Friday, September 26, 2008

Bapak Presiden Yth.,


Aktris dan presenter Rieke Dyah Pitaloka, yang minggu ini aktingnya bisa dilihat dalam film ”Laskar Pelangi” yang baru saja ditayangkan perdana kemarin (25 September 2008), dipanggil oleh penyidik Mabes Polri, juga kemarin. Didampingi oleh pengacaranya, Rieke diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi terkait insiden demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM pertengahan tahun ini yang berakhir anarkhis di seputaran Semanggi.

Seusai diperiksa, masih dengan didampingi pengacaranya, Rieke yang dirubung oleh para kuli tinta memberikan penjelasan alasan mengapa dia ikut turun ke jalan dan berdemonstrasi:

“Saya rasa kita ga butuh pemimpin yang hanya menangis ketika menonton Ayat-Ayat Cinta.”




This is verbatim of the week. Take note, SBY-JK !

Thursday, September 25, 2008

Tiga Seribu


Ini bukanlah cerita tentang barang murahan produksi Republik Rakyat Cina yang dijual dengan harga yang luar biasa sangat amat murah, jenis barang-barang yang biasa digelar oleh para pedagang kaki lima di pasar-pasar tradisional, atau diasongkan di lampu-lampu merah, di dalam bis-bis kota maupun terminal-terminal.

Ini adalah pengalaman sejatiku (nadanya lebay!) yang terjadi persis kemarin, Rabu, 24 September 2008. Berikut ini adalah penuturan langsung dariku, tentang serangkaian kebetulan yang tampaknya terlalu kebetulan sehingga rasanya jadi kurang wajar. Rangkaian kejadian yang pada awalnya terlihat tidak memiliki interkoneksitas, tapi setelah ditelaah lebih mendalam lagi, ternyata semuanya terkait dengan bilangan ’TIGA’.

Siang hari sekitar pukul duabelasTIGApuluh, sehabis makan siang dengan Presiden Direktur dan Kepala Divisi kantorku.
Saat itu, Sang Presiden Direktur sedang meledak, meluapkan segala emosinya yang sudah terlalu lama ditahan selama ini. Kami berdiri berTIGA di lapangan parkir sebuah rumah makan di kawasan Casablanca, di bawah panasnya terik matahari yang menyengat.
Meskipun sebenarnya aku dan si Kepala Divisi bukanlah objek yang dimarahi, karena Sang Presiden Direktur sedang menumpahkan kekesalannya tentang kondisi politik kantor, tapi tetap saja rasanya tidak nyaman karena orang-orang yang melintas di jalan raya Casablanca dan melihat bahasa tubuh kami bertiga, tentu akan menduga aku dan si Kepala Divisi itulah yang sedang dimarahi habis-habisan.
Padahal, sebenarnya tidak.
Cuma memang kejadian ini lumayan bikin stress dan pusing, secara kami jadinya berdiri lama di bawah siraman terik cahaya mentari Jakarta yang menyengat. Saat itu aku yakin kalau suhu kota ini sedang berada di angka TIGApuluhan derajat Celcius.
Lalu kulihat seorang pengendara sepeda motor yang hendak mengeluarkan motornya dari parkiran, tanpa sengaja ketika merogoh saku celana panjangnya, menjatuhkan beberapa lembar uang seribuan yang terlipat rapi. Awalnya hendak kupanggil si mas pengendara motor, memberitahunya kalau dia baru saja menjatuhkan uang. Tapi melirik ekspresi wajah Sang Presiden Direktur, kuurungkan niatku. Sebaiknya jangan cari gara-gara dengan seseorang yang sedang marah-marah murka besar, apalagi kalau orang tersebut adalah orang yang menggajimu. Haha!
Beberapa menit kemudian dan kami bertiga masih belum lagi beranjak dari tempat tersebut. Kulihat TIGA orang anak kecil yang tadi sempat menawarkan jasanya menyemir sepatu pada kami bertiga ketika sedang santap siang, berkumpul di dekat jatuhnya uang itu. Pikiranku segera teralih, mengamati mereka bertiga, menduga-duga siapa yang akan pertama kali melihat uang tersebut dan mengambilnya. Tapi anehnya, sampai bosku Sang Presiden Direktur mengakhiri sesi emosionalnya dan kami berpisah dan menuju kendaraan masing-masing, tak ada satupun dari ketiga anak itu yang mengambil jatuhan uang tadi. Aku bingung, rasanya tidak mungkin uang itu hanya fantasiku saja.

Sore hari menjelang berbuka puasa. TIGA orang personil Media Relations kantor bersiap-siap beranjak. Ada janji buka puasa bersama TRI-partit: kantorku, kantor klien, dan stasiun televisi yang menyiarkan program klien kantorku. Aku diajak ikut serta dan meramaikan acara, secara makan-makan gratis, tapi entah mengapa rasanya malas lantas kutolak ajakan tersebut. Kebetulan teringat, ada TIGA jenis cake di dalam lemari pendingin kantor yang dikirimkan pihak supplier yang menunggu untuk disantap. Haha!

Ternyata hujan turun dengan derasnya tak lama setelah adzan maghrib berkumandang. Siyal! Aku terperangkap di kantor. Bengong ga tau mau ngapain. Akhirnya sambil tiduran di sofa kucoba membaca The Great Gatsby yang sudah TIGA minggu lalu kubeli dari Kinokuniya. Edisi Wordsworth, harganya TIGApuluhsaturibu rupiah.
Belakangan ini mood membacaku sedang hancur-hancurnya, berada di titik terendah. Bayangkan saja, novel setipis ini sudah tiga minggu berlalu sejak kubaca kata pertamanya, tapi aku baru sampai di halaman TIGAbelas. Mungkin pengaruh cuaca juga, mood membaca tidak muncul-muncul juga, lantas aku mencoba tidur.

Kurang-lebih TIGA jam kemudian, hujan sedikit mereda menjadi gerimis. Teman-teman personil Media Relations baru saja tiba kembali di kantor. Tak lama berselang, TIGA orang personil divisi event juga tiba. Senangnya, suasana kembali riuh dan ceria. Lalu kulihat di salah satu kaki meja, ada uang seribuan yang terlipat rapi tergeletak. Pasti ada seseorang yang tanpa sengaja menjatuhkannya. Berbeda dengan tadi siang, kali ini seorang teman kantorku melihat lantas memungutnya, dan kemudian berteriak mengumumkan, bertanya siapa yang merasa kehilangan uang seribuan yang jumlahnya mencapai sepuluh ribu rupiah. Anehnya, tidak ada satupun yang mengaku merasa kehilangan. Akhirnya, uang ribuan tersebut diputuskan untuk dimasukkan ke dalam celengan plastik murahan yang kami namai celengan dugem, sebuah celengan yang dikonsepkan sebagai dana bersama yang nantinya setelah terisi penuh akan kami manfaatkan untuk acara bergaul malam hari. Biasanya sih penggunaannya kalau tidak untuk karaoke bareng, ya minum-minum alkohol lah sedikit.

Jam dinding memperlihatkan waktu baru saja lewat pukul sembilanTIGApuluh malam. Hujan sudah reda, saatnya untuk pulang ke kos. Berjalan kaki lah, seperti biasa.
Tapi sebelumnya aku mau mengantarkan seorang teman perempuan dulu dan menemaninya di pinggir jalan, menantikan taksi untuk mengantar dia pulang. Biasanya malam-malam sehabis hujan deras, ditambah suasananya menjelang libur Lebaran, sudah tradisinya susah memesan taksi Blue Bird lewat telepon. Harus menunggu di pinggir jalan, karena biasanya lebih cepat dan lebih mudah. Apalagi jam segini belum terlalu larut, pasti masih banyak taksi berseliweran.
Betul sih, masih banyak taksi yang lewat di depan kami, tapi semuanya penuh, lagi narik. Untung kami berdua tidak perlu menanti terlalu lama. Setelah teman ini mendapatkan taksi, aku pun beranjak dari tempat tersebut.

Kakiku melangkah, menyeberangi jalan raya yang ramai.
Kondisi jarak antara kos dan kantor yang tidak terlalu jauh, dan kondisi lalu-lintas yang terlalu ramai, membuat pilihan moda transportasi bagiku untuk dari dan ke kantor sangat terbatas. Hanya ada satu opsi: kedua kakiku.
Untung saja sejak adanya jalur busway di jalan raya ini, membuat proses menyeberang jalan jadi sedikit lebih mudah. Lebar jalan yang dipadati kendaran jadi berkurang, karena ada dua ruas jalan yang diblok untuk armada ”mobilnya Sutiyoso” ini. Di tengah-tengah jalan yang diblok untuk busway ini, kondisinya hampir selalu sepi, terlebih lagi malam-malam seperti sekarang. Jadi memudahkan bagi pejalan kaki untuk melintas, meskipun tetap ada bahaya dari kendaraan yang tiba-tiba mencuri masuk lewat jalur busway dan kemudian melintas dan ngebut kencang.
Ketika sedang melangkah menyusuri jalur busway itulah, mataku kembali melihat lembaran uang seribuan. Tergeletak pasrah dan basah oleh siraman air hujan, pasti tanpa sengaja dijatuhkan oleh seseorang yang melintas hari ini, demikian pikirku saat itu.

Lalu kemudian muncullah pemikiran iseng yang mengingatkanku, ini adalah kejadian keTIGA hari ini, di mana aku melihat uang seribuan yang tergeletak begitu saja tanpa ada yang mengakui mengklaim sebagai miliknya.
Tapi aku tetap urung memungutnya. Masih teringat petuah orangtua saat aku masih kecil dulu. ”Kalau menemukan uang terjatuh dan kamu mengambilnya, segeralah dibelanjakan,” demikian kata ibuku. ”Kalau tidak, dan kamu memilih untuk menyimpannya, suatu saat kamu akan kehilangan sepuluh kali lipat daripada jumlah uang yang kamu temukan.”
Dulu aku menganggapnya sebagai sebuah takhyul tolol – sejak kecil pikiranku sudah menjurus kepada kekurangajaran, memang – sampai suatu ketika aku menemukan selembar duit limaratusperak dan menyimpannya untuk dibelanjakan kemudian, kalau sudah dapat ide mau dipakai untuk membeli apa. Masa itu, komik Donal Bebek masih berharga seribulimaratus rupiah. Kebayang dong jadinya, saat itu duit gopek masih lumayan berharga.
Seperti yang bisa ditebak, aku lupa tentang petuah itu dan peristiwa penemuan duit tersebut, sampai suatu hari beberapa tahun kemudian, aku kehilangan uang persis sejumlah limaribu perak, uang jajanku selama seminggu. Dan petuah yang dulu kuremehkan tiba-tiba saja terlintas di kepala. Barangkali memang kedua kejadian tersebut tidak ada hubungannya, hanyalah kebetulan yang dibumbui takhayul belaka, tapi tetap saja ada semacam beban pikiran menggelayuti alam bawah sadarku sejak saat itu hingga kini.
Itulah barangkali yang menjadi satu sebab utama mengapa aku membiarkan uang-uang itu begitu saja di tempat aku melihatnya. Biar saja orang lain yang mengambil dan memanfaatkannya, batinku.

Setibanya di kos, kulihat tumpukan mug sendok dan mangkuk bekas sarapan tadi pagi yang belum kucuci masih tergeletak di meja. Setengah malas setengah terpaksa, kuberanjak menuju keran dan mencuci semuanya. Untung saja tidak sampai disemutin, atau malah mengundang reptil (cecak) dan serangga lainnya (kecoa) untuk merubung bekas-bekas sarapan tersebut. Meskipun kutahu pasti, I will never know for sure. Siapalah yang tahu apa yang terjadi tadi siang saat tak ada seorang pun di dalam kamar. Haha!
Saat mug melaminku kubasuh, tanpa sengaja mug tersebut tergelincir dan terlepas dari genggaman, lantas jatuh terbanting. Pecah. Damn!
Tiba-tiba kuteringat, siyal! Ini adalah mug melamin keTIGA yang kupecahkan tahun ini. Dua mug sebelumnya pecah tak sengaja karena kejadian yang nyaris sama, terlepas dari tanganku saat sedang dicuci. Rugi pisan, euy.
Dengan gelondongan kesebalan kuselesaikan mencuci alat-alat makan lainnya dan kukeringkan, lalu kulihat pisang Cavendish yang kubeli hari Minggu kemarin masih ada. Kubuka plastik penyimpanannya, dan kuputuskan untuk menyudahi riwayatnya segera. Dari aromanya tercium kalau dibiarkan lebih lama lagi, let’s say sekitar dua hari lagi, pisang-pisang ini akan segera membusuk. Segera kusantap semua sampai habis.
Saat tanganku membuka kulit pisang terakhir, baru pikiranku tersadar, ini adalah buah pisang keTIGA !

Pasti ada kebetulan-kebetulan yang aneh dengan hari tersebut. Serangkaian peristiwa kebetulan yang agak sukar dijelaskan, meskipun sebetulnya tidak ada sesuatu hal mendesak yang membuatnya harus bisa dijelaskan.
Tapi tetap saja karena belakangan ini pikiranku sedang tidak disibukkan oleh urusan pekerjaan, hal-hal (yang tampaknya) remeh semacam ini justru lebih asyik untuk ditelaah lebih dalam dan direka-reka penjelasan logisnya. Bahkan sampai kurasa perlu untuk dituangkan ke dalam tulisan, dan dengan demikian terciptalah tulisan ini.

Namun sungguh, sampai sekarang aku masih tidak habis pikir, mengapa dan bagaimana bisa ya, sampai semua kejadian tersebut terkait dengan bilangan TIGA.
Padahal tanggal hari itu kan 24, bukan 23?!



Wednesday, September 24, 2008

Confusion, Arise.



The coyotes have arrived and Manhattan now lies in siege
While glowing lights obscuring your figure make everything microscopic in comparison
Have you noticed the overflowing suds changed the colors of the grayish floor tiles peach?
Because in time you'll know how much that he's taken away from you, a person so brazen

Tuesday, September 23, 2008

It's Complicated


Awalnya, dalam hal ini duluuu sekali kurang-lebih sudah tiga tahun silam, aku merasa alangkah senangnya ketika melihat kolom status di Friendster menawarkan opsi “It’s Complicated” sebagai alternatif pilihan selain Status standar dan membosankan semacam ‘Single’, ‘In a Relationship’, dan ‘Married’.
Entah mengapa, bagiku seperti ada bumbu intrik yang begitu kental dengan status yang menyebut It’s Complicated tersebut.

Sejak minggu pertama kusadari ada opsi Status tersebut, langsung kotaknya kucontreng check-in.
Yes! Sekarang kehidupan asmara ku pun beraroma intrik dan terasa lebih sensual dan misterius. Setidaknya inilah ilusi dalam benakku saat itu.

Kalau ditanyakan kepada diriku sendiri, saat itu memang hubunganku dengan R sedang tidak jelas statusnya. Aku bersikukuh ingin mempertahankan hubungan yang sudah berjalan satu tahun ini. Namun sebagian dari diriku, barangkali bisa dikatakan alam sadarku, berulang-kali check-in dan meminta aku segera check-out dari hubungan kami tersebut.
Andai saja waktu itu aku lebih memperhatikan tanda dan penanda ..., well, tapi tentu saja bukan itu yang ingin kubahas saat ini.
Yang jelas, bagiku saat itu terminologi It’s Complicated merupakan status hubungan yang paling tepat untuk menggambarkan hubunganku dengannya.

Seiring perjalanan waktu dan panjangnya penjelajahan di situs jejaring sosial ini semakin kutemukan ada begitu banyak orang-orang tidak penting lainnya yang asal mencantumkan ”It’s Complicated” dalam pilihan statusnya. Dengan semakin banyak yang memilih untuk mencantumkannya di dalam profile mereka, semakin aku merasa bosan dengan terminologi tersebut dan semakin aku merasa eksklusifitas kerumitan hubunganku ternyata tidaklah sungguh-sungguh eksklusif menjadi pengorbananku seorang dalam menjalani sebuah hubungan.
Menyedihkan? I knew.

Hingga kemudian kulihat opsi It’s Complicated di Friendster tersebut kini mencantumkan tanda hak paten. TM. Membosankan dan menyebalkan. Sebegitu bernilai ekonomikah sebuah pernyataan status (ketidakjelasan) hubungan antarmanusia? Padahal ini bukan St. Valentine’s Day.

Sehingga akhirnya, saat itu meski terasa berat, kuputuskan untuk melepaskan R. Apapun alasannya, telah tiba saatnya untuk melangkah memasuki babak baru. Menjalani kehidupan sebagai seorang Single.

Meskipun sepertinya semua orang tentu tahu bahwa ketika di saat-saat menjelang puncak produktifitas masa muda terpaksa harus hidup membujang tanpa ikatan romantika, adalah suatu kondisi yang sangat tidak enak.
Tidak ada someone special untuk berbagi kisah sukses dan rasa bangga atas sebuah pencapaian. Bahkan tidak seorang sahabat pun bisa menggantikan posisinya.

Tapi yang justru kulakukan saat itu adalah, mengumumkan kepada dunia (virtual) bahwa hidupku baik-baik saja. Sampai ke tahap menyebut diriku sedang dalam sebuah hubungan, In a Relationship.
Betul sekali, box itu yang kucontreng check-in saat-saat aku sesungguhnya sedang Single.
Penipuan publik? Itu hanya istilah hiperbola yang diciptakan infotainment untuk menuduh para selebriti kelas B yang memalsukan status mereka.

Maknanya bagi diriku sendiri? Pahit.

Karena, tidak ada seorangpun yang sungguh-sungguh kutipu, selain diriku sendiri.

Monday, September 22, 2008

In The Darkness, You Stay


Words are never enough for me to say how much I miss you
Because you flew away from here too soon
It made me feel alone now without you

Yet every night when I close my eyes
I hear your voice so sweet and melancholy, just like an angel

Your words, they sing through me
Your voice, it brings you back
Here in the darkness of the starless nights
Back to where you belong

You are here even though you are gone
And I know that
Inside
You will always stay

Friday, September 19, 2008

Sungguh Pedulikah Kamu?


"Gambarkan aku dengan 1 kata. Hanya 1 kata. Kirim jawabannya padaku lalu kirim pesan ini ke teman2mu dan lihat jawaban aneh dan mengagumkan tentangmu. Bales ya, karena ini sangat seru!"

Ternyata meninggalkan jejak-jejak eksistensi berupa komentar dan testimonial di berbagai situs jejaring sosial seperti MySpace, Friendster, Multiply dan Facebook kini tidak lagi cukup bagi sebagian orang.
Sejak dua hari belakangan ini, sudah puluhan teman mengirimkan pesan serupa di atas yang tiba-tiba muncul begitu saja dalam jendela perbincangan saat aku sedang online di Yahoo! Messenger.
Dari content-nya saja, sudah ketahuan dengan jelas bahwa pesan ini tidak lebih dari semacam pesan massal yang dikirimkan kepada semua orang di dalam daftar teman-teman Messenger si pengirim, dan cenderung memberikan kesan layaknya spam messages, yang kurang-lebih menyerupai pesan ucapan selamat hari raya identik dan kurang berperasaan – karena bersifat sangat impersonal – yang berseliweran dan memenuh-menuhi kotak surat telepon genggam kita menjelang perayaan hari raya tertentu.
Sebenarnya sudah sebegitu narsiskah kita kini, sampai merasa perlu meminta semua orang di dalam daftar Y!M kita untuk mendeskripsikan diri kita sendiri? Kalaupun kemudian teman-teman kita di daftar Y!M tersebut merespon, apakah kita benar-benar peduli apa jawaban yang mereka berikan? Apakah kita akan benar-benar senang ketika mendapatkan dan membacanya? Apakah cuma pujian – atau apapun bentuk jawaban yang kita dapatkan – yang memberi makna bagi hidup kita?

Hal-hal kecil dalam hidup terkadang dan dengan caranya yang tak terduga memang bisa mewarnai dan menambah ceria hidup ini.
Namun terkait pesan “hanya 1 kata” ini, apakah kita akan bisa sungguh-sungguh peduli?

Bila ditanyakan padaku, jawabannya adalah: tidak.
Jika aku tidak merasa memiliki kedekatan personal dengan si pemberi jawaban / respon balik, rasanya apapun jawaban yang dia / mereka berikan untukku, tidak akan meninggalkan kesan apapun. Dan sebagai impilkasinya, aku juga tidak akan peduli.
Now you can call me ignorant. Silahkan. I don’t mind at all.


Dan sebagai penutup tulisan ini:
Maaf buat beberapa teman yang hanya mendapatkan respon balik berupa tanda tanya (?) dariku. Aku sudah jelaskan apa maksudku dengan tanda baca itu, bukan?

Thursday, September 18, 2008

Menyoal Iman



Ada yang keliru tentang pemahaman agama di negeri ini.

Ketika setiap group musik / band maupun penyanyi-penyanyi solo berlomba-lomba merilis album ataupun melepas single bernuansa Islami saat tiba Ramadhan, lengkap dengan kekerapan intensitas kemunculan di berbagai media sambil mengenakan baju koko dan peci atau baju kurung dan selendang menutupi sebagian kepala, sambil membahas aktivitas ke-‘artis’-annya selama menjalankan ibadah puasa.

Ketika setiap media infotainment saling berlomba membahas group musik / band mana yang merilis album atau single Islami baru setibanya bulan Ramadhan dan band mana yang tidak melakukannya; dan lebih sibuk menyoal band yang sudah berusia relatif lama namun belum pernah sekalipun melepaskan lagu-lagu bernafaskan keagamaan untuk menyambut ketibaan Ramadhan maupun menjelang hari raya Idul Fitri.

Ketika semua stasiun televisi berlomba menayangkan sinetron-sinetron berbingkai religi di jam-jam tayang utama, atau menampilkan pertunjukan komedi slapstick menjelang sahur maupun saat berbuka tiba; dua jenis tayangan yang patut diragukan nilai-nilai agamis dan makna ibadahnya.

Ketika seorang aktor maupun aktris diidolakan berkat perannya sebagai karakter protagonis yang tetap rajin beribadah dan pasrah meskipun bolak-balik dizholimi dengan tata-cara yang semakin lama semakin brutal dan tak masuk akal dalam sinetron yang dibintanginya.

Ketika kelompok organisasi massa tertentu menyerbu tempat-tempat makan di pinggir jalan yang dikelola secara swadaya dan swadana oleh para pengusaha mikro, saat hari masih siang, di bulan Ramadhan, dengan alasan mengajak orang berbuat mungkar.

Ketika kelompok organisasi massa tertentu menganggap hanya agama dengan tata-ibadah yang mereka anut adalah yang paling benar dan paling tinggi, sedangkan penganut agama yang sama dengan tata-ibadah yang berbeda adalah orang-orang keliru yang tak layak di mata Tuhan.

Ketika dengan alasan diprovokasi, anggota-anggota organisasi massa tertentu yang mengusung panji-panji agama beramai-ramai menyerang dan mengeroyok seorang lelaki dari kelompok yang dianggap musuh hingga terluka parah.
Bukankah di bulan suci ini haruslah mampu menahan emosi, dan mereka yang bisa menahan dan menerima cobaan dengan tabah – sebagaimana yang hendak dikotbahkan dalam sinetron-sinetron berbingkai religi itu – adalah mereka yang berhak atas “Kemenangan” ketika saat itu tiba?

Ada yang keliru tentang pemahaman agama di negeri ini ketika tingkat keimanan seseorang diukur hanya dari apa yang tampak dari luar belaka.

Wednesday, September 17, 2008

Pikiranku, Petang Ini


petang ini kubuka lagi lembar demi lembar laman blog-mu
sudah lama tak kau perbarui dengan cerita canda dan lirik lagu

termenung kumenatapnya senyumku mengambang tanpa kumengerti mengapa
teraduk hati dari larutan emosi tapi tak lagi bisa ku merasa

kau yang dulu menjadi inti pusaran kehidupanku
kini tak lebih dari deretan foto usang pengingat masa lalu

tapi aku tahu perlunya berterima kasih padamu
sebab dengan sikap ketidakpedulian dan kekerasan hatimu

telah terbuka mata hati
telah bangkit kesadaran jiwa ini

bahwa untuk meraih kebahagiaan itu tidaklah mudah
bahwa cinta itu tidak selamanya indah

bahwa hidup bersamamu, mungkin bukan hal yang terbaik untukku.

Tuesday, September 16, 2008

Gone


Sometimes,
My mind still wandered
Thinking about how our relationship used to be
Before our love is gone

We were so entwined in our lies,
Surrounded by this make believes

I should have known the road we chose would run out on us

Can you tell me now what are we supposed to do?
After all that you and I have been through,
When everything that once felt so right now turns wrong,
Now that our love is gone

Our relationships last for years, but
I didn’t really know what to call you,
And to me,
You didn’t know me at all

I know you feel so hurt inside,
As I do feel just the same,
But if you still want to go on,
We need to find another reason

We have got to find another reason to hold:

Is it ...
Love?

You always seem to know where to find me
Yet I’ll never really learn how to love you

There is nothing left between us to prove,
Don’t see any reason to deny this simple truth.
I can’t find any reasons to keep holding on,
Now that our love is gone

So I need you tell me,
How many ways can we stand there in playback?
How did we end up standing here,
While I stared at you crying underneath the clear blue sky?

There’s nothing left for us to say

It’s time to move and go separate way,
Now that our love is gone.


Friday, September 12, 2008

Dan Aku Pun Bertanya ...


Apakah Kata senafas dengan Perbuatan ?
Tahukah Tanah apa yang akan tumbuh di atasnya ?
Sanggupkah Benak mencerna semua Isyarat menjadi Bahasa ?
Mungkinkah Makna bisa dibatasi oleh Imajinasi ?
Harumkah Bunga tanpa ada yang membauinya ?
Mengapakah Hidup tak bisa menjadi lebih sederhana ?

Mampukah cinta menyatukan dua hati ...
selamanya?

Wednesday, September 10, 2008

Diskoneksi, Miskomunikasi.


Paling males kalau di kantor diadakan aktivitas yang katanya "Meeting Koordinasi".

Nama ini terlalu cantik (sinisme dibutuhkan dalam memaknai kata sifat barusan) untuk forum sekedar ngobrol-ngobrol dan ajang cur-col (ini singkatan baru, secara dibentuk dari istilah curhat yang adalah singkatan curahan hati ditambah dengan colongan).
Ditambah lagi biasanya posisi dudukku dapat jatah di depan blower AC. Ini namanya dobel cari penyakit. Sakit fisik karena kena tiupan angin dari blower AC selama meeting berlangsung (yang minimal durasi rata-rata 90 menit), dan sakit perasaan karena sudah sadar-sesadar-sadarnya bahwa segalam macam omongan dan kesepakatan di forum ini akan berlalu bersama bubarnya semua orang dari ruangan rapat.
Buktinya, ternyata topik permasalahan yang sama muncul lagi dan lagi padahal kata anak-anak yang sudah tahunan kerja di kantor, setiap tahun masalahnya pasti yang sama, itu lagi itu lagi (bukan Cindy lagi Cindy lagi, ... di bagian lelucon ini mungkin banyak yang kurang mudeng), yaitu perusahaan komunikasi dengan personil yang saling miskomunikasi.

Jadi solusinya, setidaknya buatku pribadi, tetap kembangkan senyuman ramah ekspresi wajah ceria tatapan mata bersahabat – alias, kenakan topeng! – tapi pastikan seluruh syaraf dan pikiran didiskoneksikan terlebih dahulu agar segala keluhan yang dimuncratkan ke forum dan aura negatif yang terpancar dari anggota barisan sakit hati tidak menginfiltrasi pikiranku yang masih polos dan murni ini, jadi hidup (di kantor) tetap terasa seru dan mengasyikkan!



Catatan kaki:
Ya, ya. Aku juga tahu kok kalau anak-anak di kantor bisa membaca tulisan ini. Terus kenapa?
Ada masalah? Semuanya bisa dikomunikasikan kok, aku juga di sini tidak dalam konteks mencari musuh.
Marilah kita bijak belajar berkomunikasi efektif saja. Karena sesungguhnya, selalu ada (setidaknya) dua sisi dari setiap cerita (baca: permasalahan).
Setuju kan, teman?!



Tuesday, September 9, 2008

"The Rainbow Connection"


Why are there so many songs about rainbows and what's on the other side?
Rainbows are visions, but only illusions, and rainbows have nothing to hide.
So we've been told and some choose to believe it.
I know they're wrong, wait and see.
Someday we'll find it, the rainbow connection.
The lovers, the dreamers and me.

Who said that every wish would be heard and answered when wished on the morning star?
Somebody thought of that and someone believed it.
Look what it's done so far.
What's so amazing that keeps us star gazing and what do we think we might see?
Someday we'll find it, the rainbow connection.
The lovers, the dreamers and me.

All of us under its spell. We know that it's probably magic.

Have you been half asleep and have you heard voices?
I've heard them calling my name.
Is this the sweet sound that called the young sailors?
The voice might be one and the same.
I've heard it too many times to ignore it.
It's something that I'm supposed to be.
Someday we'll find it, the rainbow connection.
The lovers, the dreamers and me.





For more information about "The Rainbow Connection", click here.

Monday, September 8, 2008

Where Art Thou, Angela?



Minggu sore kemarin aku dan Dia bertemu untuk makan malam bersama. Pilihan lokasinya adalah salah satu mall di kawasan Senayan, Jakarta Selatan, karena Dia berencana exercise di gym terlebih dahulu sebelum kami bertemu.
Sebenarnya menurutku agak lucu saja, membakar kalori di pusat kebugaran, dilanjutkan setelahnya dengan makan malam dengan sama sekali mengabaikan perhitungan kalori. Bisa jadi, kalori yang masuk lebih besar daripada yang dibakar beberapa waktu sebelumnya. Ah, tapi Dia tentu sudah sangat tahu dan menyadari hal ini serta tidak membutuhkan aku untuk mengingatkannya.

Malam itu kita memutuskan makan malam dengan menu Italia.
Aku memesan spaghetti dengan saus pesto, sedangkan dia memilih pizza dengan banyak jalapeño serta saus pesto. Sebelumnya kita berbagi salad nicoise bersama, tapi Dia sempat sebal karena hanya ada satu anchovy di dalam salad itu dan aku yang kebetulan mendapatkannya. Tentu saja, Dia tidak sebal padaku, tapi pada tempat makan ini yang ”These guys are sooo cheapo!”, klaimnya.

Seusai santap malam, Dia bilang ingin cari makanan sehat dan mengajakku makan yoghurt di Sour Sally.
Aku tidak suka rasa susu dibasikan ini, dari brand apapun, jadi aku bilang saja, ”No thanks, but of course I will accompany you. It’s just I won’t order anything.”
Sebenarnya Dia sudah tahu ini, tapi dia pantang menyerah mengajakku makan makanan yang aku sama sekali tidak tertarik untuk mencobanya, antara lain sushi dan sasimi. Yang jelas-jelas kutahu, Dia bisa menghabiskan ratusan ribu rupiah dalam sekali makan di restoran Jepang.

Anyway, jadilah kami masuk ke Sour Sally.
Busyet, penuh banget! Orang-orang sampai membentuk antrian sangat panjang hanya untuk memesan yoghurt. Apa sih keistimewaannya?, batinku. Waktu itu Dia pernah memintaku mencoba mencicipi salah satu Sally’s specialty, dan hueks!, aku tak suka. Jadilah saat itu Dia mengantri sementara aku menikmati suasana ruangan.

Ada beberapa wajah yang cukup familiar sedang menikmati yoghurt-nya Sally. Dari spesies model yang wajah-wajahnya sering terpampang di berbagai majalah mode dan gaya hidup nasional.
Tapi saat itu aku lebih disibukkan dengan pemikiran, kenapa ya orang-orang jadi seperti mengantri sembako hanya untuk mendapatkan seporsi yoghurt? Lalu aku mencoba mengabadikan antrian tersebut dengan kamera telepon genggamku.
Dekorasi toko ini quite nice, didominasi warna putih dan hijau muda, memberikan kesan cerah dan bersemangat. Kalau saja tercium bau karbol di udara, aku pasti berpikir sedang berada di salah satu sudut di sebuah rumah sakit bertaraf internasional. Dindingnya yang sengaja dibuat beraksen tembok batu-bata yang tidak diplester cukup unik, termasuk deretan kata yang huruf-hurufnya ditempelkan timbul di tembok, jadi aksen menarik untuk desain interior sebuah toko di mall.
Desain karakter Sally yang berkepala seperti kentang gepeng juga sebenarnya cukup lucu dan menarik. Iseng kuraih salah satu selebaran dengan gambar Sally di counter, ternyata di baliknya terdapat kuesioner untuk feedback bagi para konsumer. Tak ada kerjaan, kuisi saja kuesioner itu buat mencari kesibukan sembari menunggu antrian yang mengingsut seperti siput. Toh, Dia masih di tengah-tengah antrian.

Selesai mengisi kuesioner baru kuperhatikan ternyata Sour Sally ini dibawa masuk ke Indonesia oleh group Mitra Adi Perkasa juga. Wow! Bisa jadi Sour Sally ini akan menjadi salah satu kisah sukses lagi bagi food and beverage franchise yang dikelola oleh MAP setelah Starbucks, Cold Stone Creamery, dan tentu saja, Burger King.

Kulihat Dia sudah akan mendapatkan giliran memesan, jadi kusiapkan lagi kamera telepon genggamku untuk merekam momen-momen ketika Dia sedang asyik memilih pesanan yoghurt-nya.
Saat sedang asyik memotret, kulihat gadis muda ini sedang memperhatikan keasyikanku memotret ke arah dirinya. Tapi aku tidak terlalu memperdulikannya, sampai beberapa detik kemudian kudengar dia dengan nada ketus berkata pada temannya, ”Yuk kita nungguin di luar aja. Males gue di sini.”
Dengan ekor mataku kulihat cewek itu menarik tangan temannya dan mereka bergegas keluar ruangan. Sempat tercetus dalam pikiranku, jangan-jangan cewek itu mengira aku sedang memotret dia diam-diam, lantas jadi bete atau marah (kenapa ya??) pada ketidaksopananku (ah, masa sih??) dan bergegas berlalu.
Karena merasa tidak melakukan hal apapun yang salah, aku sih tidak terlalu memedulikannya.
Lalu Dia yang sudah selesai bertransaksi menghampiriku, ”Hey, what’s up?” tanyanya. "Nothing,” jawabku.
Lalu kami menempati salah satu meja sambil menunggu yoghurt pesanan Dia selesai dibuat.

Tak lama kemudian salah satu pelayan di balik pick-up counter berteriak, ”Angela!” Jadi makin mirip suasana di apotik saat menebus obat, pikirku. Untung tidak ada bau karbol.
Lalu si pelayan berteriak lagi memanggil nama itu. Masih tidak ada yang menyahut.
Setelah panggilan keempat atau kelima, dengan heran si pelayan bertanya pada temannya, ”Ini yang mesan kemana?” Temannya yang sedang sibuk dengan cash register machine, menjawab dengan sambil lalu, ”Ga tau. Lagi keluar sebentar kali?”

Lalu nama Dia dipanggil. Kami melanjutkan obrolan sambil Dia menyantap yoghurt-nya yang tandas ludes dalam sekejap, barangkali hanya dalam waktu kurang dari 5 menit.
Saat kami beranjak meninggalkan Sour Sally, sempat kuperhatikan antrian pelanggan masih sepanjang seperti saat kami baru tiba tadi.
Lalu mataku tertuju pada pick-up counter dan kulihat satu papercup berisi yoghurt yang terlihat seperti sudah mulai mencair karena sudah terbiarkan cukup lama di udara terbuka.

Pasti punya cewek tadi, terdengar bisikan di dalam kepalaku. Dan karena dia merasa kau memotret dirinya tanpa izin maka dia memutuskan untuk pergi sebagai bentuk protes ketidaksukaan atas tindakanmu, demikian lanjut bisikan itu.
Hah? This doesn’t make any sense aja.

Orang-orang di Jakarta ini memang aneh-aneh, kadang tingkahnya sejuta dan yakin benar sendiri tanpa alasan logis yang jelas.
Well, in this case, let her be. By not picking up her order, that means it was her loss. Sudah bayar ini. Tapi heran saja, kok bisa ya dia pergi menghilang tanpa mengambil yoghurt-nya?

Sally must’ve been wondered ever since, where Angela went that evening after paying her order, leaving her yoghurt turned sourer on the pick up counter.


Friday, September 5, 2008

The Strangest Christmas Present Ever



“Have you read that book I gave you as Christmas present?”

He suddenly popped up in a Messenger window that afternoon and asked me that question.

Having procrastinating since that morning, I very much welcomed this chance to busy myself.
My hands hurriedly typed answer:
“Nope. Haven’t even started yet. Am quite busy these days.” An easy automatic lie.
“Besides, I’m still on the first chapters of Midnight Children. Which I think is far more interesting.”
I knew exactly this excuse would hurt his feeling a bit, knowing how sensitive he is.

“Oh, okay.”
“But, tell me, why? Don’t you like that book?”
It was so him. Stubborn and tends to keep on insisting others to do things like the way he told them to do. Probably because of his upbringing as the last kid in his family.

“It’s not like that. It’s just that I already started reading Midnight Children before you gave me that Persian novel.”
My fingers just couldn’t stop typing letters. “Oh and furthermore ...” Then I stopped.

I was curious.
What if I told him that I found it very silly to give someone a novel – written by some author who was hardly familiar in literary world – which story was set in the earliest stage of Iran’s Islamic revolution, as a CHRISTMAS present?
Would he be mad at me?

Hmm, I didn’t think so.

“Yes? What’re you’re trying to say?”

Oh, be careful in responding this tricky situation, my mind warned me. Otherwise, he’d keep on asking you whether you already read that novel or not for these coming months. Each and everytime he sees you online in Messenger.

“Furthermore, I have these books which I already bought years before and until today still sit in my bookshelf, in their original wrapping.”
“I think it’s fair enough if I finished them all first, and then read yours.” Another lie.

I don’t know whether these books have feelings and care which one amongst them would get the chance to be read first. I just hoped he’d buy this rationale.

“Oh, ok. I see.”
“Just let me know when you finally read it, and whether you like it or not. Will you?”

Hah?! I couldn’t believe it! He trusted that answer. Thankfully, so I could stop lying to him, at least for that moment.

“Of course. I will.” This was, of course, not a lie.

* * *

What you’ve just read was a reenactment of a chat that happened one afternoon, almost three years ago.

And from that said afternoon until this very moment, I bought dozens other titles. Most of them are, obviously, fictions, and was written by European or American author. I did make some exceptions, though.
They are Marjane Satrapi’s Persepolis and Embroideries, some kind of semi-autobiographies that dealt mostly with women’s rights, (Western/liberal) democracy vs. sharia/Islamic rules, and Iran vs. the rest of the world; Arundhati Roy’s first and only novel, The Gods of Small Things that shocked me with it’s brutal honesty; also Khaled Hosseini’s The Kite Runner which touched my soft spots.

Because honestly, before these, I never really had the slightest interest in reading stories about Persian and Arab countries. They’re just not written for me. (Note: Roy, as I believe you all know, is an Indian author).

As for now, if you’re still curious what I have done to that strangest Christmas present ever, well, it is now buried deep behind other thick novels in my bookshelves, its pages became yellowish and dusty. Perhaps I should just pass it on to others years ago, as a gift. Don’t you think?

Wednesday, September 3, 2008

Gatsby de la crème



Memasuki bulan September ini, berhubung adalah juga bulan Ramadhan di mana mayoritas penduduk negeri ini sedang menunaikan ibadah puasa, berkaitan langsung dengan ritme pekerjaan yang lazimnya cenderung menurun. Oleh karena itu terbukalah peluang luas untuk kembali melakukan hobiku yang sudah lama terabaikan, yaitu membaca buku (berkualitas).

Itu artinya, program One Book One Month –ku mudah-mudahan bisa berlanjut setelah sempat vakum beberapa bulan belakangan ini akibat kesibukan pekerjaan yang sangat menyita konsentrasi, waktu dan energi. Mengenai program O.B.O.M. itu akan kujelaskan kemudian dalam tulisan lain (mudah-mudahan ingat dan sempat).

Kebetulan sekali momen sekarang ini cukup pas, dikarenakan pada akhir pekan kemarin ketika dibingungkan oleh keperluan mencari-cari hadiah ulang-tahun apa yang paling cocok untuk Lindsay – yang jelas ga bakalan aku berani memberikan pakaian maupun aksesoris padanya, si ratu belanja itu, yang jangan-jangan sudah memiliki segala model yang ada di Zara maupun Mango untuk memenuh-menuhi lemari pakaiannya – secara kebetulan sekali kutemukan sebuah buku dari koleksi klasik Wordsworth. Cerita lebih lengkapnya adalah sebagai berikut.

Kuingat saat itu akhirnya kuputuskan untuk lebih baik “bermain aman” dalam tantangan kali ini. Either belikan Lindsay kado berupa CD atau buku. Tidak akan semahal produk-produk fashion tapi bisa lebih bersifat last longer. Lalu kuingat bahwa dia sudah beli CD Leona Lewis dua hari sebelumnya, itu juga gara-gara aku menolak membelikan untuknya. Setelah itu dia ga pernah menyebutkan artis penyanyi siapa lagi yang dia lagi ingin. Album terbaru Jason Mraz bisa jadi pilihan, tapi jangan-jangan dia sudah beli duluan?

Akhirnya meskipun masih diliputi ketidakpastian, kulangkahkan kaki memasuki Kinokuniya. Sepertinya buku, lebih tepatnya novel fiksi, adalah pilihan yang paling aman dan tepat. Demikian pikirku. It can never go wrong, kalau sudah tahu karakter bakal calon penerima hadiah.

Pertama-tama dan tentu saja yang kulihat adalah buku-buku pajangan di Best Seller section. Ah, ada The Last Lecture ! Seharusnya menarik, tapi aku tak terlalu yakin. Jangan-jangan Lindsay akan menganggap aku sedang menyindir dia dengan hadiah buku ini, berhubung belakangan ini dia cukup sering mengeluhkan pekerjaannya. Sebaiknya bukan buku ini yang kupilih. Tapi beberapa pilihan lain di section ini, aku tak yakin dia akan begitu antusias ketika mendapatkannya.
Lalu kuputuskan untuk mencoba peruntunganku di bagian literature. Barangkali hampir setengah jam waktu yang kuhabiskan untuk memeriksa seluruh isi rak, sampai leherku terasa sedikit pegal karena harus memiring-miringkan leher naik-turun untuk bisa membaca semua judul buku yang ada. Setelah mengalami kebingungan cukup lama, akhirnya kuputuskan untuk memberikan koleksi the complete and unabridged novels of Jane Austen.

Sampul muka buku dengan ketebalan hampir sepuluh sentimeter ini sama sekali tidak menarik, tapi faktor terpenting dari sebuah buku kan sebenarnya adalah isi buku itu sendiri. Apabila kemudian Lindsay bertanya mengapa buku ini yang kupilihkan untuknya, sudah kusiapkan sebuah jawaban pamungkas yang melibatkan tiga nama wanita-wanita cantik: Keira Knightley, Gwyneth Paltrow dan Dominique Diyose. Keira membintangi versi adaptasi layar lebar Pride and Prejudice, Gwyneth membintangi Emma, dan Dominique senang membaca novel-novel Jane Austen di sela-sela show.
Mudah-mudahan alasan ini akan cukup memuaskan baginya.

Setelah menetapkan pilihan pada Jane Austen, dengan perasaan sedikit lega akupun memutuskan untuk beranjak pergi. Tapi kemudian mataku tertumbuk pada koleksi literature klasik Wordsworth. Ada beberapa judul yang aku sudah punya atau sudah baca, seperti karya-karyanya Charles Dickens dan H.G. Wells dan Jules Verne, tapi ada juga yang aku bahkan tidak memiliki any faintest idea of what the whole story was all about. Salah satunya adalah novel yang kemudian kubeli bersamaan dengan novel Jane Austen itu, The Great Gatsby yang ditulis oleh F. Scott Fitzgerald.

Jika ingatanku tidak mengelabui, sepertinya among my brother and sisters, hanya aku sendiri yang belum pernah membaca buku ini. Ibuku yang tidak terlalu lancar berbahasa Inggris bahkan sudah menonton versi adaptasi filmnya. Kuambil novel tersebut dari rak tempat ia dipajang untuk melihat harganya. Ah! Sungguh sebuah kebetulan yang menyenangkan, karena harganya lebih murah daripada seporsi Frappucino. Bertambah satu alasan untuk membeli novel ini.

Kubalik untuk membaca sinopsis cerita di sampul belakang, hhmm ... Sepertinya bercerita tentang kehidupan para sosialita di New York. Menarik, mungkin bisa dibandingkan dengan kehidupan para pemuda dan pemudi di serial Gossip Girl.
Tapi alasan paling kuat untuk membaca buku ini justru karena jumlah halamannya yang terbilang tipis, hanya sekitar 120 halaman sejak bab pertama hingga penutup ! Dengan perhitungan kasar dan kira-kira, bisa jadi maksimal hanya butuh satu bulan untuk menyelesaikan membaca buku ini. Tidak menyita waktu, tidak membutuhkan ekstra energi maupun konsentrasi, dan karena tipis dan berukuran kecil membuatnya sangat praktis untuk dibawa-bawa. Jadi tidak ada lagi alasan yang mungkin membuatku urung membelinya. Akhirnya dengan ketetapan hati dan kebulatan tekad, akupun melangkahkan kaki menuju kasir untuk membayar kedua novel ini.

Rencananya, novel Jane Austen akan kuberikan nanti ketika bertemu Lindsay akhir pekan ini, karena kami biasanya bertemu selama beberapa jam setidaknya satu kali dalam sebulan. Sedangkan kisah Gatsby yang luar biasa hebat ini, mungkin akan mulai kubaca besok. Malam ini aku ingin mencoba sekali lagi mencari tahu sampai seberapa jauh aku sanggup menghadapi kedua pembunuh berdarah dingin dalam In Cold Blood.

Semoga saja, kisah tentang Gatsby yang hebat ini bisa memuaskan kebutuhanku akan cita rasa istimewa yang hanya bisa dipuaskan oleh bacaan-bacaan bermutu.