Showing posts with label cellphone. Show all posts
Showing posts with label cellphone. Show all posts

Thursday, June 11, 2009

My Lost Mobile Phone, Remembered


Kemarin malam salah satu stasiun televisi nasional kembali menayangkan-ulang House of Wax. Film horor yang meskipun kata para kritikus dan pencinta film, adalah sebuah remake yang unworthy and trashy, tapi memiliki makna khusus buatku. Benar-benar khusus, meskipun kalau orang lain tahu kenapa, kesannya akan jadi ga’ penting banget. Haha!

Ehm, memang makna khususnya masih punya kaitan dengan Paris Hilton. Bukan, ini tidak ada kena-mengenanya dengan hubungan antara ’idola’ dan ’penggemar’. Tapi lebih pada karakternya Paris, yaitu Paige Edwards.

Jadi beginilah ceritanya.

Dalam salah satu adegan yang intense, Carly Jones (diperankan Elisha Cuthbert) mencoba menghubungi Paige, yang saat itu sedang asyik-masyuk bercumbu dengan kekasihnya. Tapi namanya kalau birahi sedang memuncak ke ubun-ubun, langsung lupa sama yang lain. Termasuk, mengabaikan panggilan telepon yang masuk.



Hayo, pada ngaku, kalau sedang panas-panasnya foreplay, ga’ peduli anjing menggongong kencang, telepon ribut berdering krang-kring-krang-kring, PLTN mendadak memadamkan listrik, kayanya ’kentang’ banget kalau foreplay-nya diberhentikan. Perintah yang dikirimkan sistem syaraf ke seluruh sensor tubuh biasanya cuma satu: ”Lanjutkan!”.

Seperti itu jugalah yang dilakukan Paige. Penonton hanya diperlihatkan close-up unit telepon genggam yang dipakai Paige. Dan inilah yang membuatku kaget, excited. Jenisnya sama seperti yang kupakai saat itu!! Bedanya, Paige memakai yang warna hijau, aku memakai yang warna merah.

Dengan sedikit norak, aku sempat nyeletuk agak kencang di dalam bioskop yang gelap dan duapertiga kursinya diisi penonton: “Eh! Henponnya sama dengan punya gue!!”, yang langsung direspon oleh teman menontonku dengan gerakan refleks menepuk lengan atasku, “Hush!”.

Hampir empat tahun kemudian, ketika film horror ini kembali ditayangkan-ulang di salah satu stasiun televisi nasional, seakan menjadi pengingat bahwa pada suatu hari yang mendung dan diikuti hujan deras di bulan Ramadhan tahun 2005 Masehi, ketika aku mencoba berpetualang sendiri menuju Bogor menaiki kereta listrik kelas ekonomi yang penuh sesak dari ujung ke ujung sehingga nyaris tidak ada celah sedikitpun karena setiap tubuh sudah saling lekat erat dan rapat, seorang pencopet dengan lihainya sukses mengambil telepon gengamku tersebut yang disimpan di dalam saku ransel yang kucantolkan di depan badan. Inilah salah satu hari tersial sepanjang hidup yang rasanya tak akan mungkin bisa kulupa.

Demikianlah ceritanya, sebab-musabab kenapa setiap kali House of Wax ditayangkan-ulang di televisi, aku jadi teringat lagi satu adegan yang buatku terasa istimewa itu. Meskipun hingga kini, hanya sekali itu saja, di bioskop, aku menonton film horror remaja tersebut sampai selesai. Dan hingga kini pula, hanya sekali itu sajalah aku pernah bepergian seorang diri menaiki kereta listrik kelas ekonomi menuju Bogor, tak ingin lagi mengulanginya.

Peristiwa kehilangan telepon genggam karena kecopetan itu jugalah yang sedikit banyak mengubah cara pandangku hingga kini. Sekarang, aku tak pernah lagi merasa kasihan pada para pencopet yang tertangkap massa lantas digebuki beramai-ramai hingga babak belur. Biar tahu rasa dia, sudah merugikan orang lain!

Bagaimana, penting ga’ penting kan tulisanku kali ini? Haha!




Tuesday, November 11, 2008

Two Lay Lit


INT.
Siang hari di Pizza Indonesia. Saat itu sebenarnya waktu makan siang, namun berhubung ini adalah hari Minggu, jadilah gerai Pizza Indonesia satu ini yang biasanya ramai oleh para pelanggan di hari kerja tampak relatif sepi. Terlihat ada dua-tiga keluarga dengan anak-anak kecil serta sekelompok anak muda berbicara lantang dengan logat suatu daerah dari Sumatra sedang asyik makan siang, menikmati roti tebal pizza yang khas a la Pizza Indonesia. Beberapa orang anak kecil terlihat asyik berkejaran sambil memainkan bebalonan warna-warni yang kini tampaknya menjadi standar aksesoris para pelayan Pizza Indonesia di hampir semua gerainya di seluruh negeri.

INT.
Pintu masuk gerai Pizza Indonesia terdorong membuka. “Kling!” demikian terdengar bunyi bel penanda kalau ada yang membuka pintu utama. Masuklah seorang lelaki yang usianya agak sukar ditebak, karena secara fisik terlihat seperti oom-oom tapi kalau dinilai dari pakaian yang dikenakannya, berupa t-shirt bergambar kartun lucu yang biasanya bisa ditemukan di Chatuchak dan celana pendek setrip-setrip, seharusnya ia tentu masih berusia 20-an. Si lelaki melangkah menuju counter depan – yang disediakan buat ‘mbak dan mas penjaga pintu’.


MBAK PIZZA INDONESIA:
Selamat siang! Selamat datang di Pizza Indonesia. (senyum merekah)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Eh, oh ya. Selamat siang.
(memasang senyum basa-basi karena masih kaget lihat pulasan tebal make-up si mbak Pizza Indonesia yang seperti cewek-cewek Puspita yang sempat dilihatnya dulu)

MBAK PIZZA INDONESIA:
Sendirian ya, Mas? Smoking atau non-smoking? (senyum tetap merekah lebar)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Oh, ga kok. Mau dibawa aja. (memberikan jawaban tidak nyambung)

MBAK PIZZA INDONESIA:
Oh, take away ya, Mas? Silahkan dipilih. (sambil menyodorkan daftar menu)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
(sambil membolak-balik lembaran menu) Memangnya di sini bisa smoking ya, Mbak?

MBAK PIZZA INDONESIA:
Engga sih, Mas. Di sini semuanya non-smoking.

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
(bingung) Loh?! Kalau gitu kenapa tadi ditawarin smoking atau engga’?

MBAK PIZZA INDONESIA:
(sambil tetap tersenyum dengan perasaan tak bersalah)
Yah, sudah kebiasaan di sini, Mas. Tapi nanti kalau ada yang mau merokok, kita terpaksa persilahkan di luar saja.

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Ooh, gitu? (basa-basi saja biar cepat dan ga panjang lagi ngobrolnya)


* * *



Adegan di atas memang direka ulang dari kejadian sesungguhnya, sekedar untuk memberikan gambaran bahwa ternyata sehari-hari di Kota Metropolitan ini masih saja banyak terjadi pembicaraan tidak nyambung, atau yang lazimnya di kalangan masyarakat awam dikenal sebagai tulalit. Mengapakah demikian?

Susah juga untuk memberi jawaban yang bisa dan layak dipertanggungjawabkan. Ini bukan sesuatu yang didasarkan pada teori semata. Karena pada dasarnya, komunikasi efektif itu ya bisa terjadi kalau dipraktekkan. Tapi tampaknya, masih seringkali justru sebatas angan-angan belaka. Nah, kelirunya, kalau beranggapan bahwa hanya mereka yang ”kurang berpendidikan” (sengaja pakai tanda baca quote endquote) saja yang gagal melakukannya, ... ternyata belum tentu juga!

Seorang teman bercerita, di kota tempat dia tinggal, ada sebuah billboard menampilkan sang kepala daerah – yang kabarnya memang hobi tampil, demi untuk tidak menyebut ’banci tampil’ – yang mencoba membangkitkan semangat nasionalisme anak bangsa, terkait dengan Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda, ... dengan mengkampanyekan makan pakai tangan kanan.
Nah, lho?! Apa juga hubungan logisnya antara Sumpah Pemuda dengan tangan kanan? Melakukan berbagai aktivitas dengan mengutamakan penggunaan tangan kanan kan sebenarnya masalah norma dan kebiasaan yang berlaku sejak turun temurun, mungkin sudah dilakukan sejak jamannya Patih Majapahit. Ada-ada saja memang walikota satu itu. Tulalit deh jadinya.

Lain kota, lain pula ceritanya. Seorang teman lain bertutur, dia pernah kebetulan melintas di tengah-tengah demonstrasi massa di area seputaran Bundaran Hotel Itu...tuuuh, dan tema demo hari itu adalah menolak terjadinya kemaksiatan di depan mata dan bangkitnya pornografi yang jelas-jelas mengancam akhlak, dengan menampilkan tokoh antagonis : Majalah Cap Kelinci Indonesia.
Sebagai pusat perhatian dari lautan manusia yang berulangkali mengumandangkan takbir tersebut, berdirilah sang orator dengan gagah dan penuh semangat berapi-api berteriak, ”Kita harus menolak hadirnya Cap Kelinci ini di negara kita. Anda tahu kenapa, Ibu-ibu dan Bapak-bapak?!? Karena dalam bahasa Indonesia, Cap Kelinci itu artinya sama dengan bandot. Dan bandot itu kerjaannya memangsa anak-anak gadis!”
...
...
(kalau dianalogikan dengan manga, niscaya terdengar bunyi jangkrik, "Krik, krik, krik")
...
...
Eh, ehm, ini sih tulalit tingkat fantastis!
(Sekedar catatan: Teman saya yang kebetulan sekali mendengarkan orasi bombastis tersebut, terpaksa menahan tawanya dan buru-buru ambil jurus langkah sepuluh ribu – ceritanya biar sekalian melarikan diri sembari mendukung kampanye susu kalsium tinggi)

Nah, kebetulan sekali pada hari Minggu siang tempo dulu (9.11), nomor kontak pribadiku yang paling utama tidak bisa nyambung alias tulalit, terhitung sudah berlangsung selama lebih dari 24 jam. Padahal provider-nya lagi gencar-gencarnya pasang iklan sinyal kuat selalu nyambung terus di seluruh Nusantara. Selama ketiadaan sinyal bahkan satu baris doang pun itu, iklannya tentang cowok telmi yang asyik mengisi TTS dalam bis TransJakarta bolak-balik nongol di layar kaca. Saking sewotnya lihat iklan yang tidak sesuai dengan bukti di lapangan itu, sampai kumatikan televisi di kamar. Hah!
Berhubung sudah lewat masa tenggang waktu emosional yang di setting max. 24 jam, langsung saja kuhubungi nomer Call Center-nya. Sebetulnya malas sekali berbicara dengan petugas Customer Care provider ini (dan hampir semua provider lainnya) karena – entah mengapa – berbicara dengan mereka serasa berbicara dengan orang-orang ber-IQ pas rata-rata makan. Padahal aku (seharusnya) yakin tidak demikian halnya (berhubung ada teman-temanku semasa kuliah yang dulu sempat meniti karir jadi petugas Call Center semacam ini), karena pasti ada syarat kecerdasan minimum agar bisa lolos seleksi jadi petugas Call Center.
Dan benar saja, setelah harus pencet sana pencet sini agar tersambung dengan si petugas, dan setelah harus berdebat cukup lama dengan si mbak-mbak bersuara cempreng yang aku curigai dipilih karena suaranya ga enak di telinga jadi bikin yang menelpon ga betah berlama-lama, akhirnya yang bisa dia sarankan hanyalah agar aku sebagai pelanggan bersabar dan menunggu 3x24 jam hari kerja agar nantinya dihubungi oleh petugas mereka. Mendengar saran yang bikin naik pitam ini, langsung saja panggilanku kututup. Tulalit.

Mumpung menjelang Pemilu 2009 nih. Pastinya sudah mulai banyak kampanye lewat iklan di televisi. Beriklan di media luar ruangan semacam pemasangan spanduk, poster dan billboard juga sudah mulai marak. Biasanya saat begini ini nih yang perlu dicermati, siapa-siapa saja yang pintar berkomunikasi dan siapa-siapa yang ternyata jadi ”jaka sembung bawa golok”.
Tapi sebetulnya, kedua jenis ini juga sama-sama perlu diwaspadai. Terlalu pintar berkomunikasi jangan-jangan akhirnya sosok yang bersangkutan ternyata bisanya cuma jualan kecap manis cap jempol doang. Tapi kalau dari kampanyenya saja sudah ga nyambung antara omongan dan perbuatan, bahasa tuturan dengan kelakuan, apalagi kalau jadi pemimpin atau wakil rakyat? Pasti ngeri jadinya punya pemimpin macam begini. Tidak akan jelas negara mau dibawa ke mana, karena barangkali antara otak dan alat indra lainnya tidak saling terinterkoneksitasikan (nyeleneh dikit dari istilah interconnectedness).

Jadi ingat salah satu ucapan Mario Teguh tentang calon pemimpin yang kebetulan kulihat ditayangkan di Metro TV (di episode ini, aransemen piano dan biola bikin lagu "Frozen" yang dinyanyikan Nina Tamam jadi bagus banget). Saat itu ketika arah pembicaraan terhubungkan dengan money politics yang ditengarai marak menjelang setiap pelaksanaan pemilu, di mana ada calon pemimpin yang memberikan uang dengan imbalan dipilih untuk posisi apapun itu, Bapak ini dengan tegas memberikan saran, ”Ambil uangnya, jangan pilih orangnya! Karena begitu dia terpilih, dia pasti akan mengambil lebih banyak daripada yang telah dia beri.”
Bener banget! Setuju, Pak! Pernyataan yang ’Syuper’. (mengikuti cara pelafalan Bapak ini)

Tapi apa hubungannya statement Bapak Mario Teguh barusan dengan keseluruhan isi serta maksud dan tujuan dari tulisan ini?
Ehm, memang ga ada sih. Cuma kebetulan teringat, jadilah sekalian aja dimasukkan di sini.


Iya, iya, tahu.
Tulalit.







Catatan kaki:
Keanehan judul tulisan ini memang disengaja koq!
Namanya aja ... ... ...
Yap, betul!!

Monday, August 11, 2008

The Past-Midnight Caller


Terkadang, entah apa alasannya, Nino bisa bertingkah-laku sangat aneh dan menyebalkan.

Bayangkan saja, apapun dasar logikanya, rasanya tidak bisa membenarkan tindakan Nino yang menelponku hanya untuk menanyakan apakah aku tahu atau pernah mendengar Bright FM dan di mana lokasi kantor stasiun radio berada, … saat waktu masih pukul 2 dini hari!

Padahal saat aku terbangun tergeragap akibat nada dering yang mengagetkan lantas melihat jam di sebelah ranjang dan meraih telpon genggam yang terus berdendang kencang, benakku bertanya-tanya keadaan darurat macam apa yang membuat seseorang menelpon di jam kuntilanak sedang gentayangan mencari mangsa macam ini.
Saat melihat nama si penelepon, aku berpikir sejenak dan otakku berputar cepat, menduga-duga kondisi kritis macam apa yang sedang Nino alami dan apa respon terbaik yang bisa kuberikan di saat-saat semacam ini.

Dugaan kondisi kritis # 1: Nino lagi kegatelan lantas iseng mangkal di Lapangan Banteng. Sialnya, kebetulan malam itu lagi ada razia dan sukseslah dia digaruk Tramtib dan digelandang ke markas Polsek terdekat. Lantas Nino yang tentu saja ga pengen ibunya tahu aib tersebut mencoba menghubungi teman-temannya yang kira-kira bisa membantu mengeluarkan dia dari kantor polisi.
Respon terbaik: Pura-puranya saja aku lagi di rumah saudara di luar kota (Bandung, mungkin?) jadi tidak bisa membantu menjaminkan dirinya keluar dari tahanan.

Dugaan kondisi kritis # 2: Nino lagi kegatelan saat dugem di Stadium terus nemu yang sama gatelnya kaya dia, terus nyangkut deh mereka berdua di kos-kosan teman kencan kilatnya di daerah Karet. Berhubung dia sedang apes dan karena daerah itu memang sering jadi target Operasi Yustisi Polda Metro Jaya, mereka berdua tertangkap basah berduaan tanpa busana di dalam kamar lantas digelandang ke kantor Polsek terdekat. Jadi Nino butuh bantuan seorang teman yang bisa dipercaya untuk menebus dirinya keluar dari kantor polisi.
Respon terbaik: Kalau ada duit cukup buat nebus, ya ditolong (buset dah! kok kaya barang di Perum Pegadaian ya?), kalo tidak ada duit ya terpaksa membiarkan Nino nginap dulu barang sehari di dalam sel. Sekalian biar dapat pelajaran (mahal). Siapa juga yang mau bayar oknum-oknum polisi yang suka memeras itu? Apa mau dikata, kalo begini kondisinya, aku ga mungkin bisa maksa ngebantu dia.

Dugaan kondisi kritis # 3: Nino lagi apes, keluar dugem atau habis entertain klien terus asal naik taksi di pinggir jalan untuk pulang ke rumahnya di Cibubur. Dasar sial, akibat matanya burem kebanyakan minum alkohol jadi sembarangan pilih taksi, eh malah dirampok oleh sopir taksi abal-abal itu beserta komplotannya. Tau sendiri lah kriminalitas dalam taksi makin meresahkan saja belakangan ini, apalagi mengingat penampilan Nino yang blasteran netjis seringkali membuat orang-orang berpikir hidupnya tak pernah berkesusahan. Untungnya (ya, masih ada “untung” juga dalam kondisi apes macam itu), dia tidak dilukai dan handphone-nya tidak diambil. Jadilah dia menelpon teman yang bisa dipercaya untuk menjemput dia di manapun saat itu dia berada.
Respon seharusnya: Harus segera bangkit dari kasur dan bergegas mencarikan pertolongan, tak perduli masih subuh sekalipun. Ini adalah masalah perikemanusiaan yang adil dan beradab.

Dugaan kondisi kritis # 4: Nino horny. Eh, tapi kondisi ini seharusnya tidak ada sangkut-pautnya denganku ya? Lagipula aku juga tak akan mau menemani dia berburu kupu-kupu malam di Hayam Wuruk.
Respon seharusnya: Rasanya tidak perlu dijawab telpon ini.

But anyway, what really happened adalah aku tetap menekan tombol ”Yes”, mendekatkan handset telepon genggam ke telingaku, dan mendengarkan suaranya yang nyaring itu menyapa.

Namun ketika mendengarkan maksud dan tujuan dia sesungguhnya menelpon di malam buta sebagaimana yang telah disebutkan di awal tulisan ini, sempat emosiku meningkat memuncak dan aku nyaris membanting telepon. Tapi niat tersebut kuurungkan. Rugi banget merusak telpon genggam sendiri karena keanehan orang lain.
Tapi memang, sudah gila apa ya dia? Tidak berpikir dulu sebelum menelpon orang lain pada jam 2 pagi. Padahal, istilahnya, aku sudah bersiap untuk mendengarkan hal-hal terburuk darinya.

Siang hari berikutnya sehabis lunch, kepalaku terasa pusing, berat banget. Pasti proposal TV program baru itu salah satu biang keladinya. Bisa bikin trauma apabila bekerja dengan klien yang nyaris tidak memiliki sense of time-contingency plan. Kalau meeting suka berlama-lama, tapi esensinya tidak terlalu dalam dibahas, karena justru lebih terasa seperti ngobrol ngalor-ngidul di warung kopi. Memangnya klien cuma situ seorang?! Hhmmppff ...

Kucoba relax dengan memutar CD kompilasi lagu terbaik Diana Krall. Jadi ingat bulan depan dia akan perform live di sini. Sita sudah memintaku temani dia menonton sejak akhir Juli, dengan iming-iming dibelikan satu lembar tiket. Pasti bukan Diamond Class, but ...
Menarik juga sih tawarannya, tapi aku lebih cenderung memilih untuk tidak menerima tawaran tersebut. Menemani istri orang lain ke acara semacam itu bisa jadi berbuah persoalan di kemudian hari, terlebih lagi bila begitu banyak orang yang mengenal Sita tahu bahwa sang suami yang pengusaha ternama itu jelas-jelas sedang menunaikan tugas di luar negeri. Kalau sampai dipotret berduaan untuk lembar sosialita majalah manapun, bisa jadi perkara.

Berbicara tentang lembar sosialita, jadi ingat Daniel, yang lebih dikenal di antara teman-temannya sebagai The Tatler Darling.
The reason: because he always showed up multiple times in every edition of Tatler magazine.
Terkadang apabila bertemu dirinya dengan segala kesibukan dan kehebohannya yang khas, bisa membuat orang bertanya-tanya tentang profesi dia yang sebenarnya. Atau jangan-jangan dia dibayar Tatler untuk meliput acara-acara sosialita itu ya? Such a possible idea, until one look for his name di antara nama-nama anggota redaksi dan tidak menemukan nama Daniel di situ.

Lucunya, saat Daniel berkenalan dengan William, dia mengaku sebagai eksekutif di salah satu advertising agency terkemuka yang berkantor pusat di salah satu negara Eropa. Mungkin itu salah satu triknya untuk bisa mengakrabkan diri dengan William. Dan mungkin karena terlalu mudah percaya pada itikad baik orang lain, seperti Serena van der Woodsen, William percaya saja pada Daniel, until one day I met Daniel in a meeting and he was the one representing a famous local record label. Membingungkan. Tapi sepertinya bukan urusanku untuk mengkonfrontir Daniel. I don’t really care whether he was telling the truth to William or not. Would rather distance myself with this kind of issue.

Tapi kalau soal urusan telpon-menelpon di jam-jamnya Regular Joes sedang terlelap tidur, nah yang ini jelas aku tidak bisa mengambil sikap acuh. Seenaknya Nino menelponku jam 2 pagi. Harus kubalas! Tapi dengan apa ya? Rasanya setelah dipikir-pikir ulang, better not make a fuss about this one. Biar sajalah, siapatau memang pada saat itu Nino sedang dalam kondisi kebingungan menjurus panik, because I know he needs to find a job that pays well really soon.

Oh, darn! Talking about job that pays handsomely, jadi ingat kalau aku belum mengurus reimbursement transportasi bulan ini. Sekali jalan sih jumlahnya tidak banyak, tapi kalau diakumulasikan satu bulan, bisa setara dengan harga sebuah Zara Men’s bag. Jumlah yang lumayan banget kan.
Awalnya aku tidak terlalu peduli dengan urusan hitung-menghitung ganti ongkos transport ini, simply because I was too lazy collecting all data and receipts and calculate all those numbers, sampai ketika seorang teman yang bekerja sebagai kepala divisi marketing sebuah brand kosmetik premium dari luar negeri beralasan keterlambatannya datang ke acara ngopi-ngopi karena harus mengumpulkan semua tiket parkir, tol dan strook bensin dan mengurus reimbursement-nya ke divisi finance terlebih dahulu.
And this friend actually earns multi-millions more than what I make monthly.

Oh, well. The irony of life.

Wednesday, May 14, 2008

By the Power of Schopenhauer


First thing first, I don't really know whether I spell the name mentioned above in the title of this writing correctly or not, or whether the name really does exist in psychology.
Noticed the name while watching the impressive La Vita é Bella, when Ferruccio explained to Guido about the power of one’s will of mind, by referring to a state of mind when a certain person can make other person do what the first person tell the other one to do (hopefully you won’t be confused with this statement, eh?).
At first I just thought Roberto Benigni made that up for his movie, but somehow it looks fun if I have the ability to do so, just like what he told his friend in such a believable way, therefore the Schopenhauer method somehow successfully clung in my mind for so long.

And so that was how I tested it by applying the so-called Schopenhauer method to the course of events that occurred over this month of June.

About a couple of weekends ago, somehow I kept thinking of my loverboy Marc Miguel Morales. He's not a real loverboy as you think he is (or was). He's just someone I befriended with for almost four years now, virtually. Oh, not the four years that's been virtual, but the friendship is.
Marc and I, we shared secrets and thoughts, even the forbidden ones. He kind of helped me with good advices on my relations with girls back then at university's years, and I helped him with problems with the guys he fell in love with. We talked about sex much, but of course with different preferences and point of interest. Or views. That depends.
Anyway, our communications were so intense but suddenly cut out the moment I started working at a TV station earlier last year. He still dropped messages once in a while but I just don't have time to reply as much as I usually did, so it made sense that the last time I heard from him was in April 2004.
Back to this story and to the early point of my writing, couple of weekends ago he suddenly burst into my mind again, and somehow it made me feel sick. Of myself by ignoring him back then. Missed him so much I decided the first thing I want to do at the office next Monday morning was to drop him a line or two.
So, it's the Monday morning and I arrived early for that matter, around 8 a.m., an hour earlier than the usual office-hours. Prepared a cup of hot chocolate and a strawberry toast beside my computer. Logged in.
And there I found in my mailbox, the sweetest name that came up into my mind the day before, Marc. My loverboy. It's like a coincidence. Smiled sheepishly and happily, suddenly I realized that it was this much how I missed him.
Boy, he desperately needs updates on my life, since he asked me whether I still meet Tora Sudiro on regular basis. He must've been thinking that I still worked in that TV station, hahaha ... Kinda feel guilt, though.
So I replied his e-mail and promised him that I'll send him a very long one that will keep him updated with my current situation.
In which I haven't done up until this moment. Maybe later.
But I feel thankful to find my loverboy again. Told me he has graduated from uni earlier this year and now searching for a job. Said he visits gym regularly and now he's starting to have six-packs. Said he's now looking for a boyfriend. Well, if he stands in front of me now, I would really like to say to him, "I'm your boyfriend! You have me all this time!" (oh, I know this kind of statement will shocked some of my friends, but I believe a few of them won't *wink!*)

Almost the same thing happened with Kiki.
While vacationing over the long weekend in Bandung which I extended until Tuesday, I suddenly thought about her and regretted myself by accidentally erased her cell number. Decided that coming Wednesday, I will launch an e-mail calling every HIlander98 to search and find any news about friends that we haven't heard of over the year before.
And there the Schopenhauer effect happened again !
While watching Mr. & Mrs. Smith at CiWalk 21 together with my nephew, suddenly my cell vibrated in my pocket. A missed-call.
I hate it when people do that. It's bugging me.
But about five minutes later my cell vibrated again and this one was a text message. Didn't recognize the number but surprised to read the sender's name. It's from Kiki !
She asked me how I am doing and where I worked now. Yes, I do miss her, because she was a friend I got quite close with back in university's years.
She was one of the Las Mujeres de Los Bordillos (free translation : the carefree girls of Los Bordillos :-D) I have mentioned in my Friendster's profile that I would like to meet, again. Glad to know that she's doing fine in Palembang.

Now, what I regretted from the Schopenhauer method is that it doesn't happened over me and Greg (with a little significant similarities with the one in Dharma & Greg), eventhough I missed the first night spent with him, talking almost about everything (well, I'm not into his admiration of Punjabi's soap operas' stars and his unfinished grumbling on how I ruined his diet by making him drink a glass of iced chocolate after 9 p.m.), looking eagerly forward for repetitions.
Nor with "the SexxxY BeasT" (I have to drop a message before he give me a call, that selfish prick!) who can easily make my heart (and meat :-D) throbbed.
Nor with Charlie whom reminds me of a Chinese version of Jason Tedjasukmana. What is he doing Down Under while he has many guys who love him so much back here in J-town ?
Was it because somehow in which I did not really understand the rationale, the nature – and therefore, my will of mind – forbid me in getting in touch again with those guys?

Or perhaps, I must try harder to concentrate on the Schopenhauer thing ...

Come again, what was Guido's friend advised him to do to Schopenhauer-ing easier?
Was it by flapping fingers? Or mumbling the name? Hmm ...

Let me try : Schopenhauer, Schopenhauer, Schopenhauer, ...














Note from writer:
The original version of By The Power of Schopenhauer was posted online in my first blog, LoveHateDreamsLifeWorkPlayFriendshipSex, on June 22nd, 2005.
Hardly I had known back then that Arthur Schopenhauer and his metaphysical theory really did exist in history as a critique to Immanuel Kant’s theory.
This version you just finished reading is mostly based on the original version with some minor alterations, notably dictions and inter-paragraphs fragmentations.

Saturday, August 18, 2007

It All Started With a Phone-call


Last Thursday (April 14th) while I was in a break of shooting between episodes of "Your Face or Mine?" game show, suddenly my 'official' cellphone (i.e. one of my three handsets) rang. Thought it was from someone at the office, regarding its caller ID (the number).
Well, it was true from someone at the office, but my previous one.
The headquarter office of a national TV station, famous with it's variety show, the one with "that gay guy of arisan!", and a stripping sitcom featuring a bajaj-driver with his salon-owner wife and a witty-old mother-in-law.

He (my friend who called me, that was) asked me some updates on my life (which has nothing new, beside a confusing (miss- ?) communication with a flight attendant-slash-freelance model-slash-new friend, which of course I would not mention at that time), and I told him everything was fine indeed.

Then he asked me to write more, because according to him, he likes to read what I wrote. Funny, since I wrote in such 'places' that I'm sure he does not have access to (such as my alumni restricted mailing-list).

Yeah, anyway, he asked me to start writing a blog of my own. On Friendster's blog.
Well, it did not mean that I had not think about it previously. In fact, many times.

But my own very personal reason is that I don't have enough time to write stuffs regularly.
And I don't really feel into things regularly. I get bored often. And quite fast.
That's why I never finished the 1000 pieces puzzle my sister gave for Christmas present which I started rearranging two months ago.

Also "The English Patient" novel Astrid brought me from Perth which I started reading four years ago. And who knows for how long I will (or can ?) maintain this so called Friendster blog of mine ?

Let's see, because I myself am so curious to find it out.

So, Chip, thanks for your call and that hilarious chit-chat we had. Because of those sincere attention, I started this blog from today.

And for you, guys and girls (*trying not to sound sexist*), friends, if you have any slightest interest in me or just like to read ANYTHING that I feel like to write down in this blog, I wish you "Happy Reading!", and enjoy !!


[Mampang Prapatan, South Jakarta. Originally posted in MarkO's Friendster's blog, April 20th, 2005. 6:47 PM]