Wednesday, June 24, 2009

Those Sexy Boots Weren’t Made for Running

"Catch us if you can, Megatron!"


I felt much disappointment watching Transformers: Revenge of The Fallen, which was released in many parts of the world today. High anticipation and enthusiasm were built in the couple of weeks prior to the release, and in the mere first hour of watching they were all shattered into pieces.

Bayangkan saja, selama hampir 70 menit pertama, masih belum jelas apa tujuan cerita film ini. Kesan yang paling terasa adalah : dipanjang-panjangkan. (Meskipun tidak sampai separah pengalaman menonton Pirates of Carribbean: At World’s End yang begitu membosankan sampai terasa seperti film berdurasi seumur hidup)


Masih kuingat dua tahun lalu, saat end credit Transformers muncul bergerak naik, aku bertepuk tangan kencang karena puas melihat suguhan action mendebarkan dan cerita yang kocak namun tetap menegangkan – sampai deg-degan jantung ini ketika menyaksikan perang di dalam kota dan Sam Witwicky harus berlari-larian dan bergelantungan di puncak gedung demi menyelamatkan diri.

Sebenarnya buruknya kualitas penceritaan sekuel ini sudah mulai terasa sejak ... percaya atau tidak ... dimunculkannya karakter dua ekor anjing keluarga Witwicky di limabelas menit pertama.
Pertama kali kulihat keduanya, alam bawah sadarku seakan mengingatkan, ”Oh gosh! Please don’t show me another joke about two different breed of dogs performing sexual intercourse! I am so fed up with that kind of brainless jokes.” Dan kekhawatiranku ternyata terbukti. Di moment munculnya adegan persenggamaan (yang TIDAK lucu) itulah aku langsung menjatuhkan vonis: film ini pasti jelek!

Betul-betul menyedihkan. Semakin lama cerita Revenge of The Fallen ini semakin jelek, sampai-sampai membuatku menguap bosan. Kemana perginya ketegangan aksi dan struktur penceritaan yang lebih cerdas, seperti yang dipamerkan di prekuelnya??

Ada tiga hal tolol yang membuatku kesal setengah mati dengan sekuel ini.

Pertama, adalah kemampuan ujung lidah Alice tetap berbentuk seperti lidah manusia saat tubuhnya menclok di kap mobil. Bisa jadi kapabilitas tersebut menjadi fantasi sensual bagi sementara pihak, sebagaimana mereka juga pertama kali dibuat terpesona oleh robot sexy di Terminator 3: Rise of The Machines. Namun bagiku sendiri, Alice di atas mobil itu tidak lucu sama sekali, tidak terlihat spektakular secara visual, malah menjijikkan dan membuat mual. Tapi ini masalah selera pribadi, jadi sah untuk diperdebatkan.

Kedua, adalah hal yang sama sekali berbeda. Andai saja aku bagian dari pemerintah berkuasa di Mesir, film ini akan kuusulkan untuk dilarang beredar di negeriku. Begini alasannya.
Coba dibayangkan, saat pasukan Amerika Serikat terbang secara ilegal memasuki wilayah kedaulatan negaraku, membawa serta bersama mereka masalah besar dengan membuka front peperangan melawan pihak ketiga di negaraku dan mengakibatkan jatuhnya korban harta benda dan jiwa penduduk yang notabene adalah warga negara di negeriku, dan lebih parah lagi, peperangan ini menghancurkan warisan sejarah budaya leluhurku yang telah berusia ribuan tahun dan menjadi salah satu Warisan Dunia versi UNESCO, yang dilakukan oleh pasukan gabungan Amerika Serikat dan Inggris tersebut adalah meminta bantuan dari Angakatan Udara Yordania!! Apakah karena mereka menganggap enteng kekuatan Angkatan Bersenjata dan kedaulatan negaraku, Mesir?? Ini adalah bentuk penghinaan yang tak termaafkan!! Tarik Duta Besar kita dan putuskan saja hubungan diplomatik dengan Washington!!


Ketiga, sejak ketibaan Mikaela Banes di kampus Princeton untuk menemui kekasihnya, Sam Witwicky, dan adegan salah paham yang disusul kejar-kejaran dengan robot Alice, seingatku tidak ada sekalipun peluang bagi mereka berdua plus Leo Spitz untuk berganti pakaian. Akan tetapi di tengah-tengah kesibukan mereka menyelamatkan diri dengan bantuan Bumblebee di wilayah Amerika dan kemudian oleh Jetfire di Mesir, entah bagaimana caranya, Mikaela bisa mendapatkan kesempatan untuk mengganti sepatu boot-nya agar ketika berlari-lari di gurun pasir Mesir di bawah teriknya sinar matahari, kakinya tidak akan cedera. Probably because she knew that those sexy boots she wore during her Princeton visit were definitely not made for running.

"We want to see more!"

Tambahan: Ingat ketika Jetfire berubah dari pesawat pajangan di dalam hangar museum dan kembali menjadi robot? Salah satu pertanyaan pertama yang dilontarkannya adalah, “What planet am I in?”.
Beberapa menit kemudian, dia mengatakan kepada Sam dan teman-temannya, “I’m taking you to Egypt.”
Dan tak lama setelah itu, Jetfire kembali mengucapkan satu petunjuk bahwa dia sebenarnya tahu lebih daripada yang dia akui, ”... after a millenium, ...”.
Benar-benar robot tua pintar yang tahu banyak! Bisa jadi dia telah menyempatkan diri browsing Google sebelumnya, sama seperti John Connor.

Yes, this sequel is that horrible, you wouldn't believe your eyes!

Thursday, June 18, 2009

Come again, Sir?

President Susilo Bambang Yudhoyono (courtesy of The Sydney Morning Herald)


Bapak Susilo Bambang Yudhoyono just said in a presidential debate which is currently - at the time of this writing - being broadcasted live: "... oleh Lapindo, perusahaan penyebab semburan lumpur itu...".

Excuse me, Mr. President, but was that a *positive* confirmation?

Did you just imply in your statement that you KNEW what was the real cause of the Lapindo mudflow case all this time?

The disaster happened over three years ago, yet many - if not most - victims are still struggling to rebuild their lives. Where have you been all this time, Mr. President?

What's your say now, Sir?


Original image was taken from here. I don't own the right to it.

Liburan di Bali, Film Indonesia Anyar dan Cerpen Monster Klasik



Hari ini Dia terbang ke Bali. An early weekend getaway, sekalian untuk merayakan hari jadi Sang Bunda, yang katanya sudah lebih dari satu dekade tidak pernah menginjakkan kakinya di Pulau Dewata. Untuk itulah dia sudah merancang secara khusus liburan kali ini. Rencananya, Dia akan menginap di Ayana Resort. Mudah-mudahan dia dan Sang Bunda bisa sangat menikmati kunjungan mereka ke Bali kali ini.

Jadi teringat, bulan lalu aku mengikuti quiz pembaca sebuah majalah khusus pria, yang hadiah utamanya trip dengan akomodasi dua malam di Ayana Resort tersebut. Mudah-mudahan kali ini keberuntungan menghampiriku, dan hadiah utama yang tampaknya begitu menggoda itu bisa kudapatkan. Kalau menang, akan kuajak Dia lagi menghabiskan akhir pekan berdua di sana. Seru!

Nah, itu rencanaku kalau menang. Lebih tepatnya: angan-angan. Namun bagaimana dengan rencana jangka singkatku untuk akhir pekan ini? Secara, lagi temporarily single (though still unavailable, hehe...).

Tadi pagi sudah kuajak Bradley untuk menonton film Indonesia teranyar, baru rilis secara luas hari ini. Judulnya: Garuda Di Dadaku. Menilik dari promo trailer-nya sih, tampak menarik. Sebelnya, Bradley bilang dia harus menghadiri sebuah meeting terlebih dahulu, yang dijadwalkan mulai jam delapan malam di Plaza Senayan. Itu artinya, Bradley baru bisa nonton saat jam pertunjukan terakhir. Ah, terlalu malam!, pikirku. Tapi kita lihat saja nanti, siapatahu aku merubah pikiran dan memutuskan untuk bergabung dengannya.

For this time being, dan sembari menunggu konfirmasi ulang dari Bradley, mungkin akan lebih baik apabila aku menyelesaikan terlebih dahulu bacaanku yang sempat tertunda beberapa hari ini. Sebuah cerpen karangan Ray Bradbury, The Fog Horn, yang menjadi inspirasi cerita film monster The Beast From 20,000 Fathoms.

I enjoyed watching the movie adaptation so much, because The Beast was so huge, scary, crashing cars under its feet and stomped people to death. What’s not to savor about it?? After all, it’s a monster movie.

I wonder if the short story could also give the same delectation. I certainly hope so.



Wednesday, June 17, 2009

Mulai Hari Ini



Maafkan,

Ketika kemarin malam,
egoku terlalu berkuasa dan mengambil-alih kesadaran,
sehingga sampai hati kulakukan itu semua.

Jujur tak pernah kuduga,
tindakan yang kuanggap sangat sederhana,
akan membuatmu begitu terluka.

Maafkan,

Ketika kemarin malam,
egoku yang membutakan jiwa,
membuatmu menangis sedih kecewa.

Jujur aku tak ingat,
betapa tindakan serupa yang kualami sendiri beberapa warsa silam,
pernah menimbulkan kekalutan luar biasa di dada.

Maafkan,

Sebab mulai hari ini,
tak kan kubiarkan air matamu mengalir lagi,
hanya karena hal-hal tak esensial,
seperti egoku yang terlalu berkuasa.

Tuesday, June 16, 2009

Bingung Karena Kaos Kaki


Entah angin mana yang membuatku memilih untuk memakai kaos kaki sebelum memasang loafers tadi pagi ketika hendak berangkat ke kantor. Iseng saja, atau memang lagi khilaf?

Secara selama ini, loafers-ku yang ini selalu dipakai polos saja tanpa bungkus kaki. Dan karena hari ini lagi beda setelan pemakaian, jadi terasa sakit sedikit di bagian jemari kaki, rasanya seperti digigit. Barangkali karena ukuran biasanya sedikit berubah menjadi agak sempit.

Namun sejujurnya, aku juga tidak terlalu tahu sih dalam tata-aturan fashion, boleh atau tidak ya mengenakan kaos kaki DAN loafers sekaligus?

Mana tadi sesudah makan siang, ketika membeli slippers inceran di Zara, aku sampai terpaksa harus mencopot kaus kaki segala demi untuk dapat mencoba slippers motif kotak-kotak itu. Soalnya, sudah direncanakan untuk dipakai saat tugas ke Bali bulan depan. Hoho!

Oh ya, yang menjadi topik pembicaraan di sini bukanlah loafers formal (dress shoes). Lebih mirip tipe-tipe yang biasa dikenakan saat jalan-jalan santai kala summer. Dan belinya pun waktu itu sedang diskon 50%, jatuhnya jadi lumayan murah untuk sebuah alas kaki.

Balik lagi ke pertanyaan tadi: boleh atau tidak ya mengenakan kaos kaki dan loafers sekaligus?

Bingung, euy!


According to this undated photo from Teen Vogue, you may.

Thursday, June 11, 2009

My Lost Mobile Phone, Remembered


Kemarin malam salah satu stasiun televisi nasional kembali menayangkan-ulang House of Wax. Film horor yang meskipun kata para kritikus dan pencinta film, adalah sebuah remake yang unworthy and trashy, tapi memiliki makna khusus buatku. Benar-benar khusus, meskipun kalau orang lain tahu kenapa, kesannya akan jadi ga’ penting banget. Haha!

Ehm, memang makna khususnya masih punya kaitan dengan Paris Hilton. Bukan, ini tidak ada kena-mengenanya dengan hubungan antara ’idola’ dan ’penggemar’. Tapi lebih pada karakternya Paris, yaitu Paige Edwards.

Jadi beginilah ceritanya.

Dalam salah satu adegan yang intense, Carly Jones (diperankan Elisha Cuthbert) mencoba menghubungi Paige, yang saat itu sedang asyik-masyuk bercumbu dengan kekasihnya. Tapi namanya kalau birahi sedang memuncak ke ubun-ubun, langsung lupa sama yang lain. Termasuk, mengabaikan panggilan telepon yang masuk.



Hayo, pada ngaku, kalau sedang panas-panasnya foreplay, ga’ peduli anjing menggongong kencang, telepon ribut berdering krang-kring-krang-kring, PLTN mendadak memadamkan listrik, kayanya ’kentang’ banget kalau foreplay-nya diberhentikan. Perintah yang dikirimkan sistem syaraf ke seluruh sensor tubuh biasanya cuma satu: ”Lanjutkan!”.

Seperti itu jugalah yang dilakukan Paige. Penonton hanya diperlihatkan close-up unit telepon genggam yang dipakai Paige. Dan inilah yang membuatku kaget, excited. Jenisnya sama seperti yang kupakai saat itu!! Bedanya, Paige memakai yang warna hijau, aku memakai yang warna merah.

Dengan sedikit norak, aku sempat nyeletuk agak kencang di dalam bioskop yang gelap dan duapertiga kursinya diisi penonton: “Eh! Henponnya sama dengan punya gue!!”, yang langsung direspon oleh teman menontonku dengan gerakan refleks menepuk lengan atasku, “Hush!”.

Hampir empat tahun kemudian, ketika film horror ini kembali ditayangkan-ulang di salah satu stasiun televisi nasional, seakan menjadi pengingat bahwa pada suatu hari yang mendung dan diikuti hujan deras di bulan Ramadhan tahun 2005 Masehi, ketika aku mencoba berpetualang sendiri menuju Bogor menaiki kereta listrik kelas ekonomi yang penuh sesak dari ujung ke ujung sehingga nyaris tidak ada celah sedikitpun karena setiap tubuh sudah saling lekat erat dan rapat, seorang pencopet dengan lihainya sukses mengambil telepon gengamku tersebut yang disimpan di dalam saku ransel yang kucantolkan di depan badan. Inilah salah satu hari tersial sepanjang hidup yang rasanya tak akan mungkin bisa kulupa.

Demikianlah ceritanya, sebab-musabab kenapa setiap kali House of Wax ditayangkan-ulang di televisi, aku jadi teringat lagi satu adegan yang buatku terasa istimewa itu. Meskipun hingga kini, hanya sekali itu saja, di bioskop, aku menonton film horror remaja tersebut sampai selesai. Dan hingga kini pula, hanya sekali itu sajalah aku pernah bepergian seorang diri menaiki kereta listrik kelas ekonomi menuju Bogor, tak ingin lagi mengulanginya.

Peristiwa kehilangan telepon genggam karena kecopetan itu jugalah yang sedikit banyak mengubah cara pandangku hingga kini. Sekarang, aku tak pernah lagi merasa kasihan pada para pencopet yang tertangkap massa lantas digebuki beramai-ramai hingga babak belur. Biar tahu rasa dia, sudah merugikan orang lain!

Bagaimana, penting ga’ penting kan tulisanku kali ini? Haha!




Wednesday, June 10, 2009

What Christine Brown Should Do to Avoid Being Dragged to Hell


Christine Brown has a good job, a great boyfriend, and a bright future. But in three days, she's going to hell.

Unless, of course, if she put her coat – including the removed button – for sale in eBay for a mere dollar the morning after being attacked by Mrs. Sylvia Ganush, that old and vicious gypsy woman (so it will sell in less than 3 days). But even if she can’t auction her old coat in the internet, she can still sell it to a thrift shop right away after being attacked the night before.

You see, just like the story itself reveals only tens of minutes afterwards, Christine offers the supposedly-enveloped-button to his conniving coworker Stu Rubin in order to divert the curse of Lamia to him. When this didn’t work because in the very last minute she decided to back off of the evil plan, all she has to do next is to sell her brown coat to any thrift shop together with her jewelries and ice-skating shoes, and make sure – verbally and, if needed, in writings – that she hands over the rights of ownership to the shop-owner (to which he/she has to express agreement upon) or to the subsequent unsuspicious buyer.

And then, voila!

As fast as snapping your fingers, Christine will be freed of the curse of Lamia.

Such a devilish plan, you said?

What the heck! Who wants to get burned in hell for eternity anyway?

Tuesday, June 9, 2009

Vulcan, on Earth

A typical Vulcan's scenery


The biggest surprise for me, while watching J.J. AbramsStar Trek, was not the sight of Winona Ryder as an old and wrinkles woman, but when looking at a glance of the Vulcan scenery (right before we could see Amanda Grayson and her beloved son, Spock, in a hallway).


The infamous Ryugyong Hotel


Boy, it sure reminded me of one of a few photographs of Ryugyong Hotel, and Pyongyang in a typical hot and dry summer days.


A typical summer in Pyongyang, viewed from Juche Tower.
Photograph courtesy of Adrian Tute.

Monday, June 8, 2009

The Most Beautiful Woman, in Vulcan


J.J. Abram’s Star Trek is a very good science fiction movie.
I think everyone shares the same opinion.

Yet what makes me like it even more was not just its great original scores that turned Star Trek into an instant classic, but also looking at the smiling face of Winona Ryder gracing the big screen in a major studio’s summer release, for the first time in … can I say, decades?

Welcome back, Winona. We missed you so much.
Please live long and prosper with all of us, your fans who grew up watching your movies in the late 80s and throughout the 90s.



Wednesday, June 3, 2009

[Unconfirmed] Rumor Has It ...



Kembalinya Manohara Odelia Pinot bersama ibundanya, Daisy F., ke Indonesia berkat bantuan dari staff Kedubes AS di Singapura, Kepolisian Singapura dan staff Kedubes RI di Singapura, menurut kabar-kabur yang belum bisa dikonfirmasikan kebenarannya, membuahkan kegusaran bagi beberapa figur publik, selebriti dan tokoh nasional Tanah Air.

Seorang tokoh teater dan film nasional, aktivis hak-hak wanita dan pemerhati politik yang sempat mencalonkan diri sebagai calon presiden independen, merasa sangat kecewa karena belum satu minggu berlalu sejak dia di depan puluhan wartawan infotainment menyatakan dengan tegas menarik diri dan dukungannya dari advokasi terhadap kasus Manohara O. Pinot, dan secara terbuka menuduh Daisy F. mendramatisir kasus ini serta memberikan keterangan palsu yang manipulatif demi keuntungan pribadi dan menuai simpati.

Setelah menyaksikan wawancara Manohara di salah satu acara infotainment di sebuah stasiun televisi swasta, seorang mantan pemain sinetron kondang (catet, bukan aktris!) yang lebih tersohor dengan koleksi kostumnya yang selalu matching dan fantastis dalam setiap kesempatan tampil di hadapan publik (misalnya dengan berjalan-jalan di sebuah mall elit di kawasan Pondok Indah sambil mengenakan winter coat berbulu-bulu, misalnya), merasa tersinggung dengan pengakuan Manohara yang menyebutkan dia terpaksa meninggalkan lima dari enam buah Birkin miliknya di Kelantan. Selebriti yang kabarnya sebentar lagi akan berkantor di Senayan setelah memenangi pemilu legislatif lalu ini merasa sangat tertampar dengan “keputusan berat” yang terpaksa ditempuh Manohara dengan meninggalkan semua koleksi barang-barang branded miliknya tersebut di tangan keluarga sang suami. Hal ini terkait dengan sebuah “insiden” memalukan yang melibatkan sang selebriti yang terjadi beberapa tahun silam, sekali lagi menurut kabar burung yang susah dikonfirmasikan kebenarannya, ketika dirinya nyaris dicegah masuk ke Prancis oleh pihak Imigrasi setempat karena koper-koper yang dipergunakannya ternyata adalah Louis Vuitton palsu.

Tour de la televisions yang dilakukan oleh Manohara O. Pinot dan ibundanya ke semua stasiun televisi nasional selama dua hari pertama kepulangannya ke tanah air, dikabarkan juga membuat gusar seorang pemain sinetron muda yang baru beberapa tahun terjun ke dunia entertain tanah air (yes, “entertain” is written intentionally) tapi namanya sudah menjadi common household name. Kabar kaburnya, si model dan pemain sinetron yang sempat tersohor akibat “hujyan”, “bechekk” dan “ojhyekk” ini tersinggung karena ketidakmampuan dan ketidakfasihan Manohara dalam bertutur bahasa Indonesia dalam semua wawancara tersebut membuat orang-orang lupa bahwa trademark ketidakbisaan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar menurut standar Bapak J.S. Badudu adalah miliknya dan pertama kali dipopulerkan olehnya. Andai saja si bintang sinetron muda ini tahu teknik berbicaranya akan diterapkan oleh seorang perempuan muda lainnya untuk menciptakan opini publik yang positif sekaligus untuk menerbitkan simpati (Manohara cried on telly, live!, while she never did), pastinya sudah sejak dulu ia dan sang manager (MM, alias Manager Mama) sudah mendaftarkan ‘talenta khusus berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia’ ciptaannya ke Direktorat HAKI.

Wanita terakhir yang patut diduga merasa resah dengan kembalinya Manohara O. Pinot ke Indonesia adalah seorang tokoh nasional yang sedang berjuang untuk merebut kembali tampuk kepemimpinan negara ini dan menduduki kembali kursi empuk RI 1. Munculnya wajah bundar bersinar Manohara di semua headline media cetak maupun elektronik seakan menjadi gerhana yang menutupi sosok Ibu satu ini, sekaligus mengalihkan perhatian rakyat dari jargon anti-neoliberal dan pro-ekonomi kerakyatan yang diusungnya bersama teman barunya. Untungnya, berdasarkan pengalamannya sendiri, si Ibu tahu persis kehebohan (“ga penting”) semacam ini tidak akan bertahan lama. Nothing lasts forever, or for quite long. Sama seperti ‘gerhana’ Manohara.





Disclaimer:
Tulisan ini dibuat sekedar untuk tujuan iseng belaka dan mohon dianggap sebagai guyonan.
Semoga tidak ada pihak-pihak yang mengajukan tuntutan pencemaran nama baik dan menjerat penulis dengan
UU Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana yang dialami oleh Ibu Prita Mulyasari.



Tuesday, June 2, 2009

To Blog, Or To Nap? That's The Question



A friend asked me in private message sent through Facebook, why I stopped updating my blog.
I told him I didn’t. I just put my entries up on hold. They’re all there, lining up chronologically in “Draft” section.
The reason why it seemed I was in hiatus is because I was pretty much busy with my work. (Do I hear someone yelled, “Booo! Lame excuse!”?) But hey, that’s true.
My works were pretty tight up choking me, and if I do have some time to spare, I’d used it for ... sleeping. Yes, I read somewhere that by sleeping, one can burn more calories than sitting behind his/her office desk and running his/her fingers on the keyboards, i.e. typing. My belly is getting rounder by day, so I guess I’d just sleep it off.
If you hear some strange purring noise near my office desk after lunch time, please not to worry. Probably that was just me snoring while napping.

Oh and about the hiatus thingy, actually I did create some short writings. They’re what others labeled as microblogging. If you don’t know what I mean, check my Twitter account.
And somehow I just know that this friend of mine in no time upon hearing my reason would certainly asked me: is microblogging count as regular blogging?

Monday, June 1, 2009

This Summer's Good Reader


It’s June already!
Don’t you think its quite funny how time flies?

I woke up lazily this morning, June 1st, and clicked on the TV to find a talkshow segment in tvone about the Pussycat Dolls concert in Jakarta, scheduled for tomorrow night. These sexy cats and dolls arrived last night straight from Down Under. Even though I won’t watch PCD live on stage, somehow watching them smile and all to the cameras made me feel a bit relaxed and strangely relieved. So I guess Indonesia is now officially out and off of the travel warning list by the U.S. of A.!

On the sidelines, June also marks the beginning of the sunny months. It’s summer, people! Welcome the warm and more often than not, hot days!

Summer is also the time to attach myself with one of my favorite activity: reading of as many books as possible, before the monsoon begins and then it’s much more tempting to sleep under my thick blanket than reading any (good) books.

I’ve already finished my first novel of this summer; it’s “The Catcher in The Rye” by J.D. Salinger. I believe you know what it was all about, so I’d rather not say anything. Looking at my short bookshelf this morning that is now over-occupied by too many books, somehow I really get excited about months to come.

I plan to finish “More About Nothing” by Wimar Witoelar tonight. He’s my best friend’s father in law. I saw in his Facebook profile this morning that he’s going to be a guest at Pagi Jakarta next Thursday. Mark the calendar. I’m curious whether he can beat Erwin Parengkuan again this time at his own show, just like the last one when they talked about Citizen Journalism.

There are also some children’s books I just bought from a sale in Grand Indonesia yesterday; ranging from “Spring-Heeled Jack” by Philip Pullman, to some Astrid Lindgren’s. These books are going to be my summer reads, obviously. Summers are intended for pop and leisure and fun, aren’t they?

What about you, friends? What books are going to be on your bedside table? How about in your beach bag? And what about the one(s) you’re going to bring with you on vacation? How many books do you think you can finish before the monsoon begin?

Let’s challenge ourselves! Be one of this summer’s avid book readers!