Wednesday, September 2, 2009

You Are What You Read of 2009


I know it’s only September, and the end of 2009 is still 3+ months away. But when a friend tagged me in one of her notes – which I copied and pasted below, but obviously changed her answers with my very own first – I was tempted to give it a shot.

The rules are simple: you have to answer these following questions using only book-titles which you have read in 2009. You are also expected not to repeat the titles.

Piece of cake, right? And now, you can read my answers. Here they go!

* * *

Describe yourself: The Great Gatsby (F. Scott Fitzgerald)

How do you feel: Possible Side Effects (Augusten Burroughs)

Describe where you currently live: Ghost World (Daniel Clowes)

If you could go anywhere, where would it be: The Mysteries of Pittsburgh (Michael Chabon)

Your favorite pastime: Sex After Dugem – Catatan Seorang Copywriter (Budiman Hakim)

Your favorite form of transportation: The White Tiger (Aravind Adiga)

Your best friend is: Spring-Heeled Jack (Philip Pullman)

You and your friends are: The Three Robbers (Tomi Ungerer)

What's the weather like: Silence (Shusaku Endo)

You fear: The Catcher in The Rye (J. D. Salinger)

What is the best advice you have to give: Almost Everything (Joelle Jolivet)

Thought for the day: More About Nothing (Wimar Witoelar)

The most precious thing in your life: Egg in The Hole (Richard Scarry)

How you would like to die: When You Are Engulfed in Flames (David Sedaris)

Your soul's present condition: Dan Damai di Bumi! (Karl May)

* * *

Not only very easy, this is also fun. Don't you think so? So why don’t you give it a try?

Rambut Lego


Semakin panjang rambutku, akan semakin lama waktu yang kubutuhkan di depan cermin setiap pagi, sebelum berangkat keluar rumah. Tujuannya, bukan sekedar kegenitan mematut-matut diri, tapi untuk merapihkan rambut, atau untuk mengaturnya agar tampak sesuai dengan kostum yang dikenakan hari itu. Maksudnya, kalau sekedar pakai t-shirt dan jeans doang, ya dibuat sedikit acak-acakan seperti orang yang baru bangun tidur langsung berganti baju dan keluar rumah, tak mengapa; tapi kalau sedang ada schedule khusus dan musti tampil rapi karena harus bertemu klien atau dinner di tempat-tempat eksklusif bersama pasangan, tentu saja penataannya juga harus disesuaikan.

Namun belakangan ini jarang sekali aku bisa mengatur tatanan rambut sesuai keinginan dengan cepat dan mudah. Masalah utama adalah karena kondisi rambutku yang kering dan kasar, sama sekali bukan tipe yang layak untuk dijadikan model iklan shampoo. Mungkin saja ini akibat pengaruh sejak zaman dahulu kala, selalu berpanas-panas nyaris tak pernah pakai topi ketika sedang melakukan aktivitas di luar ruangan, dan paling malas merawat rambut di salon, karena di kamar mandi pribadi saja benda yang namanya conditioner itu lebih sering tidak ada.

Jadi teringat salah satu foto jaman masih kanak-kanak dulu, rambutku yang ikal (curly & wavy) bila dibiarkan tumbuh panjang akan mengembang sedemikian rupa, sehingga apabila dilihat dari jarak jauh lebih mirip pentul korek api atau seorang anak yang sedang mengenakan helm. Bahkan di awal tahun sembilanpuluhan, ketika sedang berkunjung ke rumah Kakek dan Nenek, salah seorang kerabat jauh mengira bahwa anak kecil yang sedang ribut pukul-pukulan dengan seorang anak lainnya di hadapannya saat itu adalah seorang anak perempuan tomboy, berkat kondisi rambut yang megar mengembang membahana. Padahal anak kecil yang ribut itu aku. Ugh!

Tadi pagi, sebelum akhirnya berangkat menuju kantor, kuputuskan untuk mengatur rambut rapih saja, dengan belahan di samping kanan seperti anak sekolahan atau mereka yang bekerja di sektor formal lainnya, meskipun hari ini sebenarnya aku mengenakan t-shirt dan jeans dan sneakers. Sesungguhnya, a very casual look. Penataan rambut belah samping, sedikit berponi menutupi dahi dan teratur rapih yang seringkali kusebut sebagai model rambut Lego. Dan bila mengingat seperti apa warna aseli rambutku, tentunya gaya rambut seperti ini akan semakin membuatku tampak lebih tua lagi daripada umurku yang sesungguhnya.

Sigh.



Note: image courtesy of squarecircle.

Tuesday, September 1, 2009

"Isn't it ironic? Don't you think?"


"An old man turned ninety-eight
He won the lottery and died the next day"

Pada awalnya kupikir dua baris pertama lirik lagu Ironic, yang diciptakan sekaligus dinyanyikan sendiri oleh Alanis Morissette, semata adalah buah dari kejeniusannya dalam menulis lirik. Hingga lebih dari satu dekade kemudian, ketika dari aktivitas browsing iseng kutemukan kisah tentang Wayne Schenk.

Wayne Schenk adalah seorang pria Amerika yang berdomisili di negara bagian New York. Usia purnawirawan angkatan darat ini ‘baru’ 51 tahun ketika ajal menjemputnya, akibat sakit kanker paru-paru yang tak bisa disembuhkan.

Pada bulan Desember 2006, Wayne yang lima minggu sebelumnya didiagnosis kanker paru-paru stadium akhir dan divonis dokter hanya akan bertahan hidup kurang dari satu tahun lagi, membeli sebuah tiket lotere senilai US $ 5. Tanpa diduga oleh siapapun, apalagi olehnya sendiri, ia berhasil memenangkan hadiah utama lotere senilai US $ 1 juta! Mengetahui nilai kemenangannya, ia pun merencanakan untuk menggunakan hadiah uang tersebut untuk membayar biaya perawatannya di institusi khusus perawatan penderita kanker terbaik di New York.

Namun niat Wayne tersebut tak dapat diwujudkan, karena peraturan lotere menyatakan bahwa pemenang hadiah akan dibayar dalam 20 installment tahunan masing-masing senilai US $ 50.000 (dicicil selama 20 tahun). Sementara itu, penghasilan Wayne dari uang pensiun dan pendapatannya sebagai pemilik kedai minum lokal tak cukup memadai untuk menutupi biaya pengobatan di institusi kanker kelas atas yang ia inginkan. Terlebih lagi, Wayne Schenk ternyata tidak memiliki asuransi jiwa.

Meskipun uang kemenangannya dari lotere Negara Bagian New York tidak bisa ia dapatkan sekaligus sesuai rencana semula, setidaknya Wayne masih sempat mengambil satu langkah yang dianggapnya sangat penting : ia menikahi teman wanitanya sejak lama, Joan DeClerck, pada tanggal 4 April 2008, agar kelak uang hadiah lotere tersebut dapat diwariskan kepada orang yang benar-benar dikasihinya.

Kondisi tubuh Wayne di hari pemberkatan pernikahannya itu sudah sangat lemah, sehingga ia harus mengenakan tabung oksigen agar dapat terus bernapas. Di akhir bulan yang sama, hanya sekitar dua minggu setelah menikah, Wayne Schenk pun menutup mata untuk selamanya, kurang dari empat bulan setelah berhasil memenangkan lotere 1 juta dolar.

"And life has a funny way of helping you out when You think everything's gone wrong and everything blows up in your face

...

Life has a funny, funny way of helping you out
Helping you out"

Friday, August 28, 2009

Of Feelings & Things



As I was walking down the nearly empty city streets
Which were wet again because of the heavy rain
When the skies above this city turned into the usual cloudy and grey
The rainwater pooled on the cracks of the pavement faded into dark

I kept walking searching for some place I can call my comfort zone
A simple place I can call my own, and ours
Where time and space will pass us by when we see eye to eye
Where happiness and love are everywhere, surrounding us
Where you will give me the reasons to live,

And to recognize the whole mutual feelings we share and things we have as love.


Thursday, August 27, 2009

Karena Tidak Semua Hal ...


Petang ini, Dia berangkat ke Singapura bersama sahabatnya, J.

Rencananya, mereka akan menghadiri reuni sekolah menengah atas, untuk merayakan satu dekade kelulusan. Beberapa sahabat Indonesianya yang lain sudah sejak beberapa hari – bahkan minggu – lalu berada di sana.

Sekitar satu jam lalu aku sempat menelpon Dia, yang ternyata masih berada di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta. Tampaknya penerbangannya di-delay, karena sepuluh menit sebelum jadwal keberangkatan, para penumpang masih belum diminta untuk boarding. Dia sedikit kesal, karena belum sempat makan malam dan sepertinya mulai merasakan lapar. Ketika kutanya mengapa Dia tidak makan terlebih dahulu tadi, jawabnya karena Dia sudah berjanji untuk makan malam bersama para sahabat setibanya di Singapura. Hhmm, meskipun sedikit kesal-kesal tak jelas, namun aku tak berkomentar lebih jauh.

Di tengah-tengah perbincangan yang kurang beresensi untuk mengisi waktu sebelum Dia boarding, kembali diutarakannya pertanyaan itu: oleh-oleh apa yang kuinginkan dari sana. Secara sembarangan kujawab saja, minuman keras! Dia langsung menggerutu dan menolak membawakan barang itu. Kukatakan padanya, tak perlu membawakanku buku apapun dari Borders, karena aku masih punya stok buku bacaan untuk dua tahun kedepan! Lalu Dia menawarkan coklat, tapi kutolak. Tetap kuminta: minuman keras! Namun sebenarnya, ini betul-betul permintaan sembarangan. Apabila Dia tak memenuhinya pun, tak apa.

Karena jika Dia pulang dengan selamat ke tanah air hari Senin depan dan bertemu lagi denganku lantas kami bisa kembali berpelukan erat, aku sudah sangat senang dan bersyukur. Karena aku masih percaya, tidak semua hal bisa diukur dengan kepemilikan materi.

Tuesday, August 25, 2009

Kebetulan Yang Tak Menyenangkan


Saat semua penonton tercekam oleh kebengisan dan ketidakmanusiawian Esther dalam menghabisi para korbannya dengan sistematis dan penuh presisi, pikiranku justru diliputi oleh kekalutan, karena alam bawah sadarku mengirimkan sinyal-sinyal bahwa aku sesungguhnya tahu jawaban dari misteri di balik sosok gadis kecil yatim piatu tersebut.

Dan betul saja! Ketika terungkap siapa Esther sesungguhnya, hatiku justru melenyos.

Karena plot yang mirip dengan mengandalkan kondisi fisik khusus sang karakter antagonis sebagai trik ”tipuan” sudah pernah kupikirkan sejak beberapa bulan lalu! Bedanya, saat itu aku masih belum menemukan apa istilah kedokteran untuk menjelaskan kondisi fisik khusus tersebut; dan sialnya, kini jawabannya justru kutemukan dalam film Orphan.

Hiks hiks, artinya kerangka cerita thriller yang sempat kukembangkan dalam pikiran dan pernah dipaparkan secara sangat singkat dalam salah satu entry blog-ku, terpaksa disingkirkan jauh-jauh untuk selamanya.

Damn you, Alex Mace!

Thursday, August 20, 2009

Strength & Beauty, Before Brain


Film G.I. Joe The Rise of Cobra sungguh keren dan bagus banget ... bagi mereka yang tidak lebih pintar dari anak kelas 5 SD.

Bagi mereka yang merasa lebih cerdas, tentu dengan mudah menyadari, betapa konyolnya cerita film ini.

Salah satu contoh kekonyolan itu adalah: ternyata tidak perlu otak cerdas untuk dapat diundang menjadi anggota G.I. Joe. Padahal, sebagaimana yang dikatakan oleh General Hawk kepada Duke dan Ripcord, tidak bisa sembarangan orang masuk dan bergabung ke dalam organisasi elit ini.

Bayangkan saja, pasukan Cobra Commander menyerbu The Pit, markas besar berstatus super rahasia milik G.I. Joe yang berlokasi di bawah gurun pasir di dekat piramida di Mesir. Scarlett terlibat baku-hantam habis-habisan melawan Baroness. Melihat bagaimana keduanya sampai jungkir-balik karena berusaha saling menjatuhkan, bisa dibayangkan all those cuts and bruises they were obviously have to endure afterwards. Sewajarnya, dibutuhkan setidaknya waktu antara dua hingga tiga hari untuk mengobati luka dan menghilangkan bekas memar serta lebam di wajah dan sekujur tubuh.

Ternyata oh ternyata, tidak lama kemudian Scarlett terlihat cantik dan rapi seperti baru saja keluar dari salon ketika dirinya bersama Ripcord sedang berjalan-jalan tanpa tujuan di dalam The Pit. Aku tahu betul bahwa "waktu" itu relatif: sekian tahun dalam kehidupan nyata bisa berlangsung dalam hitungan detik di film. Yang jelas, diperlihatkan bagaimana mereka berhasil menduga siapa pihak yang berada di balik penyerangan The Pit.

Ini berarti, dugaan tentang dalang di balik serangan baru muncul beberapa hari kemudian (meskipun 'waktu" dalam film itu relatif), sehingga segala macam bekas luka dan memar di wajah Scarlett telah hilang dan keelokannya telah pulih seperti sediakala. Secara implisit, ini sama saja dengan menyatakan bahwa orang-orang G.I. Joe begitu bodoh sehingga butuh waktu lama untuk bisa menduga siapa dalang penyerangan sesungguhnya.

Atau, kalaupun dugaan tersebut muncul dalam waktu singkat, misalnya satu hari setelah penyerangan; ini berarti bahwa di The Pit ada fasilitas semacam spa dan salon kelas wahid yang mampu menutupi sempurna bekas-bekas luka memar yang sewajarnya baru muncul sekitar 1x24 jam setelah ditonjok habis-habisan, seperti yang dialami Scarlett.

Jika kemungkinan terakhir ini yang betul, berarti seharusnya waktu itu Rihanna menghubungi spa dan salon The Pit ini untuk menutupi luka-luka yang dideritanya ketika habis berantem dengan Chris Brown, supaya dia bisa tetap tampil di Grammy Award yang diadakan Maret lalu, dan di hadapan para penggemar fanatiknya di Jakarta.

Baroness, Rihanna dan Scarlett.

Wednesday, August 19, 2009

Alfonso, Alfonso.


Untuk ‘merayakan’ hari berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ke-64, di minggu hari merdeka kuputuskan untuk membaca satu buku yang kunilai cukup mewakili semangat kebangsaan dan nasionalisme. Judulnya Kopi Merah Putih Obrolan Pahit Manis Indonesia, karya sekumpulan orang yang menamakan diri mereka Indonesia Anonymous.

Berhubung judulnya saja sudah ‘obrolan’, isi buku ini ya semacam rangkuman dari perbincangan iseng ngalor-ngidul tentang hal-hal yang (seharusnya) menjadi isu penting di negeri ini. Namun ternyata, selain topik tentang listrik dan pendidikan, mayoritas pembahasan tidak terlalu menarik perhatianku. Yah, namanya saja ‘obrolan’, tidak memberikan lebih daripada saran-saran ideal. Kurang menarik lah kalau ”cuma” begini doang, pikirku.

Lalu tiba-tiba aku tersentak. Kaget! Bukan karena content buku itu, melainkan oleh benakku yang baru saja mengingatkan bahwa tadi sore buku ini diendus-endus dan dijilat-jilat sampai basah oleh Alfonso. Wedew! Langsung poseku yang tadinya santai membaca sambil tengkurap, bangun dan refleks melempar Kopi ke lantai. Meskipun kemudian, ketika aku teringat satu fakta ilmiah bahwa seharusnya mulut Alfonso lebih bersih daripada mulutku sendiri, dengan perlahan kupungut lagi buku itu dan kembali membalik halaman-halamannya untuk mulai kembali melanjutkan membaca.

Pertanyaan sekarang: Siapakah Alfonso?

Jawaban: seekor anjing golden retriever berusia 8 bulan yang bertugas menjaga Oakwood Plaza, bergiliran dengan seekor doberman dan seekor rotweiller.

Si Alfonso ini lucu sekali! Dia selalu tampak diam-diam saja atau sambil mengendus-endus jalan yang dilaluinya saat dibawa oleh petugas keamanan yang memegang talinya. Tapi begitu bagian kepala dan belakang telinganya digaruk-garuk sambil ditepuk-tepuk, dia akan mulai memperlihatkan sifat aslinya yang lucu. Tidak bisa diam dan minta diajak bermain. Pertama kali kuajak dia bermain saat itu, lenganku digigit-gigit sampai basah berlumuran liurnya. Mungkin karena lengan bawahku terlalu kurus, mirip tulang. Saat hendak kutinggalkan, Alfonso tampaknya malah protes dan mencoba melompat ke tubuhku hingga ia berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Aduh lucunya! Alangkah menggemaskannya!

Mendadak jadi pengen punya anjing golden retriever milik sendiri yang bisa diajak main kapan saja aku suka. Tapi setelah dipikir-pikir, anjing ras macam ini butuh modal lumayan untuk membuatnya tetap lucu dan menggemaskan. Jangan sampai karena diberi makan nasi padang seperti kesukaan majikannya, lantas bulu-bulunya rontok. Kasihan dia nanti.

Selain Alfonso si golden retriever, aku juga sempat berkenalan dengan si rotweiller. Tapi dia begitu pemalu, selalu mencoba menjauh setiap kali kucoba membelai dan menepuk kepalanya. Entah karena takut, atau ada alasan psikologis keanjingan lainnya? Yang jelas, tidak seru rasanya mengajak seekor anjing bermain, atau minimal bersalaman, apabila semakin didekati dia malah semakin menjauh.

Alfonso dan teman-temannya mulai bertugas menjaga Oakwood Plaza belum terlalu lama. Kalau tidak salah, sekitar 2-3 minggu setelah serangan bom di Ritz-Carlton dan J.W. Mariott Hotel. Berhubung lokasinya yang berdekatan, kurang-lebih hanya 100 meter dari tempat kejadian perkara, pihak management Oakwood Plaza sepertinya tidak mau mengambil resiko, dan memilih untuk meningkatkan pengamanan hingga berlapis-lapis. Bayangkan saja, berdasarkan pengamatan sederhana dan perhitungan kasar, paling tidak selalu ada 12-14 orang security guard yang bertugas menjaga dan mengawasi setiap pintu masuk dari area luar (tidak termasuk petugas keamanan yang berjaga di setiap pintu masuk ke dalam setiap establishments). Masing-masing empat orang petugas di area keluar-masuk kendaraan, dan dua orang untuk setiap area keluar-masuk pejalan kaki.

Terlalu berlebihan? Tidak juga. Ini penting mengingat Oakwood Plaza memiliki Loewy, yang menjadi salah satu tujuan favorit bersenang-senang orang-orang asing / ekspatriat di Ibukota. Dan Loewy ini, jujur saja, tanpa pengamanan ketat dari para security guards, akan terlalu terbuka dan rentan untuk menjadi target serangan para bajingan pengecut yang mimpi masuk surga itu. I love hanging out at this place, not only at Loewy, but in the place as a whole. Oleh karena itulah, selalu kuusahakan untuk tidak merasa keberatan dan terganggu setiap kali harus membuka tas di hadapan para petugas pengamanan itu, dan selalu tersenyum setiap kali mereka selesai memeriksa tasku dan mengucapkan terima kasih. Mereka – dengan menyadari segala resiko pekerjaannya – sedang menjalankan tugasnya untuk menjaga keamanan dan kenyamanan para pengunjung Oakwood Plaza. Dan tentunya, bekerja dengan tekun termasuk ibadah, bukan?

Hhmh, jadi pengen bermain-main dengan Alfonso lagi.

Monday, August 17, 2009

Lupa, Lalu Teringat



Tadi pagi, sekali lagi aku lupa membawa kacamata, dan baru menyadarinya saat menyalakan komputer di kantor. Awalnya sempat mengalami kebingungan ketika melihat meja kerjaku, dan tidak menemukan kacamata yang biasanya kalau sedang tidak bertengger di pangkal hidung, tentu sedang tergeletak di atas meja di sebelah keyboard atau di atas mousepad. Satu-dua detik kemudian, baru kusadari kalau kacamata itu ketinggalan di atas meja di depan TV di kamar. Darn!

Ini adalah kejadian kedua dalam satu bulan belakangan ini. Tampaknya sudah menjurus ke stadium parah nih tingkat kelupaan yang ku-”derita”. Padahal kacamata kan jelas-jelas penting sekali bagiku untuk menunjang aktivitas kerja. Koq ya, bisa-bisanya ketinggalan? Itu nyaris seperti keluar rumah dan berjalan-jalan ke mall tapi lupa mengenakan celana dalam.

Aneh? Ternyata tidak juga.

Barusan akhir pekan lalu kualami di gym. Setelah membuka locker dan membuka kaos yang kukenakan untuk diganti dengan kaos khusus berolahraga, barulah tiba-tiba seakan bunyi ”tring!” berdenting di dalam batok kepala, dan aku tersadar kalau ketika bersiap-siap paginya, aku lupa memasukkan celana dalam ganti yang masih bersih ke dalam tas gym. Akhirnya, selesai gym aku pulang dengan going commando.

Beneran pulang? Tidak juga.

Aku malah sempat berjalan-jalan dulu ke sebuah trade center untuk mencari kaos-kaos murah untuk dipakai berolahraga atau sekedar santai saat akhir pekan.

Kata orang, jalan-jalan tanpa mengenakan celana dalam akan berasa adem sedikit.

Kataku? Tidak juga. Parno malah. Takut tiba-tiba mengalami kesialan dan celana robek, dan terpampanglah selangkangan ini. Uh, malu-maluin dan mudah-mudahan tidak akan pernah kejadian.

Tapi kalau kelupaan membawa kacamata dan celana dalam tadi sudah bisa disebut parah, lalu bagaimana dengan kejadian yang kualami pada suatu hari, ketika menjelang tengah hari baru aku menyadari bahwa aku lupa menarik risleting celana panjangku, sejak setelah buang air kecil pagi harinya persis sebelum berangkat keluar kamar?

Astaganaga!

Itu artinya, sepanjang kurang lebih satu kilometer perjalananku ke kantor dengan berjalan kaki dan selama sekian jam hingga aku menyadari kealpaan itu, risleting itu menganga terkewer-kewer?!?!

Rasanya panik dan sungguh malu.

Sepertinya memang tidak ada teman kantor yang memperhatikan "kondisi khusus" tersebut, tapi bagaimana dengan mereka pengguna jalan lainnya? Uff. Mudah-mudahan tak ada orang yang kukenal atau mengenaliku tadi saat aku melintas di depan kendaraan mereka dengan risleting celana yang belum terkaitkan. Mau ditransfer kemana mukaku ini nantinya?



*Image was taken from Allie is Wired The Entertainment Blog,
featuring extreme close up of Brad Pitt's unzipped pants
while he was promoting The Curious Case of Benjamin Button in France.

Wednesday, August 12, 2009

The Pretty Face in Those Stupid YouTube Videos


I saw and walked past a strange looking guy this morning while walking to the office. He looked awful, uncombed hair, wore worn out clothes, has sunburned skin, and unshaven. Simply put, he’s a total mess. He bent down on the sidewalk and wrote on it with a piece of chalk “Effendy”. I don’t know whether he wanted to tell the passerbys his name or else, but obviously, I don’t want to find out.

I saw a strange video in YouTube this afternoon. There’s a young girl in it. Obviously, she recorded the video and uploaded it herself. She also looked like a mess, all teary and runny nose, awfully looking hair. However, one can see that she used to be pretty, even though her sandy colored hair made her look ugly and silly. She started lip-synching to Christina Aguilera’s “Hurt”, which made her cried even more. I noticed in an instant, who she really is. Her recent broke up with his boyfriend already made small ripples in tabloids and gossip shows.

Now, I don’t feel pity or sympathy to that “Effendy” guy, because my mind is too busy thinking about other things. It’s already cluttered with half-baked creative ideas for a pitch for a provider’s new campaign. And come to think of him again, I’m not even half sure that he’s a nut.

As to the the girl in the video? Why should one feel pity towards her? She knew exactly what would come upon her if public watched her videos, yet she still uploaded them to YouTube. The public love to judge others, especially performers and entertainers. And it certainly won’t help being a former child idol, a has been soap opera megastar like you. The public don’t have pity on your “kind”, who we judged as a has been, a used to be, the failed one. You know how much the public is consisted of harsh critics. So when you acting up all like that, we as the public, laughed hard. Everybody loves laughing at losers, your "kind", because that makes us feel better.

My simple advice to you, pretty face in those stupid YouTube videos: cheer up!

I still remember your - supposedly - killer looks while watching the premiere of Sex and The City The Movie, together with your friend Velove. What you really need to get through all this diminishing stardom and subsequent mental breakdown is Mariah Carey. Everyone knows how she had fallen hard from grace, and surprisingly, bounced and made a solid come back. Look at where she is now.

You see, life’s been treating you very well in your childhood and teenage years. Who knows what has been reserved for you in years to come? Just hang on there.

Oh, and one more thing. Never upload other silly videos like the ones you did before this. They’re plain stupid.



Disclaimer: The image above is not the person I'm referring to in this writing.

Tuesday, August 11, 2009

Probably The Only Indonesian Ever to Read "The Mysteries of Pittsburgh"



A guy whom I befriended with in goodreads recently sent me an online message. He noticed that I had just finished reading this novel by Michael Chabon, The Mysteries of Pittsburgh. Apparently, this guy works in a local publishing company. He said that his company wants to translate said novel into Bahasa and subsequently publish it in this country. He also asked me whether I have time to read their translated draft and give comment.

Remembering how I keep breaking promises, even the ones I made myself for my own good, I simply refused. But I gave him a very different reason. I told this guy, that I can’t imagine this novel being published in Indonesia. Not because it dealt with certain issues like the Jewish mob organization or homosexuality among young men (hey, we’ve seen and read enough about them already!), but because it’s probably going to be “religion-sensitive” case.

You see, one of the novel’s supporting characters is an Arab guy who happens to be a quite flamboyant homosexual. I don’t care what Mahmoud Ahmadinedjad said, but different sexual preference is not race-exclusive. What I found most unsettling about this character that might wreak havoc and cause storm of protests among many Indonesians, is because this Arab gay guy’s name is Mohammed – quite similar with the name of Islam's highest prophet.

Even though I have to honestly admit, that if readers set the Arab gay guy issue aside, this novel may make a good read. It has romance (though more about confused love interests between male-male-female), a little bit of action (a chasing scene involving a police helicopter), talks about the search for personal identity and coming-of-age, intimate feelings (losing the one you loved most), and tragic death. To make it short, a complete novel.

Somehow, I found it quite a relief that probably, I’m the only Indonesian who ever read this novel.



Images were taken from various sources, depicting scenes in the movie adaptation of "The Mysteries of Pittsburgh".

Monday, August 10, 2009

Why Would I ?



And when you said those parting words
I was so stunned,
Could not believe I have to accept this fate
Felt like someone just pulled the rope of the black bell and it tolled
Loudly, deafening, and then it stopped abruptly
And then the world fell in silence all of the sudden

You made me wanted to take myself away, far from this place
To somewhere else, near or far, anywhere but here
Where there were lights, shone brightly forever
Where darkness only be seen in strange forms of shadows
Where the end is predictable and controllable, and comes only if you wish for it
Where I don’t have this feeling of needing you by my side

Because why would I want you to be here, just to lose you again?

Monday, August 3, 2009

Simulakra


Masih kuingat dulu ketika baru mulai masuk sekolah dasar, lewat hobinya mengisi teka-teki silang di Kompas Minggu, Bapak ‘menularkan’ hobinya membaca koran kepada kami anak-anaknya. Namun apabila dicoba mengingat-ingat kembali, sebenarnya ketertarikanku itu secara khusus dimulai dari keisenganku menggambarkan kacamata, kumis dan jenggot, serta memberikan tahi lalat di wajah sosok siapa saja yang menjadi foto utama di bawah headline. Biasanya keisengan ini berbuah omelan panjang lebar dari Ibu sebagai respon terhadap keluhan Bapak, yang terkadang masih pula ditambah dengan cubitan-cubitannya yang tajam menyakitkan, tapi entah mengapa, gagal membuatku jera.

Sekian tahun berlalu, akhirnya minat membaca koran yang sesungguhnya dan sebenar-benarnya bertumbuh, meski tentu saja, tidak bisa dan tidak akan kubaca semua artikel yang dicetak di dalam koran edisi manapun. Biasanya, selain berita utama, perhatianku lebih tertuju pada kolom Apa & Siapa, komik setrip serta Obituary. Terkait dengan yang terakhir itu, mohon jangan ditanya mengapa, karena aku tak bisa menjelaskannya. Yang jelas, Kompas Minggu adalah edisi paling menarik buatku untuk dibaca apabila dibandingkan dengan suratkabar lainnya.

Nyaris satu dekade mengonsumsi harian ini tanpa perlu berbagi dengan Bapak, khususnya di setiap edisi Minggu, lama-lama mulai terbaca ”pola” tulisan-tulisan yang dimuatnya. Para penulis (’reguler’ dan ’langganan’ ?) yang artikel-artikel humaniora dan budayanya seringkali dimuat Kompas, nyaris setiap saat mengutip pendapat para filsuf asing, seperti Nietzsche dan Baudrillard.
Jadi teringat dulu ketika masih duduk di bangku kuliah, nama kedua orang ini memang sering didengung-dengungkan oleh para dosen maupun rekan-rekan aktivis, tapi aku tak pernah bisa ingat dalam konteks apa (barangkali, postmodernisme) dan tak bisa peduli mengapa. Apalagi bila ada yang berbicara tentang Dialektika. Hah, makhluk macam apa pula itu?

Saking begitu seringnya nama kedua tokoh filsafat tersebut muncul dalam beragam tulisan dari para penulis yang berbeda-beda, membuatku sering bertanya-tanya sendiri, sebenarnya beliau-beliau ini dijadikan referensi karena konteksnya memang betul-betul cocok dan memperkuat serta memperkaya tulisan-tulisan tersebut, atau hanya karena si penulis ingin bermegah diri dan dianggap intelektual, atau menjadi sebagai semacam syarat tidak tertulis dari Dewan Redaksi Kompas agar tulisan-tulisan tersebut dianggap kredibel??

Monday, July 27, 2009

Ada Apa Dengan "Anda" ?


Salah satu aspek paling menarik terkait profesi resmiku, adalah tantangan secara simultan terhadap keluasan wawasan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Memang ada sih beberapa tugas penulisan naskah yang terasa datar dan membosankan karena sudah ada pakemnya dan tidak boleh melenceng sedikitpun dari jalur tersebut, tapi banyak juga yang tidak.

Misalnya pernah ada kejadian dalam satu minggu, aku harus memahami setidaknya tiga hal: latar-belakang munculnya fortune cookies dalam dunia kuliner, segmen kisah ”Hanoman Obong” dalam cerita pewayangan Ramayana, dan perkembangan terkini pasar modal di Indonesia. Dijamin pusing, karena sekian banyak informasi harus bisa ditanam dalam memori otak ditambah lagi dengan keharusan meluangkan waktu untuk survey kilat serta membaca, mengakibatkan waktu tidurku berkurang. Meskipun kalau diingat-ingat sekarang, ada manfaatnya juga perluasan wawasan tersebut; misalnya jadi tidak ada lagi rasa penasaran terhadap fortune cookies yang dijual seharga Rp. 2.500,- / buah di rumah makan favorit teman-temanku di Oakwood Plaza.

Namun peristiwa minggu lalu yang kembali membangkitkan rasa penasaranku adalah ketika ternyata ada pihak-pihak yang tidak menyukai penggunaan kata ganti orang kedua, ”Anda”.
Entah karena alasan apa, klien ini yang adalah salah satu group usaha terbesar di negera kita (Presiden Direkturnya tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia), begitu mengharamkan penggunaan kata ”Anda”. Itulah sebabnya, bukan hanya naskah buatanku yang diubek-ubek diberi catatan revisi sampai titik komanya, tapi tulisan yang tercantum dalam kupon seating arrangement pun dikeluhkan sehingga terpaksalah ratusan kupon itu diganti seluruhnya!
Kejadian yang kurang lebih serupa pernah kualami dua tahun lalu, saat itu sedang bekerjasama dengan dengan sebuah anak perusahaan group besar dan ternama. Bagian Corporate Communication perusahaan tersebut meminta penggantian semua kata ”Anda” menjadi ”Bapak-bapak dan Ibu-ibu”, tanpa merinci alasannya secara spesifik.
Untung saja naskahku ditulis dengan menggunakan program Microsoft Word, sehingga tidak susah dan makan waktu untuk mengeditnya. Yang lebih kasihan, adalah teman-temanku bagian Creative Design yang terpaksa mengganti semua kata ”Anda” yang sudah terlanjur dicetak di atas kupon yang jumlahnya ratusan itu secara manual; lalu mencetaknya ulang.

Memangnya ada apa sih dengan kata ganti “Anda” dan maknanya, yang barangkali belum kuketahui? Apakah nilai dan makna kata tersebut sudah tereduksi sedemikian rupa sehingga menjadi tidak pantas lagi untuk dipergunakan dalam berbahasa di media-media maupun forum-forum resmi? Bingung nih!





Betul sekali !
Artikel ini memang tidak memiliki hubungan apapun dengan ilustrasinya.


Wednesday, July 22, 2009

Not Your Typical Woman


Call me anything, from shallow to overpessimistic, but I failed to grasp what’s there to love and fascinate over Poppy (played by Sally Hawkins) and her quirkiness in Mike Leigh’s Happy Go Lucky.

Yes, I did noticed some of her traits in others that I’m (or was) closed with, which in different situation they might make me laughing all over, but in most times I saw Poppy’s character as aggravative and obnoxious as Sarah Lewis in Forces of Nature.

That’s why it took me over five weeks to finish watching this (not so funny comedy) from DVD.

Now I wonder why I love Amรฉlie Poulain more?

Tuesday, July 21, 2009

Di Akhir Usia


Seorang teman memberikan link Catatan Pinggir-nya Bapak Goenawan Mohammad minggu ini, yang mengulas aksi teror peledakan bom di Hotel J.W. Marriott dan Ritz Carlton, Jakarta.

Dari sekilas membaca cepat artikel tersebut, pikiranku justru dibawa melayang pada sebuah adegan klimaks anime Metropolis karya sutradara kondang, Osamu Tezuka. Dalam film tersebut, digambarkan jelas ketika sebuah ledakan mahadahsyat meluluhlantakkan sebagian Metropolis, tak ada efek suara menggelegar memekakkan telinga layaknya yang lazim didengar oleh para penonton sebagaimana biasanya dalam film-film action khas Hollywood.

Sebagai gantinya, visual pengadeganan ledakan tersebut diiringi sebuah tembang lawas lembut memanja gendang telinga, suara mendiang Ray Charles menyanyikan I Can’t Stop Loving You. Anehnya, dampak yang ditimbulkan justru jauh lebih memukau dan menghanyutkan perasaan, jauh lebih efektif dalam menciptakan rasa haru-biru.

Karena barangkali ketika kematian tidak bisa lagi dielakkan, yang memang ingin benak kita ingat menjelang waktu di dunia berakhir, adalah kenangan-kenangan indah tentang tawa, cinta dan bahagia yang pernah kita rasa.

Atau barangkali aku saja yang kebetulan sedang terbawa suasana dan jadi sentimentil? Entahlah.

Friday, July 17, 2009

United We Stand


Kami tidak takut menghadapi serangan teroris.
Indonesia Unite !

Thursday, July 16, 2009

Blocked


write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write.

i have to start writing because deadline’s approaching but my hands & my mind won't cooperating.




*image was taken without permission from peter, bjorn and john's cover album

Wednesday, July 15, 2009

Buku ku, checked. Dua kali. Mengapa?


Sejak kejadian 9/11, sudah sewajarnya jika pengamanan di seluruh Bandar Udara, berstatus internasional maupun tidak, diperketat.

Pemeriksaan memang musti dilakukan berlapis, untuk menghindari masuknya barang-barang berbahaya dan atau tidak dikehendaki di dalam kabin pesawat terbang. Meskipun misalnya jadi terbentuk antrian di saat-saat sibuk (terutama peak season saat musim liburan sekolah), itu adalah resiko yang memang harus diambil.

Aku pun tidak akan mengeluhkannya, karena, siapapun pasti lebih memilih terbang nyaman dan aman, daripada terjadi kejutan-kejutan saat pesawat yang dinaiki sedang terbang tinggi di udara. Jadi buatku biasa saja kalau misalnya harus melewati body scanner atau metal detector sampai lebih dari satu kali.

Yang membuatku sedikit bingung adalah ketika minggu lalu, ketika hendak terbang ke Bandara Ngurah Rai, Denpasar, dari Soekarno-Hatta, ada dua orang petugas yang secara khusus meminta novel “The Mysteries of Pittsburgh” yang kutenteng. Mereka berdua, meskipun melakukannya secara terpisah, membolak-balikkan halaman demi halaman novel tersebut. Skimming and leafing through the pages.

Entah apa yang mereka cari, karena ketika kutanyakan, mereka tidak memberikan jawaban yang jelas. “Prosedur rutin, Pak,” katanya. Karena memang pada dasarnya aku malas bertanya lebih panjang kali lebar, ya sudah, kuambil kembali novel yang diangsurkan ke arahku tersebut, mengambil tas cangklong-ku dari roda berjalan mesin pemindai, dan melangkah menuju ruang tunggu.

Kira-kira ada yang bisa memberi jawaban tidak ya, mengapa buku yang dipegang ketika melewati metal detector sampai diperiksa isinya dua kali, sedangkan kalau dimasukkan ke dalam tas, tidak akan diperiksa semendetail itu? Bingung.

Wednesday, June 24, 2009

Those Sexy Boots Weren’t Made for Running

"Catch us if you can, Megatron!"


I felt much disappointment watching Transformers: Revenge of The Fallen, which was released in many parts of the world today. High anticipation and enthusiasm were built in the couple of weeks prior to the release, and in the mere first hour of watching they were all shattered into pieces.

Bayangkan saja, selama hampir 70 menit pertama, masih belum jelas apa tujuan cerita film ini. Kesan yang paling terasa adalah : dipanjang-panjangkan. (Meskipun tidak sampai separah pengalaman menonton Pirates of Carribbean: At World’s End yang begitu membosankan sampai terasa seperti film berdurasi seumur hidup)


Masih kuingat dua tahun lalu, saat end credit Transformers muncul bergerak naik, aku bertepuk tangan kencang karena puas melihat suguhan action mendebarkan dan cerita yang kocak namun tetap menegangkan – sampai deg-degan jantung ini ketika menyaksikan perang di dalam kota dan Sam Witwicky harus berlari-larian dan bergelantungan di puncak gedung demi menyelamatkan diri.

Sebenarnya buruknya kualitas penceritaan sekuel ini sudah mulai terasa sejak ... percaya atau tidak ... dimunculkannya karakter dua ekor anjing keluarga Witwicky di limabelas menit pertama.
Pertama kali kulihat keduanya, alam bawah sadarku seakan mengingatkan, ”Oh gosh! Please don’t show me another joke about two different breed of dogs performing sexual intercourse! I am so fed up with that kind of brainless jokes.” Dan kekhawatiranku ternyata terbukti. Di moment munculnya adegan persenggamaan (yang TIDAK lucu) itulah aku langsung menjatuhkan vonis: film ini pasti jelek!

Betul-betul menyedihkan. Semakin lama cerita Revenge of The Fallen ini semakin jelek, sampai-sampai membuatku menguap bosan. Kemana perginya ketegangan aksi dan struktur penceritaan yang lebih cerdas, seperti yang dipamerkan di prekuelnya??

Ada tiga hal tolol yang membuatku kesal setengah mati dengan sekuel ini.

Pertama, adalah kemampuan ujung lidah Alice tetap berbentuk seperti lidah manusia saat tubuhnya menclok di kap mobil. Bisa jadi kapabilitas tersebut menjadi fantasi sensual bagi sementara pihak, sebagaimana mereka juga pertama kali dibuat terpesona oleh robot sexy di Terminator 3: Rise of The Machines. Namun bagiku sendiri, Alice di atas mobil itu tidak lucu sama sekali, tidak terlihat spektakular secara visual, malah menjijikkan dan membuat mual. Tapi ini masalah selera pribadi, jadi sah untuk diperdebatkan.

Kedua, adalah hal yang sama sekali berbeda. Andai saja aku bagian dari pemerintah berkuasa di Mesir, film ini akan kuusulkan untuk dilarang beredar di negeriku. Begini alasannya.
Coba dibayangkan, saat pasukan Amerika Serikat terbang secara ilegal memasuki wilayah kedaulatan negaraku, membawa serta bersama mereka masalah besar dengan membuka front peperangan melawan pihak ketiga di negaraku dan mengakibatkan jatuhnya korban harta benda dan jiwa penduduk yang notabene adalah warga negara di negeriku, dan lebih parah lagi, peperangan ini menghancurkan warisan sejarah budaya leluhurku yang telah berusia ribuan tahun dan menjadi salah satu Warisan Dunia versi UNESCO, yang dilakukan oleh pasukan gabungan Amerika Serikat dan Inggris tersebut adalah meminta bantuan dari Angakatan Udara Yordania!! Apakah karena mereka menganggap enteng kekuatan Angkatan Bersenjata dan kedaulatan negaraku, Mesir?? Ini adalah bentuk penghinaan yang tak termaafkan!! Tarik Duta Besar kita dan putuskan saja hubungan diplomatik dengan Washington!!


Ketiga, sejak ketibaan Mikaela Banes di kampus Princeton untuk menemui kekasihnya, Sam Witwicky, dan adegan salah paham yang disusul kejar-kejaran dengan robot Alice, seingatku tidak ada sekalipun peluang bagi mereka berdua plus Leo Spitz untuk berganti pakaian. Akan tetapi di tengah-tengah kesibukan mereka menyelamatkan diri dengan bantuan Bumblebee di wilayah Amerika dan kemudian oleh Jetfire di Mesir, entah bagaimana caranya, Mikaela bisa mendapatkan kesempatan untuk mengganti sepatu boot-nya agar ketika berlari-lari di gurun pasir Mesir di bawah teriknya sinar matahari, kakinya tidak akan cedera. Probably because she knew that those sexy boots she wore during her Princeton visit were definitely not made for running.

"We want to see more!"

Tambahan: Ingat ketika Jetfire berubah dari pesawat pajangan di dalam hangar museum dan kembali menjadi robot? Salah satu pertanyaan pertama yang dilontarkannya adalah, “What planet am I in?”.
Beberapa menit kemudian, dia mengatakan kepada Sam dan teman-temannya, “I’m taking you to Egypt.”
Dan tak lama setelah itu, Jetfire kembali mengucapkan satu petunjuk bahwa dia sebenarnya tahu lebih daripada yang dia akui, ”... after a millenium, ...”.
Benar-benar robot tua pintar yang tahu banyak! Bisa jadi dia telah menyempatkan diri browsing Google sebelumnya, sama seperti John Connor.

Yes, this sequel is that horrible, you wouldn't believe your eyes!

Thursday, June 18, 2009

Come again, Sir?

President Susilo Bambang Yudhoyono (courtesy of The Sydney Morning Herald)


Bapak Susilo Bambang Yudhoyono just said in a presidential debate which is currently - at the time of this writing - being broadcasted live: "... oleh Lapindo, perusahaan penyebab semburan lumpur itu...".

Excuse me, Mr. President, but was that a *positive* confirmation?

Did you just imply in your statement that you KNEW what was the real cause of the Lapindo mudflow case all this time?

The disaster happened over three years ago, yet many - if not most - victims are still struggling to rebuild their lives. Where have you been all this time, Mr. President?

What's your say now, Sir?


Original image was taken from here. I don't own the right to it.

Liburan di Bali, Film Indonesia Anyar dan Cerpen Monster Klasik



Hari ini Dia terbang ke Bali. An early weekend getaway, sekalian untuk merayakan hari jadi Sang Bunda, yang katanya sudah lebih dari satu dekade tidak pernah menginjakkan kakinya di Pulau Dewata. Untuk itulah dia sudah merancang secara khusus liburan kali ini. Rencananya, Dia akan menginap di Ayana Resort. Mudah-mudahan dia dan Sang Bunda bisa sangat menikmati kunjungan mereka ke Bali kali ini.

Jadi teringat, bulan lalu aku mengikuti quiz pembaca sebuah majalah khusus pria, yang hadiah utamanya trip dengan akomodasi dua malam di Ayana Resort tersebut. Mudah-mudahan kali ini keberuntungan menghampiriku, dan hadiah utama yang tampaknya begitu menggoda itu bisa kudapatkan. Kalau menang, akan kuajak Dia lagi menghabiskan akhir pekan berdua di sana. Seru!

Nah, itu rencanaku kalau menang. Lebih tepatnya: angan-angan. Namun bagaimana dengan rencana jangka singkatku untuk akhir pekan ini? Secara, lagi temporarily single (though still unavailable, hehe...).

Tadi pagi sudah kuajak Bradley untuk menonton film Indonesia teranyar, baru rilis secara luas hari ini. Judulnya: Garuda Di Dadaku. Menilik dari promo trailer-nya sih, tampak menarik. Sebelnya, Bradley bilang dia harus menghadiri sebuah meeting terlebih dahulu, yang dijadwalkan mulai jam delapan malam di Plaza Senayan. Itu artinya, Bradley baru bisa nonton saat jam pertunjukan terakhir. Ah, terlalu malam!, pikirku. Tapi kita lihat saja nanti, siapatahu aku merubah pikiran dan memutuskan untuk bergabung dengannya.

For this time being, dan sembari menunggu konfirmasi ulang dari Bradley, mungkin akan lebih baik apabila aku menyelesaikan terlebih dahulu bacaanku yang sempat tertunda beberapa hari ini. Sebuah cerpen karangan Ray Bradbury, The Fog Horn, yang menjadi inspirasi cerita film monster The Beast From 20,000 Fathoms.

I enjoyed watching the movie adaptation so much, because The Beast was so huge, scary, crashing cars under its feet and stomped people to death. What’s not to savor about it?? After all, it’s a monster movie.

I wonder if the short story could also give the same delectation. I certainly hope so.



Wednesday, June 17, 2009

Mulai Hari Ini



Maafkan,

Ketika kemarin malam,
egoku terlalu berkuasa dan mengambil-alih kesadaran,
sehingga sampai hati kulakukan itu semua.

Jujur tak pernah kuduga,
tindakan yang kuanggap sangat sederhana,
akan membuatmu begitu terluka.

Maafkan,

Ketika kemarin malam,
egoku yang membutakan jiwa,
membuatmu menangis sedih kecewa.

Jujur aku tak ingat,
betapa tindakan serupa yang kualami sendiri beberapa warsa silam,
pernah menimbulkan kekalutan luar biasa di dada.

Maafkan,

Sebab mulai hari ini,
tak kan kubiarkan air matamu mengalir lagi,
hanya karena hal-hal tak esensial,
seperti egoku yang terlalu berkuasa.

Tuesday, June 16, 2009

Bingung Karena Kaos Kaki


Entah angin mana yang membuatku memilih untuk memakai kaos kaki sebelum memasang loafers tadi pagi ketika hendak berangkat ke kantor. Iseng saja, atau memang lagi khilaf?

Secara selama ini, loafers-ku yang ini selalu dipakai polos saja tanpa bungkus kaki. Dan karena hari ini lagi beda setelan pemakaian, jadi terasa sakit sedikit di bagian jemari kaki, rasanya seperti digigit. Barangkali karena ukuran biasanya sedikit berubah menjadi agak sempit.

Namun sejujurnya, aku juga tidak terlalu tahu sih dalam tata-aturan fashion, boleh atau tidak ya mengenakan kaos kaki DAN loafers sekaligus?

Mana tadi sesudah makan siang, ketika membeli slippers inceran di Zara, aku sampai terpaksa harus mencopot kaus kaki segala demi untuk dapat mencoba slippers motif kotak-kotak itu. Soalnya, sudah direncanakan untuk dipakai saat tugas ke Bali bulan depan. Hoho!

Oh ya, yang menjadi topik pembicaraan di sini bukanlah loafers formal (dress shoes). Lebih mirip tipe-tipe yang biasa dikenakan saat jalan-jalan santai kala summer. Dan belinya pun waktu itu sedang diskon 50%, jatuhnya jadi lumayan murah untuk sebuah alas kaki.

Balik lagi ke pertanyaan tadi: boleh atau tidak ya mengenakan kaos kaki dan loafers sekaligus?

Bingung, euy!


According to this undated photo from Teen Vogue, you may.

Thursday, June 11, 2009

My Lost Mobile Phone, Remembered


Kemarin malam salah satu stasiun televisi nasional kembali menayangkan-ulang House of Wax. Film horor yang meskipun kata para kritikus dan pencinta film, adalah sebuah remake yang unworthy and trashy, tapi memiliki makna khusus buatku. Benar-benar khusus, meskipun kalau orang lain tahu kenapa, kesannya akan jadi ga’ penting banget. Haha!

Ehm, memang makna khususnya masih punya kaitan dengan Paris Hilton. Bukan, ini tidak ada kena-mengenanya dengan hubungan antara ’idola’ dan ’penggemar’. Tapi lebih pada karakternya Paris, yaitu Paige Edwards.

Jadi beginilah ceritanya.

Dalam salah satu adegan yang intense, Carly Jones (diperankan Elisha Cuthbert) mencoba menghubungi Paige, yang saat itu sedang asyik-masyuk bercumbu dengan kekasihnya. Tapi namanya kalau birahi sedang memuncak ke ubun-ubun, langsung lupa sama yang lain. Termasuk, mengabaikan panggilan telepon yang masuk.



Hayo, pada ngaku, kalau sedang panas-panasnya foreplay, ga’ peduli anjing menggongong kencang, telepon ribut berdering krang-kring-krang-kring, PLTN mendadak memadamkan listrik, kayanya ’kentang’ banget kalau foreplay-nya diberhentikan. Perintah yang dikirimkan sistem syaraf ke seluruh sensor tubuh biasanya cuma satu: ”Lanjutkan!”.

Seperti itu jugalah yang dilakukan Paige. Penonton hanya diperlihatkan close-up unit telepon genggam yang dipakai Paige. Dan inilah yang membuatku kaget, excited. Jenisnya sama seperti yang kupakai saat itu!! Bedanya, Paige memakai yang warna hijau, aku memakai yang warna merah.

Dengan sedikit norak, aku sempat nyeletuk agak kencang di dalam bioskop yang gelap dan duapertiga kursinya diisi penonton: “Eh! Henponnya sama dengan punya gue!!”, yang langsung direspon oleh teman menontonku dengan gerakan refleks menepuk lengan atasku, “Hush!”.

Hampir empat tahun kemudian, ketika film horror ini kembali ditayangkan-ulang di salah satu stasiun televisi nasional, seakan menjadi pengingat bahwa pada suatu hari yang mendung dan diikuti hujan deras di bulan Ramadhan tahun 2005 Masehi, ketika aku mencoba berpetualang sendiri menuju Bogor menaiki kereta listrik kelas ekonomi yang penuh sesak dari ujung ke ujung sehingga nyaris tidak ada celah sedikitpun karena setiap tubuh sudah saling lekat erat dan rapat, seorang pencopet dengan lihainya sukses mengambil telepon gengamku tersebut yang disimpan di dalam saku ransel yang kucantolkan di depan badan. Inilah salah satu hari tersial sepanjang hidup yang rasanya tak akan mungkin bisa kulupa.

Demikianlah ceritanya, sebab-musabab kenapa setiap kali House of Wax ditayangkan-ulang di televisi, aku jadi teringat lagi satu adegan yang buatku terasa istimewa itu. Meskipun hingga kini, hanya sekali itu saja, di bioskop, aku menonton film horror remaja tersebut sampai selesai. Dan hingga kini pula, hanya sekali itu sajalah aku pernah bepergian seorang diri menaiki kereta listrik kelas ekonomi menuju Bogor, tak ingin lagi mengulanginya.

Peristiwa kehilangan telepon genggam karena kecopetan itu jugalah yang sedikit banyak mengubah cara pandangku hingga kini. Sekarang, aku tak pernah lagi merasa kasihan pada para pencopet yang tertangkap massa lantas digebuki beramai-ramai hingga babak belur. Biar tahu rasa dia, sudah merugikan orang lain!

Bagaimana, penting ga’ penting kan tulisanku kali ini? Haha!




Wednesday, June 10, 2009

What Christine Brown Should Do to Avoid Being Dragged to Hell


Christine Brown has a good job, a great boyfriend, and a bright future. But in three days, she's going to hell.

Unless, of course, if she put her coat – including the removed button – for sale in eBay for a mere dollar the morning after being attacked by Mrs. Sylvia Ganush, that old and vicious gypsy woman (so it will sell in less than 3 days). But even if she can’t auction her old coat in the internet, she can still sell it to a thrift shop right away after being attacked the night before.

You see, just like the story itself reveals only tens of minutes afterwards, Christine offers the supposedly-enveloped-button to his conniving coworker Stu Rubin in order to divert the curse of Lamia to him. When this didn’t work because in the very last minute she decided to back off of the evil plan, all she has to do next is to sell her brown coat to any thrift shop together with her jewelries and ice-skating shoes, and make sure – verbally and, if needed, in writings – that she hands over the rights of ownership to the shop-owner (to which he/she has to express agreement upon) or to the subsequent unsuspicious buyer.

And then, voila!

As fast as snapping your fingers, Christine will be freed of the curse of Lamia.

Such a devilish plan, you said?

What the heck! Who wants to get burned in hell for eternity anyway?

Tuesday, June 9, 2009

Vulcan, on Earth

A typical Vulcan's scenery


The biggest surprise for me, while watching J.J. AbramsStar Trek, was not the sight of Winona Ryder as an old and wrinkles woman, but when looking at a glance of the Vulcan scenery (right before we could see Amanda Grayson and her beloved son, Spock, in a hallway).


The infamous Ryugyong Hotel


Boy, it sure reminded me of one of a few photographs of Ryugyong Hotel, and Pyongyang in a typical hot and dry summer days.


A typical summer in Pyongyang, viewed from Juche Tower.
Photograph courtesy of Adrian Tute.

Monday, June 8, 2009

The Most Beautiful Woman, in Vulcan


J.J. Abram’s Star Trek is a very good science fiction movie.
I think everyone shares the same opinion.

Yet what makes me like it even more was not just its great original scores that turned Star Trek into an instant classic, but also looking at the smiling face of Winona Ryder gracing the big screen in a major studio’s summer release, for the first time in … can I say, decades?

Welcome back, Winona. We missed you so much.
Please live long and prosper with all of us, your fans who grew up watching your movies in the late 80s and throughout the 90s.



Wednesday, June 3, 2009

[Unconfirmed] Rumor Has It ...



Kembalinya Manohara Odelia Pinot bersama ibundanya, Daisy F., ke Indonesia berkat bantuan dari staff Kedubes AS di Singapura, Kepolisian Singapura dan staff Kedubes RI di Singapura, menurut kabar-kabur yang belum bisa dikonfirmasikan kebenarannya, membuahkan kegusaran bagi beberapa figur publik, selebriti dan tokoh nasional Tanah Air.

Seorang tokoh teater dan film nasional, aktivis hak-hak wanita dan pemerhati politik yang sempat mencalonkan diri sebagai calon presiden independen, merasa sangat kecewa karena belum satu minggu berlalu sejak dia di depan puluhan wartawan infotainment menyatakan dengan tegas menarik diri dan dukungannya dari advokasi terhadap kasus Manohara O. Pinot, dan secara terbuka menuduh Daisy F. mendramatisir kasus ini serta memberikan keterangan palsu yang manipulatif demi keuntungan pribadi dan menuai simpati.

Setelah menyaksikan wawancara Manohara di salah satu acara infotainment di sebuah stasiun televisi swasta, seorang mantan pemain sinetron kondang (catet, bukan aktris!) yang lebih tersohor dengan koleksi kostumnya yang selalu matching dan fantastis dalam setiap kesempatan tampil di hadapan publik (misalnya dengan berjalan-jalan di sebuah mall elit di kawasan Pondok Indah sambil mengenakan winter coat berbulu-bulu, misalnya), merasa tersinggung dengan pengakuan Manohara yang menyebutkan dia terpaksa meninggalkan lima dari enam buah Birkin miliknya di Kelantan. Selebriti yang kabarnya sebentar lagi akan berkantor di Senayan setelah memenangi pemilu legislatif lalu ini merasa sangat tertampar dengan “keputusan berat” yang terpaksa ditempuh Manohara dengan meninggalkan semua koleksi barang-barang branded miliknya tersebut di tangan keluarga sang suami. Hal ini terkait dengan sebuah “insiden” memalukan yang melibatkan sang selebriti yang terjadi beberapa tahun silam, sekali lagi menurut kabar burung yang susah dikonfirmasikan kebenarannya, ketika dirinya nyaris dicegah masuk ke Prancis oleh pihak Imigrasi setempat karena koper-koper yang dipergunakannya ternyata adalah Louis Vuitton palsu.

Tour de la televisions yang dilakukan oleh Manohara O. Pinot dan ibundanya ke semua stasiun televisi nasional selama dua hari pertama kepulangannya ke tanah air, dikabarkan juga membuat gusar seorang pemain sinetron muda yang baru beberapa tahun terjun ke dunia entertain tanah air (yes, “entertain” is written intentionally) tapi namanya sudah menjadi common household name. Kabar kaburnya, si model dan pemain sinetron yang sempat tersohor akibat “hujyan”, “bechekk” dan “ojhyekk” ini tersinggung karena ketidakmampuan dan ketidakfasihan Manohara dalam bertutur bahasa Indonesia dalam semua wawancara tersebut membuat orang-orang lupa bahwa trademark ketidakbisaan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar menurut standar Bapak J.S. Badudu adalah miliknya dan pertama kali dipopulerkan olehnya. Andai saja si bintang sinetron muda ini tahu teknik berbicaranya akan diterapkan oleh seorang perempuan muda lainnya untuk menciptakan opini publik yang positif sekaligus untuk menerbitkan simpati (Manohara cried on telly, live!, while she never did), pastinya sudah sejak dulu ia dan sang manager (MM, alias Manager Mama) sudah mendaftarkan ‘talenta khusus berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia’ ciptaannya ke Direktorat HAKI.

Wanita terakhir yang patut diduga merasa resah dengan kembalinya Manohara O. Pinot ke Indonesia adalah seorang tokoh nasional yang sedang berjuang untuk merebut kembali tampuk kepemimpinan negara ini dan menduduki kembali kursi empuk RI 1. Munculnya wajah bundar bersinar Manohara di semua headline media cetak maupun elektronik seakan menjadi gerhana yang menutupi sosok Ibu satu ini, sekaligus mengalihkan perhatian rakyat dari jargon anti-neoliberal dan pro-ekonomi kerakyatan yang diusungnya bersama teman barunya. Untungnya, berdasarkan pengalamannya sendiri, si Ibu tahu persis kehebohan (“ga penting”) semacam ini tidak akan bertahan lama. Nothing lasts forever, or for quite long. Sama seperti ‘gerhana’ Manohara.





Disclaimer:
Tulisan ini dibuat sekedar untuk tujuan iseng belaka dan mohon dianggap sebagai guyonan.
Semoga tidak ada pihak-pihak yang mengajukan tuntutan pencemaran nama baik dan menjerat penulis dengan
UU Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana yang dialami oleh Ibu Prita Mulyasari.