Thursday, February 28, 2008

Dalam Cengkeraman Traumatik "Belahan Jiwa": Sehabis Misteri Muncullah Pelecehan Logika





Ketika lima aktris muda *terpopuler* Indonesia – sebut saja Dian Sastrowardoyo, Rachel Maryam, Marcella Zalianty, Dinna Olivia, dan Nirina Zubir – beradu akting dalam satu film yang sama, hanya satu hal yang tersirat dalam benak: ini adalah trik pemasaran untuk ciptakan rekor box-office. Pertanyaannya: berhasilkah?

Sekar Ayu Asmara, penulis sekaligus sutradara yang sebelumnya menggarap Biola Tak Berdawai (2003) dengan bintang utama Nicholas Saputra, kembali hadir dengan karya yang ditulis dan disutradarainya sendiri, berjudul Belahan Jiwa (Soulmate). Film thriller-drama ini bertutur tentang misteri yang melingkupi jiwa-jiwa teraniaya, yang pada gilirannya mencoba meneror kewarasan para penontonnya lewat caranya yang kelam dan memilukan.

Film dibuka dengan visualisasi samar dan menyeramkan mirip potongan video kutukan dalam Ringu, lengkap dengan perempuan berambut panjang terurai berbaju putih dan suara-suara menakutkan khas film horror. Mendadak suasana berubah menjadi sebuah peragaan busana dengan tubuh-tubuh seksi berbaju minim melenggak-lenggok di atas catwalk dengan iringan dance music a la Kylie Minogue. Perubahan mendadak yang seakan memberikan sinyal-sinyal pendahuluan kepada penonton bahwa seperti inilah film ini akan berkisah. Melompat-lompat liar dan seakan tanpa hubungan.

Tampak empat orang gadis cantik hadir dengan kepribadian yang saling bertolak belakang sedang asyik bercanda di sebuah sofa. Mereka adalah Arimbi (diperankan oleh Marcella Zalianty) si psikiater yang tampak paling stabil namun memiliki obsesi psikologis pada rambut manusia; Cairo (Rachel Maryam) si pelukis ambisius berpaham nihilistic yang sedang mengalami krisis kreativitas; Baby Blue (Nirina Zubir) si arsitek dengan penampilan serbabiru yang rajin bertutur dalam tiga bahasa dan selalu tampil paling ceria; dan Farlyna (Dinna Olivia) sang desainer spesialisas bustier anekawarna yang bicaranya ceplas-ceplos khas Betawi. Empat gadis cantik yang berulangkali mengikrarkan sumpah: “Soulmates forever, sehidup semati!”, bersahabat hingga titik darah penghabisan.

Satu orang gadis cantik lain dalam cerita ini, Cempaka (Dian Sastrowardoyo), hidup terpisah dari dan tidak saling berhubungan dengan keempat gadis lainnya. Cempaka menjalani suramnya kehidupan yang dihantui bayang-bayang kelam kekerasan dalam rumah tangga. Trauma psikologis yang terus mencengkeram jiwa Cempaka terbawa hingga dewasa saat dia tinggal bersama sang pacar, seorang arsitek bernama Bumi (Alexander Wiguna).

Lantas, apakah hubungan antara keempat sahabat, the soulmate sisters, dengan Cempaka?

Perlahan misteri disingkap kepada penonton, bahwa ternyata selama ini Arimbi, Baby Blue, Farlyna dan Cairo, bersama dengan Cempaka yang tentu saja tanpa sepengetahuan mereka, ternyata jatuh cinta pada satu lelaki yang sama, Bumi! Tidak cukup hanya di situ, penonton dibuat semakin terpana, karena ternyata kelimanya hamil pada saat yang bersamaan akibat benih-benih cinta Bumi!

Apakah keempat sahabat yang penampilan luarnya serba kosmopolit dan berpikiran maju tersebut ternyata sama saja dengan Cempaka yang tampil sederhana dan lugu, bisa dibuai oleh perhatian dan kasih-sayang serta rayuan maut si arsitek?
Lantas, apakah sebenarnya hubungan antara Cempaka dengan Arimbi, Baby Blue, Cairo dan Farlyna? Apakah hanya sebatas sama-sama menjadi ”korban” kata-kata manis Bumi, ataukah ada ikatan lain yang jauh lebih kuat yang menyatukan mereka berlima?

Belahan Jiwa menjawabnya dengan penuturan bebas dan (mencoba untuk berkesan) pintar.
Bisa jadi inilah untuk pertama kalinya film Indonesia tampil dalam suatu ensemble casts, dimana terdapat banyak tokoh utama dengan porsi penceritaan yang hampir seimbang, dengan karakter dan konflik yang disajikan secara bergantian bisa dikembangkan cukup matang. Lima karakter unik yang pada akhirnya bermuara pada satu tokoh yang mengandung banyak misteri.

Sekar yang memiliki waktu satu bulan penuh untuk mengembangkan cerita Belahan Jiwa ini, menawarkan keliaran alur yang mengandung teka-teki yang sanggup meneror kewarasan penonton. Upayanya lumayan berhasil, karena sepanjang film penonton bisa dibuat tidak beranjak dari kursi dan sibuk bertanya-tanya, berusaha menebak apa sebenarnya yang sedang terjadi di depan mata.

Ketika di ujung cerita misteri tersingkap, penonton dibuat tertegun dan terpana, dan bagi mereka yang masih tidak memahaminya, jangan khawatir, karena Sekar dengan berbaik hati menawarkan eksplanasi yang mencoba untuk merasionalkan semua kejadian yang sebelumnya masuk akal.
Namun berhasilkah dia? Bisa jadi jawabannya, tidak.

Pribadi-pribadi unik yang dihadirkan Sekar lewat penampilan sosok-sosok molek memang sanggup menahan penonton untuk terus duduk di dalam kegelapan bioskop hingga film berakhir. Namun Belahan Jiwa yang bisa jadi pelopor bagi tampilnya cerita-cerita sejenis, ternyata tidak lebih dari sebuah terror mental bersifat irasional bagi semua penontonnya, lebih seperti racauan seorang pengidap kelainan jiwa, sesuatu yang ironisnya, merupakan tema sentral film ini.

Lihat saja Baby Blue, seorang arsitek muda penuh gaya dengan tongkrongan serba biru bahkan hingga ke mobil yang dikendarainya, lebih mengingatkan penonton pada karakter perempuan judes berhati dengki yang diperankan oleh Vicky Burki dalam salah satu sinetron remaja yang juga diproduksi oleh Multivision Plus, rumah produksi yang masih saudara kandung PH penghasil Belahan Jiwa. Bedanya, tentu saja Baby Blue jauh lebih menarik. Dikisahkan, meski selalu tampil ceria - sesuatu yang sudah menjadi trade mark kepribadian asli Nirina - sesungguhnya Baby Blue terobsesi pada kematian akibat saudari kembarnya, Baby Pink (yang tentu saja berpenampilan serba merah jambu), tewas mengenaskan dalam sebuah kecelakaan lalulintas. Jika sedang bimbang, cemas atau dalam kondisi instabilitas emosional lainnya, maka Baby Blue akan langsung was-wes-wos dalam tiga bahasa: Mandarin, Indonesia, dan Inggris (namun ada satu ”kecelakaan bahasa” yang diucapkan Baby Blue, alih-alih ingin mengklaim dirinya tidak mau menjadi seorang passive-smoker, Baby malah memprotes asap rokok yang dihembuskan Cairo dengan pernyataan ”I dont want to be a second-hand smoker!”) – yang lagi-lagi sebenarnya Nirina banget.

Beda lagi dengan Cairo, seorang pelukis impulsif dengan gejolak jiwa meluap-luap yang keseimbangannya bisa terganggu kapan saja. Sifatnya yang nekad, slenge’an dan tidak bisa diatur siapapun – sedikit mengingatkan penonton pada penampilan Rachel yang gemilang dalam Arisan! - bahkan oleh pemilik galeri (Robby Tumewu) yang langganan memamerkan karya-karyanya. Sifat Cairo yang cenderung paling gila dan anti-kompromistis di antara keempat sahabat, menjadi semakin ekstrem dengan pilihannya untuk melakukan aborsi untuk kemudian mempergunakan residunya sebagai bahan lukisan. *euw!*
Sifat Cairo tersebut bertolak-belakang dengan Arimbi si psikiater yang memiliki fetishisme pada rambut manusia. Arimbi selalu tampil tenang dan stabil, bahkan ketika menghadapi pasiennya, Sofia (Indah Kalalo), yang mengalami trauma hebat sebagai korban perkosaan. Namun di antara keempat sahabat, justru Arimbi-lah yang pertama kali mengalami guncangan mental – yang tampaknya ’lazim’ dialami oleh kebanyakan karakter yang diperankan Marcella sebelum ini – sedemikian hebat yang berujung pada niatnya untuk mengakhiri hidup.

Di antara bayang-bayang gelap ketiga karakter soulmate sisters, untunglah ada keceriaan Farlyna, seorang desainer kutang kontroversial berdarah Betawi yang sangat sukses diperankan Dinna Olivia. Sebagai satu-satunya karakter yang tampak normal tanpa dihantui pengalaman traumatis, Farlyna mampu menarik simpati penonton meskipun dibenturkan dengan karakter pejuang moral dan akidah Islamiah – yang secara mengejutkan diperankan oleh Ria Irawan – melalui lontaran peribahasa kocaknya.

Sedangkan karakter paling misterius, Cempaka, pada awalnya tampak tidak memiliki hubungan apapun dengan keempat soulmates selain karena mencintai satu orang lelaki yang sama, serta mengalami traumanya sendiri.
Ketika masih kanak-kanak, Cempaka kecil menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ibunya (Endhita) tewas di tangan sang ayah yang kemudian melakukan penganiayaan seksual padanya sebelum akhirnya tewas bunuh diri. Cempaka pun beranjak dewasa dalam kungkungan bayangan pengalaman tragis dan konflik batin yang menimbulkan trauma mendalam tak tersembuhkan pada jiwanya – satu karakter yang tampaknya memang dibentuk khusus untuk diperankan oleh seorang Dian Sastrowardoyo.

Bagi para penonton pintar yang terbiasa menonton film-film cerdas, sesungguhnya misteri film ini sudah terkuak begitu karakter Sofia menyeruak dari Indah Kalalo. Sebagai pendatang baru, Indah bermain cukup apik sebagai seorang korban perkosaan yang histeris. Trauma yang dialaminya mampu dinafaskan Indah melalui tiga karakter yang saling bertolakbelakang. Konseling yang dijalaninya dengan bimbingan Arimbi justru merupakan kunci pertama pembuka misteri film ini.

Belahan Jiwa memang bertutur tentang multiple personality disorder, suatu gangguan jiwa dimana si penderita menciptakan lebih dari satu kepribadian diluar kesadarannya yang tampak sama nyata dengan kepribadian aslinya. Penderita multiple personality disorder seringkali tidak menyadari bahwa dirinya mengidap kelainan ini karena semua kepribadian tersebut seringkali berinteraksi di alam bawah sadarnya.
Kembali ke cerita Belahan Jiwa, pertanyaan yang kemudian tersisa hanyalah, karakter manakah yang sesungguhnya mengalami multiple personality disorder ini?

Tampaknya Sekar tidak mau membiarkan penonton filmnya menebak dengan mudah. Dengan sengaja dan sadar, Sekar menyodorkan tipuan kasar yang menjebak penonton, yang tetap mengarahkan pikiran penonton bahwa Belahan Jiwa adalah kisah penipuan yang dilakukan oleh seorang buaya darat bernama Bumi pada gadis-gadis manis yang sama-sama bernasib malang, dihamili oleh seorang lelaki yang setidaknya menolak untuk bertanggungjawab terhadap satu di antara mereka berlima.

Berbeda dengan film sejenis, seperti Fight Club dan Identity (atau bahkan perihal ”ketidaksadaran alam bawah sadar” dalam The Sixth Sense), yang berhasil mengecoh penonton namun dalam pengungkapannya masih berkesan masuk akal, Belahan Jiwa secara pintar telah melakukan penipuan mentah-mentah yang justru bermuara pada pembodohan dan pengangkangan logika para penontonnya.

Semenjak kemunculan karakter Sofia, penonton yang pintar tinggal menebak yang mana karakter asli dan mana karakter bohongan. Namun semuanya dikaburkan oleh Sekar Ayu Asmara dengan sengaja memperlihatkan secara eksplisit bahwa Bumi berinteraksi dengan semua karakter perempuan utama.
Tidak cukup sampai di situ, Bumi bahkan turut berinteraksi dengan karakter-karakter lain yang sesungguhnya bisa jadi hanyalah sub-karakter ciptaan lain dari karakter-karakter yang sudah ada sebelumnya.

Pelecehan Sekar terhadap logika para penonton film ini terlihat paling jelas di adegan kencan Baby Blue dengan Bumi, ketika kemudian mereka berdua melihat Arimbi dan Cairo yang berjalan meninggalkan restoran. Adegan yang diperlihatkan kepada penonton adalah bagaimana Bumi dengan gugupnya segera memakai kacamata hitam (di dalam satu restoran dengan penerangan minimalis ketika hari sudah malam!) untuk menyembunyikan wajahnya karena takut dikenali Arimbi dan Cairo.
Bagi penonton pintar, ini jelas suatu pukulan keras bagi rasio mereka, mengingat bahwa setidaknya ketika satu karakter yang secara fisikal hadir di hadapan Bumi, tidak mungkin mampu memperlihatkan kepribadiannya yang lain hadir secara fisikal pula, kecuali kalau Baby Blue selain memiliki kemampuan berbahasa dan menggambar yang baik, juga memiliki kemampuan supranatural luar biasa; atau barangkali jawabannya justru terletak pada *kenyataan* bahwa semua insiden tersebut terjadi hanya di dalam khayalan si penderita multiple personality disorder.

Merasa masih belum cukup tipuan yang disodorkan, masih ada satu adegan yang kemudian menjadi sangat irasional ketika Arimbi, Cairo, Baby Blue dan Farlyna “menyerbu” rumah Bumi hanya untuk menemukan seorang lelaki lain yang mengklaim sudah puluhan tahun tinggal di rumah tersebut dan tidak mengenal lelaki lain bernama Bumi. Bahkan satpam yang sebelumnya menunjukkan lokasi rumah Bumi pada Baby Blue diperlihatkan menghindar ketika ditanyai ulang.
Satu adegan yang tidak relevan dan mengacaukan logika, ketika beberapa menit kemudian yang terlihat adalah Bumi, di rumah yang sama, berusaha membujuk Cempaka untuk menikahi dirinya.

Tampaknya, bagi Sekar Ayu Asmara, satu tipuan (dan satu kasus irasionalitas) saja tidak pernah cukup. Ia tampaknya berusaha terlalu keras untuk bertutur secara pintar.

Ketidaklogisan alur dan kerapuhan titik tolak penceritaan masih diperparah oleh adegan antiklimaks ketika si psikiater yang asli memberikan penjelasan pada Bumi mengenai multiple personality disorder yang berkesan sangat menggurui para penonton, yang tampak hanya sebagai pembelaan rasionalitas cerita dan untuk mengajari penonton yang mungkin masih tidak mengerti ketidakwarasan si karakter utama, sesuatu yang sebenarnya sudah diperlihatkan dengan jelas oleh potongan adegan yang saling melompat tentang jari yang dibakar, lengan yang disuntik dan mawar yang dimakan.

Tidak cukup menggurui penonton sampai di situ, Sekar Ayu bahkan merasa penting untuk menampilkan pesan moral yang ditampilkan secara vulgar memenuhi layar sebelum bergulirnya credit title, sesuatu hal yang sangat ketinggalan zaman dan yang sudah puluhan tahun tidak pernah terlihat dalam sinema Indonesia.

Tampaknya pihak MVP Pictures sadar sesadar-sadarnya bahwa jualan utama film ini adalah wajah-wajah rupawan para pemainnya. Terlepas dari kisah yang sebenarnya sangat potensial untuk digarap lebih maksimal dengan tawaran twisted ending yang lebih memikat (dan tentunya, lebih masuk akal), satu hal yang masih sangat jarang dalam sinema Indonesia, penonton dianggap pasti dapat dibujuk dengan pancingan rasa ingin tahu untuk menyaksikan kolaborasi para aktris papan atas negeri ini. Maka tidaklah mengherankan, bahwa meskipun cerita yang disodorkan Sekar Ayu Asmara tergolong absurd, penikmat film Indonesia akan tetap dapat digiring untuk menyaksikan film yang seringkali mengobral close-up shots wajah-wajah cantik tersebut.

Bagi mereka yang sekedar suka menyaksikan keindahan, film ini jelas jadi pilihan. Namun bagi penonton pintar yang selain menyukai visualisasi keindahan namun tidak bisa mengabaikan faktor logika dalam penuturan cerita, Belahan Jiwa, sama seperti yang diderita oleh karakter utama film ini, bisa jadi pengalaman menonton yang traumatik bagi jiwa.








- artikel orisinil Dalam Cengkeraman Traumatik "Belahan Jiwa": Sehabis Misteri Muncullah Pelecehan Logika pertama kali dipublikasikan online pada tanggal 29 November 2005 -

Wednesday, February 27, 2008

Thank You for Being There

Adalah sebuah kebiasaan (atau barangkali lebih tepatnya, tradisi?) bagi kami para mahasiswa di kampus ini (dan barangkali juga, di seluruh jurusan lain di universitas ini, tapi untuk yang ini aku tidak terlalu yakin) untuk mencantumkan ‘Ucapan Terimakasih’ yang panjang lebar dan berbunga-bunga dalam cetakan draft final skripsinya.

Alasannya barangkali adalah karena kebanyakan mahasiswa ini berpikir, bahwa skripsi yang (bisa jadi ya, bisa juga tidak) disusun dengan keringat darah dan banjir air mata ini adalah “langkah terakhir” dalam kehidupan akademisnya. Tidak akan lagi dirinya menulis laporan ilmiah dalam tingkatan lebih tinggi daripada skripsi. Dalam artian, S-1 akan menjadi jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah diselesaikannya.

Setidaknya, pendapat tersebut di atas hingga saat ini masih berlaku atasku, dan hal itulah yang ada di dalam benakku dan beberapa teman yang tergabung dalam kelompok belajar yang sama (Ha! Ha! You are not mistaken, di kampus aku tergabung dalam dua kelompok belajar yang berbeda. Can you believe that?! I was that diligent back then), yang seusai dinyatakan lulus dalam sidang sarjana, seakan-akan berlomba-lomba menuliskan ‘Ucapan Terimakasih’ yang paling komplet dan komprehensif.

Rasanya konyol kalau diingat-ingat lagi sekarang, but surely back then, kayanya gimanaaa gitu kalau teman-teman dekat dan lumayan dekat dengan kita menunjukkan rasa terimakasihnya (atas sumbangsih kita terhadap upaya-upayanya untuk lulus) secara eksplisit, hitam di atas putih. Bahkan beberapa orang teman secara terang-terangan menunjukkan kegembiraannya bila ada teman lain yang menuliskan namanya di dalam daftar ucapan terimakasih, dan kekecewaannya – meskipun tetap dengan nada bercanda – ketika namanya terlewatkan oleh teman tersebut.

How about me?
Sebagai alumnus dengan urutan kelulusan 52, dicantumkannya namaku dalam setidaknya 30 “Ucapan Terimakasih” teman-teman yang telah mendahuluiku lulus dari jurusan ini tentu menggembirakan dan memotivasiku yang sempat menghadapi kendala serius saat-saat merancang isi bab II sampai bab Kesimpulan.

Anyway, singkat cerita, akhirnya aku dinyatakan lulus juga (meski kalau diingat-ingat lagi, masih menyimpan sekelumit dendam dan sakit hati kepada salah satu dosen penguji yang sok idealis dan cuma memberikan nilai B karena menganggap aku ga tahu apa-apa soal metode penelitian ilmiah, but turned out to be bisanya cuma omong doang: keep on day-dreaming, pak! lo pantes banget jadi pembual besar ...).

Nah, in the course of events that followed sidang sarjanaku membuatku jadi merasa agak special case nih. Soalnya, di saat minggu yang sama ketika diadakannya ujian sidang kelulusan S-1 itu, aku diterima bekerja di salah satu broadcast TV station di Jakarta.
Dan itu artinya aku harus pindah ke ibukota secepatnya. Harus bergerak cepat.

Dan karena memang pada dasarnya aku paling malas terlibat dengan urusan birokrasi a la instansi pemerintah, jadilah demi mendukung kelancaran memulai my first professional-institutional job itu, jadilah aku menempuh jalur khusus. If you’re an Indonesian, you don’t have to ask what does that italic phrase mean. Ha! Ha!

Anyway, jalur khusus semacam ini membuatku tidak perlu repot submit draft cetakan skripsi sebagaimana yang lazim dilakukan oleh semua mahasiswa yang lulus sebelum dan sesudahku. Tapi itu juga artinya, ada hal yang belum terselesaikan, hingga kini.

Yap! Betul sekali! Aku jadinya ga pernah dapat kesempatan untuk menuliskan “Ucapan Terimakasih”-ku sendiri. Beda ceritanya kalau misalnya aku seorang artis rekaman atau penulis buku, tentu ada kesempatan besar untuk setidaknya menyelipkan beberapa nama dalam daftar acknowledgement. But it turned out, kerjaanku sekarang ini kerjaanku ‘hanyalah’ sebagai seorang penulis skrip. Itupun skrip yang made by order.

Padahal waktu masih dalam tahapan menulis Bab I. Pendahuluan untuk skripsiku, draft awal “Ucapan Terimakasih”-ku sudah mulai ditulis berbarengan, dan terus mengalami revisi. Namun apa lacur, hingga detik ini tak ada seorang pun yang pernah membacanya selain aku.
Boleh percaya boleh juga tidak, tapi beberapa kali aku sempat-sempatnya sampai bermimpi soal ini.
Barangkali karena “Ucapan Terimakasih” ini merupakan bagian yang belum terselesaikan dalam hidupku, dan jadi memori yang mendekam menggelayuti lubuk memori terdalam.

And now, without further a due, I present you for the very first time available for public eyes, my Acknowledgement and Thank You’s note to the people who mattered to me most when I graduated from university.

Happy reading and hopefully you’ll be happy to find your name written below.





UCAPAN TERIMAKASIH


A moment in time is all that's given you and me
A moment in time, and it's something you should seize
So I won't make the mistake of letting go
Everyday you're here I'm gonna let you know

Cause every moment we share together
Is even better than the moment before
If every day was as good as today was
Then I can't wait till tomorrow comes

(Westlife, Moments)


* * *

Kenangan akan tetap tertinggal, biar berpisah sejauh apapun ...
Kalau dia memang penting, kalau memang mencintai dia...
Asal perasaan itu masih ada, pasti tidak akan lupa, sekalipun tidak pernah bertemu lagi ...
Tak akan merasa kesepian, dan bisa menghadapi dunia baru ...

(Motohiro Katou, Quod Erat Demonstrandum 6)


* * *

... no heart has ever suffered when it goes in search of its dreams,
because every second of the search is a second’s encounter with God and with eternity.

(Paulo Coelho, The Alchemist)

* * *


"It was the best of times, it was the worst of times ... it was the spring of hope, it was the winter of despair, we had everything before us ..." (Charles Dickens, A Tale of Two Cities).

Telah begitu banyak warna kehidupan kulalui selama hampir enam tahun kehidupanku di kota ini, bersama orang-orang yang tidak pernah kuduga akan meninggalkan jejak langkah dalam kehidupan ini. Untuk itu kupersembahkan cinta dan rasa terimakasihku yang tidak terhingga pada kalian semua.

Reah Lou, thank you for always be there for me and always support me whenever and wherever. I really wish that we could be friends, forever and for always. “...You spread hope and set my spirit rise, you made me see the wonder in my life, you talked about love and hold me close, you showed me that it’s our heart that matters most” (adapted with alteration from It’s the Heart that Matters Most).

Kak Mona, Kak Friska, dan khususnya Kak Sari, yang telah mengingatkanku bahwa di dalam Tuhan ada kekuatan.

Santi H., Maria A., Anne C., Yoesfiena H., Siti P., dan Samuel S. ... saat-saat kita menjadi “S Club 7” begitu menyenangkan. Meskipun harus berakhir sesingkat usia the real S Club 7, semua kenangan itu akan selalu bersamaku : “Never had a dream come true, until the day that I find you ... And I know no matter where life takes me to, a part of me will always be with you” (S Club 7, Never Had a Dream Come True).

Marc Miguel Morales dan Sergio Vicente, when duo loco Latinos become one Chinese ... LOL ! ;-D ... Thanks for always encouraging me to break the records and give warm – sometimes even hot – appreciations!

Kepada para sahabat yang pernah menemaniku melalui puluhan purnama dan ratusan hari serta malam-malam panjang penuh perjuangan, “may the sweeteset memories and the colorful experiences remain hoy y por siempre” : ‘Chika’ Fransisca, Florentina, Renee “Don’t let yourself go, cause everybody cries, ...everybody hurts sometimes, so hold on ...” (R.E.M., Everybody Hurts), best-buddy Arief who’s been there from my very first day in campus, my freshman year travel-mate Cristine dan Theresia, friends who shared my first nights in Jatinangor : Pantas dan Edward, Ichsan, Wishnu B., Ade R., Dian DP, Indah, Isnen, Mirna A., Fia, Leonard, Sony, Edwin, Bany (we’re both so Ally-dicted!), Eka, Fitri (an affair I’ll always remember J), Marini, Dian E., Henny R., ‘Yayu’, Julie R., Nidya (need ya’!), “The Teuing”-ers Ciseke: Ira, Livi, Nova, Ebit, dan “The Bordillo”-s Cikutra yang menjadi kost kedua: Syarifah, Anna, Henny, Rezki, June, Syufra, Ira, ... “ingatkanku semua, wahai sahabat, kita untuk s’lamanya, kita percaya; kita tebarkan arah dan tak pernah lelah, ingatkanku semua, wahai sahabat” (Peterpan, Sahabat).
Kelompok LKMM XIII (Oktober 1998) – Great Britain and Northern Ireland – dengan anggota yang tangguh dan kreatif : Anna, Ebit, Titin, Yayu’, Angga, Ivan, Dendy, Rio. We were simply the best !
Gadis-gadis Pondok Zharfa @Sukawening, yang rela menjadikanku penghuni gelap tetap selama masa-masa kisruh di Djogja (Agustus 2001-Agustus 2002), dan beberapa kesempatan sesudahnya: Bertha, Ega, Niti, Yuni, Eno, Felicia, et cetera. Malena, ... “you can’t make me love you if I don’t, I can’t make my heart feel something that it won’t” (adapted with specific alteration from I Can’t Make You Love Me).

The best year of my ‘kost’ life in Jatinangor: Anak-anak di Kampung Geulis #65 dan #66 (Agustus 2002-Agustus 2003): Nina dan Nana, Mayang, Tyas, Devi, Fitri serta teman-2, and other gereulis; serta Mario & Mariko, Rizki, si rame Romi, et cetera ... , mba’ Isah dan forever young Henry mellow (don’t you ever cry for me, again!). Masa-masa teramai di Jatinangor bersama kalian semua. Pengalaman menjadi kakak sulung di #66, “agak” menyenangkan! ;-p

Sari Dewie: “If you love someone, you say it. You say it out loud or the moment passes you by” (from My Best Friend Wedding).

Melati R.: “I will remember you, will you remember me? Don’t let your love pass you by, weep not for the memories” (Sarah McLachlan, I Will Remember You).

Keramaian selalu ada di Ciumbuleuit 51 ! Terimakasihku pada kalian semua: sejak era berjayanya Ferry, Ronald Moshien, Dicky, Kamil, David S., Cahya, Thomas, hingga masa suksesi kepada keponakanku Rama ‘Boy’, et cetera, hingga Sutomo yang sering dititipi adikku.

Agung dan Edwin, untuk tawaran informasi dan perkenalan dengan rekan-rekan peneliti dari CSIS, Jakarta.

Astrid a.k.a. Dian, yang telah menolong memenuhi satu obsesiku terhadap The English Patient.

Eric W., Wisnu Y., Yuliana Y., dan rekans dari [cinemagsforum]. Kapan kop-dar ?

Iit dan Tri dari Oomunium. Terimakasih karena ingat tema skripsiku dan membantu mencarikan bahan, meskipun justru tidak didapatkan saat benar-benar jalan ke Korea. Thanks for Midnight Children and Best-Loved Winnie the Pooh Stories. Ugoran Prasad-nya akan kuselesaikan segera, janji!

Wien M. dengan semangat yang ga ade matinye’ ! Terimakasih buat pinjaman buku dan kesempatan acquinted dengan Angelina Sondakh. Kapan dong dengan Dian Sastro?

Les liaisons dangereuses : ‘Mumu’ IsMu dan semangat queer culture-nya. Wishing that soon you’ll find that perfect someone.

Para sahabat dan teman serta ‘musuh’ saat melewati masa-masa transisi yang turut membentuk personaku kini: dari Saint Joseph Kindergarten, Cendana Elementary and Junior High: Nadya, Garli, Lidya, Melia, Ade dan Allen, Olina, Auli, Dhani, Shanti, Annisa, Andri, Alvino, Bibing, Andri, Cecilia, Monalisa, Yosephine, Dicky, Derry, Rodney, Yohanes; hingga era St. Mary Senior High: Natalia, Mimi, Sarah, Richard, David, Jaly, Doni, Desy dan Hendry, Edison, Yohanes, Amimi, Lina, Lindawati, Riezka, Sandra, Cecilia, Donna, dan Markus. “Never forget where we’ve coming from, never forget that it’s real” (Take That, Never Forget).

Para penunggu perpustakaan: Jhon, Kadek Lisa dan Tuhu. Muchas gracias buat rame-rame dan ‘pengertian’-nya.

Bang Anton dan Kak Arum, Afid dan Arif, yang selalu ada di Batu Api.

Semua pihak dan sponsor yang telah mendukungku: 87,6 Hard Rock FM, redaksi M2-Movie Monthly, Cinemags, Men’s Health Indonesia, Hai, dan Telkomsel. Thanks a lot for those freebies and goodies!

Sejuta terimakasihku pada orang-orang berikut, yang dengan cara–cara mereka sendiri telah memberikan inspirasi dan semangat dalam hidupku:
Roberto Benigni, untuk mengajarkanku bahwa hidup ini sesungguhnya indah.
Giuseppe Tornatore, yang mengajarkanku bahwa cinta sejati tidak harus memiliki.
Mike White, yang mengingatkanku kembali bahwa keluarga adalah hal yang sangat berharga.
David E. Kelley, yang menyadarkanku bahwa aku tidak pernah sendiri.
Vonda Shepard, that sexy voice of yours, hmmmhh... ;~*
Hayao Miyazaki, yang mengingatkanku tentang nurani dan kemanusiaan.
Cameron Crowe, yang mengajarkan bahwa impian – dengan usaha yang gigih – memang bisa menjadi kenyataan.


To all the lovely creatures : Chester, Lady Deedee (I will always remember the day you went away: September 11, 2001), Tiger, Noni, and the black beauty Rain, the one and only cute puppy I never had.

Kepada semua hati yang pernah terluka oleh diriku dan kepada semua emosi yang pernah tertumpah padaku, satu yang kupinta darimu, agar “... yang buruk dariku, kumohon lautan maaf” (Shanty, Persembahan Dari Hati).

Dan kepada orang-orang lainnya yang tidak muncul namanya di sini, “...yang gak disebut jangan marah !” (Project Pop, Dangdut is the Music of My Country). Berharaplah akan ada ucapan terimakasih berikutnya dalam kesempatan lain yang berbeda. Setidaknya, every once in a while, aku tentu akan ingat pada kalian, meski tidak kusampaikan dengan kata-kata, namun tentunya “...you will find it though, coz words are not enough” (Steps, Words are Not Enough).


Bandung. Desember 2003.

"Return to Pooh Corner"


Under branches lit up by the moon
Posing our questions to Owl and Eeyore
As our days disappeared all too soon
But I've wandered much further today than I should
And I can't seem to find my way back to the Wood

So help me if you can
I've got to get back
To the House at Pooh Corner by one
You'd be surprised
There's so much to be done
Count all the bees in the hive
Chase all the clouds from the sky
Back to the days of Christopher Robin and Pooh

Winnie the Pooh doesn't know what to do
Got a honey jar stuck on his nose
He came to me asking help and advice
And from here no one knows where he goes
So I sent him to ask of the Owl if he's there
How to loosen a jar from the nose of a bear

It's hard to explain how a few precious things
Seem to follow throughout all our lives
After all is said and done I was watching my son
Sleeping there with my bear by his side
So I tucked him in, I kissed him and as I was going
I swear that the old bear whispered "Boy welcome home"

Believe me if you can
I've finally come back
To the House at Pooh Corner by one
What do you know
There's so much to be done
Count all the bees in the hive
Chase all the clouds from the sky
Back to the days of Christopher Robin
Back to the ways of Christopher Robin
Back to the days of Pooh








(I heard this song first when I was 19 in my freshman year at university majoring International Politics, and years afterward when I am working as a struggling-and-aspiring writer, this song by Kenny Loggins still made me smile each time I hear it, because it reminds me of how fun my childhood was)

“Anjrit!”

Setelah lebih dari satu bulan sebuah iklan deterjen yang mengklaim produknya memiliki aroma harum mewangi yang "kagak nahaan…" dipancarteruskan oleh berbagai stasiun televisi nasional, barulah kuperhatikan bahwa content iklan-nya sendiri sebenarnya lumayan lucu.
Iklan tersebut memperlihatkan bagaimana kusutnya penampilan seorang remaja cowok yang masih bermuka bantal seperti orang baru bangun tidur, yang ditinggal ibunya pergi berbelanja ke pasar. Namun sebelum berangkat, si ibu masih sempat-sempatnya berpesan agar anak remajanya tersebut tidak lupa untuk membantu ibu mencuci baju seember penuh (!). Beda banget dengan lagu anak-anak itu, “... habis mandi kutolong ibu, membersihkan tempat tidurku”, yang dari keceriaan iramanya secara implisit mengisyaratkan kesukarelaan membantu orang-tua. Ha!

Balik ke iklan tadi, tentu saja sebagaimana lazimnya remaja, well at least bagi seorang remaja yang tumbuh-besar lumayan dimanja seperti aku, pekerjaan fisik apapun yang diminta oleh orangtuanya – atau siapapun – untuk dilaksanakan, tentunya dikerjakan dengan malas-malasan dan setengah hati (itu pun kalau memang beneran dikerjakan, hehe!)

Awalnya sih seperti yang bisa ditebak, si remaja cowok ini bersungut-sungut ketika baru mulai mencuci. Ternyata eh ternyata, setelah dia membaui aroma wanginya deterjen tersebut, mendadak sikapnya berubah.
Dia jadi bersemangat mencuci, malahan tampak sangat menikmati aktivitas (yang buatku membosankan) tersebut, yang diperlihatkan dengan adegan freestyle dance mengikuti irama backsound musk genjreng-genjreng rock.
Sebenarnya, aku juga senang bermain air dan berendam lama di bathtub berisi air hangat. Apalagi kalau ada aromatherapy-nya, relaxing and soothing. Dan tentunya, lebih senang lagi kalau sambil berendam ditemani oleh seseorang yang kusukai (no, am not looking at you, O.).
Tapi bermain-main dengan busa deterjen? Ehm, tidak, terimakasih. Apa asyiknya merusak kehalusan kulit sendiri dengan bahan kimiawi seperti itu? Meski aku juga tidak terlalu menjaga kelembutan dan kelembapan kulit sih.

Anyway, back to our topic about this particular ad, versi berbeda dari iklan yang sama keluar menjelang Lebaran. Iklan yang penayangannya selalu direndengkan dengan satu brand mi instan yang sudah ngetop sejak jaman dilakukannya embargo minyak bumi oleh OPEC, dan kabarnya menjadi makanan pokok favorit penduduk Nigeria (artikel dapat ditemukan di sini, di sana, dan di situ juga lho!).
Kali ini diperlihatkan bagaimana si ABG yang sama tampak asyik melonjak-lonjak sembari mencuci baju, sampai tiba-tiba ketika mengangkat salah satu baju yang dicucinya, dia dikejutkan oleh bau keti(-ak)nya sendiri yang sepertinya mengendap di kaos yang sedang dikenakannya.

"Anjrit!" cetusnya, dengan ekspresi mengernyit yang sangat meyakinkan bahwa bau badan sendiri yang diendusnya saat itu barangkali sama sengitnya dengan napas naga (atau barangkali seperti makian Elliot ke saudaranya, “penis breath!”, ha! ha!).
Lantas ia membuka kaos rumah yang sedang dikenakannya saat itu dan menjebloskannya ke dalam ember penuh berisi busa deterjen dan kembali mencuci dengan gaya asyik.
Iklan yang lucu, dan dengan caranya yang unik mengingatkanku pada satu peristiwa ketika aku masih kecil.


* dengan nuansa flashback ke dekade 1980-an *

Di salah satu liburan kenaikan kelas sekolah dasar di akhir bulan Juni yang panas di sebuah kota kecil yang mirip daerah suburban Amerika yang terletak tidak jauh dari garis khatulistiwa, seperti biasanya orangtua kami membiarkan aku dan adikku mencari kesibukannya sendiri.
Sepanjang ingatanku, kedua orangtua kami terlalu sibuk untuk mengajak anak-anaknya berlibur keluar kota. Tak mengapa, karena pada saat itu banyak juga teman kami tidak pergi berwisata dengan alasan yang sama, orangtua yang selalu sibuk, entah itu karena bekerja atau karena urusan lainnya.

Jadi kami anak-anak satu kompleks seringkali mengisi liburan dengan bermain sepanjang hari. Mulai dari sepakbola hingga bola kasti, bermain combattant dengan tentara-tentaraan plastik – kalau yang ini biasanya dengan tema favoritku: pembajakan pesawat terbang milik maskapai Garuda Indonesia yang diinspirasikan oleh kasus Woyla - hingga bermain perang-perangan dengan senjata ketapel di pinggiran hutan dekat rumah yang katanya masih dihuni oleh monyet-monyet, gajah-gajah dan harimau (dan jika orangtua kami tahu kami bermain sedekat itu dengan sumber bahaya, pasti kami semua akan dikurung di dalam kamar masing-masing, yang dalam film-film keluarga Amerika disebut ”grounded”).

Hampir setiap hari kami sibuk bermain-main di luar rumah sejak pagi hingga sore sehingga perlahan-lahan kami bermetamorfosis menjadi segerombolan anak-anak keling berbau matahari (‘keling’ not as racially operative word). Begitu pulang ke rumah setiap orang dari kelompok bermain kami biasanya selalu dihadang salah satu anggota keluarganya untuk kemudian menyuruh kami mandi sebelum diizinkan untuk makan malam. Hingga di satu pagi ketika kami semua berkumpul di rumah Ferdy dengan niat semula untuk merancang permainan hari itu, Steve muncul dengan penampakan yang tidak berbeda sejak kami berpisah sore sebelumnya.

Setelah diselidiki, ternyata memang benar. Steve belum mandi sejak kemarin pagi. Ayahnya sedang on-call duty ke distrik lain sedangkan ibunya sedang sibuk mengurus lokakarya pemberdayaan kaum perempuan lokal. Meskipun diserahi tanggungjawab untuk mengawasi dan mengurus Steve, abangnya yang baru naik ke kelas 12 pasti lebih sibuk melakukan bermacam aktivitas lain dengan pacarnya, musim panas terakhir mereka sebelum dipulangkan kembali ke Amerika untuk kuliah.
Yups, Steve memang anak bule ekspatriat. Dan kemunculannya pagi itu dengan muka yang tampak tidak dicuci hanya menguatkan kecurigaan samar-samar kami bahwa para bule memang punya kebiasaan jorok untuk merasa tidak perlu mandi jika tubuhnya masih dirasa bersih. *euw!*

Hari itu akhirnya kami memutuskan untuk tidak bermain di luar rumah seperti biasa karena memilih untuk berkumpul di kamar Ferdy, saling berebut menguasai konsol game Atari yang baru dibelikan orangtuanya kemarin.
Saat Ferdy sebagai host sedang berkompetisi dengan Tommy, beberapa anak lainnya yang sedang menanti giliran bergulat untuk mengisi waktu. Nico yang dapat kesempatan mengadu fisik melawan Steve tampak mengernyit ketika sukses memiting Steve.
Busyet! Kau tak mandi yah? tuduh Nico sambil melepaskan pitingannya. Dengan ekspresi malu Steve mengakui bahwa sejak pagi sebelumnya ia tidak mandi dan tidak menyikat gigi. Bahkan pagi itu setelah bangun tidur, tanpa mencuci muka dan menyikat gigi ia langsung sarapan dan kemudian berangkat ke rumah Ferdy, tanpa sepengetahuan housekeeper-nya.

Kami mulai mencemoohnya sebagai bule jorok ketika Ferdy yang menghentikan permainannya sementara lalu melontarkan ide taruhan, bahwa ia akan meminjamkan Steve konsol Atari-nya untuk dibawa pulang seharian penuh jika Steve sukses mengelabui orang-orang di rumahnya untuk tidak mandi dan tidak sikat gigi sampai besok.
Awalnya Steve tampak enggan karena setelah keringatan sehabis bergelut dengan Nico dia mulai merasa sedikit gatal dan mulai menggaruk dakinya, namun setelah kami semua turun tangan menghasut membujuk Steve, dengan keyakinan kuat dalam hati bahwa dia tidak akan berhasil karena kami akan diam-diam memberitahukan housekeeper-nya yang galak, maka Steve pun menyepakati taruhan itu.
Jadilah sore itu sebelum berpisah kami mengingatkan Steve kembali soal taruhan itu. Tampak jelas ia sudah terpengaruh bujukan kami semua.

Keesokan paginya, jam dinding masih memperlihatkan pukul 8 lewat beberapa menit, namun kami semua sudah berkumpul di kamar Ferdy. Beberapa saat kemudian, housekeeper Ferdy muncul mengantarkan Steve kepada kami dengan muka sedikit mengernyit, mungkin dia bisa mencium bau yang menguar dari tubuh Steve secara jelas.
Melihat kami semua tersenyum-senyum, dia memelototkan matanya kepada Ferdy. Steve sendiri tampak sangat ceria meskipun rambut dan wajahnya terlihat masih acak-acakan dan bermuka bantal, guratan bekas motif sarung bantal masih terlihat samar di salah satu sisi wajahnya.
Kami semua tertawa terbahak-bahak melihat wajah Steve, lalu dengan enggan dan berwajah cemberut Ferdy menyerahkan konsol Atari-nya.
”Ugh! Kau bau!”, teriak Ferdy sembari menutup hidung dan bergegas menjauh. Setelah serah-terima Atari dari tangan Ferdy, Steve bergegas pulang sambil mengayuh BMX-nya.

Akhirnya pagi itu kami memutuskan untuk bermain bajak laut melawan misi dagang Spanyol. Permainan berlangsung seru ketika menjelang tengah hari Steve muncul kembali, kali ini didampingi oleh ibunya. Dibandingkan kemunculannya pagi tadi yang terlihat bagaikan contoh kasus anak hilang yang baru saja ditemukan oleh orang yang melihat fotonya dicetak di sisi kotak susu, kali ini Steve tampak nyaris berkilat seperti habis disemir. Rambutnya tertata rapi seperti fotonya di buku tahunan, dan bajunya kelihatan jelas habis disetrika.

Ternyata ketika Steve tiba di rumah, ibunya sudah menantikan dirinya di ruang tengah. Tampaknya housekeeper-nya yang galak itu melapor kepada majikannya bahwa sudah dua hari tidak ada baju kotor bekas pakai Steve dalam keranjang cucian kotor. Mencurigai bahwa anak majikannya tersebut melakukan kenakalan dengan menumpuk baju kotor bekas pakai di sudut kamar, mengadulah ia pada sang nyonya.
Selanjutnya merupakan misteri, karena Steve menolak bercerita. Taruhan itulah yang menjadi alasan mengapa Mrs. Ellis ada di rumah Ferdy siang itu bersama-sama dengan Steve. Untuk mengembalikan Atari milik Ferdy dan membicarakan masalah itu dengan ibu Ferdy.
Kami sempat menguping sebentar sebelum Ferdy dipanggil oleh ibunya, lalu housekeeper keluarga Ferdy muncul di ruangan bermain dengan tugas mengirim kami semua pulang ke rumah masing-masing. Kami masih duduk-duduk di tepi trotoar, bergerombol sekitar tiga rumah dari rumah Ferdy ketika melihat Steve bersama ibunya keluar dari rumah tersebut dan menuju Convertible mereka. Steve berjalan dengan kepala menunduk dan wajah ibunya tampak kaku.

Barulah di hari Jumat sore di final kompetisi baseball Little League kami bisa bertemu lagi dengan Ferdy dan Steve yang saat itu sedang duduk bersebelahan di bangku cadangan. Tampaknya keduanya sama-sama dihukum grounded selama dua hari, namun saat kami melihat mereka sore itu, keduanya sudah tampak asyik bercanda-gurau seolah-olah tidak pernah ada satu masalah pun di antara mereka. Sepertinya kedua sahabat itu sudah sama-sama melupakan bau Steve yang tidak mandi dan tidak sikat gigi selama 48 jam, dan tampaknya tidak peduli ketika salah satu dari kami menanyakan hal tersebut.

Lucu juga rasanya ketika saat ini mengenang kembali masa kanak-kanak yang kocak itu.
Dan ingatan itu kembali hanya karena mendengar cetusan si cowok remaja berketi bau di iklan deterjen.

"Anjrit!"



<>

Thursday, February 14, 2008

Selamat Tinggal ... Selamanya

Ada kalanya cintamu kurasakan

Ku takkan tergoyah, kini tak lagi gairah

Apakah harus usai cerita cinta hanya karena kita merasa jenuh berdua?
Mungkin baiknya aku mencoba untuk menjauh

Adakah dirimu masih inginkan aku?

Andai saja bisa kukatakan bahwa sejujurnya aku masih inginkan sayang

Wajahmu selalu ada dalam benakku,
Dengarkan jerit hatiku
Dengarkan pinta hatiku
Mungkin baiknya aku coba untuk menjauh

Adakah dirimu masih inginkan aku?

Ku tak mungkin membuatmu mencintai aku
Ku tak mungkin memaksa jika sudah tak ada
Ku tak mungkin bertahan bila semua t'lah hampa

Mungkin ini saatnya ucapkan selamat tinggal ...

... selamanya











[ As performed by Shanty; song & lyrics by Dewi Sandra and Boy Syaref -- Dedicated to MasaiLion I once love with all my heart and soul, wishing you'll have a wonderful St. Valentine's Day celebration ]