Thursday, May 29, 2008

I Wish I Knew When I’m Gonna Have Mood to Watch You

Never before in my life, as a self-acclaimed movie-buff, had I intentionally skipped a motion picture that had won many awards and rave reviews from critics and moviegoers alike.
Until the arrival of Brokeback Mountain, hitting huge on big screens worldwide.
But I can assure you, it has nothing to do with its gay-themed issue.



Pertama kali aku menyaksikan trailer film ini di akhir tahun 2005, yang berdekatan waktunya dengan premiere-nya di Festival Film Venesia, deep in my heart langsung kuputuskan bahwa ini film pastinya sangat bagus, dan tidak boleh sampai terlewatkan olehku.

But I tell you what. It was years ago. Because until this very second, aku masih juga belum menontonnya. Even though practically everybody I know already did, even the straight ones.

Why? You may ask. Apa yang sebenarnya terjadi?

Okay, penyebab awal mulanya adalah seperti ini.
Bisakah kamu membayangkan ada satu orang tertentu, yang setiap bertemu dirinya, topik perbincangan dengan dirinya selalu tentang Britney Spears begini dan Britney Spears begitu, Britney Spears peed in the loo.
Yah, ga gitu banget sih sebenarnya maksudku …

It’s just, am not in the position of comparing Britney with Brokeback, though they were both cultural phenomena, at least in North America. Hanya ingin menganalogikan bagaimana rasanya kalau orang yang kebetulan intensitas frekwensi pertemuannya denganmu lumayan kerap, terus ngomongnya ituuuu melulu. Pengen nampar itu orang, ga lo?!

Jadi si orang ini ya, setiap kali bertemu dengannya dalam meeting di sebuah kantor BUMN yang berkantor pusat di Jl. Jenderal Sudirman, akan sempat-sempatnya menggeser kursinya sejenak menghampiri tempat dudukku, atau kalau misalnya ada waktu luang sebelum atau sesudah meeting dia akan secara khusus menghampiriku, lalu mengajak bicara tentang satu hal : “Gimana, Mas, sudah nonton Brokeback Mountain?”

Dan setiap kali jawabanku akan selalu sama: “Tidak, Pak. Belum sempat aja.”

Meskipun aku sudah berusaha menghindari beliau satu ini, dia akan tetap dengan gigihnya mencari peluang untuk menanyakan hal serupa yang itu-lagi itu-lagi. Yah seperti yang kutuliskan itu tadi di atas. Bahkan di tengah-tengah meeting dia sempat-sempatnya menghampiri cuma buat nanya satu hal itu doang. Penting banget ya?, batinku.
Dan kalau jawabanku masih saja negatif, dia akan terus mempromosikan dengan gencarnya. ”Saya nonton terus lho film ini tiap wiken sama istri di EX. Pokoknya saya akan nonton selama masih diputar di XXI” (istrinya ga bosen mampus apa ya?!). Bahkan ia sempat-sempatnya menawarkan untuk membelikan tiket buat nonton. Heh?!?! WTF?!

Andai saja Focus Feature tahu bagaimana gigihnya Bapak satu ini dalam menjualkan salah satu film rilisannya, pastilah mereka akan memberikan insentif sebagai ucapan terimakasih. Mungkin insentif yang pantas ya ketemu sama abang Jack dan mas Ennis.

Tapi terkadang ya, promosinya itu sampai di tahap gengges aja gitu buatku. Bahkan sepertinya rekan-rekan sekantornya, dan supervisorku juga, sampai took notice akan kelakuan si kucing garong ... bukan, maksudku, ya si Bapak itu.
Gila aja! Masa di kemudian hari ya, teman satu tim ku sambil senyum-senyum misterius begitu, mengusulkan diriku untuk secara khusus dihadapkan ke si Bapak ini kalau ingin mendapatkan project approval dari dirinya.

Ih, emangnya lo pikir gue apaan?!
Emang sih si Bapak itu judulnya adalah klien, tapi bukan berarti lantas situ bisa seenaknya nyodorin gue?!
And just for your information ya, gue itu selektif.
Plus, tarif gue tinggi!! (Ha! Ha! Ha! Teteubh!)

Anyway, mari kita kembali ke pokok inti perbincangan dari maksud tujuan utama disusunnya tulisan ini (belibet ngomongnya khas Pu-Ja).

Meskipun kemudian sekitar 1 tahun sudah berlalu sejak terakhir bertemu Bapak itu untuk urusan kerjaan, alias around year 2006, akhirnya aku tergoda juga buat beli DVD Brokeback Mountain (bajakan cap Ambassador, tentu saja!).
Tapi ternyata baru juga mulai nonton sedikit, ekspresi wajah berbinar si Bapak itu kembali terpampang jelas inside this picture of mind. Cengirannya yang khas sambil ngomong, ”Gimana, Mas, sudah nonton Brokeback Mountain?”
Langsung tombol Stop kutekan, lalu keping DVD di-eject dari player.
Am done with this. (And, perhaps) For good.

Bahkan ketika berita mengejutkan tentang kematian mendadak Heath Ledger tersiar ke seluruh dunia, dan semua penggemar film langsung mengenang kembali penampilan dramatis Heath di film ini, aku sama sekali tidak merasa tergelitik / terpancing buat menuntaskan menonton film western pertama Ang Lee ini.

Oho, jangan salah sangka. Am not homophobic at all. Hanya ya kembali ke soal itu tadi.
Kalau ngomongin soal Brokeback Mountain, jadi teringat lagi sama tingkah polah si Bapak itu, dan bagaimana begitu antusiasnya dia ‘berjualan’.

Barangkali, Bapak itu termasuk salah satu orang yang sangat berduka dan terpukul dengan kepergian Heath Ledger. Can’t blame him, sih. Namanya juga penggemar berat. Ya ga sih?

Eh, kebetulan malam ini lagi kosong.
Batal ketemuan dengan Bradley di Starbucks karena dia mau latihan choir dulu di St. Catherine (terus aku disuruh nunggu aja gitu? Whodoyouthinkyouwho?!).
Lagi males juga hang-out dengan Renata, Lesley, dan Fanny di Alessandro’s karena pasti nanti perbincangannya seputar le marriage, konsep yang masih jauuuuuuuhh aja gitu buatku.

Kayanya malam ini bisa nge-date dengan Michael nih? Sudah lama kubiarkan dia menunggu di kamar tanpa tersentuh sedikitpun.
Dan kalau pun mendadak malam ini masih teteup ga ada mood buat dia, ya nikmati saja penggantinya, Ian.

Yang jelas sih, I still could only wish the right time will eventually come when I really have the right mood to watch you, Jack and Ennis!


No comments: