Friday, October 24, 2008

Hargai Hidup, Nikmati Musik !


Mungkin saja apabila ada pihak-pihak tertentu yang kebetulan sedang mencari contoh dari sesiapa yang layak dikategorikan sebagai Generasi MTV, bisa jadi aku adalah salah satu sampel yang bisa diajukan. Meskipun sebenarnya, aku mengenal MTV baru sekitar akhir dasawarsa ‘80-an dan awal ’90-an, ketika MTV telah melewati usia 5 tahun dan aku sendiri berusia hampir dua kali lipatnya.

Saat itu, menonton MTV menjadi semacam “candu” hiburan yang bisa membuatmu betah duduk terpaku menonton selama berjam-jam. Padahal apabila mencoba kembali mengingat masa-masa itu, sulit rasanya membayangkan betapa aku bisa terpesona melihat penampilan band rock maupun group vocal dengan dandanan baju penuh warna dan kemerilip, pulasan make-up yang untuk standar sekarang hanya mungkin terlihat ketika akan menyambut Halloween, dan yang paling penting ... rambut megar bak surai singa!

Namun aktivitas menikmati musik dan lagu itu benar-benar menyenangkan. Siapa juga yang bisa menyangkalnya? Aku sendiri menjadi semakin teryakinkan tentang hal ini, ketika tadi pagi mengecek koleksi lagu di dalam PC, dan menemukan lebih dari 2600 track audio berupa lagu dan musik dari berbagai genre serta lintas generasi dan setidaknya mempergunakan empat bahasa, yang apabila diputar back-to-back tanpa putus (non-stop), akan membutuhkan waktu lebih dari 190 jam untuk memperdengarkan semuanya.

Barangkali, kesukaanku pada musik kurang lebih sama dan berakar pada manusia purba yang hidup belasan ribu lebih dulu daripada aku. Sebagaimana yang bisa dibuktikan dari temuan-temuan sejarah, musik dan lagu adalah salah satu bentuk kesenian yang paling awal diciptakan oleh manusia, bahkan jauh sebelum mereka mengenal aksara dan sistem perdagangan purba.

Terlepas dari beberapa resistensi yang dilakukan oleh sementara pihak terhadap perkembangan jenis musik dan lagu tertentu di berbagai era – generasi senior yang sekarang berusia di atas 50-an tahun di negeri ini tentu masih bisa mengingat bagaimana almarhum Presiden Soekarno di masa-masa jayanya pernah melarang peredaran dan dimainkannya musik ngak-ngik-ngok semacam The Beatles di seluruh Nusantara – tidak bisa dipungkiri kalau musik selalu berkembang pesat seiring perkembangan kebudayaan umat manusia.
Hingga hari ini, ada begitu banyak jenis ragam genre maupun subgenre yang telah diciptakan manusia, niscaya akan membuat pengkategorian dalam penghargaan musik harus lebih spesifik dan beragam apabila ingin merangkul semua aliran yang ada.

Kembali kepada diriku sendiri, susah rasanya menyebutkan jenis musik apa yang paling kugemari. Biasanya aku akan menjawab yang paling gampang : pop, tanpa bisa menyebut secara spesifik. Padahal kalau melihat koleksi musikku berupa kaset dan CD, bisa jadi akan sedikit membingungkan mereka yang ingin membuktikan pernyataanku ini. Barangkali tidak bisa dipungkiri betapa besar pengaruh MTV dalam menentukan selera musikku, khususnya terkait artis-artis dan musisi-musisi internasional.

Namun bagaimana dengan pengetahuan dan selera tentang artis dan musisi lokal? Bagi mereka yang pernah mengenal masa-masa jayanya TVRI sebagai satu-satunya saluran televisi nasional di era 1980-an, pasti sudah akrab dengan program Album Minggu Kita, Selekta Pop dan Aneka Ria Safari. Kedua program inilah yang bisa dinilai paling bertanggung jawab dalam membentuk selera musik seluruh penduduk nusantara. Sama seperti yang terjadi di keluarga kami. Tiap hari Minggu, kami sekeluarga ketika melakukan aktivitas apapun, cenderung memilih yang bisa dilakukan sembari menonton televisi. Terkadang, kami sekeluarga bahkan tidak melakukan apapun selain semuanya duduk di posisi masing-masing, Bapak dan Ibu di kursi, sedangkan anak-anaknya dalam berbagai pose, mulai dari ikut duduk di sofa sampai menggelesor di atas karpet, semua mata tertuju ke layar kaca, menikmati barisan penyanyi Indonesia yang muncul bergantian untuk berdendang dan bergoyang.

Masih bisa kuingat samar-samar kemunculan grup band yang kini legendaris, Slank, dengan lagu hit pertama mereka, “Suit Suit He He”. Saking terkagum-kagumnya dengan lagu itu, aku dan adikku sampai menulis surat untuk kakak kami yang paling tua yang baru saja masuk kuliah, surat pertama kami untuk anggota keluarga sendiri, dan kami berdua sampai mencantumkan judul lagu Slank itu di bagian akhir surat. Entah untuk tujuan apa, konyol juga rasanya bila diingat sekarang.

Siapa juga yang bisa lupa dengan grup rock asal negeri jiran, Search, dengan hit fenomenal, ”Isabella”? Lagu yang sempat dilarang peredarannya di negeri kita dengan alasan agama. Masih bisa kuingat bagaimana seorang teman sekelas di sekolah dasar, seorang anak perempuan yang tiap kali pelajaran kesenian ketika kami disuruh maju satu demi satu untuk menyanyi, dia akan menyanyikan ”Isabella” dengan penuh penghayatan hingga bercucuran air mata. Sesuatu yang bukan hanya bisa dilakukan oleh Kellie Pickler seorang.

Bagaimana dengan aku sendiri? Malu rasanya bila kini mengingat masa itu, repertoire andalanku ketika giliran menyanyi di depan kelas tiba, adalah lagu-lagunya Julius Sitanggang, mulai dari ”Danau Toba” hingga ”Maria”.

Ada sisi positif juga bertumbuh-kembang di dalam keluarga yang sangat menyukai musik. Keuntungan paling gampang adalah, bisa mendukung pekerjaanku sekarang. Tanpa bermaksud tepuk dada tanya selera (seperti rumah makan padang), aku jadi bisa tahu banyak lagu lintas generasi melebihi yang diketahui oleh atasanku. Bahkan pengetahuan tentang lagu-lagu dan artis-artis musisi yang kumiliki lebih ekstensif daripada petugas talent koordinator kantorku. Terkadang, dia malah jadi repot mencari contact person musisi yang dia belum pernah dengar karena aku yang minta untuk mendukung konsep acara rancanganku. Demikian juga ketika sedang menikmati masa-masa bersantai bersama Dia, entah itu di lounge maupun di nightclub tertentu. Acapkali Dia terkejut dan kagum karena aku tahu lagu apa yang sedang diputar di P.A. atau dimainkan langsung oleh penampil saat itu.

Dan karena selalu ada dua sisi dari setiap cerita, maka tentu saja ada sisi (agak) negatif dari hal ini. Salah satunya yang sempat membuatku malu, adalah ketika jajaran senior management dan direksi salah satu bank terbesar di Indonesia, atas usulan asal-asalan atasanku, memintaku menyanyikan satu-dua bagian dari lagu Dewi Perssik yang rencananya akan mereka jadikan main entertainer dalam acara mereka. Meskipun aku tahu persis lagu apa yang mereka ingin dengar, tapi tidak mungkin rasanya aku memenuhi permintaan yang satu itu. Alhasil saat itu suasana berubah menjadi sangat tidak enak dan kikuk sekali bagiku, ketika para bos itu menatapku menungguku bersuara dan berdendang, sedangkan saat itu dengan ketetapan hati kuputuskan tak akan ada kekuatan apapun di muka bumi ini yang bisa memaksa aku saat itu membuka mulut dan menyanyikan bait demi bait “Mimpi Manis”.

Hidup di dunia bisa jadi belum lengkap tanpa bisa menikmati musik. Namun ternyata, sebagaimana yang dibuktikan sendiri olehku, punya kemampuan yang relatif lebih dalam mengapresiasi musik tidak selamanya berbuah manis. Tapi apakah karena hal itu lantas membuatku kapok dan berhenti mendengarkan musik dan lagu? Jawabannya sudah pasti : tidak mungkin.

Karena bagiku, hidup tanpa musik bagaikan perkawinan tanpa seks.

No comments: