Showing posts with label independence. Show all posts
Showing posts with label independence. Show all posts

Wednesday, August 19, 2009

Alfonso, Alfonso.


Untuk ‘merayakan’ hari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-64, di minggu hari merdeka kuputuskan untuk membaca satu buku yang kunilai cukup mewakili semangat kebangsaan dan nasionalisme. Judulnya Kopi Merah Putih Obrolan Pahit Manis Indonesia, karya sekumpulan orang yang menamakan diri mereka Indonesia Anonymous.

Berhubung judulnya saja sudah ‘obrolan’, isi buku ini ya semacam rangkuman dari perbincangan iseng ngalor-ngidul tentang hal-hal yang (seharusnya) menjadi isu penting di negeri ini. Namun ternyata, selain topik tentang listrik dan pendidikan, mayoritas pembahasan tidak terlalu menarik perhatianku. Yah, namanya saja ‘obrolan’, tidak memberikan lebih daripada saran-saran ideal. Kurang menarik lah kalau ”cuma” begini doang, pikirku.

Lalu tiba-tiba aku tersentak. Kaget! Bukan karena content buku itu, melainkan oleh benakku yang baru saja mengingatkan bahwa tadi sore buku ini diendus-endus dan dijilat-jilat sampai basah oleh Alfonso. Wedew! Langsung poseku yang tadinya santai membaca sambil tengkurap, bangun dan refleks melempar Kopi ke lantai. Meskipun kemudian, ketika aku teringat satu fakta ilmiah bahwa seharusnya mulut Alfonso lebih bersih daripada mulutku sendiri, dengan perlahan kupungut lagi buku itu dan kembali membalik halaman-halamannya untuk mulai kembali melanjutkan membaca.

Pertanyaan sekarang: Siapakah Alfonso?

Jawaban: seekor anjing golden retriever berusia 8 bulan yang bertugas menjaga Oakwood Plaza, bergiliran dengan seekor doberman dan seekor rotweiller.

Si Alfonso ini lucu sekali! Dia selalu tampak diam-diam saja atau sambil mengendus-endus jalan yang dilaluinya saat dibawa oleh petugas keamanan yang memegang talinya. Tapi begitu bagian kepala dan belakang telinganya digaruk-garuk sambil ditepuk-tepuk, dia akan mulai memperlihatkan sifat aslinya yang lucu. Tidak bisa diam dan minta diajak bermain. Pertama kali kuajak dia bermain saat itu, lenganku digigit-gigit sampai basah berlumuran liurnya. Mungkin karena lengan bawahku terlalu kurus, mirip tulang. Saat hendak kutinggalkan, Alfonso tampaknya malah protes dan mencoba melompat ke tubuhku hingga ia berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Aduh lucunya! Alangkah menggemaskannya!

Mendadak jadi pengen punya anjing golden retriever milik sendiri yang bisa diajak main kapan saja aku suka. Tapi setelah dipikir-pikir, anjing ras macam ini butuh modal lumayan untuk membuatnya tetap lucu dan menggemaskan. Jangan sampai karena diberi makan nasi padang seperti kesukaan majikannya, lantas bulu-bulunya rontok. Kasihan dia nanti.

Selain Alfonso si golden retriever, aku juga sempat berkenalan dengan si rotweiller. Tapi dia begitu pemalu, selalu mencoba menjauh setiap kali kucoba membelai dan menepuk kepalanya. Entah karena takut, atau ada alasan psikologis keanjingan lainnya? Yang jelas, tidak seru rasanya mengajak seekor anjing bermain, atau minimal bersalaman, apabila semakin didekati dia malah semakin menjauh.

Alfonso dan teman-temannya mulai bertugas menjaga Oakwood Plaza belum terlalu lama. Kalau tidak salah, sekitar 2-3 minggu setelah serangan bom di Ritz-Carlton dan J.W. Mariott Hotel. Berhubung lokasinya yang berdekatan, kurang-lebih hanya 100 meter dari tempat kejadian perkara, pihak management Oakwood Plaza sepertinya tidak mau mengambil resiko, dan memilih untuk meningkatkan pengamanan hingga berlapis-lapis. Bayangkan saja, berdasarkan pengamatan sederhana dan perhitungan kasar, paling tidak selalu ada 12-14 orang security guard yang bertugas menjaga dan mengawasi setiap pintu masuk dari area luar (tidak termasuk petugas keamanan yang berjaga di setiap pintu masuk ke dalam setiap establishments). Masing-masing empat orang petugas di area keluar-masuk kendaraan, dan dua orang untuk setiap area keluar-masuk pejalan kaki.

Terlalu berlebihan? Tidak juga. Ini penting mengingat Oakwood Plaza memiliki Loewy, yang menjadi salah satu tujuan favorit bersenang-senang orang-orang asing / ekspatriat di Ibukota. Dan Loewy ini, jujur saja, tanpa pengamanan ketat dari para security guards, akan terlalu terbuka dan rentan untuk menjadi target serangan para bajingan pengecut yang mimpi masuk surga itu. I love hanging out at this place, not only at Loewy, but in the place as a whole. Oleh karena itulah, selalu kuusahakan untuk tidak merasa keberatan dan terganggu setiap kali harus membuka tas di hadapan para petugas pengamanan itu, dan selalu tersenyum setiap kali mereka selesai memeriksa tasku dan mengucapkan terima kasih. Mereka – dengan menyadari segala resiko pekerjaannya – sedang menjalankan tugasnya untuk menjaga keamanan dan kenyamanan para pengunjung Oakwood Plaza. Dan tentunya, bekerja dengan tekun termasuk ibadah, bukan?

Hhmh, jadi pengen bermain-main dengan Alfonso lagi.

Wednesday, December 24, 2008

Menolak Untuk Melupakan Sejarah

Wajah perempuan itu terlihat begitu tua, kulitnya yang berwarna kecoklatan ditandai bintik-bintik hitam dengan guratan keriput pertanda rentang usia yang sudah begitu lama menghirup udara Nusantara. Giginya hanya tinggal beberapa, itu pun seringkali tersembunyi di balik katupan bibir yang dulunya pasti penuh dan merah, namun kini sudah ikut keriput juga. Dengan suara terbata-bata sambil sesekali mengusap air mata yang menggenangi pelupuk mata, perempuan tua itu bertutur tentang pengalamannya mencari suaminya yang sempat menghilang seharian. Suaminya yang kemudian dia temukan menjelang senja dalam kondisi sudah tak lagi bernyawa, tersungkur di sawah yang basah oleh air hujan bercampur darah manusia bersama puluhan mayat lainnya.

Nama perempuan tua itu, Wanti. Malam tadi kulihat dia dalam tayangan ”Nama dan Peristiwa” yang disiarkan oleh tvone. Wanti adalah salah satu janda korban pembantaian Rawa Gede, sebuah desa kecil yang terletak di Karawang, Jawa Barat.

Sekitar 61 tahun yang lalu, saat perundingan Renville terkait penentuan kedaulatan Indonesia baru dimulai satu hari sebelumnya, sepasukan tentara Belanda mengepung desa Rawa Gede, dalam upayanya mencari dan menangkap para tentara pejuang Indonesia yang diperkirakan bersembunyi di desa tersebut. Setiap rumah di Rawa Gede didobrak masuk dan digeladah untuk mencari senjata maupun para pejuang yang barangkali tinggal bersama penduduk.
Seluruh penduduk berjenis kelamin laki-laki di atas usia 15 tahun kemudian dikumpulkan dan digiring ke suatu tempat. Mereka semua dibariskan berjajar dan ditanyai tentang keberadaan para tentara Indonesia. Tak satu lelaki pun mengaku tahu, tak seorang pun bisa menjawab interogasi tentara Belanda itu.
Yang kemudian terjadi adalah, tanpa melalui prosedur pengadilan, tuntutan maupun pembelaan, seluruh lelaki itu diberondong dengan senapan mesin oleh para tentara Belanda. Mereka semua dibantai di tempat. Satu persatu tubuh para lelaki itu roboh ke bumi, meregang nyawa atau mati seketika. Beberapa mayat yang sudah saling menindih bahkan masih ditembaki beberapa kali, untuk meyakinkan bahwa mereka semua sudah mati.
Darah pun mengalir membasahi pertiwi.

Tidak cukup sampai di situ, tentara Belanda masih terus mencari jejak para lelaki yang diduga sempat melarikan diri. Mereka diburu seperti hewan liar, dikejar dengan bantuan anjing pelacak. Setiap lelaki dewasa yang ditemukan, ditembak mati di tempat. Hari itu, 9 Desember 1947, ratusan jiwa penduduk sipil melayang di Rawa Gede.

Malam tadi, menyaksikan penuturan Ibu Wanti tentang hari kelam 61 tahun yang lalu itu, membuat perih hati ini.
Dengan suaranya yang lirih dan semakin terbata-bata sambil terus mengusap air mata, Ibu Wanti bercerita bagaimana seorang tetangganya memberitahu bahwa suaminya tercinta tewas ditembak tentara Belanda. Dalam kondisi tengah hamil 9 bulan, Ibu Wanti ditemani oleh ibunya pergi mencari mayat suaminya. Di bawah derasnya hujan yang dicurahkan langit yang seakan turut menangisi kepergian ratusan lelaki Rawa Gede, Ibu Wanti bersama ibunya terpaksa harus mencari-cari di antara tumpukan mayat lelaki yang saling tumpang tindih di tengah sawah. Dua perempuan ibu dan anak ini, dalam kedukaan yang mendalam, tanpa lelah terus mencari lelaki yang mereka kasihi, bersama dengan puluhan perempuan Rawa Gede lainnya. Setelah mayat suaminya berhasil ditemukan, berdua bersama ibunya, Ibu Wanti harus bersusah payah membawa mayat tersebut kembali ke desa untuk dimakamkan secara Islam. Tak bisa kubayangkan betapa hancurnya hati Ibu Wanti dan ibunya senja itu, karena imam sekaligus pencari nafkah keluarga mereka telah pergi untuk selamanya.

Malam tadi, baru untuk pertama kalinya aku mengetahui ada peristiwa keji semacam ini terjadi di negeriku Indonesia. Tak habis pikir rasanya, mengapa kejahatan perang semacam ini tak pernah masuk dalam catatan peristiwa di buku-buku sejarah yang kupelajari semasa sekolah.
Apakah nyawa ratusan lelaki dari sebuah desa kecil di Karawang yang direnggut paksa tersebut tidak bermakna apapun juga?
Dan mengapa, berdasarkan beberapa wawancara yang ditayangkan dalam program acara malam tadi, Pemerintah kita – termasuk para anggota Dewan terhormat – seakan turut menutup mata dan tidak peduli, tak pernah secara serius memperhatikan nasib mereka dan mendukung upaya advokasi para korban untuk memperkarakan kejahatan perang ini di Mahkamah Internasional?

Apakah sebegitu tidak relevannya bagi bangsa ini, penderitaan yang harus ditanggung oleh para penduduk Rawa Gede yang hidupnya berubah drastis untuk seterusnya, sejak hari naas 9 Desember, 61 tahun yang lalu itu?

Apakah kita ’diharapkan’ lupa pada sejarah perjuangan bangsa ini – serta seluruh pengorbanan yang diserahkan oleh para pendahulu kita – saat berupaya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Negara Indonesia?

Aku memilih untuk tetap ingat. Setidaknya dengan caraku sendiri.
Itulah sebabnya aku membuat tulisan ini.


Wednesday, November 12, 2008

Pilih Sendiri Cara Asyik Nyiapin Kematianmu!



Pernahkah kamu memperhatikan iklan-iklan Obituary yang kalau mau repot-repot dihitung, ternyata setiap harinya menyita cukup banyak space permilimeter kolom di koran-koran nasional? Lazimnya iklan-iklan semacam ini selalu menampilkan deretan nama mereka-mereka yang turut merasakan duka cita dengan meninggalnya sang subjek obituari, entah mereka ini dari kalangan ayah-ibu, suami-istri, anak-ipar, sepupu-keponakan, cucu-cicit, handai taulan-tetangga, dan seterusnya.

Anehnya, dalam beberapa iklan dapat diindikasikan bahwa ada anggota keluarga yang turut berduka cita justru telah terlebih dahulu berpulang daripada subjek yang di-obituari-kan. Padahal apabila menggunakan logika agama atau kepercayaan manapun, bukannya seharusnya para “pendahulu”-nya merasa senang ya, karena dengan wafatnya si subjek obituari, artinya sekarang bertambah lagi temannya untuk melewatkan waktu di alam lain sana?

Satu hal lain yang cukup menarik diperhatikan dalam iklan-iklan obituari ini, biasanya foto yang ditampilkan untuk mengidentifikasi mendiang/almarhum/-ah, adalah foto andalan di masa-masa keemasan yang bersangkutan. Meskipun banyak juga sih yang menampilkan foto-foto di kala sudah memasuki usia senior (untuk tidak mengatakan uzur). Ditengarai, ini bisa jadi adalah pas foto yang bersangkutan ketika mendaftarkan diri untuk pembuatan KTP seumur hidup.

Rada aneh memang. Padahal kan pepatah mengatakan, “In this world, nothing is certain but death and taxes.” Tidak ada yang pasti dalam hidup ini selain kematian dan pajak. Nah, berhubung kematian itu sudah pasti datang, kenapa tidak disiapkan selagi ada waktu luang dan dana ekstra ya? Tentu saja maksud hati bukan menyarankan untuk melakukan tindakan seperti mendiang Suzanna Martha Frederika van Osch, yang telah membeli kafan sekitar 8 tahun sebelum dia berpulang. Tapi kan masih ada hal-hal lain yang terkait.
Misalnya, kalau orang-orang bisa meluangkan waktu, tenaga, konsentrasi dan dana sedemikian banyak untuk bikin foto-foto prewedding, kenapa tidak sekalian menyiapkan foto-foto untuk menyambut momen kematian? Toh biasanya kalau sedang disemayamkan di rumah duka, akan dipajang dalam pigura foto yang bersangkutan, seolah-olah ingin menatap satu-persatu para pelayat. So this already prepared photo must come in handy.
Namun tentu saja ada catatan khusus, yaitu disarankan agar pose si yang meninggal di dalam foto tidak harus serius, atau lebih buruk lagi, malah sengaja diseram-seramkan (secara ada kemungkinan sangat besar yang bersangkutan bukan dari kalangan paranormal, kan?). Itu sih membosankan dan tidak menarik, dan niscaya membuat para pelayat tidak nyaman. Masa kalau pengen didoakan agar diampuni dosanya dan bisa masuk surga, masih nakut-nakutin orang sih?

Jadi teringat dalam salah satu adegan di film yang dibintangi di masa-masa awal karirnya (baca, ketika giginya masih gingsul), Tom Cruise pernah ditugaskan oleh dosennya di sekolah bisnis untuk menulis sendiri obituarinya. Penilaian utama diberikan berdasarkan content materi ”jualan” yang bersangkutan tentang dirinya sendiri di masa ketika masih hidup.
Hal ini sesungguhnya menarik untuk dicermati dan dilakukan di masa kini, apalagi bagi mereka-mereka yang sangat mementingkan citra positif di masa-masa semasih hidup, sampai tidak sungkan mengeluarkan dana superekstra untuk menghadiri acara-acara sosialita (minimal, gaun yang dikenakan di setiap acara harus beda) demi bisa terpajang di halaman Tatler, dewi maupun Prestige. Karena seperti kata pepatah, ”Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang”. Kalau manusia yang is dead? Ya tinggalkan citra diri yang positif dong.

Nah, barangkali yang bisa menjadi salah satu alternatif demi menjaga kelanggengan citra positif ini, misalnya kalau calon migran antar-alam maupun ahli warisnya punya dana super berlebih dan canggung meninggalkan gaya hidup bermewah-mewah yang terlanjur diakrabi, sembari mungkin berpikir panjang nantinya ingin memudahkan anak cucu cicit berziarah dengan nyaman, bisa pilih-pilih kapling di San Diego Hill Memorial Park and Funeral Homes. Bayangkan saja, tagline produk properti ini saja sudah sangat menjanjikan ketenangan dan eksklusifitas : “There is no other cemetery like this.” Mantap ya?!

Jadi artinya, tidaklah perlu sampai harus memaksa-maksa diberikan tempat peristirahatan terakhir di salah satu taman makam pahlawan yang tersebar di seluruh negeri ini kok, hanya demi sebuah branding nama besar / nama baik. Sekedar untuk dijadikan pembanding, almarhum Bung Tomo yang tersohor berkat ketegasan sikap dan kepemimpinannya dalam perang mempertahankan kemerdekaan Republik di Surabaya, 10 November 1945 saja, tidak mendapatkan gelar pahlawan nasional hingga tahun ini.

Nah, apalagi bagi mereka – mudah-mudahan saja bukan Anda – yang bayar pajak kepada negara ini secara jujur saja masih enggan, masa masih ingin mendapatkan perlakuan lebih istimewa? Nanti apa kata dunia?