Friday, August 28, 2009

Of Feelings & Things



As I was walking down the nearly empty city streets
Which were wet again because of the heavy rain
When the skies above this city turned into the usual cloudy and grey
The rainwater pooled on the cracks of the pavement faded into dark

I kept walking searching for some place I can call my comfort zone
A simple place I can call my own, and ours
Where time and space will pass us by when we see eye to eye
Where happiness and love are everywhere, surrounding us
Where you will give me the reasons to live,

And to recognize the whole mutual feelings we share and things we have as love.


Thursday, August 27, 2009

Karena Tidak Semua Hal ...


Petang ini, Dia berangkat ke Singapura bersama sahabatnya, J.

Rencananya, mereka akan menghadiri reuni sekolah menengah atas, untuk merayakan satu dekade kelulusan. Beberapa sahabat Indonesianya yang lain sudah sejak beberapa hari – bahkan minggu – lalu berada di sana.

Sekitar satu jam lalu aku sempat menelpon Dia, yang ternyata masih berada di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta. Tampaknya penerbangannya di-delay, karena sepuluh menit sebelum jadwal keberangkatan, para penumpang masih belum diminta untuk boarding. Dia sedikit kesal, karena belum sempat makan malam dan sepertinya mulai merasakan lapar. Ketika kutanya mengapa Dia tidak makan terlebih dahulu tadi, jawabnya karena Dia sudah berjanji untuk makan malam bersama para sahabat setibanya di Singapura. Hhmm, meskipun sedikit kesal-kesal tak jelas, namun aku tak berkomentar lebih jauh.

Di tengah-tengah perbincangan yang kurang beresensi untuk mengisi waktu sebelum Dia boarding, kembali diutarakannya pertanyaan itu: oleh-oleh apa yang kuinginkan dari sana. Secara sembarangan kujawab saja, minuman keras! Dia langsung menggerutu dan menolak membawakan barang itu. Kukatakan padanya, tak perlu membawakanku buku apapun dari Borders, karena aku masih punya stok buku bacaan untuk dua tahun kedepan! Lalu Dia menawarkan coklat, tapi kutolak. Tetap kuminta: minuman keras! Namun sebenarnya, ini betul-betul permintaan sembarangan. Apabila Dia tak memenuhinya pun, tak apa.

Karena jika Dia pulang dengan selamat ke tanah air hari Senin depan dan bertemu lagi denganku lantas kami bisa kembali berpelukan erat, aku sudah sangat senang dan bersyukur. Karena aku masih percaya, tidak semua hal bisa diukur dengan kepemilikan materi.

Tuesday, August 25, 2009

Kebetulan Yang Tak Menyenangkan


Saat semua penonton tercekam oleh kebengisan dan ketidakmanusiawian Esther dalam menghabisi para korbannya dengan sistematis dan penuh presisi, pikiranku justru diliputi oleh kekalutan, karena alam bawah sadarku mengirimkan sinyal-sinyal bahwa aku sesungguhnya tahu jawaban dari misteri di balik sosok gadis kecil yatim piatu tersebut.

Dan betul saja! Ketika terungkap siapa Esther sesungguhnya, hatiku justru melenyos.

Karena plot yang mirip dengan mengandalkan kondisi fisik khusus sang karakter antagonis sebagai trik ”tipuan” sudah pernah kupikirkan sejak beberapa bulan lalu! Bedanya, saat itu aku masih belum menemukan apa istilah kedokteran untuk menjelaskan kondisi fisik khusus tersebut; dan sialnya, kini jawabannya justru kutemukan dalam film Orphan.

Hiks hiks, artinya kerangka cerita thriller yang sempat kukembangkan dalam pikiran dan pernah dipaparkan secara sangat singkat dalam salah satu entry blog-ku, terpaksa disingkirkan jauh-jauh untuk selamanya.

Damn you, Alex Mace!

Thursday, August 20, 2009

Strength & Beauty, Before Brain


Film G.I. Joe The Rise of Cobra sungguh keren dan bagus banget ... bagi mereka yang tidak lebih pintar dari anak kelas 5 SD.

Bagi mereka yang merasa lebih cerdas, tentu dengan mudah menyadari, betapa konyolnya cerita film ini.

Salah satu contoh kekonyolan itu adalah: ternyata tidak perlu otak cerdas untuk dapat diundang menjadi anggota G.I. Joe. Padahal, sebagaimana yang dikatakan oleh General Hawk kepada Duke dan Ripcord, tidak bisa sembarangan orang masuk dan bergabung ke dalam organisasi elit ini.

Bayangkan saja, pasukan Cobra Commander menyerbu The Pit, markas besar berstatus super rahasia milik G.I. Joe yang berlokasi di bawah gurun pasir di dekat piramida di Mesir. Scarlett terlibat baku-hantam habis-habisan melawan Baroness. Melihat bagaimana keduanya sampai jungkir-balik karena berusaha saling menjatuhkan, bisa dibayangkan all those cuts and bruises they were obviously have to endure afterwards. Sewajarnya, dibutuhkan setidaknya waktu antara dua hingga tiga hari untuk mengobati luka dan menghilangkan bekas memar serta lebam di wajah dan sekujur tubuh.

Ternyata oh ternyata, tidak lama kemudian Scarlett terlihat cantik dan rapi seperti baru saja keluar dari salon ketika dirinya bersama Ripcord sedang berjalan-jalan tanpa tujuan di dalam The Pit. Aku tahu betul bahwa "waktu" itu relatif: sekian tahun dalam kehidupan nyata bisa berlangsung dalam hitungan detik di film. Yang jelas, diperlihatkan bagaimana mereka berhasil menduga siapa pihak yang berada di balik penyerangan The Pit.

Ini berarti, dugaan tentang dalang di balik serangan baru muncul beberapa hari kemudian (meskipun 'waktu" dalam film itu relatif), sehingga segala macam bekas luka dan memar di wajah Scarlett telah hilang dan keelokannya telah pulih seperti sediakala. Secara implisit, ini sama saja dengan menyatakan bahwa orang-orang G.I. Joe begitu bodoh sehingga butuh waktu lama untuk bisa menduga siapa dalang penyerangan sesungguhnya.

Atau, kalaupun dugaan tersebut muncul dalam waktu singkat, misalnya satu hari setelah penyerangan; ini berarti bahwa di The Pit ada fasilitas semacam spa dan salon kelas wahid yang mampu menutupi sempurna bekas-bekas luka memar yang sewajarnya baru muncul sekitar 1x24 jam setelah ditonjok habis-habisan, seperti yang dialami Scarlett.

Jika kemungkinan terakhir ini yang betul, berarti seharusnya waktu itu Rihanna menghubungi spa dan salon The Pit ini untuk menutupi luka-luka yang dideritanya ketika habis berantem dengan Chris Brown, supaya dia bisa tetap tampil di Grammy Award yang diadakan Maret lalu, dan di hadapan para penggemar fanatiknya di Jakarta.

Baroness, Rihanna dan Scarlett.

Wednesday, August 19, 2009

Alfonso, Alfonso.


Untuk ‘merayakan’ hari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-64, di minggu hari merdeka kuputuskan untuk membaca satu buku yang kunilai cukup mewakili semangat kebangsaan dan nasionalisme. Judulnya Kopi Merah Putih Obrolan Pahit Manis Indonesia, karya sekumpulan orang yang menamakan diri mereka Indonesia Anonymous.

Berhubung judulnya saja sudah ‘obrolan’, isi buku ini ya semacam rangkuman dari perbincangan iseng ngalor-ngidul tentang hal-hal yang (seharusnya) menjadi isu penting di negeri ini. Namun ternyata, selain topik tentang listrik dan pendidikan, mayoritas pembahasan tidak terlalu menarik perhatianku. Yah, namanya saja ‘obrolan’, tidak memberikan lebih daripada saran-saran ideal. Kurang menarik lah kalau ”cuma” begini doang, pikirku.

Lalu tiba-tiba aku tersentak. Kaget! Bukan karena content buku itu, melainkan oleh benakku yang baru saja mengingatkan bahwa tadi sore buku ini diendus-endus dan dijilat-jilat sampai basah oleh Alfonso. Wedew! Langsung poseku yang tadinya santai membaca sambil tengkurap, bangun dan refleks melempar Kopi ke lantai. Meskipun kemudian, ketika aku teringat satu fakta ilmiah bahwa seharusnya mulut Alfonso lebih bersih daripada mulutku sendiri, dengan perlahan kupungut lagi buku itu dan kembali membalik halaman-halamannya untuk mulai kembali melanjutkan membaca.

Pertanyaan sekarang: Siapakah Alfonso?

Jawaban: seekor anjing golden retriever berusia 8 bulan yang bertugas menjaga Oakwood Plaza, bergiliran dengan seekor doberman dan seekor rotweiller.

Si Alfonso ini lucu sekali! Dia selalu tampak diam-diam saja atau sambil mengendus-endus jalan yang dilaluinya saat dibawa oleh petugas keamanan yang memegang talinya. Tapi begitu bagian kepala dan belakang telinganya digaruk-garuk sambil ditepuk-tepuk, dia akan mulai memperlihatkan sifat aslinya yang lucu. Tidak bisa diam dan minta diajak bermain. Pertama kali kuajak dia bermain saat itu, lenganku digigit-gigit sampai basah berlumuran liurnya. Mungkin karena lengan bawahku terlalu kurus, mirip tulang. Saat hendak kutinggalkan, Alfonso tampaknya malah protes dan mencoba melompat ke tubuhku hingga ia berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Aduh lucunya! Alangkah menggemaskannya!

Mendadak jadi pengen punya anjing golden retriever milik sendiri yang bisa diajak main kapan saja aku suka. Tapi setelah dipikir-pikir, anjing ras macam ini butuh modal lumayan untuk membuatnya tetap lucu dan menggemaskan. Jangan sampai karena diberi makan nasi padang seperti kesukaan majikannya, lantas bulu-bulunya rontok. Kasihan dia nanti.

Selain Alfonso si golden retriever, aku juga sempat berkenalan dengan si rotweiller. Tapi dia begitu pemalu, selalu mencoba menjauh setiap kali kucoba membelai dan menepuk kepalanya. Entah karena takut, atau ada alasan psikologis keanjingan lainnya? Yang jelas, tidak seru rasanya mengajak seekor anjing bermain, atau minimal bersalaman, apabila semakin didekati dia malah semakin menjauh.

Alfonso dan teman-temannya mulai bertugas menjaga Oakwood Plaza belum terlalu lama. Kalau tidak salah, sekitar 2-3 minggu setelah serangan bom di Ritz-Carlton dan J.W. Mariott Hotel. Berhubung lokasinya yang berdekatan, kurang-lebih hanya 100 meter dari tempat kejadian perkara, pihak management Oakwood Plaza sepertinya tidak mau mengambil resiko, dan memilih untuk meningkatkan pengamanan hingga berlapis-lapis. Bayangkan saja, berdasarkan pengamatan sederhana dan perhitungan kasar, paling tidak selalu ada 12-14 orang security guard yang bertugas menjaga dan mengawasi setiap pintu masuk dari area luar (tidak termasuk petugas keamanan yang berjaga di setiap pintu masuk ke dalam setiap establishments). Masing-masing empat orang petugas di area keluar-masuk kendaraan, dan dua orang untuk setiap area keluar-masuk pejalan kaki.

Terlalu berlebihan? Tidak juga. Ini penting mengingat Oakwood Plaza memiliki Loewy, yang menjadi salah satu tujuan favorit bersenang-senang orang-orang asing / ekspatriat di Ibukota. Dan Loewy ini, jujur saja, tanpa pengamanan ketat dari para security guards, akan terlalu terbuka dan rentan untuk menjadi target serangan para bajingan pengecut yang mimpi masuk surga itu. I love hanging out at this place, not only at Loewy, but in the place as a whole. Oleh karena itulah, selalu kuusahakan untuk tidak merasa keberatan dan terganggu setiap kali harus membuka tas di hadapan para petugas pengamanan itu, dan selalu tersenyum setiap kali mereka selesai memeriksa tasku dan mengucapkan terima kasih. Mereka – dengan menyadari segala resiko pekerjaannya – sedang menjalankan tugasnya untuk menjaga keamanan dan kenyamanan para pengunjung Oakwood Plaza. Dan tentunya, bekerja dengan tekun termasuk ibadah, bukan?

Hhmh, jadi pengen bermain-main dengan Alfonso lagi.

Monday, August 17, 2009

Lupa, Lalu Teringat



Tadi pagi, sekali lagi aku lupa membawa kacamata, dan baru menyadarinya saat menyalakan komputer di kantor. Awalnya sempat mengalami kebingungan ketika melihat meja kerjaku, dan tidak menemukan kacamata yang biasanya kalau sedang tidak bertengger di pangkal hidung, tentu sedang tergeletak di atas meja di sebelah keyboard atau di atas mousepad. Satu-dua detik kemudian, baru kusadari kalau kacamata itu ketinggalan di atas meja di depan TV di kamar. Darn!

Ini adalah kejadian kedua dalam satu bulan belakangan ini. Tampaknya sudah menjurus ke stadium parah nih tingkat kelupaan yang ku-”derita”. Padahal kacamata kan jelas-jelas penting sekali bagiku untuk menunjang aktivitas kerja. Koq ya, bisa-bisanya ketinggalan? Itu nyaris seperti keluar rumah dan berjalan-jalan ke mall tapi lupa mengenakan celana dalam.

Aneh? Ternyata tidak juga.

Barusan akhir pekan lalu kualami di gym. Setelah membuka locker dan membuka kaos yang kukenakan untuk diganti dengan kaos khusus berolahraga, barulah tiba-tiba seakan bunyi ”tring!” berdenting di dalam batok kepala, dan aku tersadar kalau ketika bersiap-siap paginya, aku lupa memasukkan celana dalam ganti yang masih bersih ke dalam tas gym. Akhirnya, selesai gym aku pulang dengan going commando.

Beneran pulang? Tidak juga.

Aku malah sempat berjalan-jalan dulu ke sebuah trade center untuk mencari kaos-kaos murah untuk dipakai berolahraga atau sekedar santai saat akhir pekan.

Kata orang, jalan-jalan tanpa mengenakan celana dalam akan berasa adem sedikit.

Kataku? Tidak juga. Parno malah. Takut tiba-tiba mengalami kesialan dan celana robek, dan terpampanglah selangkangan ini. Uh, malu-maluin dan mudah-mudahan tidak akan pernah kejadian.

Tapi kalau kelupaan membawa kacamata dan celana dalam tadi sudah bisa disebut parah, lalu bagaimana dengan kejadian yang kualami pada suatu hari, ketika menjelang tengah hari baru aku menyadari bahwa aku lupa menarik risleting celana panjangku, sejak setelah buang air kecil pagi harinya persis sebelum berangkat keluar kamar?

Astaganaga!

Itu artinya, sepanjang kurang lebih satu kilometer perjalananku ke kantor dengan berjalan kaki dan selama sekian jam hingga aku menyadari kealpaan itu, risleting itu menganga terkewer-kewer?!?!

Rasanya panik dan sungguh malu.

Sepertinya memang tidak ada teman kantor yang memperhatikan "kondisi khusus" tersebut, tapi bagaimana dengan mereka pengguna jalan lainnya? Uff. Mudah-mudahan tak ada orang yang kukenal atau mengenaliku tadi saat aku melintas di depan kendaraan mereka dengan risleting celana yang belum terkaitkan. Mau ditransfer kemana mukaku ini nantinya?



*Image was taken from Allie is Wired The Entertainment Blog,
featuring extreme close up of Brad Pitt's unzipped pants
while he was promoting The Curious Case of Benjamin Button in France.

Wednesday, August 12, 2009

The Pretty Face in Those Stupid YouTube Videos


I saw and walked past a strange looking guy this morning while walking to the office. He looked awful, uncombed hair, wore worn out clothes, has sunburned skin, and unshaven. Simply put, he’s a total mess. He bent down on the sidewalk and wrote on it with a piece of chalk “Effendy”. I don’t know whether he wanted to tell the passerbys his name or else, but obviously, I don’t want to find out.

I saw a strange video in YouTube this afternoon. There’s a young girl in it. Obviously, she recorded the video and uploaded it herself. She also looked like a mess, all teary and runny nose, awfully looking hair. However, one can see that she used to be pretty, even though her sandy colored hair made her look ugly and silly. She started lip-synching to Christina Aguilera’s “Hurt”, which made her cried even more. I noticed in an instant, who she really is. Her recent broke up with his boyfriend already made small ripples in tabloids and gossip shows.

Now, I don’t feel pity or sympathy to that “Effendy” guy, because my mind is too busy thinking about other things. It’s already cluttered with half-baked creative ideas for a pitch for a provider’s new campaign. And come to think of him again, I’m not even half sure that he’s a nut.

As to the the girl in the video? Why should one feel pity towards her? She knew exactly what would come upon her if public watched her videos, yet she still uploaded them to YouTube. The public love to judge others, especially performers and entertainers. And it certainly won’t help being a former child idol, a has been soap opera megastar like you. The public don’t have pity on your “kind”, who we judged as a has been, a used to be, the failed one. You know how much the public is consisted of harsh critics. So when you acting up all like that, we as the public, laughed hard. Everybody loves laughing at losers, your "kind", because that makes us feel better.

My simple advice to you, pretty face in those stupid YouTube videos: cheer up!

I still remember your - supposedly - killer looks while watching the premiere of Sex and The City The Movie, together with your friend Velove. What you really need to get through all this diminishing stardom and subsequent mental breakdown is Mariah Carey. Everyone knows how she had fallen hard from grace, and surprisingly, bounced and made a solid come back. Look at where she is now.

You see, life’s been treating you very well in your childhood and teenage years. Who knows what has been reserved for you in years to come? Just hang on there.

Oh, and one more thing. Never upload other silly videos like the ones you did before this. They’re plain stupid.



Disclaimer: The image above is not the person I'm referring to in this writing.

Tuesday, August 11, 2009

Probably The Only Indonesian Ever to Read "The Mysteries of Pittsburgh"



A guy whom I befriended with in goodreads recently sent me an online message. He noticed that I had just finished reading this novel by Michael Chabon, The Mysteries of Pittsburgh. Apparently, this guy works in a local publishing company. He said that his company wants to translate said novel into Bahasa and subsequently publish it in this country. He also asked me whether I have time to read their translated draft and give comment.

Remembering how I keep breaking promises, even the ones I made myself for my own good, I simply refused. But I gave him a very different reason. I told this guy, that I can’t imagine this novel being published in Indonesia. Not because it dealt with certain issues like the Jewish mob organization or homosexuality among young men (hey, we’ve seen and read enough about them already!), but because it’s probably going to be “religion-sensitive” case.

You see, one of the novel’s supporting characters is an Arab guy who happens to be a quite flamboyant homosexual. I don’t care what Mahmoud Ahmadinedjad said, but different sexual preference is not race-exclusive. What I found most unsettling about this character that might wreak havoc and cause storm of protests among many Indonesians, is because this Arab gay guy’s name is Mohammed – quite similar with the name of Islam's highest prophet.

Even though I have to honestly admit, that if readers set the Arab gay guy issue aside, this novel may make a good read. It has romance (though more about confused love interests between male-male-female), a little bit of action (a chasing scene involving a police helicopter), talks about the search for personal identity and coming-of-age, intimate feelings (losing the one you loved most), and tragic death. To make it short, a complete novel.

Somehow, I found it quite a relief that probably, I’m the only Indonesian who ever read this novel.



Images were taken from various sources, depicting scenes in the movie adaptation of "The Mysteries of Pittsburgh".

Monday, August 10, 2009

Why Would I ?



And when you said those parting words
I was so stunned,
Could not believe I have to accept this fate
Felt like someone just pulled the rope of the black bell and it tolled
Loudly, deafening, and then it stopped abruptly
And then the world fell in silence all of the sudden

You made me wanted to take myself away, far from this place
To somewhere else, near or far, anywhere but here
Where there were lights, shone brightly forever
Where darkness only be seen in strange forms of shadows
Where the end is predictable and controllable, and comes only if you wish for it
Where I don’t have this feeling of needing you by my side

Because why would I want you to be here, just to lose you again?

Monday, August 3, 2009

Simulakra


Masih kuingat dulu ketika baru mulai masuk sekolah dasar, lewat hobinya mengisi teka-teki silang di Kompas Minggu, Bapak ‘menularkan’ hobinya membaca koran kepada kami anak-anaknya. Namun apabila dicoba mengingat-ingat kembali, sebenarnya ketertarikanku itu secara khusus dimulai dari keisenganku menggambarkan kacamata, kumis dan jenggot, serta memberikan tahi lalat di wajah sosok siapa saja yang menjadi foto utama di bawah headline. Biasanya keisengan ini berbuah omelan panjang lebar dari Ibu sebagai respon terhadap keluhan Bapak, yang terkadang masih pula ditambah dengan cubitan-cubitannya yang tajam menyakitkan, tapi entah mengapa, gagal membuatku jera.

Sekian tahun berlalu, akhirnya minat membaca koran yang sesungguhnya dan sebenar-benarnya bertumbuh, meski tentu saja, tidak bisa dan tidak akan kubaca semua artikel yang dicetak di dalam koran edisi manapun. Biasanya, selain berita utama, perhatianku lebih tertuju pada kolom Apa & Siapa, komik setrip serta Obituary. Terkait dengan yang terakhir itu, mohon jangan ditanya mengapa, karena aku tak bisa menjelaskannya. Yang jelas, Kompas Minggu adalah edisi paling menarik buatku untuk dibaca apabila dibandingkan dengan suratkabar lainnya.

Nyaris satu dekade mengonsumsi harian ini tanpa perlu berbagi dengan Bapak, khususnya di setiap edisi Minggu, lama-lama mulai terbaca ”pola” tulisan-tulisan yang dimuatnya. Para penulis (’reguler’ dan ’langganan’ ?) yang artikel-artikel humaniora dan budayanya seringkali dimuat Kompas, nyaris setiap saat mengutip pendapat para filsuf asing, seperti Nietzsche dan Baudrillard.
Jadi teringat dulu ketika masih duduk di bangku kuliah, nama kedua orang ini memang sering didengung-dengungkan oleh para dosen maupun rekan-rekan aktivis, tapi aku tak pernah bisa ingat dalam konteks apa (barangkali, postmodernisme) dan tak bisa peduli mengapa. Apalagi bila ada yang berbicara tentang Dialektika. Hah, makhluk macam apa pula itu?

Saking begitu seringnya nama kedua tokoh filsafat tersebut muncul dalam beragam tulisan dari para penulis yang berbeda-beda, membuatku sering bertanya-tanya sendiri, sebenarnya beliau-beliau ini dijadikan referensi karena konteksnya memang betul-betul cocok dan memperkuat serta memperkaya tulisan-tulisan tersebut, atau hanya karena si penulis ingin bermegah diri dan dianggap intelektual, atau menjadi sebagai semacam syarat tidak tertulis dari Dewan Redaksi Kompas agar tulisan-tulisan tersebut dianggap kredibel??