Thursday, January 31, 2008

AC Milan, Made in Indonesia

"Kita masih bangga ngga’ sih kalau memakai produk-produk asli buatan Indonesia ?”

Sebenarnya ini bukan pertanyaan yang janggal karena ujug-ujug muncul dan jadi kalimat pembuka tulisan ini. Namun jika saja Anda mengetahui kisah aslinya, barangkali Anda akan mengerti kenapa aku mengajukan pertanyaan ini.

Jadi beginilah ceritanya.




Baru-baru ini, seorang teman berkunjung ke kantorku pada suatu sore di saat aku sedang tidak sibuk. Karena itu bisalah aku menemani dia ngobrol kesana-kemari khas warung kopi. Meski saat itu kita lebih memilih duduk-duduk di pantry agar kami bisa lebih santai berbincang, daripada duduk di lobby yang berarti dalam jarak pendengaran semua orang, dan teman lelakinya temanku ini bisa sembari menikmati rokoknya. Tentu saja, karena di dalam lobby kantor dan ruang tengah yang biasa dipergunakan untuk menerima tamu sama sekali harus bebas dari asap rokok.

Temanku ini lantas bercerita begitu banyak hal dengan antusiasme tinggi, namun ketika dia menceritakan pengalamannya baru-baru ini, ia malahan jadi lebih penuh semangat lagi. Ceritanya berkisar seputar pengalaman dirinya yang mendapat kesempatan mengunjungi keluarga dari pihak suaminya di kota mode Milan untuk yang kesekian kalinya. Betul sekali, suami temanku ini uno Italiano.

Eniwei, kembali ke maksud awal ceritaku. Meskipun temanku ini merupakan seorang perempuan ayu penyuka fashion dan sering nampang di segmen sejenis Who’s Who di majalah-majalah sosialita, tapi ada satu hal yang agak di ’luar kewajaran’, karena dirinya adalah juga seorang penggemar berat olahraga sepakbola. Terkategorikan fanatik malah. Dia bisa mengimbangi pria manapun dalam obrolan yang membutuhkan pengetahuan ekstensif tentang olahraga rebutan menendang bola ini.

Oleh karena itu wajar-wajar saja jika dalam kunjungannya ke Milan, selain agenda shopping di deretan butik di kota itu, dia bela-belain menyempatkan diri menyambangi Stadion San Siro, yang menjadi markas klub sepakbola AC Milan.

Namun sialnya, demikian ia bercerita, kebetulan sekali pada hari kemampirannya di San Siro, stadion itu lagi ditutup. Tidak bisa dimasuki oleh pihak tidak berkepentingan. Dan memang pas banget sedang tidak ada latihan juga. Padahal temanku ini sudah ’kebelet’ banget melihat salah satu tim kesayangannya berlatih. Setidaknya, kalaupun tidak bisa melihat dengan leluasa, minimal dia berharap bisa mengintip tim AC Milan sedang pemanasan. Atau sekedar sedang menerima taklimat dari pelatih kepala pun, tidak apa-apa. Tapi nihil. Impiannya kandas bahkan sebelum sebelah kakinya melangkah masuk ke dalam stadion.

Barangkali karena merasa iba dan kasihan melihat betapa memelasnya wajah temanku ini, dan untuk menghibur dirinya, keluarga suaminya yang sedang menemaninya saat itu lalu membawa temanku itu ke toko penjual souvenir resmi AC Milan yang lokasinya masih di seputaran tempat itu.

Temanku ini lantas dipersilahkan memilih souvenir manapun yang ia inginkan, dan pihak keluarga yang akan membayarkan. Sudah pasti temanku itu langsung menuju bagian toko yang memajang kostum para pemain. Setelah berkutat agak lama memilih-milih, dan sedikit ribut karena mulai bingung mau ambil yang mana, manager of the day toko itu datang menghampiri temanku ini dengan niat untuk membantunya dalam menentukan pilihan.

Si manajer toko lantas menyodorkan sehelai kaos bola (temanku tidak menyebutkan replika punya siapa) sambil bersemangat mempromosikan kaos tersebut: dibuat dengan bahan kualitas terbaik dan jahitan paling rapi, sama seperti yang dipergunakan oleh tim AC Milan dalam setiap laga mereka.

Mendengar promosi sang manajer, temanku langsung melonjak kegirangan dan mengambil kaos tersebut dari tangan si manajer, lalu melangkah mantap menuju kamar ganti. Namun langkah riangnya mendadak terhenti, matanya tertuju pada label kaos tersebut. Seakan-akan tak percaya ia menatap sebaris kalimat yang tercetak rapi dan jelas di label : Made in Indonesia.

”Bo! Please deh!” tuturnya dengan penuh semangat di depan mukaku, ”Masa gue udah jauh-jauh datang ke Milan buat beli kaos bola asli AC Milan, malah dapatnya yang buatan Indonesia?!?! Udah pasti guenya ga rela dong!”

Namun penjelasan dari si manajer toko menghentikan semua protes temanku itu.
Menurutnya, justru kaos bola asli buatan Indonesia yang ia pilihkan itu justru adalah benar kaos resmi dan sama seperti yang dipergunakan oleh tim AC Milan, karena kualitas produknya memang yang paling baik, melebihi buatan negara manapun. Jadi sudah sewajarnya jika ada konsekuensi berupa harga yang lebih mahal daripada kaos bola lainnya yang diproduksi oleh negara lain yang juga dijual di toko itu, demikian jelasnya.
Temanku itu bahkan sampai diperlihatkan beberapa rahasia kecil untuk memperlihatkan dengan jelas perbedaan kaos resmi tim yang dijual di toko itu dengan kaos-kaos lainnya yang dijual dengan harga lebih murah. Antara lain: jahitan kaos Made in Indonesia itu lebih rapi, dan serat bahannya lebih halus dan kuat.
”Simply the best!”, promosi si manajer dengan antusias.

Dan ketika si manajer mengetahui bahwa temanku itu berasal dari negara produsen kaos yang sedang mereka perbincangkan, dia malah berkomentar lebih lanjut. Intinya kurang lebih memberi selamat kepada temanku itu karena berasal dari negara yang memiliki kemampuan memproduksi barang berkualitas tinggi, dan menambahkan pesan yang kurang lebih berbunyi, ”Seharusnya Anda bangga, karena hasil produksi negara Anda dipergunakan oleh salah satu tim sepakbola terbaik dunia!”

Pada hari itu, temanku itu melangkahkan kaki keluar dari toko souvenir tersebut dengan hati riang sambil menenteng kantong belanjaan (which was veeeerry Indonesian, ya ga sih?!).
Meskipun demikian, hatinya masih sedikit kurang puas dan pikirannya sibuk berputar karena mengingat-ingat isi kantor belanjaan dalam genggamannya.

”Ya iyalah, bo! Secara barang yang gue beli made in Indonesia aja gitu. Tau gitu kan gue mendingan cari aja sendiri pabriknya di Jawa sana! Siapa tau bisa dapat yang lebih murah!”

Ha! Ha! Hati manusia memang paling susah untuk bisa merasa puas ya ...

Ketika kemudian aku bertanya, dikemanakannya kaos resmi tim kesayangannya itu, dia menjawab tegas, "Gue simpan di lemari. Dikeluarin hanya untuk saat-saat tertentu. Tadinya sih pengen gue bingkai aja kaya yang gue liat di film-film itu, tapi kan ga ada tanda-tangannya juga ya, bo. Dan bukan bekas pakai siapaaa gitu. Jadi ga penting juga buat dipajang."

Tiba-tiba teman lelaki temanku yang dari tadi lebih sering diam saja, ikutan nimbrung, "Eh, tapi kata temennya temen gue, kaosnya tim Arsenal juga made in Indonesia lho. Kok kita-kita selama ini ga pernah tau ya? Padahal kan kalo saja yang kaya beginian diekspos media, pasti banyak yang setidaknya bangga kalau jalan-jalan ke mall pakai baju-baju buatan lokal. Ya ga sih?"

Betul juga sih pemikiran itu. Nah, setelah sekarang kamu yang baca tulisan ini tahu, coba tanya diri sendiri deh. Bangga ga sih kalau sekarang kamu pakai baju, celana atau apapun itu barangnya, yang labelnya mencantumkan Made in Indonesia?

Kalau aku sih akan menjawab tegas : "Ya!"

Kalian belum pernah melihat ransel batikku yang asli Yogyakarta, kan??










<Format original tulisan AC Milan, Made in Indonesia pertama kali dipublikasikan online pada hari Selasa, 20 Februari 2007, 16:06:28 WIB >

Monday, January 28, 2008

In The Land of Lego


Reminiscing of the things past as a kid who loved constructing things just to tear it down with much satisfaction, and then rebuild another - usually buildings or the whole town blocks - and brought them down again with quite much planned details as much as a preschool kid could have imagined (like an attack of a vicious gargantuan lizard i.e. Gojira, stormed by a foreign troops invading LEGOLand, or struck by a deadly natural disaster), it seemed very much appropriate when our parents gave me and my younger brother a LEGO set to played with.

It was only a small set designed to be built as a 2-storey house. Perhaps it was the least complicated set, and maybe also the cheapest. But as little kids with broad imaginations, we rarely took it as barriers. Instead, we made it into many variations of sets to support our story-telling powerhouse.
Other than the aforementioned stories, we did a 'play' on our version of soap-opera kind of Dynasty, or as a murder-mystery crime scene that was Murder She Wrote, or as background for a micro-sized reconstruction of last night Amazing Stories.

And when we finally fed up using it as a mere house just like it was intended to be on the first place, we challenged ourselves and constructed many other things instead. It became a thing like trailer-home towed by a plastic 'Made in Taiwan' truck, an exotic shrine for some kind of ancient occult built deep in a dark-mysterious jungle (which translated from our unmowned lawn), or a spaceship created to explore the inscrutable Mars (i.e. my sisters' room).

Oh, boy!

Even when I'm recollecting these years old, previously forgotten memories, I still recalled the fun and cheerful moments we had back then.

That was why I spent almost an hour at Senayan City's atrium last December when LEGO made a new national record in building the biggest miniature city super-blocks ever, complete with skyscrapers, suburbans, a port and an airport (ships and a miniature jumbo jet included).

Admiring the displayed details very much, I was rather more impressed when an older guy looked happily toying with a bajaj LEGO! It seemed that without my knowledge, LEGO has gone local. Wow, that's amazing!

I wonder what other localized models it had produced in the past decades and are already available in stores.

And then I smiled to myself seeing this guy's wide grin as he proudly exhibited the orange three-wheels vehicle - miniature model of the silent witness of the old Jakarta - to his son.

Now I believe that I'm not the only mature guy who still loves playing around with his childhood toys once in a while ("Am looking at you, Eri!"). And certainly, I'm not alone in wanting to congratulate LEGO on it's 50th Anniversary.



"Happy fiftieth anniversary, LEGO! I'll heart you always!"

Wednesday, January 16, 2008

Under The Darkly Night Sky




I have been walking lonely down this empty street tonight
I don’t know what is wrong with me
I have sung Fix You for myself to hear
But this voice trembled harder long before the end
The clouds cover up this darkly starless night sky
I don’t know what is left of me
Somehow I just don’t know what is right with me

Tried to keep my distance
That is what I have done lately
I have besmirched all our memories
But there will always be a trace of you inside me

I still remember some ups we had
You and me laughing at Spongebob and Patrick and the peculiar inhabitants of Bikini Bottom
You tried impersonating their quirky voices just to make me laughed harder
But the ones that tickled me much were your innocent childish smile
And those deep wells on both sides of your cheeks shown each time

And I fell in love with your calm assuasive clear eyes
How they led my battered and bruised self found the serenity within your soul
I will never forget how you pulled me towards you hugged me closely saved me from walking carelessly too close to the edge of sanity
And catered me security
And made me confessed indirectly that it was with you that I fell so much in love of this kind for the very first time

And then you whispered in your sweet husky voice,
“Don’t leave now. Because I need you just as polar bears need Arctic’s ice.”
“Let me in. Because I want to share this warmth within me so that you’ll never again feel that winter in your soul.”
“Hold my hand. Because you’re too precious to ever let go.”
“Stay with me. Because I love you as the night loves being accompanied by the stars and the moon.”
And each time I cried inside, you just knew
“Hush now. I don’t want you shed your precious little diamonds.”

I believe God sent you all the way from His beautiful Garden
As a true sign that He loves me that much
And how I felt so much blessed

But maybe those darkly starless night skies were changing you
Nights before we could ever met for the first time
And even though they put radiant diamonds in your eyes for me to admire at nights before I fall asleep
I will never understand why the same darkly starless night skies gradually changed your heart
To be as cold as those stones on the bank of the solitude lake we visited last monsoon

And I always thought we were going to make this through
You love me love you what else do we need?
“Nothing, just the two of us,” that was your answer the first and also the last time I asked

Yet still I wonder naively,
What things will hold together the loose knots of our relationship?
How I wanted to hear if first from you before holding my hand and lead us walking our life
If in the end you me go,
How many days am I going to regret you?
How many tears am I going to shed for you?

And how vast those darkly starless night skies I am going to look up to and not thinking of you?

Play It Again, Sam



Ilsa: Play it once, Sam. For old times' sake.
Sam: [lying] I don't know what you mean, Miss Ilsa.
Ilsa: Play it, Sam. Play "As Time Goes By."
Sam: [lying] Oh, I can't remember it, Miss Ilsa. I'm a little rusty on it.
Ilsa: I'll hum it for you.
Da-dy-da-dy-da-dum, da-dy-da-dee-da-dum...
[Sam begins playing]
Ilsa: Sing it, Sam.
Sam: [singing] You must remember this / A kiss is still a kiss / A sigh is just a sigh / The fundamental things apply / As time goes by. / And when two lovers woo, / They still say, "I love you" / On that you can rely / No matter what the future brings-...
Rick: [rushing up] Sam, I thought I told you never to play-...
[Sees Ilsa. Sam closes the piano and rolls it away]

* * *


Most of you, I believe, could instantly recognized the title of this blog-entry and the dialogue excerpts were from Casablanca, a movie claimed by many as (one of) the finest ever made in cinematiqué histoire.

But this piece of writing here would not talk about “Casablanca” as a movie but more likely to explain as why I chose certain quote as the title of my blog. The ‘original’ idea was like to give tribute to one of the most famous and most remembered movie quotes in history, which turned out to be inaccurate.

You’ve read the original lines at the beginning of this writing but somehow throughout these years, people kind of mixed them up into what had now become the title for this blog-entry (even Woody Allen wrote a play and a screenplay based upon it).

Anyway, what I really (wanted and) am trying to convey here from the beginning is that in the said movie, “As Time Goes By” was a very special song for Ilse Lund and Rick Blaine when they were still together as lovers in Paris, before the World War II broke out.

The song that would forever reminded them of how happy they were back then.

The song that would always brought back the bittersweet memories.
The song that they would cherished for as long as they live, so that they could always remember that one particular time when they have Paris.

And that was how I get the idea for this blog-entry.

I am going to post certain song-lyrics that affected or influenced me – either my feelings, views, or even my life as a whole – in one way or another, and also write reason(s) as why those particular song-lyrics have (/had) impact(s) on me.

And by doing so, hopefully that as time goes by, I too, can always have Paris ...

Tuesday, January 8, 2008

twentysomething

i am
officially
one
year older

now

Friday, January 4, 2008

Along Went December .07

And so I heard you are working as creative writer, eh? That’s interesting. So tell me, dear lad. How come you failed to write anything? Oh oh ... una momento, please let me restate it to you. You did not update your blog with any new postings on last December, right?

Oh, great. All I need is a little bit of support but hey. Is it too much that I have asked that out of you?

Perhaps it’s because you simply just don’t know, but to tell you the truth, this is the way of me telling you that I care about you. ... Eh, and your so-called creative works of writing.

Well, thanks. I’m so grateful to have you keeping records for me. Now would you please stop bullying me with questions? It’s just feels like accusations.

What?! Accusation? Whoa, wait a minute, young man! You’re not ...

Now hush! I need to concentrate. Hush... shhh...

* * *


Hohum. Baiklah. Aku tahu dan menyadari sepenuhnya bahwa bulan Desember 2007 telah berlalu hampir seminggu. Dan bahwa aku tidak pernah posting satu pun entry baru di Life in The Time of Butterflies selama bulan terakhir tahun kemarin itu. Silahkan menyangka (yep! Sengaja menghindari kata menuduh) diriku adalah seorang pemalas. Atau sudah kehilangan daya kreatif. Tidak apa-apa. I don’t see anything serious about it.
Hmm, hopefully I don’t sounds like a defensive person here.

But anyway, alasan sesungguhnya mengapa nyaris tidak ada postingan apapun selama bulan Desember 2007 adalah karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, sama seperti jutaan pekerja lainnya di kota ini. Bedanya, mereka dikejar target dan deadline. Sedangkan aku, masih bisa bersyukur pekerjaanku tidak dibebani target macam-macam. Only deadlines. And they were enough!

Sejak masuk kerja lagi setelah libur panjang yang berlabel cuti bersama hari raya Idul Fitri, ritme pekerjaan dipacu nyaris tiga kali lipat lebih kencang daripada pada hari kerja biasa. Semua klien seakan-akan berlomba merancang acara dengan cara seksama dan dalam tempo sesingkat-singkatnya, atau setidaknya mereka merancang pitching yang prosesnya sudah harus selesai sebelum libur lagi di akhir tahun. Kebayang bagaimana hectic-nya suasana kantorku. Semua orang pulang selalu di atas jam 9 malam.

Yang membuat suasana semakin “rusuh”, at least to me personally, dalam kurun waktu antara awal November hingga akhir Desember 2007 adalah, being the only writer in my office, aku harus riset singkat mengenai sendratari Ramayana yang biasa dipentaskan di Prambanan dalam satu minggu, dilanjutkan dengan sejarah dan makna filosofis fortune cookies dan coklat praline di awal minggu berikutnya, makna dibalik prosesi penanaman dan penyiraman pohon dalam tradisi Jepang menjelang akhir pekan minggu yang sama, dan masih ada tentang gerakan penghijauan dan pencegahan pemanasan global (meskipun tidak ada kaitannya secara langsung dengan Konferensi Iklim yang berlangsung di Bali), proses quality control setiap unit sepeda motor hingga dinyatakan lulus uji dan siap untuk dipasarkan, serta mengenali beberapa symbol yang berkaitan dengan tradisi dan kebudayaan China, untuk minggu-minggu berikutnya. Masih ditambah dengan menuliskan profil singkat yang harus mengandung human interest tentang lima orang pencipta lagu dan 15 orang pejuang masyarakat yang berasal dari seluruh Indonesia.
Dan rasanya tidak perlu ditambahkan, semua topik dan profile hasil riset tersebut di atas harus dituangkan dalam bentuk tulisan (secara kerjaan writer getoh!) yang bersifat harus singkat namun komprehensif, serta mencakup sebanyak mungkin informasi.
Masih ditambah dengan satu kondisi, harus bisa selesai sesuai tenggat waktu yang diminta klien meskipun pada saat yang bersamaan ditugaskan pula keluar kota (dan saat itu kota Yogyakarta dilanda badai tropis), maupun keliling pusat-pusat bisnis di Jakarta dalam rangkaian meeting yang tidak ada habisnya.

Begitu sibuknya, sampai-sampai dalam satu ketika di masa-masa rusuh penuh pekerjaan itu, aku merasa totally fed up dengan pekerjaan dan otakku seperti menolak untuk berpikir kreatif.
Berjam-jam menghabiskan waktu duduk menatap layar monitor yang menampilkan halaman Microsoft Word yang masih bersih belum ada satu huruf pun. Highly critical condition, first degree. In which this condition, in a more or lesser sense, was in-exclusively mine; and I believe also is very much familiar to many writers. So there’s no point for me bragging about it.

But hey, I am here right now. Artinya, thank goodness, krisis tersebut berhasil diatasi dengan lumayan memuaskan pihak-pihak yang terlibat.
Dan semuanya tentunya berkat bantuan pihak-pihak tertentu, mulai dari menyediakan setumpuk berkas profile 20 orang (yang harus disarikan dalam tempo 24 jam) maupun menemani ngobrol-ngobrol tidak jelas a la warung kopi saat otak sudah terasa terlalu panas untuk diajak berpikir cerdas.

Dan tentu saja, itu artinya di awal bulan pertama tahun 2008 ini, aku harus lebih bersemangat lagi dalam menulis. Dan meng-update blog ku ini.
Because now I now I do really need this. To channel my ideas. Or as a mean to reflect my thoughts and feelings.

And perhaps sometimes, as a medium to brag to you dear fellow readers, on how one of my earlier work helped Dian Sastrowardoyo accomplished her very first job as a host for an awarding night.