itu dan dengan bangga menggunakannya ke manapun dan kapanpun memungkinkan, ternyata tak lama kemudian di tokonya itu barang mengalami reduksi harga. Alias didiskon. Pengen marah kan jadinya?

Syukurlah hal yang begini ini belum pernah kualami. Jangan sampai. Kebayang deh betenya. Tetapi dari hasil ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang sahabat dekat, ternyata kejadian semacam ini pernah dialami oleh salah seorang di antara mereka. Sepatu Adidas-nya yang belum lagi sebulan dibeli dan dipakai, tiba-tiba sudah turun harga alias didiskon, dalam jumlah yang relatif besar pula : sekitar 30%. Mengetahui hal tersebut, olehnya sepatu itu langsung dikembalikan ke dalam kotak aslinya dan disimpan di dalam lemari untuk waktu yang cukup lama.

Kembali pada kejadian awal yang menjadi ide tulisan ini, setelah kecewa karena tidak jadi memiliki loafer putih Zara yang lucu itu, aku dan Dia berjalan-jalan keliling gerai-gerai lainnya, keluar masuk toko karena Dia masih merasa belum puas dan teryakinkan dengan hadiah kemeja kantoran yang dibelinya di Zara. Dan karena kami berkeliling-keliling mengukur luasnya mall (yang memang diklaim oleh pengembangnya sebagai salah satu yang terluas di Indonesia), akhirnya dari kunjungan bolak-balik itu aku jadi tergoda juga membeli selembar t-shirt Junk Food bergambarkan karakter-karakter Smurf. Padahal, baru akhir pekan sebelumnya aku membeli empat helai t-shirt impor dari Thailand.

Dasar si pemboros tukang belanja!

Tapi, yaaah, mau bilang apa? … Namanya juga berbelanja barang alternatif untuk sekedar menghibur diri.

Monday, October 6, 2008

Imajinasi Tingkat Tinggi



Bisa jadi masih belum banyak penduduk negeri ini yang tahu dan sadar, bahwa sejak beberapa bulan lalu sampai awal tahun depan, adalah masa kampanye politik jelang Pemilu 2009. Barangkali karena masa kampanye kali ini sangat panjang apabila dibandingkan masa-masa sebelumnya yang hanya dalam hitungan tiga bulanan, jadi masih banyak partai politik yang seolah-olah testing the water dan cenderung mengambil sikap menunggu, menanti partai mana yang akan melakukan start duluan dan dengan cara apa. Mayoritas partai-partai politik ini belum lagi kencang menghambur-hamburkan dana untuk berpromosi, apalagi menggebrak dengan kampanye yang bersifat massive dan sensasional.

Barangkali baru sejak medio Agustus lah mulai ramai bermunculan berbagai spanduk, umbul-umbul, billboard dan bentuk-bentuk media luar ruang lainnya, yang mengusung nama, logo maupun wajah yang mewakili partai politik tertentu, menghiasi (atau mengotori ?) berbagai tempat strategis di seantero Jakarta dan sekitarnya. Sudah jamak memang apabila pesan politik disampaikan lewat berbagai media yang bisa mengakomodasinya, dengan titik-titik sentuh bersifat langsung dengan olahan seefektif mungkin (masih ingat kampanye Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Pemilu 2004 dengan slogan ”Moncong Putih” ?).

Salah satu medium penyampaian pesan politik yang paling diminati sejak dulu hingga kini, sudah tentu adalah lewat tayangan iklan di televisi. Belakangan ini, dua muka lama mulai rajin menyambangi layar kaca kita : Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, dan Wiranto dari Partai Hanura. Sejujurnya buatku pribadi, agak seram melihat kedua sosok ini bangkit lagi di masa kini, mengingat track record keduanya yang tidak bisa dikatakan bersih dari pelanggaran hak azasi manusia pada masa keduanya masih menjadi pimpinan militer di era Orde Baru.
Namun yang juga menarik untuk dicermati adalah kemunculan dua wajah baru yang berusaha mengimbangi dua muka lama tadi, yaitu Soetrisno Bachir dari Partai Amanat Nasional, serta Rizal Mallaranggeng.
Khusus untuk nama yang disebut terakhir ini cukup memancing rasa penasaranku, karena beliau yang mengaku dalam iklan satu halamannya di harian Kompas, mengklaim dirinya tidak disokong oleh partai politik manapun dalam upayanya memperkenalkan diri ke publik. Plus, kata adik kandung penasihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, dirinya juga bukanlah seorang pengusaha. Intinya adalah, beliau menyatakan dirinya sebagai calon presiden independen yang berangkat dari jalur perseorangan.
Hal ini jelas-jelas di kemudian hari menimbulkan tanda tanya besar : darimanakah beliau mendapatkan dana untuk menjalankan kampanye politiknya? Terlebih kalau melihat billboard ekstrabesar dua sisi yang memasang wajahnya di seputaran Jembatan Semanggi yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Sekali lihat, pasti langsung terbayang gelontoran dana yang harus dikucurkan untuk mengisi kedua sisi billboard tersebut dengan wajah bapak berkumis tebal ini. Belum lagi, sekian banyak jenis dan versi iklan politik beliau. Perhitungan kasar pun memunculkan angka milyaran rupiah.
Sayangnya, menurut hasil polling yang kulihat bulan lalu di acara politik tvone, berbagai iklan politik beliau masih belum memberikan dampak nyata di tataran political awareness rakyat negeri ini. Barangkali karena rakyat negeri ini masih belum terbiasa dengan kampanya multi-media a la Barack Obama.

Sedangkan menurut pendapatku pribadi, memasang iklan politik di area sepanjang jalan Gatot Soebroto, Sudirman dan Thamrin, itu sudah biasa.
Yang menjadi luar biasa, barangkali apabila memasang iklan di beberapa tempat yang lebih lazim dipergunakan sebagai medium promosi niaga, seperti billboard aktif yang ada di dekat gedung BEI, di depan Pusdiklat Deplu, atau memblok area dinding luar salah satu mall terkenal di kawasan Senayan, yang seingatku pertamakali dilakukan oleh MRA Media untuk mempromosikan majalah Esquire Indonesia edisi perdana kurang-lebih satu tahun lalu, yang terbukti cukup sukses menggoyang pasar majalah khusus pria dewasa di negeri ini.




Setidak-tidaknya, dalam imajinasiku, kalau aku memiliki uang dalam jumlah besar untuk dihambur-hamburkan, aku pun ingin menampilkan wajahku dengan cara yang kurang-lebih serupa.
Apalagi kalau pemotretannya dilakukan oleh fotografer kelas dunia, seperti Annie Leibovitz atau David LaChappelle atau Mario Testino.
Lantas dicetak dalam ukuran raksasa dan dipajang di mall tadi.
Cukuplah memajangnya selama empat minggu, dengan empat versi berbeda yang berganti setiap minggunya; dijamin setidak-tidaknya akan ada beberapa juta pasang mata yang akan melihat poster raksasa itu selama kurun waktu tersebut, yang kemudian diharapkan akan dapat memancing rasa penasaran mereka untuk mencari tahu lebih banyak lagi.
Niscaya langkah ini tentu akan berhasil meningkatkan awareness atas diriku, suatu hal yang kata William sudah relatif berhasil kulakukan di beberapa situs jejaring sosial bersifat pertemanan (i.e. Friendster dan Facebook), berkat foto-foto pribadiku yang (kuharap bisa memberikan kesan) artistik.

Ngayal berlebihan, sekali-sekali boleh dong?





Sunday, October 5, 2008

Bukan Kekasihku



Hari ini menandai telah 8 bulan kami saling bertemu secara eksklusif. Dan rahasia. Sifat yang disebut terakhir ini paling penting, karena kami memang perlu berupaya keras sedapat mungkin untuk mempertahankan hubungan ini tertutup, hanya diketahui oleh sesedikit mungkin orang.
Dan dari semua jenis orang yang menghirup udara kota ini, subspesies yang paling penting untuk dihindari adalah gerombolan manusia liar dengan tabiat cenderung brutal yang berani menamai diri wartawan infotainment.
“Cis! Berani-beraninya menyebut diri wartawan, padahal mereka tak mengerti apapun tentang kode etik jurnalisme!” demikian desisnya padaku suatu kali, ketika dalam satu kesempatan nyaris terpergok sedang berjalan bersama denganku.
Itulah sebabnya kami sekarang lebih ketat dalam mengatur pertemuan, harus selalu dengan pengaturan-pengaturan khusus. Tidak bisa langsung berjanji bertemu di satu tempat ketika ingin bersua.
Semua karena sosoknya yang terlalu banyak dikenali di kota ini. Padahal ia harus menjaga status sosialnya demi mempertahankan nama baik keluarga yang sudah terkemuka bahkan sejak bangsa ini belum merdeka. Sedangkan aku harus mempertahankan posisiku di perusahaan raksasa ini, yang terlanjur memanjakanku dengan terlalu banyak kenyamanan.
Aku sebenarnya benci bersandiwara, tak pernah kuanggap diriku bisa, tapi demi hubungan kami terjaga, harus kupaksa.
Itulah sebabnya setiap kali mendapatkan undangan untuk menghadiri acara-acara sosialita, harus kubertanya terlebih dulu padanya. Barangkali saja dia akan turut hadir di sana.
Kami sama-sama menyadari, keberadaan kami dalam rentangan jarak yang terlalu dekat bisa jadi berbahaya. Karena kedua tubuh kami bagaikan dua kutub magnet berbeda, yang dengan kekuatan luar biasa akan saling tarik, ingin menyatukan diri bersama. Daripada tertangkap basah sedang bercumbu di sudut-sudut gelap dan tersembunyi yang seringkali susah menemukannya, lebih baik kami saling menghindar, menahan dorongan jasmani.
Itulah sebabnya sekarang kami lebih akrab dengan sudut-sudut tua dan kelam kota ini, yang lebih menjamin reklusifitas bila dibandingkan dengan klab malam manapun di Selatan.
“Sampai kapan sih kita harus begini terus?”, pernah kubertanya saat ia masih dalam pelukanku. Buliran keringat yang tadinya membasahi punggungnya belum kering benar.
“Sampai aku mengatakan, ‘This is it. This is our time.’” sahutnya dengan suara pelan sedikit mendesah.
Aku tahu dia pasti sudah setengah jalan menuju kelelapan tidur. Tak apa, aku suka memeluknya saat ia tidur. Kulitnya lembut dan rambutnya selalu wangi terjaga. Mengantarkanku sendiri kepada nyenyak. Setiap kali usai bercinta dengannya, aku selalu bisa terlelap dengan mudah, dan mendapatkan mimpi indah. Sayang sekali waktu semacam ini tidak pernah bisa kami nikmati lebih lama daripada satu malam dalam setiap pertemuan.
Karena ia harus menjaga status sosialnya, dan aku dengan posisi di perusahaan multinasional itu.
Hidup lebih sering tidak bisa memberikan segala hal yang kamu inginkan.

Hollywood Star, with a Reasonable Doubt


Sejak pertama-kali menyaksikan akting Rachel Weisz di film The Mummy, dari logatnya saja aku sudah tahu kalau dia adalah aktris asal Inggris. Tak perlulah sampai harus browsing online untuk mengkonfirmasikan dugaanku tersebut, yang di kemudian hari memang terbukti benar.

Itulah sebabnya ketika satu brand sabun mandi yang mengklaim produknya sebagai sabun kecantikan para bintang membuat iklan dengan mempergunakan Nona Weisz sebagai bintangnya, yang menjadi perhatianku bukanlah tampilan spesial efek yang memperlihatkan seolah-olah para pria dibuat melayang-layang ketika membaui wanginya aroma varian produk terbaru Lux tersebut, melainkan adalah label yang mengembel-embeli nama Rachel Weisz.

Tertera jelas dalam iklan tersebut : Rachel Weisz – Hollywood Star.

Pertamakali melihatnya, aku sempat tertegun.

Bintang Hollywood?
Sejak kapan?

Adalah betul Rachel Weisz memenangkan penghargaan Oscar untuk kategori Actress in a Supporting Role atas aktingnya yang memukau sebagai aktivis hak-hak asazi manusia yang dibunuh secara sadis dalam film The Constant Gardener. Dan Oscar - meskipun dianugerahkan setiap tahun oleh asosiasi para pekerja sinema Amerika Serikat - disukai maupun tidak, adalah salah satu penghargaan paling prestisius (di dunia sinema) di muka bumi.

Tetapi yang seharusnya dan sebenarnya, sampai kapanpun Nona Weisz tetaplah seorang aktris Inggris, sebagaimana Keira Knightley tidak akan pernah menjadi aktris Amerika.

Klaim berlebihan dan “cenderung menyesatkan” semacam ini sesungguhnya bukanlah sesuatu hal yang sama sekali baru, karena untuk teknik komunikasi menggunakan tipu-tipu halus hingga sampai tahap hiperbola, memang iklannya produk-produk kecantikanlah juaranya.
Salah satu kasus yang terjadi belum lama ini, adalah ketika L’Oreal diprotes akibat mengubah warna kulit Beyoncé Knowles menjadi lebih terang daripada aslinya untuk sebuah versi iklan yang dicetak di majalah Elle.
Sedangkan satu contoh dari dalam negeri yang termasuk menonjol bisa jadi masih dari brand yang sama yang menjadi ide dasar tulisan ini. Beberapa tahun lalu, sabun kecantikan Lux menampilkan kampanye supermahal untuk target pasar Indonesia, dengan mempergunakan para bintang papan atas dunia hiburan negeri ini : Tamara Bleszynski, Luna Maya, Mariana Renata, dan Dian Sastrowardoyo.

Slogannya kala itu: “Beauty Gives You Superpower”

Does it??
You be the judge.