Thursday, February 28, 2008

Dalam Cengkeraman Traumatik "Belahan Jiwa": Sehabis Misteri Muncullah Pelecehan Logika





Ketika lima aktris muda *terpopuler* Indonesia – sebut saja Dian Sastrowardoyo, Rachel Maryam, Marcella Zalianty, Dinna Olivia, dan Nirina Zubir – beradu akting dalam satu film yang sama, hanya satu hal yang tersirat dalam benak: ini adalah trik pemasaran untuk ciptakan rekor box-office. Pertanyaannya: berhasilkah?

Sekar Ayu Asmara, penulis sekaligus sutradara yang sebelumnya menggarap Biola Tak Berdawai (2003) dengan bintang utama Nicholas Saputra, kembali hadir dengan karya yang ditulis dan disutradarainya sendiri, berjudul Belahan Jiwa (Soulmate). Film thriller-drama ini bertutur tentang misteri yang melingkupi jiwa-jiwa teraniaya, yang pada gilirannya mencoba meneror kewarasan para penontonnya lewat caranya yang kelam dan memilukan.

Film dibuka dengan visualisasi samar dan menyeramkan mirip potongan video kutukan dalam Ringu, lengkap dengan perempuan berambut panjang terurai berbaju putih dan suara-suara menakutkan khas film horror. Mendadak suasana berubah menjadi sebuah peragaan busana dengan tubuh-tubuh seksi berbaju minim melenggak-lenggok di atas catwalk dengan iringan dance music a la Kylie Minogue. Perubahan mendadak yang seakan memberikan sinyal-sinyal pendahuluan kepada penonton bahwa seperti inilah film ini akan berkisah. Melompat-lompat liar dan seakan tanpa hubungan.

Tampak empat orang gadis cantik hadir dengan kepribadian yang saling bertolak belakang sedang asyik bercanda di sebuah sofa. Mereka adalah Arimbi (diperankan oleh Marcella Zalianty) si psikiater yang tampak paling stabil namun memiliki obsesi psikologis pada rambut manusia; Cairo (Rachel Maryam) si pelukis ambisius berpaham nihilistic yang sedang mengalami krisis kreativitas; Baby Blue (Nirina Zubir) si arsitek dengan penampilan serbabiru yang rajin bertutur dalam tiga bahasa dan selalu tampil paling ceria; dan Farlyna (Dinna Olivia) sang desainer spesialisas bustier anekawarna yang bicaranya ceplas-ceplos khas Betawi. Empat gadis cantik yang berulangkali mengikrarkan sumpah: “Soulmates forever, sehidup semati!”, bersahabat hingga titik darah penghabisan.

Satu orang gadis cantik lain dalam cerita ini, Cempaka (Dian Sastrowardoyo), hidup terpisah dari dan tidak saling berhubungan dengan keempat gadis lainnya. Cempaka menjalani suramnya kehidupan yang dihantui bayang-bayang kelam kekerasan dalam rumah tangga. Trauma psikologis yang terus mencengkeram jiwa Cempaka terbawa hingga dewasa saat dia tinggal bersama sang pacar, seorang arsitek bernama Bumi (Alexander Wiguna).

Lantas, apakah hubungan antara keempat sahabat, the soulmate sisters, dengan Cempaka?

Perlahan misteri disingkap kepada penonton, bahwa ternyata selama ini Arimbi, Baby Blue, Farlyna dan Cairo, bersama dengan Cempaka yang tentu saja tanpa sepengetahuan mereka, ternyata jatuh cinta pada satu lelaki yang sama, Bumi! Tidak cukup hanya di situ, penonton dibuat semakin terpana, karena ternyata kelimanya hamil pada saat yang bersamaan akibat benih-benih cinta Bumi!

Apakah keempat sahabat yang penampilan luarnya serba kosmopolit dan berpikiran maju tersebut ternyata sama saja dengan Cempaka yang tampil sederhana dan lugu, bisa dibuai oleh perhatian dan kasih-sayang serta rayuan maut si arsitek?
Lantas, apakah sebenarnya hubungan antara Cempaka dengan Arimbi, Baby Blue, Cairo dan Farlyna? Apakah hanya sebatas sama-sama menjadi ”korban” kata-kata manis Bumi, ataukah ada ikatan lain yang jauh lebih kuat yang menyatukan mereka berlima?

Belahan Jiwa menjawabnya dengan penuturan bebas dan (mencoba untuk berkesan) pintar.
Bisa jadi inilah untuk pertama kalinya film Indonesia tampil dalam suatu ensemble casts, dimana terdapat banyak tokoh utama dengan porsi penceritaan yang hampir seimbang, dengan karakter dan konflik yang disajikan secara bergantian bisa dikembangkan cukup matang. Lima karakter unik yang pada akhirnya bermuara pada satu tokoh yang mengandung banyak misteri.

Sekar yang memiliki waktu satu bulan penuh untuk mengembangkan cerita Belahan Jiwa ini, menawarkan keliaran alur yang mengandung teka-teki yang sanggup meneror kewarasan penonton. Upayanya lumayan berhasil, karena sepanjang film penonton bisa dibuat tidak beranjak dari kursi dan sibuk bertanya-tanya, berusaha menebak apa sebenarnya yang sedang terjadi di depan mata.

Ketika di ujung cerita misteri tersingkap, penonton dibuat tertegun dan terpana, dan bagi mereka yang masih tidak memahaminya, jangan khawatir, karena Sekar dengan berbaik hati menawarkan eksplanasi yang mencoba untuk merasionalkan semua kejadian yang sebelumnya masuk akal.
Namun berhasilkah dia? Bisa jadi jawabannya, tidak.

Pribadi-pribadi unik yang dihadirkan Sekar lewat penampilan sosok-sosok molek memang sanggup menahan penonton untuk terus duduk di dalam kegelapan bioskop hingga film berakhir. Namun Belahan Jiwa yang bisa jadi pelopor bagi tampilnya cerita-cerita sejenis, ternyata tidak lebih dari sebuah terror mental bersifat irasional bagi semua penontonnya, lebih seperti racauan seorang pengidap kelainan jiwa, sesuatu yang ironisnya, merupakan tema sentral film ini.

Lihat saja Baby Blue, seorang arsitek muda penuh gaya dengan tongkrongan serba biru bahkan hingga ke mobil yang dikendarainya, lebih mengingatkan penonton pada karakter perempuan judes berhati dengki yang diperankan oleh Vicky Burki dalam salah satu sinetron remaja yang juga diproduksi oleh Multivision Plus, rumah produksi yang masih saudara kandung PH penghasil Belahan Jiwa. Bedanya, tentu saja Baby Blue jauh lebih menarik. Dikisahkan, meski selalu tampil ceria - sesuatu yang sudah menjadi trade mark kepribadian asli Nirina - sesungguhnya Baby Blue terobsesi pada kematian akibat saudari kembarnya, Baby Pink (yang tentu saja berpenampilan serba merah jambu), tewas mengenaskan dalam sebuah kecelakaan lalulintas. Jika sedang bimbang, cemas atau dalam kondisi instabilitas emosional lainnya, maka Baby Blue akan langsung was-wes-wos dalam tiga bahasa: Mandarin, Indonesia, dan Inggris (namun ada satu ”kecelakaan bahasa” yang diucapkan Baby Blue, alih-alih ingin mengklaim dirinya tidak mau menjadi seorang passive-smoker, Baby malah memprotes asap rokok yang dihembuskan Cairo dengan pernyataan ”I dont want to be a second-hand smoker!”) – yang lagi-lagi sebenarnya Nirina banget.

Beda lagi dengan Cairo, seorang pelukis impulsif dengan gejolak jiwa meluap-luap yang keseimbangannya bisa terganggu kapan saja. Sifatnya yang nekad, slenge’an dan tidak bisa diatur siapapun – sedikit mengingatkan penonton pada penampilan Rachel yang gemilang dalam Arisan! - bahkan oleh pemilik galeri (Robby Tumewu) yang langganan memamerkan karya-karyanya. Sifat Cairo yang cenderung paling gila dan anti-kompromistis di antara keempat sahabat, menjadi semakin ekstrem dengan pilihannya untuk melakukan aborsi untuk kemudian mempergunakan residunya sebagai bahan lukisan. *euw!*
Sifat Cairo tersebut bertolak-belakang dengan Arimbi si psikiater yang memiliki fetishisme pada rambut manusia. Arimbi selalu tampil tenang dan stabil, bahkan ketika menghadapi pasiennya, Sofia (Indah Kalalo), yang mengalami trauma hebat sebagai korban perkosaan. Namun di antara keempat sahabat, justru Arimbi-lah yang pertama kali mengalami guncangan mental – yang tampaknya ’lazim’ dialami oleh kebanyakan karakter yang diperankan Marcella sebelum ini – sedemikian hebat yang berujung pada niatnya untuk mengakhiri hidup.

Di antara bayang-bayang gelap ketiga karakter soulmate sisters, untunglah ada keceriaan Farlyna, seorang desainer kutang kontroversial berdarah Betawi yang sangat sukses diperankan Dinna Olivia. Sebagai satu-satunya karakter yang tampak normal tanpa dihantui pengalaman traumatis, Farlyna mampu menarik simpati penonton meskipun dibenturkan dengan karakter pejuang moral dan akidah Islamiah – yang secara mengejutkan diperankan oleh Ria Irawan – melalui lontaran peribahasa kocaknya.

Sedangkan karakter paling misterius, Cempaka, pada awalnya tampak tidak memiliki hubungan apapun dengan keempat soulmates selain karena mencintai satu orang lelaki yang sama, serta mengalami traumanya sendiri.
Ketika masih kanak-kanak, Cempaka kecil menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ibunya (Endhita) tewas di tangan sang ayah yang kemudian melakukan penganiayaan seksual padanya sebelum akhirnya tewas bunuh diri. Cempaka pun beranjak dewasa dalam kungkungan bayangan pengalaman tragis dan konflik batin yang menimbulkan trauma mendalam tak tersembuhkan pada jiwanya – satu karakter yang tampaknya memang dibentuk khusus untuk diperankan oleh seorang Dian Sastrowardoyo.

Bagi para penonton pintar yang terbiasa menonton film-film cerdas, sesungguhnya misteri film ini sudah terkuak begitu karakter Sofia menyeruak dari Indah Kalalo. Sebagai pendatang baru, Indah bermain cukup apik sebagai seorang korban perkosaan yang histeris. Trauma yang dialaminya mampu dinafaskan Indah melalui tiga karakter yang saling bertolakbelakang. Konseling yang dijalaninya dengan bimbingan Arimbi justru merupakan kunci pertama pembuka misteri film ini.

Belahan Jiwa memang bertutur tentang multiple personality disorder, suatu gangguan jiwa dimana si penderita menciptakan lebih dari satu kepribadian diluar kesadarannya yang tampak sama nyata dengan kepribadian aslinya. Penderita multiple personality disorder seringkali tidak menyadari bahwa dirinya mengidap kelainan ini karena semua kepribadian tersebut seringkali berinteraksi di alam bawah sadarnya.
Kembali ke cerita Belahan Jiwa, pertanyaan yang kemudian tersisa hanyalah, karakter manakah yang sesungguhnya mengalami multiple personality disorder ini?

Tampaknya Sekar tidak mau membiarkan penonton filmnya menebak dengan mudah. Dengan sengaja dan sadar, Sekar menyodorkan tipuan kasar yang menjebak penonton, yang tetap mengarahkan pikiran penonton bahwa Belahan Jiwa adalah kisah penipuan yang dilakukan oleh seorang buaya darat bernama Bumi pada gadis-gadis manis yang sama-sama bernasib malang, dihamili oleh seorang lelaki yang setidaknya menolak untuk bertanggungjawab terhadap satu di antara mereka berlima.

Berbeda dengan film sejenis, seperti Fight Club dan Identity (atau bahkan perihal ”ketidaksadaran alam bawah sadar” dalam The Sixth Sense), yang berhasil mengecoh penonton namun dalam pengungkapannya masih berkesan masuk akal, Belahan Jiwa secara pintar telah melakukan penipuan mentah-mentah yang justru bermuara pada pembodohan dan pengangkangan logika para penontonnya.

Semenjak kemunculan karakter Sofia, penonton yang pintar tinggal menebak yang mana karakter asli dan mana karakter bohongan. Namun semuanya dikaburkan oleh Sekar Ayu Asmara dengan sengaja memperlihatkan secara eksplisit bahwa Bumi berinteraksi dengan semua karakter perempuan utama.
Tidak cukup sampai di situ, Bumi bahkan turut berinteraksi dengan karakter-karakter lain yang sesungguhnya bisa jadi hanyalah sub-karakter ciptaan lain dari karakter-karakter yang sudah ada sebelumnya.

Pelecehan Sekar terhadap logika para penonton film ini terlihat paling jelas di adegan kencan Baby Blue dengan Bumi, ketika kemudian mereka berdua melihat Arimbi dan Cairo yang berjalan meninggalkan restoran. Adegan yang diperlihatkan kepada penonton adalah bagaimana Bumi dengan gugupnya segera memakai kacamata hitam (di dalam satu restoran dengan penerangan minimalis ketika hari sudah malam!) untuk menyembunyikan wajahnya karena takut dikenali Arimbi dan Cairo.
Bagi penonton pintar, ini jelas suatu pukulan keras bagi rasio mereka, mengingat bahwa setidaknya ketika satu karakter yang secara fisikal hadir di hadapan Bumi, tidak mungkin mampu memperlihatkan kepribadiannya yang lain hadir secara fisikal pula, kecuali kalau Baby Blue selain memiliki kemampuan berbahasa dan menggambar yang baik, juga memiliki kemampuan supranatural luar biasa; atau barangkali jawabannya justru terletak pada *kenyataan* bahwa semua insiden tersebut terjadi hanya di dalam khayalan si penderita multiple personality disorder.

Merasa masih belum cukup tipuan yang disodorkan, masih ada satu adegan yang kemudian menjadi sangat irasional ketika Arimbi, Cairo, Baby Blue dan Farlyna “menyerbu” rumah Bumi hanya untuk menemukan seorang lelaki lain yang mengklaim sudah puluhan tahun tinggal di rumah tersebut dan tidak mengenal lelaki lain bernama Bumi. Bahkan satpam yang sebelumnya menunjukkan lokasi rumah Bumi pada Baby Blue diperlihatkan menghindar ketika ditanyai ulang.
Satu adegan yang tidak relevan dan mengacaukan logika, ketika beberapa menit kemudian yang terlihat adalah Bumi, di rumah yang sama, berusaha membujuk Cempaka untuk menikahi dirinya.

Tampaknya, bagi Sekar Ayu Asmara, satu tipuan (dan satu kasus irasionalitas) saja tidak pernah cukup. Ia tampaknya berusaha terlalu keras untuk bertutur secara pintar.

Ketidaklogisan alur dan kerapuhan titik tolak penceritaan masih diperparah oleh adegan antiklimaks ketika si psikiater yang asli memberikan penjelasan pada Bumi mengenai multiple personality disorder yang berkesan sangat menggurui para penonton, yang tampak hanya sebagai pembelaan rasionalitas cerita dan untuk mengajari penonton yang mungkin masih tidak mengerti ketidakwarasan si karakter utama, sesuatu yang sebenarnya sudah diperlihatkan dengan jelas oleh potongan adegan yang saling melompat tentang jari yang dibakar, lengan yang disuntik dan mawar yang dimakan.

Tidak cukup menggurui penonton sampai di situ, Sekar Ayu bahkan merasa penting untuk menampilkan pesan moral yang ditampilkan secara vulgar memenuhi layar sebelum bergulirnya credit title, sesuatu hal yang sangat ketinggalan zaman dan yang sudah puluhan tahun tidak pernah terlihat dalam sinema Indonesia.

Tampaknya pihak MVP Pictures sadar sesadar-sadarnya bahwa jualan utama film ini adalah wajah-wajah rupawan para pemainnya. Terlepas dari kisah yang sebenarnya sangat potensial untuk digarap lebih maksimal dengan tawaran twisted ending yang lebih memikat (dan tentunya, lebih masuk akal), satu hal yang masih sangat jarang dalam sinema Indonesia, penonton dianggap pasti dapat dibujuk dengan pancingan rasa ingin tahu untuk menyaksikan kolaborasi para aktris papan atas negeri ini. Maka tidaklah mengherankan, bahwa meskipun cerita yang disodorkan Sekar Ayu Asmara tergolong absurd, penikmat film Indonesia akan tetap dapat digiring untuk menyaksikan film yang seringkali mengobral close-up shots wajah-wajah cantik tersebut.

Bagi mereka yang sekedar suka menyaksikan keindahan, film ini jelas jadi pilihan. Namun bagi penonton pintar yang selain menyukai visualisasi keindahan namun tidak bisa mengabaikan faktor logika dalam penuturan cerita, Belahan Jiwa, sama seperti yang diderita oleh karakter utama film ini, bisa jadi pengalaman menonton yang traumatik bagi jiwa.








- artikel orisinil Dalam Cengkeraman Traumatik "Belahan Jiwa": Sehabis Misteri Muncullah Pelecehan Logika pertama kali dipublikasikan online pada tanggal 29 November 2005 -

No comments: