Thursday, July 31, 2008

One Evening at The Bistro



Inside the spacious Loewy
Looking outside to the streets beyond
They do look so undemanding
In these kind of hot summer evenings

I walk in from one of the terrace’s tables
Into the crowd chatty and cheerful
No sad faces in this place
Where they get their coffees and teas, cocktails and wines
From the coolest place in town

Walking by the promenade you can see
From the center tables to the corners to its bar
How people there dressed up
Just so beauty and unavoidable
Showing off glistening smiles
One hand holds a cigarette while the other cocktail glass
Everywhere you turn it’s there

While now I sit and wonder what am I doing here?

In Loewy all the people got modern looks
The self-labeled cosmopolites, young trendsetters, and who’s who-s.
And they have modern bodies too

Somehow sometimes they make me feel
So lonely and so out of place
Makes me want anything more than this
Makes me think that in other time other places
I am anything I want to be
I am any age I want to be
I have the great look that I dreamed to have
And you wouldn’t know the difference

Or would you?

Tuesday, July 29, 2008

The Most Beautiful Little Girl in The World

“You may find her look weird, but for me, she is the most beautiful little girl in the world.”



I was waiting for Gary at Plaza Senayan last Sunday evening because we want to catch up with one another latest details, i.e. sharing juicy gossips about people we know. Having no idea as where to go while waiting for him to arrive from his home at Wijaya, I decided to go browsing some new books at Kinokuniya.

Saat melewati salah satu rak yang khusus memajang buku-buku photography, pandangan mataku tertumbuk pada sebuah buku which boasting such a grand title: 100 Days in Photographs: Pivotal Events That Changed The World.
Berhubung sejak zaman masih berstatus anak sekolahan, mata pelajaran sejarah dunia entah mengapa seakan memiliki magnet tersendiri buatku, langsung saja buku tersebut kuambil dari rak dan kubuka.
Untungnya, buku tersebut tidak disegel dalam plastik kedap udara. Meskipun para pegawai Kinokuniya tidak pernah keberatan untuk membukakan segel plastik yang membungkus salah satu buku jualan mereka, tapi ada sekelumit rasa segan meminta tolong mereka membukakannya karena aku hanya iseng pengen lihat-lihat buku ini dan sudah pasti hampir pasti 99.99% tidak akan membelinya.

Paragraf pembuka di jaket buku bertutur tentang kekuatan foto yang mampu berbicara ketika mendokumentasikan sejarah manusia pertama yang mencoba berjalan menyeberangi Niagara Falls di atas seutas tambang – dan berhasil. Menarik sekali. Apalagi mengingat konteks sejarah terjadinya peristiwa mendebarkan ini yang lebih dari satu abad lalu.
Mulailah konsentrasiku terfokus untuk menyimak isi buku ini. Beragam banget entry-nya, semua disusun kronologis, mulai dari pembangunan Eiffel Tower, pembunuhan Abraham Lincoln, hijrah Gandhi demi mendobrak monopoli atas garam, korban bom atom Hiroshima, ... hingga satu halaman besar hitam-putih foto seorang pria yang sedang mendekap seorang anak kecil di dadanya.
Kalimat keterangan yang menyertai foto menyebutkan bahwa pria tersebut – dengan nama khas Rusia yang aku tidak bisa ingat lagi – adalah ayah dari seorang anak perempuan kecil yang dalam foto sedang dipeluknya dengan erat. Anak perempuan kecil itu lahir lebih dari satu dekade setelah bencana meledaknya reaktor nuklir Chernobyl.
Membaca kutipan ucapan pria tersebut ketika diwawancarai untuk artikel orisinil yang menyertai publikasi foto tersebut – yang kucoba tulis ulang berdasarkan kemampuan ingatanku di bagian pembuka tulisan ini – membuat seakan-akan jantungku naik ke tenggorokan dan hatiku terasa nyeri karena sakit.

Bayangkan saja, anaknya mengalami cacat permanent akibat terpapar efek radiasi nuklir sejak dalam kandungan, sehingga tidak akan pernah bisa duduk sendiri seumur hidupnya, let alone standing and walking. Tengkorak kepalanya membesar seperti anak-anak penderita hydrocephalus – yang beberapa kali menghiasi pemberitaan media nasional yang disebut-sebut sebagai dampak kelaparan akut negeri ini – dan tubuhnya tampak ringkih seakan-akan tidak bisa ia gerakkan sendiri. Dan terlepas dari segala kekurangan kondisi tubuh si anak perempuan kecil, kedua orang-tuanya, dengan kasih-sayang mereka yang begitu besar, benar-benar mencurahkan segalanya untuk merawat anak mereka itu.

Aku harus mencubit tanganku sendiri untuk mengalihkan terpaan gelombang kesedihan dan rasa haru ketika membaca tulisan tersebut.
You call me oversensitive? I am.

Karena sampai kini aku tidak bisa mengerti mengapa ada orang-tua yang tega melakukan kekerasan kepada anak kandung mereka, darah-dagingnya sendiri.
Waktu kecil, aku juga pernah sekali-dua dipukul oleh Bapak ataupun Ibu. Tapi itu juga karena memang diakibatkan oleh kenakalanku sendiri, misalnya menggunting gorden baru di ruang keluarga sehingga bolong-bolong, memecahkan kaca jendela karena terlalu seru bermain, atau karena ketahuan mencuri uang dari dompet Ibu karena lagi pengen belanja permen. Luapan emosi sesaat orang-tua, sesuatu yang aku anggap wajar saja. They’re no angels. Neither I am. Toh hanya sekali dua saja tangannya mendarat di tubuhku, tidak lebih. Besoknya juga sudah biasa lagi, dan tidak ada juga ’bekas gambar tangan’-nya di badan. Tidak sampai seperti yang belakangan sering diekspos oleh media massa, dimana ada anak yang disundut rokok atau tulangnya patah akibat hal-hal sesepele keisengan anak-anak. Dan syukurlah, apa yang aku alami ketika masih kecil sangat jauh bila dibandingkan dengan kesadisan seperti yang dialami almarhum Arie Hanggara.
All I can say, even when some shortcomings occurred once in awhile, that my childhood was very happy and pretty much content.

Dan mungkin bagi anak perempuan kecil yang berada di dalam dekapan ayahnya di dalam foto itu, hidup masa kecilnya barangkali adalah sebuah kehidupan yang berbahagia dan tidak berkekurangan.
Karena ada cinta dan kasih-sayang kedua orang-tuanya yang tercurah baginya.

If she is not the most beautiful little girl in the world by our “normal” standard, I sincerely hope she’s one of the happiest. By any standard.




Note from writer:
Images shown in this piece of writing are different
from the one which became the base of this writing

that was published in the 100 Days in Photographs book.

Monday, July 28, 2008

"Semuuwa Menjeeeeriiiittt ... !!"


Membicarakan film-film horor Indonesia masa kini tentu harus beda perspektifnya dengan produksi sebelum dekade 1990-an. Dari sisi teknik produksi sinema, masa kini sudah tentu (dan memang seharusnya) jauh lebih canggih. Jadi hantu-hantu yang eksis di layar lebar harusnya juga lebih canggih dan lebih happening lagi dalam menampilkan diri. Tidak lagi mempergunakan teknik ”ting!” lalu hantu menghilang.
Ini trik yang lazim dipakai di film-film nasional waktu masih ada Departemen Penerangan. Biasanya sih aku menyebutnya trik Jinny oh Jinny, mengutip judul sinetron komedi yang dibintangi Sahrul Gunawan dan Diana Pungky yang berperan sebagai Jinny, sesosok jin perempuan pinpinbo (pinter-pinter bodoh) yang hidup di dalam cangkang kerang extra large, yang dalam sepakterjangnya selalu dan always pakai teknik on-off cam buat memunculkan atau menghilangkan barang maupun orang (disertai sound effect "ting!") dalam setiap episode serial ini.
Meskipun tentu saja, penyebutan ini tidak tepat karena teknik efek spesial cara ini telah dipergunakan sejak lamaaa sebelumnya. Bisa jadi malahan sudah dilakukan sejak dalam film Loetoeng Kasaroeng kali ya?

Kembali ke perbincangan seputar era kebangkitan kembali film Indonesia dari liang lahat – untungnya itu liang belum ditimbun jadi masih lebih mudah keluarnya daripada harus susah payah gali-gali sendiri, makin horor deh jadinya! – yang katanya ditandai dengan suksesnya film Petualangan Sherina, ada satu film lain yang kala itu kehadirannya cukup menghentak dunia hiburan negeri ini. Judulnya pun cukup memancing rasa ingin tahu dan kehororan: Jelangkung.
Yang jelas, happening banget deh pokoknya film Jelangkung ini, sampai ada urban legend yang katanya film ini memang beneran ada hantunya (kaya masa kini beli hape dibundel kartu perdana, nah ini film dibundel sama setannya), atau yang terpaksa disensor ulang lah karena terlalu seram sampai bikin orang kerasukan saat nonton, atau isunya bahkan ada satu baris dalam tiap gedung bioskop yang harus dikosongkan setiap pemutaran sebagai ”syarat” dari alam ghaib. Yang terakhir ini malah dijadikan premis untuk membuat sekuelnya, Jelangkung 3. Tapi film yang disebut terakhir ini paling kacau deh, katro abis. Belum lagi dialognya yang bikin ketawa ngakak, masa dua orang anak yang tinggal di rumah mewah dengan pembantu segala sampai bertengkar gara-gara rebutan Pop Mie! (Penting banget yak?!)


Nah, salah satu yang paling diingat dari film Jelangkung besutan Jose Poernomo dan Rizal Mantovani ini adalah diorbitkannya salah satu karakter utama film horor ini ke level legendary superstardom.
Halah! Tentu saja bukan karakter Roni Dozer yang tipikal gendud-bodoh atau Harry Panca yang sok jagoan-reckless-stupid, atau siapalah nama perempuan itu yang teriak-teriak ga penting melulu (minta ditampol!), dan juga bukan Winky Wiryawan yang takut-panik tetap manis-manis jambu air.
Yang paling happening dari film ini justru sosok Suster Ngesot yang entah mengapa tampilannya begitu mengerikan. Padahal kan dia ngesot-ngesot doang ya. Tendang aja kalo mendekat terus kabuuur! Sprint 3 menit juga kayanya sudah cukup, itu suster pasti udah ketinggalan jauh di belakang. Kan dia pasti capek ngesot-ngesot kesana-kemari. By the way sekedar trivia, sosok suster ngesot yang seram di film Jelangkung itu kan sebenarnya diperankan oleh seorang lelaki bernama Arief (Yap! Aku tahu pasti karena waktu itu mantengin sampai credit title saking penasarannya). Nah, jadi ga serem lagi kan pas udah tahu? He! He!
Lalu waktu itu lihat episode perdana Extravaganza yang sketsa terakhirnya ada suster ngesot diperankan oleh Aming, malah si suster tampil kocak dan lucu banget. Masa ngesot dari Terminal Kampung Rambutan sampai Studio 1 Trans TV di Tendean? Ga lecet-lecet dan berdarah-darah tuh bokong sampai betis? (sebagai catatan, kalau naik bis aja waktu tempuhnya bisa satu jam lebih lho! Bayangin aja kalo ngesot ...)
Terus waktu aku lihat episode perdana sinetron cupu Di Sini Ada Setan, eh kok ya hantunya suster ngesot lagi sih? Malah ceritanya di situ mengapa sampai ada suster yang ngesot-ngesot makin ga penting. Demikian seterusnya.

Bahkan kini, hampir satu dekade sejak dirilisnya film Jelangkung, sosok suster ngesot masih saja dieksploitasi. Ga ngerasa bosan apa ya? Segala macam alasan udah dipakai untuk menjustifikasi mengapa sampai tercipta aktivitas ngesot tersebut. Mostly karena seks. Dasar orang-orang Indonesia pikirannya kinky juga. Ternyata banyak yang memiliki fetish terhadap petugas-petugas berseragam.
Nah, sepanjang ingatanku, terakhir ya dengan dirilisnya dalam waktu hampir berdekatan, film Suster Ngesot yang dibintangi oleh Nia Ramadhani dan Suster N: Legenda Suster Ngesot yang antara lain dibintangi Wulan Guritno.
Parahnya waktu itu masih ingat banget, ketika aku bersama Ralph dan Bradley mau nonton 28 Weeks Later di Plaza Senayan, saat sedang berjalan menuju studio tempat akan diputarnya film tersebut, tiba-tiba di tengah-tengah jalan, kami sedikit terhadang kehebohan. Seorang perempuan menangis sesenggukan dengan histeris, dan seorang lelaki yang diduga kuat pacarnya sedang berusaha menenangkan dan membujuk perempuan tersebut. Sementara itu beberapa petugas PS XXI tampak bingung berdiri membego di seputar pasangan tersebut. Brad yang memang hobi gosip dan suka mau tau langsung mengorek-ngorek informasi kepada salah satu satpam yang berada di seputaran tempat kejadian perkara dan diduga mengetahui secara pasti kejadian ini. Ternyata oh ternyata, oleh pihak rumah produksi film itu, biar happening mereka mempergunakan talent suster bohongan dengan make-up putih a la hantu-hantuan buat ngesot dan ngagetin penonton yang sedang menonton film tersebut. Entah cara ini bisa dikatakan terlalu sukses atau malah gagal total – judging from what we saw – yang jelas ada kehebohan besar yang diakibatkannya.
My deepest sympathy to the couple. If I were them, pasti langsung bikin tuntutan dan memperkarakan ke meja hijau. Biar tahu rasa itu yang punya ide bikin suster-susteran ngesot dalam ruangan studio saat pemutaran film. Ide bodoh!

Sama seperti masih bodoh aja – setidaknya menurutku – kalau bikin film horror dengan sosok Suster Ngesot sebagai main horror talent-nya. Blah! Sooo last decade aja gitu! Itu karakter sudah habis dieksploitasi, kalau misalnya dianalogikan dengan sumur minyak ya sudah seharusnya diisi dengan air panas lalu ditutup dan ditinggalkan.
Nah, ini juga kejadian yang kurang lebih sama dengan tokoh pocong; mau pakai embel-embel angka 2 kek, 3 lah, 40 kek atau ditaliin sekalipun, ya tetap aja penampilannya guling pake muka kusut (jadi inget salah satu adegan di film Pocong 2 yang sebenarnya sudah ketebak banget what would happened next). Tapi emang betul sih, muka seram mah memang sudah jadi modal dasar buat jadi setan sukses. Makin rusak dan menjijikkan, makin eksis!


Tapi kalau kita melongok ke belakang, salah satu wujud karakter setan tersukses – dan paling legendaris – dalam sejarah panjang sinema Indonesia, kok ternyata wajahnya tidak ada rusak-rusaknya sama sekali ya? Justru malahan mulus putih (banget!) berkat perawatan teratur (yang mungkin) bak putri keraton. Dan ternyata saking iconic-nya karakter setan ini, tidak ada satu pun aktris – sejak tahun 1980an hingga saat ini – yang mampu mendekati – apalagi menyamai – keseraman akting aktris pemeran karakter hantu tersebut.
Sebagai catatan khusus, berkat salah satu adegan yang diperaninya jugalah, ia berhasil merevolusi cara pandang masyarakat Indonesia terhadap sate, hingga saat ini.

Hayo, buat yang baca dan emang suka film-film nasional, terutama yang lahir sebelum tahun 1990-an, tentu pada tahu dong hantu mana yang kumaksudkan di sini?
Ga perlu sampai penasaran (awas hati-hati nanti jadi arwah P...), karena potongan klip video berikut ini menampilkan jawabannya! Selamat menyaksikan ...




Jayalah Sinema (Horor) Indonesia!

Friday, July 25, 2008

Dinda Bakrie or Daughtry? That's The Question.

Dua hari lalu resepsionis kantor mengantarkan sebentuk segi empat kertas karton warna merah ke mejaku.
”Apaan nih?” pikirku yang sedikit merasa terganggu karena sejenak konsentrasi dalam menulis skrip untuk Frida dialihpaksakan untuk benda kecil ini.

Quickview: perhatianku otomatis langsung tertuju pada alamat pengirim dan tulisan INVITATION yang tertera dalam cetak bold. Plus ada logo Sony Ericsson yang membentuk tanda semacam ‘heart’ itu: “I ‘Sony Ericsson logo’ jamming with Daughtry”.

Hasil penelaahan kilat menunjukkan bahwa lembar karton merah ini adalah invitation buat nonton show Daughtry. Wow!
Dari ngeliat alamat pengirimnya yang sebuah publication group, aku langsung tau siapa yang bertanggung-jawab.
(Thanks ya Ruli, semoga kau berbahagia hingga akhir hayat dengan pria ndud-mu ... hehehe ...)

Tanggal acaranya yang tertera: 25 Juli 2008, pukul 18.00 WIB.
Tema acaranya: Sony Ericsson Traffic Jam Street Party.

Langsung kuambil telepon genggamku – which is Nokia, which becomes an irony for the main sponsor, ha! – dan menelpon sang pacar. Secara pacar gitu ya, pasti dia yang ada dalam top of mind kalo buat bersenang-senang.
Plus, minggu sebelumnya saat kita berdua pulang abis nonton The Dark Knight yang mantap gila itu di blitzmegaplex Grand Indonesia, aku sempat bertanya apa dia akan nonton Alicia Keys concert. Terus dia bilang lebih berminat nonton Daughtry. Tapi waktu itu aku masih ga gitu ngeh kalo ternyata show-nya Daughtry itu akan terjadi minggu berikutnya.

Tapi ga sampai 30 detik ngobrol, aku langsung kecewa.
Pacarku ga bisa menemani nonton Daughtry – meskipun dia sempat tereak gembira waktu aku ajukan pertanyaan “How do you like watching Daughtry with me?” – karena dia harus hadir di acara lain.
Acara lain yang glamour dan extravagant yang jadi salah satu hottest rumor ot this past couple of months: The Wedding of The Year (or what Jakarta Social Blog labeled as The Splendid Wedding Plan)
Dia harus datang bukan karena dia kenal keluarga mempelai wanita, tapi justru karena keluarganya kenal dengan keluarga mempelai pria. Jadilah dia harus datang bersama ibu dan bibinya.

Hhmm, aku tahu kalau pacarku memang lahirnya di Singapura, dan pendidikan dasar serta menengahnya juga dilewatkan di negeri singa itu, tapi aku baru tahu kalau keluarganya kenal dengan salah satu keluarga terkaya di negara tetangga – yang oleh Bapak Presiden (then) Habibie once called as “little red dot” – itu.
Ugh, hopefully I don’t sound like ... ehm, well, you know ... gossipy folks ... or even worse, a ‘mountaineering’ (referring to Mira Nair’s Vanity Fair). Which is very untrue in my case.

Anyway, pacarku bertanya apakah Daughtry akan perform malam around 10ish or 11ish. Alasannya, kalau sekitar jam segituan, dia bisa datang after attending that so-called The Wedding of The Year. Yah, meneketehe?! (terj. bebas: how should I know?)

Jadilah seusai perbincangan itu aku kelimpungan nyari temen asik buat nemenin nonton. Yang kira-kira bisa apresiasi musik rock juga.
First name that popped up in mind: Richard. Secara dia akan jadi teman sekantorku bulan depan. Plus dia sangat apresiatif dengan pertunjukan musik. Buktinya, mau keluarin duit jutaan buat nonton Java Jazz tahun ini. Kalo ada yang gratisan, masa sih dia nolak. Eh ga taunya dia lagi kambuh bengekannya. Dengan menangis-nangis bombay gitu terpaksa melepaskan kesempatan ini.

Ya sudah ku-pithcing-in saja tiket ini. Tapi teteup, ke siapa ya?
Ronald is certainly out of question. Bocah manja yang paling males jalan-jalan di luar area jajahannya, Pondok Indah, yang katanya already has everything to offer to satisfy his needs. Mana mau dia main ke area Senayan on Friday evening – unless dijemput. Pakai bajaj, mau?

Pacarku sih menganjurkan untuk ajak William. Tapi sebelum aku bertanya kepadanya, somehow I already know he couldn’t make it. Eh beneran dong. Dia ga bisa. Aku curiga jangan-jangan sebenarnya mau ewes-ewesan sama pacarnya yang penyanyi itu, bukan karena harus menemani Mama di rumah seperti alasan dia.
Mengelebat pikiran iseng: eh kalo seorang penyanyi pas mengalami orgasme, apakah suara desah/teriakannya juga akan terdengar indah dan merdu?

Jadilah kutanya Bradley. Eh itu orang ditelpon jam 11 siang kok ya masih di apartemen aja? Mentang-mentang bos divisi public affairs sebuah rumah produksi raksasa. Asyik bener hidupmu, bro’!
“Eh lo malam ini mo ngapain? Mau jalan sama Tisha atau mau nemenin gue nonton Daughtry nanti malam?”
Respon pertamanya: ”Heh?! Emang lagi ada Daughtry di Jakarta?”
Yaelah! Kalo ga ada, ngapain juga aku ngajakin. Aya-aya wae ni orang.
Setelah menjelaskan duduk perkara agak panjang lebar, akhirnya we made a deal. Sepakat buat nonton bareng but I have to come to his office around 5ish so we can go together. His driver will drop us at the venue. Deal yang sebenarnya rada ngerepotin bagiku, secara kantornya di area Rasuna Said sisi Kedubes Australia yang jam orang pulang kantor berubah jadi neraka kemacetan.

Phew! Untung dapat teman nonton yang kupercaya bakalan bisa dibawa asyik buat seru-seruan (hey, Brad, if you read this, jangan langsung tepuk dada besar kepala dulu!).
Otherwise, these tickets would be definitely wasted. Padahal pas barusan dapat tiket ini, to make sure the schedule – and that I’m not dreaming – aku sampai ngecek situs resmi Daughtry, lho.
Eh yang ketemu under Jakarta’s date malah hysteria, kepanikan, caci-maki - you name it - dari orang-orang yang mengaku fans berat Daughtry yang tidak bisa ngedapetin tiket nonton karena mereka ga mau membeli handphone Sony Ericsson seri Walkman sebagai satu-satunya syarat untuk dapat 2 lembar tiket nonton. Such irony, because I got mine for free. Having friends who have accesses is so much fun, right?

Tapi emang ya, seseru-serunya jalan sama sobat sendiri, lebih seru kalo having fun sama pacar tersayang.

Setuju kan, mai prenz?! (which Bradley would definitely amen-ed loudly to that)

Too bad pacarku harus datang ke resepsi supermewah itu. Otherwise, we’re definitely gonna have F-U-N tonight !!

Friday, July 18, 2008

What If?


What about having some nice espresso brownies and vanilla latte or decaf cappuccino at Starbucks? What if you opened your papercup lid to cool your cappuccino faster, so when you drink it its froth stayed on your upper lip forming a white mustache? You still look cute with that silly soup-strainer and you made me laugh by making faces until my eyes watered.

What about kissing your tender lips inside the car while we’re in the parking lot? I was whistling “Young Folks” when you whispered my nickname in such husky voice I turned around and stopped, lips still mouthing O. Your sexy thoughts flashed in your eyes I can see you burning inside. What if I told you that only by looking at your wet cherry lips I knew that all I want to do was kissing you right there at that moment?

What about lying together side by side on this white beach sands eyes gazing at the blue cloudless sky? The sun just rose the wind brought the salty taste of ocean air. Turning my head looking at you, sleeping soundlessly your smile widened. What if it was not me who was running around in your dream would you tell me that honestly when you wake later on?

What about your promise to be back here by my side to celebrate your birthday privately, just the two of us? You knew too well I can not cook anything but instant noodles, yet I tried hard to prepare your favorite pasta just to make you happy, to see you smile cheerfully. Because no matter what others may say about it being tacky, all I want to do in this world is to make you feel happiness with me.

What if I never let you go to your office that day?
What about staying in bed and cuddling for a little bit longer that day?
What if I made love to you in the shower which would definitely make you to arrive late to your meeting?
What about taking alternative routes just like what you usually did everyday so you wouldn’t be stuck in the daily traffic on that highway?
What if you forgot to bring your cellular phone which you left on the coffee table, and then you return just to pick it up?

You would still be here beside me.
I would never felt this kind of shocked watching that news.
You would still call me at noon just to make sure whether I already had lunch or not.
I would still find you in our place waiting for me to return home after working way until late.
You would still need me to go with you to bookstores and coffeehouses on weekends; “Just for the atmosphere,” like you always said.

I would still have you, you would still love me, I would hugged and kissed you a lot, you would still demanding more.

We would still have – and love – each other.

Tuesday, July 15, 2008

Unyil: Il fantoccio da Italia


Kemarin, ketika sedang menikmati santap siang sembari menyaksikan program Laptop Si Unyil yang membahas proses produksi Teh Botol Sosro, di bagian closing tiba-tiba perhatianku terfokus pada gerakan tangan si Unyil yang sangat eksesif padahal dialognya dengan Meylan saat itu hanya seputar informasi kepada pemirsa bahwa sudah tiba saatnya mereka berdua pulang setelah usai berkeliling pabrik Sosro.

Menarik memang menyaksikan episode Laptop Si Unyil kali ini, barangkali karena topiknya membahas proses pembuatan produk salah satu brand ternama di Indonesia yang sangat dekat dengan keseharian para penduduk negara ini. Istilah kerennya dalam marketing: household name.

Orang Indonesia mana sih yang ga kenal sama Teh Botol Sosro?
Dan orang Indonesia mana juga sih yang ga kenal Unyil?
(Disclaimer: kecuali barangkali bagi generasi yang lahir pasca 1993, karena serial asli Unyil terakhir diproduksi pada tahun tersebut)

Nah, kalau di Indonesia, sepertinya puluhan – jika tidak bisa disebut ratusan – juta orang tentunya sepakat kalau Unyil itu sudah melegenda dan melekat abadi dalam ingatan, menjadi salah satu ikon budaya popular negeri ini.
Bahkan idiom-idiom yang sering dipergunakan dalam serial puppet showngalahin popularitas Sesame Street lho! – ini sesekali masih muncul dalam pergaulan, meski ada juga yang disesuaikan dengan perkembangan zaman, termasuk dengan memperhatikan kondisi perekonomian.
Kan ga lucu aja rasanya hari gini ada yang minta “Cepek dulu dong”. Secara kerupuk putih kalengan itu aja di warung sudah ga dapat dengan dengan duit cepek doang.


Tapi kalau misalnya Unyil dipandang sebagai icon budaya Indonesia, yang mengusik pikiranku justru adalah bahasa tubuh Unyil. Pernah merhatiin ga, setiap kali berbicara, gerak-gerik Unyil jadi mirip orang-orang Italia. Bahkan kalau sedang sangat bersemangat, seperti yang kulihat di episode Laptop Si Unyil kemarin, gerakan tangannya saat berbicara sudah nyaris seperti orang-orang Sicilia, dimana kedua tangannya bergerak melambai kesana-kemari. Mengingatkan kita pada dirigen yang sedang conducting orkestra.

Ya iyalah!
Kalau ga, gimana lagi dong Unyil dan boneka-boneka sejenisnya itu mengaksentuasikan tuturannya? Secara ekspresi wajahnya sudah pasti terbatas banget. Namanya aja clay puppet. Kalau mau dibikin sebagus Wallace & Gromit, bisa jadi untuk menyelesaikan satu episode doang butuh waktu 1 tahun!

Anyway, membahas ekspresi Unyil kaya gini membuatku ingat salah satu joke lama.
Sebuah kapal yang sarat penumpang mengalami kecelakaan di tengah-tengah Samudra Atlantik dan tenggelam bersama seluruh awak, penumpang dan muatannya. Kecuali dua orang Italia yang kemudian berhasil ditemukan tengah mengapung-apung lantas diselamatkan oleh salah satu kapal penyelamat. Saat kedua orang Italia ini telah berhasil diangkat ke geladak kapal, mereka ditanya bagaimana caranya bisa berenang menyelamatkan diri dari kapal naas itu sedangkan para penumpang lainnya gagal dan tewas. Mendengarkan pertanyaan ini, salah satu orang Italia itu dengan ekspresi kebingungan bertanya balik, ”Berenang bagaimana maksudmu? Kami berdua dari tadi sedang asyik mengobrol.”

Tuesday, July 8, 2008

Hey! Jangan B%*@K Sembarangan!

Jadi ceritanya waktu itu aku baru selesai meeting di Balai Kartini yang berlokasi di Jl. Gatot Soebroto, Jakarta. Biasalah, selesai meeting macam ini selalu terada ada urusan yang perlu diselesaikan sebelum beranjak meninggalkan gedung. Daripada nanti terjebak macet saat balik menuju kantor dan tersiksa karena harus buang air, mending urusan yang semacam ini diselesaikan saat itu juga di tempat itu. Kebetulan sarana sudah disediakan, dan seharusnya karena jarang dipergunakan jadinya sudah seharusnya terjaga kebersihannya, ya kan?

Melangkah masuk ke dalam salah satu bilik kloset duduk, awalnya semua tampak biasa aja dan memang ga merhatiin ada yang aneh atau apalah. Fokus pikirannya saat itu adalah sesegera mungkin menyelesaikan hajat yang satu itu. Hingga tibalah waktunya buat mge-flush itu toilet, barulah pandangan mataku tertuju pada signage pengumuman kecil (kurang lebih berukuran kertas A4 dibagi tiga) yang ditempelkan di tembok di atas tangki toilet, yang artinya ditempelkan oleh pengelola kebersihan toilet Balai Kartini di tembok yang langsung menghadap pengguna saat baru masuk ke dalam bilik.

Awalnya sih memang terlihat biasa saja dan apa adanya, sebagaimana pengumuman serupa himbauan maupun larangan yang ditempelkan di merata tempat lainnya.

Saat melihat secara acuh tak acuh pada signage tersebut sebelum berbalik badan dan beranjak keluar dari bilik itulah baru aku merasakan ada sesuatu hal yang aneh dengan signage tersebut. Namun ternyata masih butuh waktu beberapa saat lagi sebelum mata dan otakku menemukan sinkronisasi sensorik yang tepat sehingga berhasil menerjemahkan rangsangan dengan tepat, atau dalam bahasa yang less complicated adalah dengan berhasil menemukan kejanggalan yang tertera pada signage tersebut.

Hayo, coba kamu baca sendiri ... Kira-kira bisakah kamu menemukannya?

Ha! Ha!
Coba lihat poin himbauan terakhir: "Tidak membuang sesuatu ke dalam toilet"

Sekarang marilah kita iseng pikir-pikir sejenak.
Kalau misalnya kita sebagai (calon) pengguna kloset duduk tersebut dilarang membuang sesuatu apapun ke dalam toilet, artinya itu toilet tidak bisa dipergunakan dong??
Karena secara implisit bisa dimaknai bahwa toilet itu ga bisa dipergunakan sebagai wadah untuk menampung buangan air kecil maupun besar, meskipun ekskresi manusia itu kan memang harus dibuang pada tempatnya, yaitu ke dalam kloset duduk tersebut.

Terus kalau memang dilarang oleh pengelola Balai Kartini sebagaimana yang diterakan dalam pengumuman mereka, lantas kira-kira di mana ya di lokasi itu kita diizinkan untuk pup?




Entry penting-ga-penting ini
dituliskan saat aku lagi suntuk
dengan script berbahasa Inggris.

Monday, July 7, 2008

"As Time Goes By"



This day and age we're living in
Gives cause for apprehension
With speed and new invention
And things like fourth dimension

Yet we get a trifle weary
With Mr. Einstein's theory
So we must get down to earth at times
Relax relieve the tension

And no matter what the progress
Or what may yet be proved
The simple facts of life are such
They cannot be removed




You must remember this
A kiss is just a kiss, a sigh is just a sigh
The fundamental things apply
As time goes by

And when two lovers woo
They still say, "I love you"
On that you can rely
No matter what the future brings
As time goes by

Moonlight and love songs
Never out of date
Hearts full of passion
Jealousy and hat
Woman needs man
And man must have his mate
That no one can deny

It's still the same old story
A fight for love and glory
A case of do or die
The world will always welcome lovers
As time goes by

Oh yes, the world will always welcome lovers
As time goes by







Music and words by Herman Hupfeld
© 1931 Warner Bros. Music Corporation, ASCAP

Thursday, July 3, 2008

Love. At Any Cost.



Ku menatap langit malam mendung tanpa bintang

Namun hanya kamu yang ada dalam pikiranku, Sayang

Kubiarkan pikiranku bebas terbang melayang

Benakku bertanya kapan Cintaku datang

Dalam pelukan hangatku, kuingin dia pulang






all my love for R.
at any cost.





Post Script:
This love poem dated back to March 17, 2006,
when it was first published online in my previous blog,
LoveHateDreamsLifeWorkPlayFriendshipSex,
and dedicated to the one I once love so much,
my center of the universe,
R.