Showing posts with label song. Show all posts
Showing posts with label song. Show all posts

Tuesday, July 21, 2009

Di Akhir Usia


Seorang teman memberikan link Catatan Pinggir-nya Bapak Goenawan Mohammad minggu ini, yang mengulas aksi teror peledakan bom di Hotel J.W. Marriott dan Ritz Carlton, Jakarta.

Dari sekilas membaca cepat artikel tersebut, pikiranku justru dibawa melayang pada sebuah adegan klimaks anime Metropolis karya sutradara kondang, Osamu Tezuka. Dalam film tersebut, digambarkan jelas ketika sebuah ledakan mahadahsyat meluluhlantakkan sebagian Metropolis, tak ada efek suara menggelegar memekakkan telinga layaknya yang lazim didengar oleh para penonton sebagaimana biasanya dalam film-film action khas Hollywood.

Sebagai gantinya, visual pengadeganan ledakan tersebut diiringi sebuah tembang lawas lembut memanja gendang telinga, suara mendiang Ray Charles menyanyikan I Can’t Stop Loving You. Anehnya, dampak yang ditimbulkan justru jauh lebih memukau dan menghanyutkan perasaan, jauh lebih efektif dalam menciptakan rasa haru-biru.

Karena barangkali ketika kematian tidak bisa lagi dielakkan, yang memang ingin benak kita ingat menjelang waktu di dunia berakhir, adalah kenangan-kenangan indah tentang tawa, cinta dan bahagia yang pernah kita rasa.

Atau barangkali aku saja yang kebetulan sedang terbawa suasana dan jadi sentimentil? Entahlah.

Tuesday, April 14, 2009

Antara Tidur Siang dan Pakai Kemeja Batik


Mengapa sih rasa kantuk itu diciptakan ?
Berhubung tidak ada Galileo maupun Newton apalagi Dr. Oz buat ditanya, jadi terpaksa mencari jawaban sendiri deh. Untung masa kini ada Google buat menemukan solusi atas mayoritas pertanyaan.

Katanya sih, kantuk dan diikuti aktivitas tidur itu sebagai mekanisme tubuh untuk shutting down semua kerja otot – kecuali jantung tentu saja, karena kalau begitu jadinya bakalan is dead – serta untuk memulihkan energi. Selain itu, bisa juga dimanfaatkan oleh sel-sel tubuh untuk meregenerasi diri.
Terkadang, membaca jawaban khususnya yang terakhir, yang terbayangkan olehku adalah sel-sel kulit mengelupas luruh jatuh ke atas seprai kasur, dan akibatnya setiap bangun pagi jadi harus sibuk bersih-bersih deh. Konyol juga imajinasi semacam itu. Memangnya ular yang kerap berganti kulit?

Jadi sebenarnya hendak bercerita, kalau tadi pagi aku baru mulai sesi pertama di gym dengan personal trainer.

Cieee. Serasa keren banget ga sih, pake PT segala. Jadi teringat Madonna yang umurnya sudah tidak belia lagi tapi bodinya masih aja yahud, nyaris tanpa lemak. Melihat tubuhnya di cover Vanity Fair beberapa bulan lalu emang bikin hati ini terluka. Lebay sih, sebenarnya maksudku merasa tersindir saja.

Jadi ceritanya pakai jasa si Personal Trainer ini menjadi pilihan terpenting bulan ini, mengingat lemak perutku udah bleber kemana-mana. No longer cute love handles. Dan khawatirnya kalau sok-sokan mau coba-coba bakar lemak sendiri, bisa jadi ga fokus karena memang ga tau caranya dan tidak punya ilmunya.

Yang kemudian terjadi, sesi pertama bersama si PT sukses bikin banjir keringat, which is good, dan bikin seluruh tumpukan lemak di tubuh ini jadi gemebyar, mirip gerakan umbul-umbul yang ditiup angin. Kalau kurang bisa divisualisasikan, coba aja dibantu dengan lirik lagu ”Rayuan Pulau Kelapa”.

Anyway, setelah pagi-pagi dibolak-balik hingga gemetaran sekujur badan sama itu PT, sampai sesak napas plus keringat dingin bikin aku lagi-lagi cemas terkena serangan jantung (huah!), lantas melewatkan waktu hampir 10 menit di dalam steam room sangat membantu relaksasi otot-otot yang tadinya sempat kaku.

Apalagi, tadi hanya bersendirian di dalam ruangan penuh uap pekat itu. Senangnya! Meskipun ga berani jauh-jauh dari pintu, takut mendadak ada kenapa-kenapa dengan jantung ini yang mendadak mencurigakan kondisinya, jadi biar bisa langsung keluar dari dalam ruangan bertekanan tinggi. *terasa lebay.

Nah, awalnya aku masih saja bersemangat, tiba-tiba siang ini di kantor saat semua orang lagi dibuat sibuk karena ada proses pitching dengan sebuah institusi keuangan plat merah, rasa kantuk luar biasa menghadang menerjang.

Jangankan buat diajak berpikir, untuk sekedar buka mata saja rasanya tak sanggup. Akhirnya setelah segala daya gagal untuk mempertahankan kesadaran, aku pun memilih pulas sejenak di atas sofa. Tapi kendalanya, ya itu tadi, orang-orang lagi pada sibuk mengerjakan pitching, yang ada beberapa kali aku terbangun akibat bunyi pesawat telepon yang bolak-balik berbunyi kencang. Masih ditingkahi oleh suara telepon genggam entah siapa. Berisik!

Pengen murka rasanya karena istirahat siangku diganggu, tapi tak pada tempatnya juga sih. Secara ini di kantor. Dan jam kerja pula. Tidak ada alasan apapun yang bisa menjustifikasi tidur siangku ini.

Kalau di kantor lama sih, bahkan ketiduran di kantor saat jam sudah lewat pukul delapan malam saja masih dijadikan masalah sama supervisor. Alasannya, kantor buat bekerja! Bukan untuk tidur!

Dikira orang robot apa ya? Masa sudahlah masuknya jam delapan pagi dan langsung sibuk, duabelas jam kemudian istirahat sebentar masih tidak boleh? Sudah gila. Untung saja jaman-jaman jahiliyah itu sudah kulalui dengan selamat. Meskipun sempat sakit-sakitan sebentar, tapi untungnya tidak sampai harus rawat inap seperti beberapa orang teman.

Ngomong-ngomong soal inap menginap, sepertinya ada yang berjanji mau menginap in my crib deh weekend ini. Saat janji tersebut dikemukakan, sempat merasakan happy sejenak sih. Sudah kebayang aktivitas seru apa saja yang akan dilakukan. *smirking*.

Lalu saat membuka e-mail, cengiran itu menghilang, terhapus dari wajah. Ya ampun, Sabtu ini kan ada resepsi nikah salah satu sahabat di masa kuliah dulu? Lokasinya relatif dekat pula, hanya limabelas menit dengan taksi. Tampaknya tidak ada alasan sahih apapun yang akan diterima kalau sampai tidak memunculkan batang hidung di sana.

Kalau begitu, nanti sore sepulang dari kantor, harus segera mengeluarkan baju batik kerah Nehru – yang kubeli dua tahun lalu dari Yogyakarta tapi baru dipakai sekali doang itu – dari dalam lemari untuk diangin-anginkan. Mudah-mudahan tidak kusut tertimpa baju yang lain, dan tidak sampai apek karena dikeluarkan dari dalam lemari hanya sekali setahun.

Ajak si Dia buat menemaniku menghadiri resepsi, tidak ya?

Soalnya, Dia kan sudah berulang-kali mengungkapkan keinginannya untuk melihat aku mengenakan baju batik dan tampil dengan gaya tradisional khas Indonesia. Aku rasa, Dia sih pasti tidak akan menolak. Dan toh, aku juga pasti akan senang didampingi. Asyik !

Friday, October 24, 2008

Hargai Hidup, Nikmati Musik !


Mungkin saja apabila ada pihak-pihak tertentu yang kebetulan sedang mencari contoh dari sesiapa yang layak dikategorikan sebagai Generasi MTV, bisa jadi aku adalah salah satu sampel yang bisa diajukan. Meskipun sebenarnya, aku mengenal MTV baru sekitar akhir dasawarsa ‘80-an dan awal ’90-an, ketika MTV telah melewati usia 5 tahun dan aku sendiri berusia hampir dua kali lipatnya.

Saat itu, menonton MTV menjadi semacam “candu” hiburan yang bisa membuatmu betah duduk terpaku menonton selama berjam-jam. Padahal apabila mencoba kembali mengingat masa-masa itu, sulit rasanya membayangkan betapa aku bisa terpesona melihat penampilan band rock maupun group vocal dengan dandanan baju penuh warna dan kemerilip, pulasan make-up yang untuk standar sekarang hanya mungkin terlihat ketika akan menyambut Halloween, dan yang paling penting ... rambut megar bak surai singa!

Namun aktivitas menikmati musik dan lagu itu benar-benar menyenangkan. Siapa juga yang bisa menyangkalnya? Aku sendiri menjadi semakin teryakinkan tentang hal ini, ketika tadi pagi mengecek koleksi lagu di dalam PC, dan menemukan lebih dari 2600 track audio berupa lagu dan musik dari berbagai genre serta lintas generasi dan setidaknya mempergunakan empat bahasa, yang apabila diputar back-to-back tanpa putus (non-stop), akan membutuhkan waktu lebih dari 190 jam untuk memperdengarkan semuanya.

Barangkali, kesukaanku pada musik kurang lebih sama dan berakar pada manusia purba yang hidup belasan ribu lebih dulu daripada aku. Sebagaimana yang bisa dibuktikan dari temuan-temuan sejarah, musik dan lagu adalah salah satu bentuk kesenian yang paling awal diciptakan oleh manusia, bahkan jauh sebelum mereka mengenal aksara dan sistem perdagangan purba.

Terlepas dari beberapa resistensi yang dilakukan oleh sementara pihak terhadap perkembangan jenis musik dan lagu tertentu di berbagai era – generasi senior yang sekarang berusia di atas 50-an tahun di negeri ini tentu masih bisa mengingat bagaimana almarhum Presiden Soekarno di masa-masa jayanya pernah melarang peredaran dan dimainkannya musik ngak-ngik-ngok semacam The Beatles di seluruh Nusantara – tidak bisa dipungkiri kalau musik selalu berkembang pesat seiring perkembangan kebudayaan umat manusia.
Hingga hari ini, ada begitu banyak jenis ragam genre maupun subgenre yang telah diciptakan manusia, niscaya akan membuat pengkategorian dalam penghargaan musik harus lebih spesifik dan beragam apabila ingin merangkul semua aliran yang ada.

Kembali kepada diriku sendiri, susah rasanya menyebutkan jenis musik apa yang paling kugemari. Biasanya aku akan menjawab yang paling gampang : pop, tanpa bisa menyebut secara spesifik. Padahal kalau melihat koleksi musikku berupa kaset dan CD, bisa jadi akan sedikit membingungkan mereka yang ingin membuktikan pernyataanku ini. Barangkali tidak bisa dipungkiri betapa besar pengaruh MTV dalam menentukan selera musikku, khususnya terkait artis-artis dan musisi-musisi internasional.

Namun bagaimana dengan pengetahuan dan selera tentang artis dan musisi lokal? Bagi mereka yang pernah mengenal masa-masa jayanya TVRI sebagai satu-satunya saluran televisi nasional di era 1980-an, pasti sudah akrab dengan program Album Minggu Kita, Selekta Pop dan Aneka Ria Safari. Kedua program inilah yang bisa dinilai paling bertanggung jawab dalam membentuk selera musik seluruh penduduk nusantara. Sama seperti yang terjadi di keluarga kami. Tiap hari Minggu, kami sekeluarga ketika melakukan aktivitas apapun, cenderung memilih yang bisa dilakukan sembari menonton televisi. Terkadang, kami sekeluarga bahkan tidak melakukan apapun selain semuanya duduk di posisi masing-masing, Bapak dan Ibu di kursi, sedangkan anak-anaknya dalam berbagai pose, mulai dari ikut duduk di sofa sampai menggelesor di atas karpet, semua mata tertuju ke layar kaca, menikmati barisan penyanyi Indonesia yang muncul bergantian untuk berdendang dan bergoyang.

Masih bisa kuingat samar-samar kemunculan grup band yang kini legendaris, Slank, dengan lagu hit pertama mereka, “Suit Suit He He”. Saking terkagum-kagumnya dengan lagu itu, aku dan adikku sampai menulis surat untuk kakak kami yang paling tua yang baru saja masuk kuliah, surat pertama kami untuk anggota keluarga sendiri, dan kami berdua sampai mencantumkan judul lagu Slank itu di bagian akhir surat. Entah untuk tujuan apa, konyol juga rasanya bila diingat sekarang.

Siapa juga yang bisa lupa dengan grup rock asal negeri jiran, Search, dengan hit fenomenal, ”Isabella”? Lagu yang sempat dilarang peredarannya di negeri kita dengan alasan agama. Masih bisa kuingat bagaimana seorang teman sekelas di sekolah dasar, seorang anak perempuan yang tiap kali pelajaran kesenian ketika kami disuruh maju satu demi satu untuk menyanyi, dia akan menyanyikan ”Isabella” dengan penuh penghayatan hingga bercucuran air mata. Sesuatu yang bukan hanya bisa dilakukan oleh Kellie Pickler seorang.

Bagaimana dengan aku sendiri? Malu rasanya bila kini mengingat masa itu, repertoire andalanku ketika giliran menyanyi di depan kelas tiba, adalah lagu-lagunya Julius Sitanggang, mulai dari ”Danau Toba” hingga ”Maria”.

Ada sisi positif juga bertumbuh-kembang di dalam keluarga yang sangat menyukai musik. Keuntungan paling gampang adalah, bisa mendukung pekerjaanku sekarang. Tanpa bermaksud tepuk dada tanya selera (seperti rumah makan padang), aku jadi bisa tahu banyak lagu lintas generasi melebihi yang diketahui oleh atasanku. Bahkan pengetahuan tentang lagu-lagu dan artis-artis musisi yang kumiliki lebih ekstensif daripada petugas talent koordinator kantorku. Terkadang, dia malah jadi repot mencari contact person musisi yang dia belum pernah dengar karena aku yang minta untuk mendukung konsep acara rancanganku. Demikian juga ketika sedang menikmati masa-masa bersantai bersama Dia, entah itu di lounge maupun di nightclub tertentu. Acapkali Dia terkejut dan kagum karena aku tahu lagu apa yang sedang diputar di P.A. atau dimainkan langsung oleh penampil saat itu.

Dan karena selalu ada dua sisi dari setiap cerita, maka tentu saja ada sisi (agak) negatif dari hal ini. Salah satunya yang sempat membuatku malu, adalah ketika jajaran senior management dan direksi salah satu bank terbesar di Indonesia, atas usulan asal-asalan atasanku, memintaku menyanyikan satu-dua bagian dari lagu Dewi Perssik yang rencananya akan mereka jadikan main entertainer dalam acara mereka. Meskipun aku tahu persis lagu apa yang mereka ingin dengar, tapi tidak mungkin rasanya aku memenuhi permintaan yang satu itu. Alhasil saat itu suasana berubah menjadi sangat tidak enak dan kikuk sekali bagiku, ketika para bos itu menatapku menungguku bersuara dan berdendang, sedangkan saat itu dengan ketetapan hati kuputuskan tak akan ada kekuatan apapun di muka bumi ini yang bisa memaksa aku saat itu membuka mulut dan menyanyikan bait demi bait “Mimpi Manis”.

Hidup di dunia bisa jadi belum lengkap tanpa bisa menikmati musik. Namun ternyata, sebagaimana yang dibuktikan sendiri olehku, punya kemampuan yang relatif lebih dalam mengapresiasi musik tidak selamanya berbuah manis. Tapi apakah karena hal itu lantas membuatku kapok dan berhenti mendengarkan musik dan lagu? Jawabannya sudah pasti : tidak mungkin.

Karena bagiku, hidup tanpa musik bagaikan perkawinan tanpa seks.

Thursday, September 18, 2008

Menyoal Iman



Ada yang keliru tentang pemahaman agama di negeri ini.

Ketika setiap group musik / band maupun penyanyi-penyanyi solo berlomba-lomba merilis album ataupun melepas single bernuansa Islami saat tiba Ramadhan, lengkap dengan kekerapan intensitas kemunculan di berbagai media sambil mengenakan baju koko dan peci atau baju kurung dan selendang menutupi sebagian kepala, sambil membahas aktivitas ke-‘artis’-annya selama menjalankan ibadah puasa.

Ketika setiap media infotainment saling berlomba membahas group musik / band mana yang merilis album atau single Islami baru setibanya bulan Ramadhan dan band mana yang tidak melakukannya; dan lebih sibuk menyoal band yang sudah berusia relatif lama namun belum pernah sekalipun melepaskan lagu-lagu bernafaskan keagamaan untuk menyambut ketibaan Ramadhan maupun menjelang hari raya Idul Fitri.

Ketika semua stasiun televisi berlomba menayangkan sinetron-sinetron berbingkai religi di jam-jam tayang utama, atau menampilkan pertunjukan komedi slapstick menjelang sahur maupun saat berbuka tiba; dua jenis tayangan yang patut diragukan nilai-nilai agamis dan makna ibadahnya.

Ketika seorang aktor maupun aktris diidolakan berkat perannya sebagai karakter protagonis yang tetap rajin beribadah dan pasrah meskipun bolak-balik dizholimi dengan tata-cara yang semakin lama semakin brutal dan tak masuk akal dalam sinetron yang dibintanginya.

Ketika kelompok organisasi massa tertentu menyerbu tempat-tempat makan di pinggir jalan yang dikelola secara swadaya dan swadana oleh para pengusaha mikro, saat hari masih siang, di bulan Ramadhan, dengan alasan mengajak orang berbuat mungkar.

Ketika kelompok organisasi massa tertentu menganggap hanya agama dengan tata-ibadah yang mereka anut adalah yang paling benar dan paling tinggi, sedangkan penganut agama yang sama dengan tata-ibadah yang berbeda adalah orang-orang keliru yang tak layak di mata Tuhan.

Ketika dengan alasan diprovokasi, anggota-anggota organisasi massa tertentu yang mengusung panji-panji agama beramai-ramai menyerang dan mengeroyok seorang lelaki dari kelompok yang dianggap musuh hingga terluka parah.
Bukankah di bulan suci ini haruslah mampu menahan emosi, dan mereka yang bisa menahan dan menerima cobaan dengan tabah – sebagaimana yang hendak dikotbahkan dalam sinetron-sinetron berbingkai religi itu – adalah mereka yang berhak atas “Kemenangan” ketika saat itu tiba?

Ada yang keliru tentang pemahaman agama di negeri ini ketika tingkat keimanan seseorang diukur hanya dari apa yang tampak dari luar belaka.

Tuesday, September 9, 2008

"The Rainbow Connection"


Why are there so many songs about rainbows and what's on the other side?
Rainbows are visions, but only illusions, and rainbows have nothing to hide.
So we've been told and some choose to believe it.
I know they're wrong, wait and see.
Someday we'll find it, the rainbow connection.
The lovers, the dreamers and me.

Who said that every wish would be heard and answered when wished on the morning star?
Somebody thought of that and someone believed it.
Look what it's done so far.
What's so amazing that keeps us star gazing and what do we think we might see?
Someday we'll find it, the rainbow connection.
The lovers, the dreamers and me.

All of us under its spell. We know that it's probably magic.

Have you been half asleep and have you heard voices?
I've heard them calling my name.
Is this the sweet sound that called the young sailors?
The voice might be one and the same.
I've heard it too many times to ignore it.
It's something that I'm supposed to be.
Someday we'll find it, the rainbow connection.
The lovers, the dreamers and me.





For more information about "The Rainbow Connection", click here.

Friday, August 15, 2008

Semantics ..., or Just Gay?


Apabila kita berbicara tentang kepribadian seorang musisi kondang berinisial A.D., bisa jadi sifat yang seringkali mengemuka tentang dirinya adalah: Arogan. Seorang teman, meski tidak pernah bertatap muka secara langsung dengan beliau ini, ternyata memendam rasa tidak suka yang amat sangat hingga mencapai level kebencian mendalam. Memang kalau dirunut satu-persatu, bisa panjang daftar yang seakan membenarkan sifat arogansi seorang A.D. ini.

Rumor has it, A.D. dalam kapasitasnya sebagai pemimpin dua kelompok musik bentukannya, melarang semua anggota kelompok band T.R. maupun Dw. (yang saat ini entah masih dengan angka tertentu atau bukan, sebenarnya sama saja) untuk tampil enerjetik di mana saja dan kapan saja sejak beberapa bulan terakhir ini, misalnya dengan melompat-lompat saat perform.
Alasannya? Karena A.D. sudah membuncit (atau menggembrot, terserah pilih kata mana yang kamu suka), dan penampilan enerjetik akan menguras tenaganya dan terlalu melelahkan baginya (barangkali adalah juga karena keberatan jenggot). Buat yang berbadan besar karena timbunan lemak, tentu paham benar alasan ini.

Namun sejak beberapa waktu lalu, kasak-kusuk lain yang terdengar di kalangan tertentu justru menyoal apakah musisi kondang ini ternyata selama ini memiliki kecenderungan menikmati aktivitas seksual yang di luar dugaan banyak orang.

Sebagaimana kata pepatah: Tidak ada asap tanpa api.

Semuanya bermula dari lirik lagu dengan judul berinisial ”S.B.M. (S.M.A.)” yang ditulisnya untuk si hidung runcing M.J. dan kelompok vokal D.D., yang sekarang jumlah personilnya sama dengan jumlah gigi nenek yang sudah tua dalam lagu ”Burung Kakatua”.
Tidak cukup bagi seorang A.D. untuk menciptakan melodi lagu yang entah karena ”kebetulan yang tidak disengaja” sangat mengingatkan pendengar pada lagu kelompok Pussycat Dolls berjudul ”Dontcha” yang sekitar dua tahun lalu merajai tangga lagu dunia, A.D. bahkan juga secara khusus menuliskan lirik yang sangat kental beraromakan seks.

Dan bukan hanya seks ”yang lazim”, tapi ... anal seks.

Yap! Lirik lagu yang pada awalnya menggiring pendengar untuk menganggap lagu ini hanya becerita tentang sakitnya mengalami pengkhianatan (baca: perselingkuhan) ”biasa”, bila mendengarkannya berulang-kali niscaya akan menemukan ”keanehan” lain, karena liriknya justru terasa kurang marah-marah dan kurang emosional bagi seseorang yang diselingkuhi.

Di sinilah yang menjadi entry point untuk membuat pendengarnya berpikir lebih jauh lagi, bahwa lagu ini sebenarnya memiliki subtext sendiri, yang setelah ditelaah lebih luas, ternyata seakan lebih pas jika dilihat sebagai curahan hati seseorang tentang pengalaman pribadi yang traumatis: perihnya disodomi.

Tulisan ini jelas merupakan interpretasi bebas, dan very debatable jika Anda yang membacanya tidak suka. Tapi setidaknya, apabila Anda memiliki waktu luang lebih banyak, silahkan menilainya sendiri dari klip berikut ini.

Dan sebagaimana yang lazimnya diucapkan oleh para VJ MTV, ”Check this out!”



Sekarang, setelah Anda menyimak lirik lagu dari videoklip di atas dengan bersungguh-sungguh, ngerti banget dong poin apa yang kumaksudkan dengan posting di atas?

Now, do you think A.D. as the song composer is playing with semantics, or he is actually ... just plain gay?

Wednesday, January 16, 2008

Play It Again, Sam



Ilsa: Play it once, Sam. For old times' sake.
Sam: [lying] I don't know what you mean, Miss Ilsa.
Ilsa: Play it, Sam. Play "As Time Goes By."
Sam: [lying] Oh, I can't remember it, Miss Ilsa. I'm a little rusty on it.
Ilsa: I'll hum it for you.
Da-dy-da-dy-da-dum, da-dy-da-dee-da-dum...
[Sam begins playing]
Ilsa: Sing it, Sam.
Sam: [singing] You must remember this / A kiss is still a kiss / A sigh is just a sigh / The fundamental things apply / As time goes by. / And when two lovers woo, / They still say, "I love you" / On that you can rely / No matter what the future brings-...
Rick: [rushing up] Sam, I thought I told you never to play-...
[Sees Ilsa. Sam closes the piano and rolls it away]

* * *


Most of you, I believe, could instantly recognized the title of this blog-entry and the dialogue excerpts were from Casablanca, a movie claimed by many as (one of) the finest ever made in cinematiqué histoire.

But this piece of writing here would not talk about “Casablanca” as a movie but more likely to explain as why I chose certain quote as the title of my blog. The ‘original’ idea was like to give tribute to one of the most famous and most remembered movie quotes in history, which turned out to be inaccurate.

You’ve read the original lines at the beginning of this writing but somehow throughout these years, people kind of mixed them up into what had now become the title for this blog-entry (even Woody Allen wrote a play and a screenplay based upon it).

Anyway, what I really (wanted and) am trying to convey here from the beginning is that in the said movie, “As Time Goes By” was a very special song for Ilse Lund and Rick Blaine when they were still together as lovers in Paris, before the World War II broke out.

The song that would forever reminded them of how happy they were back then.

The song that would always brought back the bittersweet memories.
The song that they would cherished for as long as they live, so that they could always remember that one particular time when they have Paris.

And that was how I get the idea for this blog-entry.

I am going to post certain song-lyrics that affected or influenced me – either my feelings, views, or even my life as a whole – in one way or another, and also write reason(s) as why those particular song-lyrics have (/had) impact(s) on me.

And by doing so, hopefully that as time goes by, I too, can always have Paris ...