Monday, August 3, 2009

Simulakra


Masih kuingat dulu ketika baru mulai masuk sekolah dasar, lewat hobinya mengisi teka-teki silang di Kompas Minggu, Bapak ‘menularkan’ hobinya membaca koran kepada kami anak-anaknya. Namun apabila dicoba mengingat-ingat kembali, sebenarnya ketertarikanku itu secara khusus dimulai dari keisenganku menggambarkan kacamata, kumis dan jenggot, serta memberikan tahi lalat di wajah sosok siapa saja yang menjadi foto utama di bawah headline. Biasanya keisengan ini berbuah omelan panjang lebar dari Ibu sebagai respon terhadap keluhan Bapak, yang terkadang masih pula ditambah dengan cubitan-cubitannya yang tajam menyakitkan, tapi entah mengapa, gagal membuatku jera.

Sekian tahun berlalu, akhirnya minat membaca koran yang sesungguhnya dan sebenar-benarnya bertumbuh, meski tentu saja, tidak bisa dan tidak akan kubaca semua artikel yang dicetak di dalam koran edisi manapun. Biasanya, selain berita utama, perhatianku lebih tertuju pada kolom Apa & Siapa, komik setrip serta Obituary. Terkait dengan yang terakhir itu, mohon jangan ditanya mengapa, karena aku tak bisa menjelaskannya. Yang jelas, Kompas Minggu adalah edisi paling menarik buatku untuk dibaca apabila dibandingkan dengan suratkabar lainnya.

Nyaris satu dekade mengonsumsi harian ini tanpa perlu berbagi dengan Bapak, khususnya di setiap edisi Minggu, lama-lama mulai terbaca ”pola” tulisan-tulisan yang dimuatnya. Para penulis (’reguler’ dan ’langganan’ ?) yang artikel-artikel humaniora dan budayanya seringkali dimuat Kompas, nyaris setiap saat mengutip pendapat para filsuf asing, seperti Nietzsche dan Baudrillard.
Jadi teringat dulu ketika masih duduk di bangku kuliah, nama kedua orang ini memang sering didengung-dengungkan oleh para dosen maupun rekan-rekan aktivis, tapi aku tak pernah bisa ingat dalam konteks apa (barangkali, postmodernisme) dan tak bisa peduli mengapa. Apalagi bila ada yang berbicara tentang Dialektika. Hah, makhluk macam apa pula itu?

Saking begitu seringnya nama kedua tokoh filsafat tersebut muncul dalam beragam tulisan dari para penulis yang berbeda-beda, membuatku sering bertanya-tanya sendiri, sebenarnya beliau-beliau ini dijadikan referensi karena konteksnya memang betul-betul cocok dan memperkuat serta memperkaya tulisan-tulisan tersebut, atau hanya karena si penulis ingin bermegah diri dan dianggap intelektual, atau menjadi sebagai semacam syarat tidak tertulis dari Dewan Redaksi Kompas agar tulisan-tulisan tersebut dianggap kredibel??

No comments: