Sunday, June 29, 2008

Kirim Aku Bunga


Yap! Betul banget kalau dugaanmu seperti itu. Yang jadi judul entry kali ini diambil dari judul lagu salah satu group band terkeren negeri ini, Slank. Seperti biasa dengan lagu-lagu band ini, lirik lagu "Kirim Aku Bunga" emang asyik dan bermakna dalam getoh. Terus apa dong hubungannya dengan apa yang mau kutulis sekarang ini? Ga terlalu berkorelasi positif sih, soalnya cuma lagi pengen aja ngambil frase yang catchy gitu yang ada kata "bunga"-nya. Karena menurut petunjuk Bapak Presiden, hehehe ... – maaf ya Pak Harmoko yth., your era has long gone, cuma rada garing-garing kocak aja kalo balik ke masa jadul itu – anyway, sebenarnya yang mau aku sampaikan, menurut saran dari Bapak Stefan, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia-ku di era sekolah menengah dulu, kalau mau tulisannya dibaca harus bisa menarik perhatian (calon) pembaca, dan itu tentunya butuh judul yang okeh. Jadilah kupakai judul semacam di atas itu. Nah, terus sekarang mau ngomongin apaan seh, you may ask. Sebenarnya sih memang mau ngomongin soal bunga. Tapi bukan bunga yang tumbuh-tumbuhan itu, karena tulisan ini ga ada kaitannya dengan tangkai kelopak putik benang sari dan segala macamnya itu, tapi mau ngrasani bunga yang artis itu. Iyaaa, yang juga ngetop dengan nama panggilan BCL. Sudah pada tahu dongs. Nah pertanyaannya sekarang, apa yang mau dibahas dari dara manis-manis manja group ini? (Disclaimer: BCL bukan merupakan salah satu anggota kwartet dangdut era 90-an awal itu) Satu hal yang rada-rada kurang penting juga sih. Masa semalam tuh aku mimpi, mimpi aneh sekali. Apa isinya? Sudah ga terlalu penting, dan emang rada-rada lupa juga apa persisnya, jadi ga perlu juga ditanyain karena ga bakalan dapat jawaban. Cuma garis besarnya doang yang masih bisa direka ulang. Jadi begini ceritanya ... (*dengan mimik serius a la narasumber serial cerita horor yang dulu sempat ngetop di RCTI*) Masa ya dalam mimpi aneh itu, aku ternyata berhubungan cukup dekat dengan si Bunga ini. Kurang lebih ya seperti orang pacaran gitu lah hubungannya, rutin nge-date dan semacamnya. Rada ga penting ya menurut kamu, secara BCL sekarang lagi seru-serunya dikabarkan berpacaran dengan cowok Malaysia itu? Ya terserah. Menurut aku sih jadi patut dipertanyakan saja mengapa bisa sampai demikian, soalnya ini adalah mimpi bersama selebriti-ku yang pertama, setidaknya dalam hitungan 3-4 tahunan belakangan ini. Dan dari sekian banyak artis atau selebritis yang pernah kubersua baik karena urusan pekerjaan maupun akibat pergaulan metropolis, atau yang hanya sekedar pernah lihat lewat layar kaca, masa yang dipilih alam bawah sadarku untuk dimimpikan adalah Bunga? Padahal ketemu BCL di Kemang juga waktu itu hanya karena kebetulan basa-basi belaka. Ngobrol juga engga kejadian. Makanya jadi aneh aja. Nah yang bikin bingung bin heran bin tak kuasa untuk berkata-kata, adalah karena di dalam mimpi itu ya, aku bisa sampai menganggap di antara kami berdua ada hubungan khusus, karena - lupa bagaimana awal mulanya - mendadak saja di dalam sebuah ruangan seperti rumah mewah gitu, si Bunga ini marah-marah kepadaku kaya akting dalam sinetron gitu, awalnya pakai mata melotot-lotot dan suara kenceng, tapi terus dia reduced to tears, nangis sesenggukan gitu. Terus aku jadi merasa sangat bersalah dan buat menenangkan Bunga, kurengkuh tubuhnya dan kupeluklah dia. Ciee ciee ... Jadi kaya adegan di film-film romantis ga penting itu, menangis di dalam pelukan. Abis itu aku terbangun dengan perasaan bingung dan penasaran karena akibat terbangun mendadak itu malahan jadi ga tau lanjutan mimpinya gimana. Adakah kiranya teman-teman yang membaca entry ini yang bisa membantuku mencari-tahu atau bahkan bisa bantu beri jawabannya ga? Mungkin kalau sudah kondisi penasaran kaya gini, bukan Bunga yang kubutuhkan - secara ga mungkin aja kan yaaa ..., plus ntar masuk infotainment pula - tapi berikan saja aku Yusuf. Bukan sembarang Yusuf, apalagi Yusuf anak Dokter Roland Siregar itu, karena aku saat ini justru sedang refer to that prophet yang memiliki kemampuan menafsirkan mimpi. Buat yang beragama Yahudi, Kristen maupun Islam (atau dibesarkan dengan mendapatkan pendidikan salah satu dari ketiga agama tersebut), tentu mengerti Yusuf mana yang aku maksud. Namun untuk bisa mendapatkan akses personal ke kedua sosok yang telah disebut di atas sama-sama impossible, yah minimal siapalah gitu yang punya kemampuan juga untuk tafsir mimpi bisa menolongku? Tapi please jangan suruh aku merujuk pada sumber-sumber literatur karya Sigmund Freud, apalagi mengharap dapat jawaban dari pembaca primbon yang minta sesajen kembang tujuh rupa (jadi teringat Suzanna di film Hantu Ambulance) atau sejenisnya. Karena yang terakhir itu lebih ga mungkin lagi secara emang ga percaya getoh. Tapi kalau bisa sih, jangan Ida juga yang tampil dan menawarkan bantuan sukarela, secara dia lebih sering tidak tepat dalam mengartikan mimpi aneh-aneh yang kualami (maaf ya, da!). Tapi menurut kamu yang baca entry ini, aneh ga sih kalau aku sampai mimpiin Bunga? Mudah-mudahan saja tidak yaa ...

Friday, June 27, 2008

One More Time, One More Chance




I'm always searching for your figure to appear somewhere
On the opposite platform, in the windows off the street,
Even though I know you couldn't be at such a place
If my wish were to come true, I would go to your side right now
There would be nothing I couldn't do
I would put everything on the line and hold you tight

If I just wanted to avoid loneliness, anybody would have been enough
Because the night looks like the stars will fall, I cannot lie to myself
One more time, oh seasons, fade not
One more time, when we were messing around

I'm always searching for your figure to appear somewhere
At a street crossing, or in the midst of dreams
Even though I know you couldn't be at such a place
If a miracle were to happen here, I would show you right away
The new morning who I'll be from now on
And the words I never said: "I love you"

The memories of summer are revolving
The throbbing which suddenly disappeared

I'm always searching for your figure to appear somewhere
In the town at dawn, at Sakuragi-cho
Even though I know you wouldn't come to such place

If my wish were to come true, I would go to your side right now
There would be nothing I couldn't do
I would put everything on the line and hold you tight

I'm always searching for fragments of you to appear somewhere
In a stone during my travels, in the corner of a newspaper
Even though I know you couldn't be at such a place
If a miracle were to happen here, I would show you right away
The new morning who I'll be from now on
And the words I never said "I love you"

I always end up looking for your smile to appear somewhere
At the railroad crossing waiting for the express to pass
Even though I know you couldn't be at such a place
If our lives could be repeated, I would be at your side everytime
I would want nothing else
Nothing matters except for you




Thursday, June 26, 2008

Pesan untuk Si Gembul



Si Gembul akan berlibur bersama sahabat-sahabatnya akhir pekan ini di Bali, sekaligus untuk merayakan bulan madu bersama pasangan sahabatnya yang akan menikah besok di Hotel Mulia, Senayan.

Mudah-mudahan saat menikmati liburan selama 4 hari 3 malam di Pulau Dewata tersebut, dia bisa mewujudkan cita-citanya, memiliki kulit berwarna tan, meskipun belum tentu akan bertahan lama di tubuhnya. Barangkali sesungguhnya memang sudah menjadi takdirnya untuk tetap berkulit putih.
Ha! Ha!

Selamat berlibur, Gembul!


P.S.: Jangan sampai lupa membawakan oleh-oleh seru yang spesial untukku.

Wednesday, June 25, 2008

A Little Extra Attention is Very O.K. !

Menjelang ulang-tahunku yang ke … - hmm, sebaiknya tidak perlu disebutkan di sini biar tetap (berkesan sok) misterius – di awal tahun ini, beberapa orang menyempatkan diri untuk bertanya apa yang kuinginkan sebagai hadiah.

Secara bercanda kukatakan bahwa sayang sekali aku bukanlah anggota keluarga kerajaan Inggris Raya, karena kalau iya, aku tentu akan memberikan mereka daftar hadiah-hadiah yang diinginkan untuk merayakan ulang-tahunku, sort of my wishlist.
Waktu didesak lebih lanjut, kukatakan pada mereka bahwa aku menerima hadiah apa saja. Seikhlas orang yang mau memberi.

Kecuali pada R. Waktu dia menelpon untuk bertanya hadiah ulang tahun macam apa yang kuinginkan kali ini, secara jujur terbuka dan apa adanya kuceritakan padanya bahwa waktu lagi mengantarkan teman-teman perempuan berburu baju-baju murah meriah di ITC beberapa waktu lalu, aku sempat melihat boneka beruang lucu. Bentuknya sangat sederhana dan dibuat dari bahan kain berwarna coklat susu, dengan motif daun dan bunga yang seakan memberikan aksen pada kulitnya. Tangan dan kakinya bisa digerakkan 360° karena dihubungkan ke tubuh boneka dengan semacam engsel yang dibuat dari benda yang mirip potongan batok kelapa berukuran sebesar koin 100 rupiah lama. Untuk boneka beruang berukuran sedang, harganya hanya 80 ribu perak dan itupun kemungkinan besar masih bisa ditawar.
Waktu itu meskipun kepengen banget, tapi aku malu membelinya untuk diri sendiri. Sebab perempuan-perempuan itu pastinya akan bertanya-tanya untuk siapa boneka beruang lucu itu kubelikan. Karena mereka tahu saat itu aku sedang tidak berhubungan asmara dengan siapapun yang rasanya pantas diberi hadiah selucu dan menggemaskan itu.
Jadilah hanya kepada R aku mengadu. Loh, kok kedengarannya jadi seperti lirik lagu cengeng ya? Anyway, dia berjanji akan mencoba melakukan apapun yang dia bisa. Maklumlah, dia kan tidak tinggal di negara ini.

Haha! Aku pasti terdengar sangat konyol ya, menceritakan hal sesepele itu kepada orang lain.
Sebenarnya aku pengennya ada orang yang begitu baiknya kepadaku lalu memberikan hadiah laptop canggih dan keren, serta harus enteng sehingga bisa gampang masuk tas dan dibawa kemana-mana. Seperti yang diterima Sarah Sechan sebagai hadiah ulang-tahun. Tapi itu tentu tidak bisa dicontoh apalagi diharapkan. Soalnya yang memberikan hadiah itu kepadanya adalah ... suaminya sendiri! Hehehe ...

Lalu seorang kolega bertanya, hadiah macam apa yang kumau untuk ulang-tahunku kali ini. Mungkin dia masih merasa tidak enak karena beberapa waktu sebelumnya aku memberikan hadiah buku ensiklopedi untuk anaknya yang masih kecil. Harganya sih memang beberapa ratus ribu. Waktu itu kupikir harga hadiah dariku barangkali tidak akan semahal hadiah dari orang-orang lain. Sampai waktu acara ulang tahun si bocah, ternyata ... well. Ya gitu deh.
Bukannya mau sombong sih di sini, dan memang tidak pada tempatnya juga mengungkit-ungkit harga hadiah yang kita berikan untuk orang lain. Itu tidak pada tempatnya, dan artinya ga ikhlas juga memberi. Setidaknya itulah pendapatku pribadi.
Kembali ke cerita, akhirnya si ibu ini bercerita, sehari sebelumnya saat dia sedang berada di aksara Kemang, dia teringat untuk membelikan hadiah buku untukku. Biar lebih gampang aja, katanya. Namun kemudian saat keluar toko, ternyata dia batal membeli apapun.
Karena saat melihat deretan rak penuh berisi buku, dia malah jadi bingung sendiri dan takut malah membelikan buku yang aku tidak suka atau malah sudah punya atau sudah baca.
Lalu kukatakan padanya, harusnya lihat dari account goodreads-ku saja. Di situ aku membuat satu shelf – istilah mereka untuk pengklasifikasian buku sesuka hati menurut selera si pemilik akun – khusus berjudul ”wishlist”.




Tinggal buka section itu dan, voila! Terbukalah di hadapannya alternatif hadiah yang kuinginkan. tinggal pilih apa judulnya. Karena memang semuanya buku.
Tapi tentu saja buat kolegaku ini, usulanku itu sama sekali tidak praktis.
Lantas yang dilakukannya adalah menggratiskan celana panjang khaki yang tempo hari dia jahitkan untukku. Lumayan banget, secara waktu itu dia bilang harganya, termasuk bahan, kurang-lebih 175 ribu. Padahal itu celana sudah jadi dan kupakai sejak sekitar 3 bulan sebelumnya. Aku sih hepi-hepi saja diberi celana panjang gratis dan bagus pula. Ha! Ha! Orang yang ga mau rugi banget ya.

Tapi sebenarnya untuk yang beginian aku paling sering merasa parno sendiri. Seringkali merasa ga enakan. Dan takut kalau sampai dicap matre gara-gara pengennya dapat hadiah-hadiah mahal.
Padahal, kenyataannya aku paling jarang menilai hadiah dari price tag nya. Hampir selalu memberikan perhatian lebih besar pada keunikan dan manfaat hadiah tersebut. Serta niat yang memberi. Semakin tulus dan tanpa dikaitkan dengan maksud-maksud terselubung, semakin baik. Karena siapa sih orang yang tidak senang mendapatkan perhatian dari orang lain?
Seperti hadiah tote bag bergambar spaniard dari Indra yang dibelinya di Bangkok. Dia cuma bilang harganya murah tanpa menjadi lebih spesifik. Dan kuingat waktu itu dia agak malu dan sedikit ragu pas memberikannya. Barangkali dia pikir aku akan kecewa diberi oleh-oleh seperti itu. Tapi dia salah besar, karena aku suka. Simpel dan unik. Just like me. *wink!*

Friday, June 20, 2008

It's Very Hard Out There for Refugees


Is there a time for keeping your distance
A time to turn your eyes away
Is there a time for keeping your head down
For getting on with your day


Setiap tanggal 20 Juni, kita diajak mengingat nasib para pengungsi. Hal ini karena Perserikatan Bangsa-Bangsa, melalui Resolusi Majelis Umum pada tahun 2000, menetapkan tanggal tersebut sebagai Hari Pengungsi Sedunia - World Refugee Day. Menurut Wikipedia, tanggal 20 Juni sebelumnya diperingati sebagai Hari Pengungsi Afrika di sejumlah negara di benua tersebut. Dan masih menurut sumber yang sama, penduduk Inggris Raya memperingati World Refugee Day ini sebagai bagian dari Minggu Pengungsi – Refugee Week, yaitu sebuah festival berskala nasional yang ditujukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap dan merayakan kontribusi budaya dari para pengungsi. Menarik.

Barangkali bagi banyak orang di sekitarku, persoalan pengungsi adalah satu masalah yang tidak nyata. Karena para pengungsi dipersepsikan sebagai sekumpulan orang bernasib sial yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka yang entah bagaimana kondisi sebelumnya – karena memang tidak pernah didatangi secara langsung oleh ‘pihak pengamat’ – menuju tempat lain yang juga tidak begitu jelas kondisinya (bagi ‘pengamat’ ybs.). Or perhaps, we’re simply being ignorant.
Atau barangkali media massa yang seringkali mengekspos penderitaan para pengungsi ini juga bisa jadi penyebabnya. Mengingatkanku pada penggambaran dalam salah satu cerpen Jhumpa Lahiri di dalam bukunya yang meraih penghargaan Pulitzer, The Interpreter of Maladies. Penderitaan para korban perang India melawan Pakistan di daerah pengungsian pada awalnya menjadi topik utama berita malam, yang disaksikan oleh satu keluarga imigran India ini di layar televisi saat menikmati makan malam. Seiring perjalanan waktu, porsi berita tersebut makin bergeser ke segmen berikutnya, hingga akhirnya menghilang sama sekali dari berita malam karena dimasukkan ke dalam berita larut malam yang penontonnya tidak banyak. Alasannya gampang, pemirsa yang sebelumnya memiliki interest tinggi mulai bosan disuguhi berita konflik yang itu-itu saja.
Keadaan yang mirip juga terjadi dulu ketika TVRI adalah satu-satunya stasiun televisi negeri ini yang berhak memproduksi siaran berita. Masih kuingat ketika itu aku masih duduk di sekolah dasar, dan berita TVRI dari international desk mereka baru dipancarluaskan pukul 21.00 WIB. Waktu itu beberapa kali tugas dari sekolah adalah menonton berita malam untuk kemudian dilaporkan ulang dalam pelajaran bahasa. Berhubung aku masihlah seorang anak kecil dan selalu makan makanan dengan teratur dan sehat – tidak mengandung banyak gula yang membuat orang cenderung hiperaktif akibat “overdosis” gula (sugar high) – jadinya jam 9 malam sudah terkantuk-kantuk saja. Meskipun demikian, tetap dipaksakan untuk menonton berita malam dengan ditemani Bapak yang asyik membaca koran, semata-mata agar keesokan harinya tidak dihukum berdiri di depan kelas karena tidak mengerjakan tugas laporan.
Masa itu adalah ketika Republik Yugoslavia bentukan mendiang Tito pecah menjadi negara-negara kecil yang sepertinya – kalau ingatanku tidak keliru – kebanyakan dibentuk berdasarkan basis mayoritas etnisitas penghuni kawasan geografis tertentu. Pokoknya masa itu peta seluruh dunia mendadBosnia-ak kedaluarsa, seiring terbentuknya negara-negara baru seperti Serbia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro, Macedonia dan entah apalagi. Lalu di antara negara-negara ini mulai sibuk saling memerangi satu dengan yang lain. Yang masih kuingat, sepanjang tahun, mas-mas dan mbak-mbak pembaca berita TVRI (say hello to the legendary Tengku Malinda !) mengakrabkan pemirsa dengan nama-nama Balkan, serta tragedi kemanusiaan yang membuatku ngeri sendiri untuk membayangkannya. Setiap malam, yang terlihat selalu tentara berbaris, deretan tank, senjata yang meletus, gedung-gedung hancur tak berbentuk atau habis dilalap api dengan asap membubung tinggi. Juga orang-orang tua, ibu-ibu dan anak-anak bermuka cemong berbaju rombeng sedang menangis. Menyedihkan, tapi entah mengapa, saat itu bagiku mereka terasa kurang nyata. Mungkin karena semuanya terjadi di belahan bumi yang berbeda, atau bisa jadi karena warna kulit kami yang tidak sama.
Kesan yang kurang-lebih mirip juga masih kudapatkan saat “berkenalan” untuk pertama kalinya dengan Christianne Amanpour, jurnalis CNN yang melaporkan langsung dari Goma. Dengan logat bahasa Inggrisnya yang kental, mungkin aksen Mediterania, setiap hari layar televisi keluarga kami disesaki oleh gerombolan manusia berkulit hitam, para pengungsi etnis Hutu yang melarikan diri dari ancaman genosida di Rwanda. Sepanjang jalan, yang diperlihatkan kepada kami adalah ribuan manusia berbaris berjalan kaki dengan memanggul barang apapun semampu mereka, atau puluhan tentara yang sedang menyandang senjata dengan muka bengis dan tatapan beringas, atau gelimpangan mayat yang berserakan di mana saja seperti ratusan lalat yang menemui ajalnya akibat disemprot insektisida lantas bangkai-bangkainya dibiarkan begitu saja di tempat mereka jatuh dari langit. Tidak beraturan. Mengerikan, karena sepertinya tidak ada seorangpun yang merasa berkepentingan untuk membereskan semuanya hingga menguburkan seluruh mayat tersebut. Saat itulah, dan barangkali seiring pertambahan usia juga, aku mulai mengerti seutuhnya betapa sangat tidak enaknya hidup sebagai pengungsi. Dan sepertinya sejak saat itu respon otakku adalah secara otomatis memblokade pemikiran-pemikiran tentang penderitaan para pengungsi, sehingga rasa simpati terhadap penderitaan manusia lainnya itu menghilang entah ke mana.

Hingga satu ketika, saat aku masih di tahun ketiga universitas. Hari itu aku kebetulan mengunjungi sebuah pameran buku, dan mataku tertuju pada salah satu buku fotografi yang didiskon, kompilasi foto-foto pemenang penghargaan World Press Photo tahun 1990-an. Di dalamnya, untuk bagian foto berita – yaitu serangkaian foto dari satu topik yang sama – mataku kembali melihat mereka, para pengungsi Rwanda. Salah satu foto yang kemudian sukar kulupakan memperlihatkan orang-orang dewasa yang berlarian dan dua orang bocah hitam yang meringkuk menangis dengan wajah sangat ketakutan. Teks yang menyertai foto tersebut menjelaskan bahwa foto diambil ketika tentara Tutsi menyerbu masuk kamp pengungsi dan menembaki mereka secara membabi-buta. Usai membaca teks tersebut mataku kembali terpaku pada ekspresi kedua bocah tersebut. Entah bagaimana persis terjadinya, tapi kuingat saat itu mataku berkaca-kaca, dan aku harus buru-buru mendongak sambil mengerjapkan kelopak mata beberapa kali, berpura-pura seolah mataku perih akibat kebanyakan membaca, padahal sebenarnya ingin mencegah agar jangan sampai orang-orang tahu aku sangat tersentuh melihat foto itu. So as not to let my softer side shows.

Akan tetapi, foto-foto peraih penghargaan tersebut bisa jadi mewakili perasaan kebanyakan orang mengapa mereka – dan aku juga – mengalihkan pandangan dan pikiran dari penderitaan para pengungsi. Karena foto-foto tersebut seakan mengingatkan kita pada betapa rapuhnya hidup ini. Karena foto-foto tersebut bisa membuat kita merasa tidak nyaman akan kenikmatan hidup yang sedang kita rayakan, sementara kita tahu dan sadar sepenuhnya bahwa pada saat yang sama, di belahan bumi yang lain, ada orang-orang yang bahkan belum tentu bisa makan tiga kali sehari karena mereka tidak memiliki apapun selain pakaian yang melekat di badanm karena mereka terpaksa menjadi pengungsi, dan karena terbuang dari tempat tinggal mereka sendiri.


Is there a time for kohl and lipstick
A time for curling hair
Is there a time for high street shopping
To find the right dress to wear


Hidup sebagai pengungsi sudah pasti tidak enak. Barangkali itu menjadi sebab mengapa – mungkin – banyak orang di sekitar kita, dan barangkali diri kita sendiri, masih ‘bersyukur’ bahwa para pengungsi tersebut hadir dalam kehidupan kita melalui medium perantara.
Para pengungsi ini hanyalah sekumpulan orang-orang bernasib sangat sial yang tampil di foto-foto di koran dan majalah, atau terlihat lebih hidup lewat tayangan siaran berita. Kalau tidak suka melihat mereka, lempar saja korannya jauh-jauh, tutup dan singkirkan majalahnya, atau ganti channel televisinya. Begitu mudahnya untuk menyingkirkan mereka dari hidup kita. Para pengungsi ini menjadi tidak nyata karena kita tidak bisa lagi melihat mereka.


Is there a time to run for cover
A time for kiss and tell
Is there a time for different colours
Different names you find it hard to spell


Dulu saat masih kuliah dan sedang berkutat dengan ide-ide untuk diajukan sebagai topik penelitian skripsi, masih kuingat salah-satu topik yang kuajukan adalah mengenai masalah pengungsi Afghanistan.
Saat itu rejim Taliban masih berkuasa, dan mereka baru saja menghancurleburkan patung-patung raksasa Buddha tanpa menghiraukan imbauan masyarakat internasional untuk membiarkan keberadaan warisan budaya dunia tersebut sebagaimana adanya. Ketika itu, sesiapapun yang berbicara tentang serbuan pasukan gabungan Amerika Serikat dan sekutunya masuk ke Afghanistan pasti akan dipandang sebagai seruan nabi palsu di tengah gersangnya padang gurun.
Alasan personal-ku memilih topik tersebut adalah karena kupikir seharusnya ini akan menjadi topik penelitian yang tidak terlalu sulit, cukup dengan membaca sumber-sumber sekunder: media massa. Memang saat itu aku sedang ingin mencari yang gampangnya saja, yang penting bisa tulis skripsi cepat agar bisa cepat sidang sehingga bisa cepat meraih gelar sarjana, yang artinya sukses memenuhi salah satu amanat orang tua.

Entah mengapa, saat itu aku benar-benar lupa bahwa dulu sekali, ketika aku masih kecil dan duduk di bangku sekolah dasar, keluargaku pernah menerima satu keluarga utuh, dalam artian kedua orang-tua berikut seluruh anaknya, untuk tinggal bersama kami. Keluarga ini sesungguhnya merupakan kerabat jauh. Mereka terpaksa mengungsi dari tempat tinggal mereka akibat kerusuhan berbau agama yang merembet ke antarsuku, dan kabarnya saat itu sudah sampai memakan korban jiwa.
Malam sebelum menerima mereka, Bapak dan Ibu mengumpulkan kami semua di ruang tengah lantas memberikan wejangan-wejangan singkat yang intinya adalah melarang kami untuk menyebut mereka menumpang hidup di rumah kami, semata demi menjaga perasaan mereka. Meskipun kenyataannya, ya memang demikian keadaannya: mereka menumpang.
Aku tidak melihat bagaimana riuhnya saat mereka tiba, karena kejadiannya waktu aku masih di sekolah. Yang kuingat, sepulangnya dari sekolah dan saat baru turun dari bis sekolah, terlihat ada beberapa barang yang tergeletak di halaman rumah kami yang paginya saat aku berangkat sekolah, semua barang itu masih belum ada di sana. Mulai dari sepeda motor hingga antenna parabola!
Masuk ke dalam rumah, ada banyak orang tak kukenal. Lalu aku diperkenalkan kepada mereka. Entah siapalah, sekarang aku bahkan tidak bisa ingat wajah-wajah mereka, apalagi jika diminta menyebutkan namanya. Ada satu keluarga sedang duduk-duduk di ruang makan keluarga kami, lalu saat aku beranjak ke ruang tengah, ada juga dua orang anak kecil sedang menonton televisi. Katanya sih mereka berdua masih terhitung saudara sepupu jauhku. Membosankan, karena mereka tampak bukan jenis yang bisa asyik diajak main, sebab mereka berkulit gelap akibat terbakar matahari, dan seakan untuk menegaskan ‘kecurigaan’-ku itu, mereka memang berbau matahari.

Tidak butuh seminggu untuk membuatku kesal pada keberadaan mereka di antara kami.
Si Ayah doyan bersendawa di meja makan. Membuatku kesal karena justru Bapak sangat melarang keras kami membuat bebunyian ketika makan malam bersama, ya, bahkan sedapat mungkin harus meminimalisir bunyi sendok dan garpu yang beradu dengan piring keramik. Tapi dengan kerabat ini, Bapak diam saja melihat tingkah polahnya. Anak-anak mereka makan sambil berdecap dengan berisik, seolah tidak bisa makan sambil menutup mulut ketika mengunyah, ditambah kegemaran mereka mengaduk-aduk dan bermain dengan makanan di dalam piring di hadapan mereka.
Belum lagi saat menonton televisi, anak-anak ini akan berkeras untuk menonton program kesenangan mereka, sama sekali tidak mau mengalah pada anak tuan rumah. Menyebalkan. Mentang-mentang ”hosting tamu” masa otomatis harus menerima semua dengan lapang dada? Nonsense!
Lantas ada pula anaknya yang tertua, saat itu kira-kira seusia SMA tapi terpaksa tidak bersekolah dulu untuk sementara waktu karena sekolahnya ditutup akibat kerusuhan, mengomentari dengan nada negatif layar televisi kami yang kecil dan tidak memuaskan pandangan matanya, karena dia terbiasa menonton acara televisi di layar lebih lebar seperti yang ada di rumahnya. Semakin menyebalkan saja!
Aku tidak mengerti kenapa kedua orangtua ku bisa bersabar menghadapi tingkah-polah keluarga ini, karena aku tidak. Barangkali pertimbangan kedua orangtuaku saat itu adalah faktor kemanusiaan, karena sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk menolong orang lain yang sedang mengalami kesusahan. Terlebih lagi karena kami masih memiliki hubungan kekerabatan.

Namun bagi seorang anak kecil seperti diriku saat itu, mau ada hubungan saudara atau bukan, kalau sudah dipandang mengganggu dan masuk tahap menyebalkan yang perlu diberi pelajaran, ya ajak berantem aja sekalian! Tak memikirkan masalah kepekaan sama sekali. Biarlah itu menjadi urusan orang-orang dewasa saja.
Seingatku saat itu kurang lebih baru lewat satu minggu sejak mereka menjadi penghuni baru di rumah kami ketika akhirnya aku mulai bertengkar dengan anak-anak mereka yang kecil. Tidak sampai adu pukul berdarah-darah dan lebam-lebam, tapi sangat jelas memperlihatkan bibit konflik yang berpeluang meledak dalam skala lebih besar lagi.

Untung saja saat itu tanpa sepengetahuanku, kondisi keamanan mulai berangsur pulih sehingga tak lama kemudian keluarga ini bisa kembali ke rumah mereka dengan membawa serta tumpukan harta-benda mereka yang sempat memenuhi rumah dan halaman kami. Aku bisa bebas untuk kembali bermain dengan semua mainanku seperti sediakala tanpa diharuskan membaginya dengan para sepupu jauhku itu (such a spoiled egoistical little kid, ha! ha!) maupun mengajak mereka bermain bersama. Habisnya cara mereka bermain ga asyik dan ga imajinatif sih, masa main perang-perangan dengan tentara-tentaraan plastik tanpa disertai cerita asal-muasal latar-belakang penyebab terjadinya konflik bersenjata itu sendiri?
Waktu mereka masih tinggal di rumah kami, satu saat ketika ketidaksukaanku sudah nyaris mencapai titik kulminasi, aku bahkan sempat berharap ada orang Samaria yang baik hati kebetulan lewat di depan rumah kami dan lantas memutuskan bersedia menampung keluarga menyebalkan ini berikut segala kebawelan dan tingkah-laku ajaib setiap anggota keluarganya yang menjengkelkan itu. Biar sajalah aku menjadi orang Farisi yang terus berjalan lewat dan pura-pura tidak melihat. Untuk hal yang satu ini, aku yakin sanggup melakukannya dan jelas-jelas rela menanggung risikonya nanti, ketika dijadikan contoh tingkahlaku tidak baik.


Is there a time for first communion
A time for East Seventeen
Is there a time to turn to Mecca
Is there time to be a beauty queen


But now, everything has changed.
Even though I don’t know what changed me and when it happened exactly, but am pretty sure I’ve changed my position and opinion about this refugee issue. Barangkali terjadinya seiring pertambahan usia dan peningkatan kedewasaan jiwa. Atau karena melihat beberapa contoh orang-orang sukses dan ternama yang berprestasi, yang dalam perjalanan hidupnya sempat menjadi pengungsi.
Yang jelas, sekarang kalau lihat laporan berita tentang penderitaan para pengungsi, jadi sedih.
Meskipun jelas kalau sekedar sedih doang, tidak akan membantu mengurangi penderitaan para pengungsi tersebut. Sama seperti pesan layanan masyarakat yang dibintangi Angelina Jolie berikut ini.





Salah satu pengguna YouTube meninggalkan komentar menyindir, yang memang tepat dialamatkan untuk PSA ini. Kurang lebih katanya, “... just thinking of them won’t change anything.”; buat menanggapi closing statement dari Ms. Jolie. Well, I couldn’t agree more.
Yang dibutuhkan dalam situasi semacam ini adalah tindakan nyata, dan segera.
Namun terkadang, dalam kondisi tertentu, justru kesulitan memberikan bantuan itu dikondisikan sendiri secara sengaja oleh sekelompok manusia berjudul pemerintah. Ingat saja para korban badai Nargis di Myanmar, atau yang baru-baru ini kubaca dari laporan majalah Time, bahwa Presiden Zimbabwe sengaja membiarkan rakyatnya menderita dan mati perlahan namun pasti – sedangkan bagi mereka yang bernasib lebih baik akan eksodus ke negara-negara tetangga seperti Afrika Selatan. Membuatku tidak habis pikir, kok ada ya pemerintah yang setega itu? Tapi bisa jadi hal ini tidak ada kait-mengait dengan masalah perasaan tega. Barangkali justru karena masalah politik semata. Mengerikan memang manusia bisa tega kepada sesamanya justru karena dia punya akal pikiran untuk melakukannya.


Is there a time for tying ribbons
A time for Christmas trees
Is there a time for laying tables
And the night is set to freeze

Story Behind The Creation

Couples of years ago, from various sources of international online news services, I read that writing blog is the new trend in IT sphere. It was said that blogging regularly have many advantages. By blogging, you can improve your writing ability (of course!), make more friends, and in more recent cases, even helping out your career!

Well, at least I personally know someone who told me that he landed on his first job in Jakarta with such an unexpected help from his own blog. Even some big companies in U.S. of A. already admitted that blogging improved their brand image and boasted up sales, while at the same time they can get in touch personally with their consumers.
That was why all top executives in those companies go blogging, responding to every comment posted by their customers and people who visited their blog. Even Bill Gates, one of the very richest persons in the world, writes his own blog!

That’s why I started blogging in 2005, using then recently launched blog service from Friendster. Since I thought I have deep passion for creative writing, I didn’t see any damage could be done by posting my writings online. At least, I found a new medium to justify my narcissist-self. Ha! Ha!

Blogging was fun, until later in June of the same year, someone told me that some of my postings has stirred some gossips around The Neighborhood. People started talking, asking questions behind my back.

“Does he …?”
“But I thought …”
“Is he …?”
“That means for all this time he was …”

Even a friend from the buzzing Neighborhood felt some kind of obligation to ask me about the real meaning behind my writings posted on my blog.

“People are talking, you know. About you and what you’ve posted. They asked me whether I could confirm any of them. They’re curious. Because they thought for all this time you and I were into something.” (yeah, right! *rolling eyes*)

“Oh really? That’s good. That’s the reason I blogged. Even though at first I don’t think anyone would ever read them. But you know what? I feel quite happy now you’ve told me that. I mean, my writings are ‘that good’, right? That’s actually my intention posting them online. They were written and posted for one’s reading,” replied I (*compiled answers*). However I thought I just sounded defensive, didn’t I?

Munching the Mexican-style spicy grilled chicken breast, I tried to keep an emotionless face even though my mind was thinking hard. “That means I have to write more, but in a calmer tone. Gosh, I can’t wait!”

But then what was really happened back then was that I spent doing everything I could but write new materials and posted them online. Until one time near midnight when I was hanging around The Neighborhood with Bradley.

“I read your blog,” he said. “And I was wondering, why on earth you could be so open about you and still relax. I mean, you seem don’t have any hesitation revealing everything about you online. Because if I were you, I won’t be able to do things like that. I mean, with all those folks around this Neighborhood. I just won’t feel comfortable after posting things like the ones you wrote.”

He kept talking about me and my blog, trying hard to convince me that I’m that obvious, unlike his discreet personality; but all he said failed to catch my attention. My mind seemed automatically shut itself off of this topic.
“You’re not listening”, he protested. I just laughed, which made him stood and left me.

About a week later, Mr. Talent Guy of The Neighborhood, on a lunch gathering, suddenly asked me about my blog’s content. Since I don’t expect him as someone who’ll read my blog, it was like setting off an alarm to me.

“That’s it. They’re circulating some stories about me among them. Somehow, it makes me feel uneasy. Maybe I should quit writing anything that’ll bring up some issues on me.”

That was why I stopped blogging, and even went further by deleting the whole blog, yanked it off online.

Until Bradley brought it up again. “Why did you stop writing? I thought you enjoyed it. Thought we shared the same passion, that is writing.”

And others, I thought, but hey, that’s another story!

And he surely made me think: “I shouldn’t let anyone stop me from writing. I shouldn’t listen to them, to whatever they said about me. I love writing creatively. If I let anyone ever stand in my way like I did these past months, I won’t be able to enjoy the rest of my life.”

Which led to the creating of Life in The Time of Butterflies. This blog, that is.

Monday, June 16, 2008

Once Upon a Time, In The Galaxy Far Far Away


First time I heard that George Lucas has planned to release yet another Star Wars installment this summer, I was like, “Whoa?! Dude, can’t you make something else?”

I mean, ... seriously!

In my opinion, orang ini bahkan lebih parah daripada James Cameron yang sesudah menikmati sukses luar biasa – so-called artistic maupun komersil – lewat film legendaris Titanic, lantas tidak pernah menghasilkan satu produk film apapun that is worth to mention, ever since.

Bayangkan saja, sejak Star Wars pertama kali sukses menyerbu layar bioskop di seluruh dunia – yang kemudian entah karena aku yang terlalu bodoh untuk dapat memahaminya atau Lucas yang terlalu pintar (and too greedy?) untuk menggesernya jadi Episode IV: A New Hope – pada tahun 1977, His Excellency Lucas hanya menghasilkan Star Wars dan segala-macam derivatifnya (if you can’t say spin-offs) plus dapat credit untuk pembuatan Indiana Jones (and for this latter, he also did just the same pattern with Star Wars).

Bolehlah dulu banget aku kagum dengan ”kegilaan”-nya sehingga menghasilkan satu sub-culture baru yang sangat fenomenal, that is Star Wars. Tapi sekarang?!?

Di mataku, George Lucas tampaknya tidak lebih daripada seorang teman kakakku saat sekolah menengah yang diberi nilai 9 oleh guru Seni Rupa karena melukis gambar kucing dengan sangat bagusnya, dan sejak saat itu setiap ada tugas membuat lukisan, teman kakakku ini selalu mengulangi gambar kucingnya dengan pose yang sama. Bedanya cuma pada sentuhan warna atau beberapa detail kecil tidak signifikan yang ditambahkan ataupun dikurangi. Tujuannya jelas: biar bisa terus dapat nilai 9 sebagaimana lukisan kucingnya yang pertama.
Meskipun Mr. Lucas melakukannya dalam tataran yang jauh lebih besar dan luas daripada teman kakakku ini sehingga rasanya tidak pantas untuk dikomparasikan, tapi tetap saja mereka tampak sebelas-duabelas, alias mirip-mirip aja tuh.
Perbedaan mendasar palingan adalah karena George Lucas melakukan ini semua karena ketamakan, bayangkan saja berapa puluh (-ratus ?) juta dolar yang dihasilkannya dari lisensi dan franchise Star Wars ini?

Mungkinkah sebenarnya Mr. Lucas ini semacam Evil Genius in the Closet – atau Discreet Evil Genius – karena dengan kepiawaiannya mengolah konflik Star Wars, dia bisa meraup kekayaan sedemikian banyak yang kemudian bisa untuk membangun ranch superluas, perusahaan super besar, dan entah apa lagi.

Awalnya, kupikir hanya diriku saja yang menganggap trilogy Star Wars yang kemudian dijadikan prequel ini bagaikan steak dari daging kualitas jelek dan dimasak dengan cara yang salah lantas ditutupi dengan begitu banyak saos barbeque untuk menyarukan kehancuran rasa aslinya, sehingga lantas menonton film ini bagaikan penyia-nyiaan waktu dan sumberdaya lainnya, until I found this online article maupun dari responses terhadap article ini.
Whoa! That means I am totally not alone in sharing this idea. Ha! Ha! Ha!

Masih belum bisa dilupakan perasaan dongkol dan kesal seusai menonton Star Wars Episode III : Revenge of the Sith sekitar tiga tahun yang lalu. Bayangkan saja, legendary saga selama 3 dekade itu ternyata bermula dari sebuah mimpi atau penglihatan seorang Anakin Skywalker yang sesungguhnya tidak bisa diandalkan !!

Setelah merasa mual melihat adegan mesra-mesraan a la Bollywood di Episode II antara Anakin dan Amidala yang berlari-larian di padang rumput Tatooine dan berguling-gulingan mesra, rasanya sudah seharusnya penonton pintar mempersiapkan diri menyaksikan salah satu kisah cinta paling jelek yang pernah ditampilkan di film-film terbesar Hollywood !

Ada yang perhatikan bahwa ‘penglihatan’ Anakin Skywalker tentang Padme Amidala yang kesakitan pada saat melahirkan itu sebenarnya tidak pernah lengkap ?

Gosh! I mean, if I were him, yang akan kulakukan pertama kali setelah meyakini bahwa penglihatan tersebut bukan hanya sekedar bunga tidur adalah memasukkan Amidala ke dalam semacam perawatan intensif di klinik eksklusif.
Masa sih di galaxy far far away yang sudah mampu membuat robot dan pesawat luar angkasa secanggih itu, angka kematian ibu melahirkan tidak bisa dicegah dan ditekan menjadi nihil ??
Masa mereka tidak mengenal teknologi “jaman dulu” bernama bedah Caesar, yang must be performed jika ternyata proses persalinan normal dianggap akan membahayakan nyawa ibu dan atau bayi yang akan dilahirkannya ?
Jadi, jika saja Anakin berpikir lebih jernih dan bijaksana, maka sebenarnya ia bisa menyelamatkan nyawa istrinya, pujaannya, his center of universe, melalui teknologi bedah tercanggih yang jauh lebih oke dan menjanjikan daripada bedah Caesar yang pastinya telah dikuasai oleh para tenaga medis (robot maupun manusia) di sistem perbintangan yang telah mengenal teknologi yang jauh lebih modern daripada yang dikenal para penghuni galaksi Bimasakti, tanpa perlu terpengaruh bujukan syaitan Chauncellor Palpatine untuk masuk ke dalam pengaruh ‘dark side’ untuk menjadi Darth Vader, tanpa perlu mengakibatkan pemusnahan seluruh Orde Jedi, tanpa perlu memicu tragedi yang mengakibatkan penderitaan puluhan tahun in the galaxy far, far away …

Gosh ! Weren't we all being fooled for all this time by George Lucas ??

As for me now, Cher masih jauh lebih inovatif daripada George Lucas.
Setidaknya, selama kurang lebih empat decade berkarya di bidang entertainment, Cher mencetak paling sedikit satu album no.1 dan single no.1 di chart Billboard setiap 10 tahun, complete with her four different and distinctive looks. Not to mention kemampuan aktingnya yang berbuah Grammy, Oscar, Emmy (you see, politics are not so different than acting).
Perhaps, they should make Cher queen of this so-called galaxy far far away. Toh, selera fashion-nya sudah memadai untuk pergaulan standar intergalactic relations. Seperti yang terlihat di bawah ini.


See?! Cher already has all that!!

Nilai plus lainnya, telah terbukti bahwa Cher bisa mempertahankan eksistensinya (and in some specific moments, even domination!) di arena hiburan pop yang jauh lebih rentan terhadap perubahan mengikuti trend dibandingkan dunia politik.
Bayangkan saja sendiri, eksistensi dan "ketenaran" Cher selayaknya diperbandingkan dengan para 'aktor' dunia politik yang notabene dilabeli dikator, semacam Fidel Castro dan Moammar Khaddafi!

So what else do we have to say, other than ...

"Long live the Queen! Hail Cher!"

Friday, June 13, 2008

And I’ll Just ... (Walk Away)



I don’t know for how long I have felt that
There’s a deep river of tears inside I need to cry
Been holding back for years and perhaps will always be
But that was when I think there’s no future without you

There’s a high mountain so great its altitude I need to climb
To encourage me wipe away the hidden fears
And on its top I feel like home because
Solitude and loneliness has been the only true friend of mine
Even when there were you to fill my days

Who knows where I am going, or
Does tomorrow belong to me?

But that was then and
This is me now
As I’m turning my back on sadness and emptiness
I decide that it is now to leave them all behind

Strength will be by my side
Even though I feel afraid but
I know it’s already too late to say goodbye
We know there’s nothing left to say to each other

I will walk this path
This time with my head up high
I will walk away with pride, just me and myself

I have nothing left neither to regret nor to hide
No tender moment to hold because we had none
And those tears you once saw flowing down from my eyes
They won’t be there ever again

And I’ll just walk away from us

Thursday, June 5, 2008

"Bangkit Itu Malu ..."


"Bangkit itu malu. Malu melakukan kekerasan terhadap para perempuan dan orang-orang tua dengan mengatasnamakan Tuhan dan agama."


Andai saja pesan layanan masyarakat Mengenang 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang disampaikan oleh Bapak H. Deddy Mizwar yang seringkali ditayangkan di semua stasiun TV nasional tersebut bisa ditambahkan, saya akan mengusulkan penambahan satu baris kalimat lagi sebagaimana yang dapat dibaca di atas.

Atas nama pribadi, saya mengecam keras segala bentuk dan tindak kekerasan terhadap individu lain, serta mendukung permintaan Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta Kepolisian Republik Indonesia untuk menindak tegas sesuai aturan hukum yang berlaku para pelaku kekerasan di lapangan Monas pada hari Minggu, 1 Juni 2008 yang lalu.

Bangsa Indonesia bukanlah gerombolan orang haus darah dan senang berlaku brutal.
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum.

Stop kekerasan!