Tuesday, May 27, 2008

Apa Lagi Yang Kau Cari, Samantha?


Akhirnya Kuntilanak 3 datang juga menghampiri para pemirsa (setianya, eh?!).

Diklaim sebagai sekuel pamungkas dari kisah para pemuja kekuatan gelap dan pemelihara arwah perempuan yang mati penasaran ini, Kuntilanak 3 berhasil menakut-nakuti penonton dengan pakem khas film horor.

Benarkah demikian?
Silahkan Anda menilainya sendiri.



Film ini dibuka dengan adegan Stella (diperankan oleh Paramitha Rusady yang terlihat tetap cantik semlohei dan awet muda dengan terapi suntik botox, ehm ..., maksudnya Laudya Cinthya Bella yang entah mengapa di dalam film ini memang terlihat dan terdengar sangat mirip Mitha) bercengkerama mesra dengan tunangannya (yang bahkan di situs 21cineplex tidak mendapat credit) sembari duduk berpelukan erat di depan cahaya api unggun yang berkelebat dalam hutan lebat di tengah kegelapan rimba yang begitu pekat (rhymes! tapi untungnya tidak sedang bertelanjang bulat *wink!*).
Hanya perlu melihat beberapa detik pertama dari opening scene tersebut, penonton film horor pintar (maksud sebenarnya, penontonnya yang pintar) pasti sudah langsung tahu kalau Stella akan mati secara gory bahkan sebelum opening credit muncul.

Cara menebaknya sebenarnya cukup mudah.
Di tengah hutan lebat di daerah antah-berantah alias no man’s land di tengah malam buta yang sangat dingin (diasumsikan demikian karena si pemeran pria memakai kaos dalam, kemeja, vest DAN jaket SEKALIGUS), Stella yang selalu tersenyum manis manja group mengenakan baju terbuka dengan belahan dada terlalu rendah sehingga memamerkan (jadi bukan sekedar memperlihatkan, lho, dicatet!) cleavage-nya yang tampak begitu menggoda. Tapi ternyata tidak cukup hanya dengan tampil seksi like such biatch, Stella JUGA BERANI MELAKUKAN "tipikal kesalahan fatal yang sudah begitu klisenya karena dilakukan oleh karakter-karakter yang ditakdirkan mati mengerikan dalam film-film horor", yaitu dengan bercanda tentang nasib buruk dan kematian. Di depan tunangannya sendiri (dan seluruh pemirsa), Stella berpura-pura diserang oleh sosok tak terlihat yang mencekiknya sampai sesak napas. Detik itu juga kita mengetahui alamat nasib buruk yang mengerikan sudah pasti menanti dirinya.
Pertanyaannya bukan lagi ”mengapa Stella?”, tapi ”kapan dan bagaimana?”. Penonton ternyata memang tidak perlu menunggu terlalu lama ...

Dan tentu saja tidak perlu intelijensia tinggi untuk mencerna alur cerita film yang berdurasi kurang lebih 2 jam lebih sedikit ini. Anda cuma perlu duduk manis dan siap-siaplah untuk dikagetkan – atau lebih ekstrem lagi, sampai menjerit kencang sambil menutup mata! seperti yang dilakukan oleh teman menonton saya. Biar tidak terlalu gengsi karena dianggap penakut, tunggulah cue dari ilustrasi musik garapan Andi Rianto, yang dijamin akan sangat memudahkan para penonton untuk menebak, ”Ayo siap-siap, setannya mau keluar lagi nih!”. Lalu dengan patuhnya si setan perempuan muncul ... duengg ! *kyaa!*

Tapi kalau polanya begitu terus sepanjang film, berputar-putar tanpa logika yang jelas – kecuali untuk satu hal, bahwa jelas-jelas semua tokoh yang berseliweran berebut screen time sambil melakukan / mengatakan hal-hal bodoh (please lihat lagi sample lain untuk "tipikal kesalahan fatal yang sudah begitu klisenya karena dilakukan oleh karakter-karakter yang ditakdirkan mati mengerikan dalam film-film horor") satu-persatu akan menemui ajal secara mengerikan demi memuaskan nafsu para penontonnya akan muncratan darah atau nafsu untuk ditakut-takuti – lama-kelamaan pasti capek juga melihatnya.


Yang kemudian justru menjadi tantangan menarik bagi penonton, setidaknya bagi saya sendiri lah!, adalah untuk menerka-nerka siapa dari keempat anak muda metropolis tersebut yang akan mati duluan, kapan kejadiannya dan bagaimana atau se-gory apa adegan pencabutan nyawa mereka, dan siapa yang akan menyusul mati berikutnya di tengah pekatnya selimut misteri hutan kelam Ujung Sedo. Setidaknya bagiku, sudah ga penting lagi apakah mereka akan berhasil menemukan mayat kedua sahabat mereka yang telah hilang duluan di dalam hutan, atau setidaknya bisa apakah mereka bisa melacak jejak bekas pipis atau pup si Stella dan tunangannya yang bodoh itu (ya iyalah! di dalam hutan seperti itu kan ga ada jamban!).

Dan begitu penonton berhenti mengkhawatirkan takdir mengerikan apa yang mengintai keempat sahabat dari balik rimbunnya pepohonan, rasanya tidak ada alasan lagi untuk juga peduli pada apa lagi yang bakal dialami Samantha (diperankan kembali untuk ketiga kalinya oleh Julie Estelle). Kalau dia bisa menemukan jalannya sendiri menuju hutan Ujung Sedo, dan kalau dia bisa menemukan gua menyeramkan itu hanya dengan mengandalkan intuisi, rasanya akan lebih baik kalau saja Samantha meninggalkan keempat sahabat tersebut dan tidak melibatkan mereka dalam petualangan yang sejak awal sudah kental bau darah ini. Toh begitu dia berhasil melepaskan diri dari keresehan dan kebodohan keempat sahabat itu, Samantha bisa dengan cepatnya menemukan dan lantas berhadapan langsung dengan sumber dari segala sumber rangkaian malapetaka yang bertubi-tubi menimpa dirinya tersebut, which happened in one of the technically best horror scenes ever graced Indonesian cinema.


However, kudos pantas diberikan untuk aspek-aspek teknis Kuntilanak 3 yang sangat berhasil membangun atmosfer ketegangan yang menakutkan, khususnya di beberapa adegan horor klimaks yang kelas dan kualitasnya jelas-jelas sekian tingkat di atas beberapa rilisan film horor Indonesia belakangan ini (am pointing at the legendary comeback of The Indonesia Queen of Horror, Suzanna. Such a shameful return, Ma’am).

No comments: