Showing posts with label cinema. Show all posts
Showing posts with label cinema. Show all posts

Sunday, October 5, 2008

Hollywood Star, with a Reasonable Doubt


Sejak pertama-kali menyaksikan akting Rachel Weisz di film The Mummy, dari logatnya saja aku sudah tahu kalau dia adalah aktris asal Inggris. Tak perlulah sampai harus browsing online untuk mengkonfirmasikan dugaanku tersebut, yang di kemudian hari memang terbukti benar.

Itulah sebabnya ketika satu brand sabun mandi yang mengklaim produknya sebagai sabun kecantikan para bintang membuat iklan dengan mempergunakan Nona Weisz sebagai bintangnya, yang menjadi perhatianku bukanlah tampilan spesial efek yang memperlihatkan seolah-olah para pria dibuat melayang-layang ketika membaui wanginya aroma varian produk terbaru Lux tersebut, melainkan adalah label yang mengembel-embeli nama Rachel Weisz.

Tertera jelas dalam iklan tersebut : Rachel Weisz – Hollywood Star.

Pertamakali melihatnya, aku sempat tertegun.

Bintang Hollywood?
Sejak kapan?

Adalah betul Rachel Weisz memenangkan penghargaan Oscar untuk kategori Actress in a Supporting Role atas aktingnya yang memukau sebagai aktivis hak-hak asazi manusia yang dibunuh secara sadis dalam film The Constant Gardener. Dan Oscar - meskipun dianugerahkan setiap tahun oleh asosiasi para pekerja sinema Amerika Serikat - disukai maupun tidak, adalah salah satu penghargaan paling prestisius (di dunia sinema) di muka bumi.

Tetapi yang seharusnya dan sebenarnya, sampai kapanpun Nona Weisz tetaplah seorang aktris Inggris, sebagaimana Keira Knightley tidak akan pernah menjadi aktris Amerika.

Klaim berlebihan dan “cenderung menyesatkan” semacam ini sesungguhnya bukanlah sesuatu hal yang sama sekali baru, karena untuk teknik komunikasi menggunakan tipu-tipu halus hingga sampai tahap hiperbola, memang iklannya produk-produk kecantikanlah juaranya.
Salah satu kasus yang terjadi belum lama ini, adalah ketika L’Oreal diprotes akibat mengubah warna kulit Beyoncé Knowles menjadi lebih terang daripada aslinya untuk sebuah versi iklan yang dicetak di majalah Elle.
Sedangkan satu contoh dari dalam negeri yang termasuk menonjol bisa jadi masih dari brand yang sama yang menjadi ide dasar tulisan ini. Beberapa tahun lalu, sabun kecantikan Lux menampilkan kampanye supermahal untuk target pasar Indonesia, dengan mempergunakan para bintang papan atas dunia hiburan negeri ini : Tamara Bleszynski, Luna Maya, Mariana Renata, dan Dian Sastrowardoyo.

Slogannya kala itu: “Beauty Gives You Superpower”

Does it??
You be the judge.

Monday, July 28, 2008

"Semuuwa Menjeeeeriiiittt ... !!"


Membicarakan film-film horor Indonesia masa kini tentu harus beda perspektifnya dengan produksi sebelum dekade 1990-an. Dari sisi teknik produksi sinema, masa kini sudah tentu (dan memang seharusnya) jauh lebih canggih. Jadi hantu-hantu yang eksis di layar lebar harusnya juga lebih canggih dan lebih happening lagi dalam menampilkan diri. Tidak lagi mempergunakan teknik ”ting!” lalu hantu menghilang.
Ini trik yang lazim dipakai di film-film nasional waktu masih ada Departemen Penerangan. Biasanya sih aku menyebutnya trik Jinny oh Jinny, mengutip judul sinetron komedi yang dibintangi Sahrul Gunawan dan Diana Pungky yang berperan sebagai Jinny, sesosok jin perempuan pinpinbo (pinter-pinter bodoh) yang hidup di dalam cangkang kerang extra large, yang dalam sepakterjangnya selalu dan always pakai teknik on-off cam buat memunculkan atau menghilangkan barang maupun orang (disertai sound effect "ting!") dalam setiap episode serial ini.
Meskipun tentu saja, penyebutan ini tidak tepat karena teknik efek spesial cara ini telah dipergunakan sejak lamaaa sebelumnya. Bisa jadi malahan sudah dilakukan sejak dalam film Loetoeng Kasaroeng kali ya?

Kembali ke perbincangan seputar era kebangkitan kembali film Indonesia dari liang lahat – untungnya itu liang belum ditimbun jadi masih lebih mudah keluarnya daripada harus susah payah gali-gali sendiri, makin horor deh jadinya! – yang katanya ditandai dengan suksesnya film Petualangan Sherina, ada satu film lain yang kala itu kehadirannya cukup menghentak dunia hiburan negeri ini. Judulnya pun cukup memancing rasa ingin tahu dan kehororan: Jelangkung.
Yang jelas, happening banget deh pokoknya film Jelangkung ini, sampai ada urban legend yang katanya film ini memang beneran ada hantunya (kaya masa kini beli hape dibundel kartu perdana, nah ini film dibundel sama setannya), atau yang terpaksa disensor ulang lah karena terlalu seram sampai bikin orang kerasukan saat nonton, atau isunya bahkan ada satu baris dalam tiap gedung bioskop yang harus dikosongkan setiap pemutaran sebagai ”syarat” dari alam ghaib. Yang terakhir ini malah dijadikan premis untuk membuat sekuelnya, Jelangkung 3. Tapi film yang disebut terakhir ini paling kacau deh, katro abis. Belum lagi dialognya yang bikin ketawa ngakak, masa dua orang anak yang tinggal di rumah mewah dengan pembantu segala sampai bertengkar gara-gara rebutan Pop Mie! (Penting banget yak?!)


Nah, salah satu yang paling diingat dari film Jelangkung besutan Jose Poernomo dan Rizal Mantovani ini adalah diorbitkannya salah satu karakter utama film horor ini ke level legendary superstardom.
Halah! Tentu saja bukan karakter Roni Dozer yang tipikal gendud-bodoh atau Harry Panca yang sok jagoan-reckless-stupid, atau siapalah nama perempuan itu yang teriak-teriak ga penting melulu (minta ditampol!), dan juga bukan Winky Wiryawan yang takut-panik tetap manis-manis jambu air.
Yang paling happening dari film ini justru sosok Suster Ngesot yang entah mengapa tampilannya begitu mengerikan. Padahal kan dia ngesot-ngesot doang ya. Tendang aja kalo mendekat terus kabuuur! Sprint 3 menit juga kayanya sudah cukup, itu suster pasti udah ketinggalan jauh di belakang. Kan dia pasti capek ngesot-ngesot kesana-kemari. By the way sekedar trivia, sosok suster ngesot yang seram di film Jelangkung itu kan sebenarnya diperankan oleh seorang lelaki bernama Arief (Yap! Aku tahu pasti karena waktu itu mantengin sampai credit title saking penasarannya). Nah, jadi ga serem lagi kan pas udah tahu? He! He!
Lalu waktu itu lihat episode perdana Extravaganza yang sketsa terakhirnya ada suster ngesot diperankan oleh Aming, malah si suster tampil kocak dan lucu banget. Masa ngesot dari Terminal Kampung Rambutan sampai Studio 1 Trans TV di Tendean? Ga lecet-lecet dan berdarah-darah tuh bokong sampai betis? (sebagai catatan, kalau naik bis aja waktu tempuhnya bisa satu jam lebih lho! Bayangin aja kalo ngesot ...)
Terus waktu aku lihat episode perdana sinetron cupu Di Sini Ada Setan, eh kok ya hantunya suster ngesot lagi sih? Malah ceritanya di situ mengapa sampai ada suster yang ngesot-ngesot makin ga penting. Demikian seterusnya.

Bahkan kini, hampir satu dekade sejak dirilisnya film Jelangkung, sosok suster ngesot masih saja dieksploitasi. Ga ngerasa bosan apa ya? Segala macam alasan udah dipakai untuk menjustifikasi mengapa sampai tercipta aktivitas ngesot tersebut. Mostly karena seks. Dasar orang-orang Indonesia pikirannya kinky juga. Ternyata banyak yang memiliki fetish terhadap petugas-petugas berseragam.
Nah, sepanjang ingatanku, terakhir ya dengan dirilisnya dalam waktu hampir berdekatan, film Suster Ngesot yang dibintangi oleh Nia Ramadhani dan Suster N: Legenda Suster Ngesot yang antara lain dibintangi Wulan Guritno.
Parahnya waktu itu masih ingat banget, ketika aku bersama Ralph dan Bradley mau nonton 28 Weeks Later di Plaza Senayan, saat sedang berjalan menuju studio tempat akan diputarnya film tersebut, tiba-tiba di tengah-tengah jalan, kami sedikit terhadang kehebohan. Seorang perempuan menangis sesenggukan dengan histeris, dan seorang lelaki yang diduga kuat pacarnya sedang berusaha menenangkan dan membujuk perempuan tersebut. Sementara itu beberapa petugas PS XXI tampak bingung berdiri membego di seputar pasangan tersebut. Brad yang memang hobi gosip dan suka mau tau langsung mengorek-ngorek informasi kepada salah satu satpam yang berada di seputaran tempat kejadian perkara dan diduga mengetahui secara pasti kejadian ini. Ternyata oh ternyata, oleh pihak rumah produksi film itu, biar happening mereka mempergunakan talent suster bohongan dengan make-up putih a la hantu-hantuan buat ngesot dan ngagetin penonton yang sedang menonton film tersebut. Entah cara ini bisa dikatakan terlalu sukses atau malah gagal total – judging from what we saw – yang jelas ada kehebohan besar yang diakibatkannya.
My deepest sympathy to the couple. If I were them, pasti langsung bikin tuntutan dan memperkarakan ke meja hijau. Biar tahu rasa itu yang punya ide bikin suster-susteran ngesot dalam ruangan studio saat pemutaran film. Ide bodoh!

Sama seperti masih bodoh aja – setidaknya menurutku – kalau bikin film horror dengan sosok Suster Ngesot sebagai main horror talent-nya. Blah! Sooo last decade aja gitu! Itu karakter sudah habis dieksploitasi, kalau misalnya dianalogikan dengan sumur minyak ya sudah seharusnya diisi dengan air panas lalu ditutup dan ditinggalkan.
Nah, ini juga kejadian yang kurang lebih sama dengan tokoh pocong; mau pakai embel-embel angka 2 kek, 3 lah, 40 kek atau ditaliin sekalipun, ya tetap aja penampilannya guling pake muka kusut (jadi inget salah satu adegan di film Pocong 2 yang sebenarnya sudah ketebak banget what would happened next). Tapi emang betul sih, muka seram mah memang sudah jadi modal dasar buat jadi setan sukses. Makin rusak dan menjijikkan, makin eksis!


Tapi kalau kita melongok ke belakang, salah satu wujud karakter setan tersukses – dan paling legendaris – dalam sejarah panjang sinema Indonesia, kok ternyata wajahnya tidak ada rusak-rusaknya sama sekali ya? Justru malahan mulus putih (banget!) berkat perawatan teratur (yang mungkin) bak putri keraton. Dan ternyata saking iconic-nya karakter setan ini, tidak ada satu pun aktris – sejak tahun 1980an hingga saat ini – yang mampu mendekati – apalagi menyamai – keseraman akting aktris pemeran karakter hantu tersebut.
Sebagai catatan khusus, berkat salah satu adegan yang diperaninya jugalah, ia berhasil merevolusi cara pandang masyarakat Indonesia terhadap sate, hingga saat ini.

Hayo, buat yang baca dan emang suka film-film nasional, terutama yang lahir sebelum tahun 1990-an, tentu pada tahu dong hantu mana yang kumaksudkan di sini?
Ga perlu sampai penasaran (awas hati-hati nanti jadi arwah P...), karena potongan klip video berikut ini menampilkan jawabannya! Selamat menyaksikan ...




Jayalah Sinema (Horor) Indonesia!

Tuesday, May 27, 2008

Apa Lagi Yang Kau Cari, Samantha?


Akhirnya Kuntilanak 3 datang juga menghampiri para pemirsa (setianya, eh?!).

Diklaim sebagai sekuel pamungkas dari kisah para pemuja kekuatan gelap dan pemelihara arwah perempuan yang mati penasaran ini, Kuntilanak 3 berhasil menakut-nakuti penonton dengan pakem khas film horor.

Benarkah demikian?
Silahkan Anda menilainya sendiri.



Film ini dibuka dengan adegan Stella (diperankan oleh Paramitha Rusady yang terlihat tetap cantik semlohei dan awet muda dengan terapi suntik botox, ehm ..., maksudnya Laudya Cinthya Bella yang entah mengapa di dalam film ini memang terlihat dan terdengar sangat mirip Mitha) bercengkerama mesra dengan tunangannya (yang bahkan di situs 21cineplex tidak mendapat credit) sembari duduk berpelukan erat di depan cahaya api unggun yang berkelebat dalam hutan lebat di tengah kegelapan rimba yang begitu pekat (rhymes! tapi untungnya tidak sedang bertelanjang bulat *wink!*).
Hanya perlu melihat beberapa detik pertama dari opening scene tersebut, penonton film horor pintar (maksud sebenarnya, penontonnya yang pintar) pasti sudah langsung tahu kalau Stella akan mati secara gory bahkan sebelum opening credit muncul.

Cara menebaknya sebenarnya cukup mudah.
Di tengah hutan lebat di daerah antah-berantah alias no man’s land di tengah malam buta yang sangat dingin (diasumsikan demikian karena si pemeran pria memakai kaos dalam, kemeja, vest DAN jaket SEKALIGUS), Stella yang selalu tersenyum manis manja group mengenakan baju terbuka dengan belahan dada terlalu rendah sehingga memamerkan (jadi bukan sekedar memperlihatkan, lho, dicatet!) cleavage-nya yang tampak begitu menggoda. Tapi ternyata tidak cukup hanya dengan tampil seksi like such biatch, Stella JUGA BERANI MELAKUKAN "tipikal kesalahan fatal yang sudah begitu klisenya karena dilakukan oleh karakter-karakter yang ditakdirkan mati mengerikan dalam film-film horor", yaitu dengan bercanda tentang nasib buruk dan kematian. Di depan tunangannya sendiri (dan seluruh pemirsa), Stella berpura-pura diserang oleh sosok tak terlihat yang mencekiknya sampai sesak napas. Detik itu juga kita mengetahui alamat nasib buruk yang mengerikan sudah pasti menanti dirinya.
Pertanyaannya bukan lagi ”mengapa Stella?”, tapi ”kapan dan bagaimana?”. Penonton ternyata memang tidak perlu menunggu terlalu lama ...

Dan tentu saja tidak perlu intelijensia tinggi untuk mencerna alur cerita film yang berdurasi kurang lebih 2 jam lebih sedikit ini. Anda cuma perlu duduk manis dan siap-siaplah untuk dikagetkan – atau lebih ekstrem lagi, sampai menjerit kencang sambil menutup mata! seperti yang dilakukan oleh teman menonton saya. Biar tidak terlalu gengsi karena dianggap penakut, tunggulah cue dari ilustrasi musik garapan Andi Rianto, yang dijamin akan sangat memudahkan para penonton untuk menebak, ”Ayo siap-siap, setannya mau keluar lagi nih!”. Lalu dengan patuhnya si setan perempuan muncul ... duengg ! *kyaa!*

Tapi kalau polanya begitu terus sepanjang film, berputar-putar tanpa logika yang jelas – kecuali untuk satu hal, bahwa jelas-jelas semua tokoh yang berseliweran berebut screen time sambil melakukan / mengatakan hal-hal bodoh (please lihat lagi sample lain untuk "tipikal kesalahan fatal yang sudah begitu klisenya karena dilakukan oleh karakter-karakter yang ditakdirkan mati mengerikan dalam film-film horor") satu-persatu akan menemui ajal secara mengerikan demi memuaskan nafsu para penontonnya akan muncratan darah atau nafsu untuk ditakut-takuti – lama-kelamaan pasti capek juga melihatnya.


Yang kemudian justru menjadi tantangan menarik bagi penonton, setidaknya bagi saya sendiri lah!, adalah untuk menerka-nerka siapa dari keempat anak muda metropolis tersebut yang akan mati duluan, kapan kejadiannya dan bagaimana atau se-gory apa adegan pencabutan nyawa mereka, dan siapa yang akan menyusul mati berikutnya di tengah pekatnya selimut misteri hutan kelam Ujung Sedo. Setidaknya bagiku, sudah ga penting lagi apakah mereka akan berhasil menemukan mayat kedua sahabat mereka yang telah hilang duluan di dalam hutan, atau setidaknya bisa apakah mereka bisa melacak jejak bekas pipis atau pup si Stella dan tunangannya yang bodoh itu (ya iyalah! di dalam hutan seperti itu kan ga ada jamban!).

Dan begitu penonton berhenti mengkhawatirkan takdir mengerikan apa yang mengintai keempat sahabat dari balik rimbunnya pepohonan, rasanya tidak ada alasan lagi untuk juga peduli pada apa lagi yang bakal dialami Samantha (diperankan kembali untuk ketiga kalinya oleh Julie Estelle). Kalau dia bisa menemukan jalannya sendiri menuju hutan Ujung Sedo, dan kalau dia bisa menemukan gua menyeramkan itu hanya dengan mengandalkan intuisi, rasanya akan lebih baik kalau saja Samantha meninggalkan keempat sahabat tersebut dan tidak melibatkan mereka dalam petualangan yang sejak awal sudah kental bau darah ini. Toh begitu dia berhasil melepaskan diri dari keresehan dan kebodohan keempat sahabat itu, Samantha bisa dengan cepatnya menemukan dan lantas berhadapan langsung dengan sumber dari segala sumber rangkaian malapetaka yang bertubi-tubi menimpa dirinya tersebut, which happened in one of the technically best horror scenes ever graced Indonesian cinema.


However, kudos pantas diberikan untuk aspek-aspek teknis Kuntilanak 3 yang sangat berhasil membangun atmosfer ketegangan yang menakutkan, khususnya di beberapa adegan horor klimaks yang kelas dan kualitasnya jelas-jelas sekian tingkat di atas beberapa rilisan film horor Indonesia belakangan ini (am pointing at the legendary comeback of The Indonesia Queen of Horror, Suzanna. Such a shameful return, Ma’am).