Monday, March 31, 2008

It’s The Heart That Matters Most



"Oh, take a look around you can see that it's true
It's like a river flowing inside of you

Everyone needs love, you need it too

So here's what you have got to do"



Rasanya sudah menjadi pengetahuan khalayak ramai bahwa akhir pekan di Bandung belakangan ini sudah tidak lagi menyenangkan, dalam artian lalu-lintasnya – khususnya di jalan-jalan protokol seperti di Dago dan sekitarnya – cenderung mengalami kemacetan total. Perpindahan dari satu titik ke titik lainnya yang biasanya dalam kondisi lalu-lintas hari biasa hanya memakan waktu maksimal 10 menit, di akhir pekan bisa berubah menjadi 1 jam. Terkadang bahkan lebih! Gila!

Apalagi sejak menjamurnya factory outlet di kota ini, semakin banyak wisatawan asal Jakarta maupun dari daerah lainnya, yang datang hanya untuk menghabiskan uang dengan shopping, shopping and more shopping.

Meskipun selalu bikin orang-orang yang lewat jadi sakit hati dan sakit kaki (khusus dialami oleh mereka yang menyetir), agak sedikit susah juga jika harus menuding para wisatawan pembelanja ini sebagai biang segala macam kerepotan yang ditimbulkan oleh kemacetan. Serba salah, karena bahkan dengan berhitung kasar dan rada asal-asalan pun, diperkirakan setiap akhir pekan terjadi transaksi senilai minimal ratusan rupiah hingga miliaran rupiah, itu hanya dari belanja fashion. Belum termasuk jajan makanan dan oleh-oleh serta tol.

Menurutmu hal ini bagus buat perekonomian Bandung? Tidak juga. Biaya ekonominya tinggi! Hitung saja pemborosan waktu dan bahan bakarnya. Belum lagi ‘sakit jiwa’ yang ditimbulkan akibat stress menghadapi kemacetan.

Oleh karena itu, apapun jenis hiburan yang bisa ditemukan sepanjang jalan saat tengah bete terkena macet, pastilah akan sangat menyenangkan dan membantu mengatasi kepenatan yang mendera.

Sebagaimana hari Sabtu terakhir di bulan Agustus lalu. Aku bersama dengan tiga orang teman lainnya sedang ‘rusuh’ karena terjebak kemacetan seusai menghadiri penyelenggaraan wisuda di universitas negeri dengan jumlah mahasiswa terbanyak di Jawa Barat. Saat itu, jalan-jalan benar-benar padat, sehingga jarak yang hanya kurang lebih 100 meter terpaksa ditempuh dalam waktu nyaris satu jam!

Macet akibat acara wisuda di kampus ini yang masih terletak di seputaran area Dago, ditambah macet akibat tumpukan kendaraan para wisatawan yang ingin berbelanja, menimbulkan neraka lalu-lintas kemacetan pangkat dua. Menyebalkan!

Untuk mengantisipasi rasa kesal yang mulai menumpuk dan sembari menantikan kemacetan ini mulai terurai, kami berempat ribut bercanda. Mulai dari gossip-gosip tidak penting sampai main tebak-tebakan yang juga sama tidak pentingnya.

Saat itulah aku melihat satu momen yang – setidaknya buatku pribadi – indah dan mengesankan.

Di antara deretan mobil berbagai jenis dan merk serta tahun produksi yang saling merapat nyaris bumper to bumper, di antara sekian banyak orang yang lebih memilih untuk turun dari angkutan kota dan berjalan kaki meski berisiko terpapar kepulan asap knalpot melewati barisan mobil yang entah sampai kapan baru akan bisa melepaskan diri dari neraka kemacetan ini, kami berpapasan dengan dua orang ibu yang sedang menaiki sebuah vespa.

Rasanya tidak akan ada yang istimewa pada dua sosok ibu tersebut, jika kita tidak memperhatikan pakaian yang mereka kenakan. Si ibu yang mengemudikan vespa memakai busana muslimah, jilbab yang tampak serasi dengan bajunya. Duduk membonceng di belakangnya, adalah seorang biarawati tua yang mengenakan kalung salib yang terlihat jelas menggantung di dadanya. Mereka berdua tampak mengobrol akrab sambil tersenyum-senyum, barangkali sedang membicarakan sesuatu hal yang lucu sekali bagi mereka.


"Spread a little hope, make the spirits rise
Do you see the wonder in their eyes

Time to speak of love, hold each other close

Cause it's the heart that matters most"



“Hey! Coba deh liatin kedua ibu itu!” kataku pada ketiga orang temanku yang saat itu tengah seru-serunya tertawa. Tawa mereka segera berhenti saat melihat kedua orang ibu tersebut, dan mereka bertiga terdiam sejenak.

Lalu kudengar Fitra menggumam pelan, “Wah, indah banget ya ...”

Saat itulah sempat kuperhatikan ketiga orang temanku sedang tersenyum ke arah kedua orang ibu tersebut, meskipun aku yakin mereka berdua tidak akan dapat melihat senyuman kami yang terhalang oleh lapisan film kaca mobil.

Karena masih belum bisa melewati deretan mobil yang seakan-akan tidak bergerak sama sekali, tampak si ibu biarawati kemudian turun dari jok belakang dan berjalan agak lambat ke depan untuk melihat situasi arus lalu lintas. Tangannya memberikan tanda kepada setiap pengemudi mobil yang ia lewati, seakan-akan meminta izin agar ia dan temannya diberikan kesempatan untuk lewat. Sedangkan si ibu berjilbab mencoba mendorong maju vespanya menyelip di celah antara mobil-mobil, berusaha mengikuti gerak langkah si ibu biarawati.

Sayang sekali, kami tidak sempat mengikuti dengan pandangan mata apakah mereka berdua berhasil melewati kemacetan tersebut, karena tiba-tiba saja mobil yang berada di depan kami mulai bergerak maju. Langsung saja Aryo ikut menjalankan kembali mobilnya mengikuti pergerakan lalu-lintas.

Saat itu kusadari bahwa kami berempat masih terdiam sejenak. Barangkali kami semua masih memikirkan kedua orang ibu tadi. Lalu kudengar Helen berkomentar pelan, “Coba ya kalau kita semua bisa begitu ...”

Aku tersenyum.
Bukankah kami sudah mencobanya?

Kami berempat berteman dekat. Tanpa memandang latar-belakang yang berbeda. Salah satu dari kami asli keturunan Jawa dengan silsilah keturunan ningrat. Satu lagi keturunan Palembang-Arab, meskipun dibesarkan di luar Indonesia. Yang lain keturunan Jawa-Sunda, sejak lahir hingga lulus sekolah menengah tinggal di Jakarta, jadilah salah satu impiannya adalah berjalan telanjang kaki di pematang sawah. Dan satu lagi adalah keturunan raja-raja Tapanuli bercampur sedikit darah Eropah, namun dilahirkan di ranah Melayu. Salah satu dari kami telah menunaikan rukun Islam kelima dengan naik haji ke Makkah. Dan yang lain memeluk agama Kristen.

Sebagai sekumpulan teman dekat, kami tentu pernah merasakan pahit-manisnya persahabatan. Namun kami tidak pernah menjadikan perbedaan di antara kami sebagai sumber perselisihan. Bisa jadi kami sesungguhnya memiliki persamaan pandangan dengan kedua orang ibu tadi.

Andai saja kita semua bisa mengikuti keteladanan persahabatan kedua orang ibu di atas vespa itu tadi, dengan menerima segara perbedaan yang ada di antara setiap individu, dan tidak menjadikannya sebagai satu masalah yang terkadang cenderung dibesar-besarkan, bukankah hidup ini akan jadi lebih baik?


"In time we come to learn
It's the heart that matters most"




- Ide penulisan It’s The Heart That Matters Most didapat ketika sedang terjebak kemacetan seusai upacara wisuda Universitas Padjadjaran, 30 Agustus 2003. Judul tulisan dan kutipan pendukung di dalamnya berasal dari lirik lagu Charlotte Church dengan judul yang sama -

To Die For : The Ira Lennon Story




Sekapur Sirih: Sebuah Pengantar

Tersebutlah beberapa tahun silam, Nicole Kidman membintangutamai sebuah film drama-komedi berjudul To Die For. Plot utama film ini adalah obsesi seorang perempuan (yang diperankan oleh Kidman) yang bekerja di sebuah stasiun TV lokal untuk meraih popularitas dengan cara menjadi seorang anchorlady. Masalah mulai timbul karena perempuan ini bersediah menempuh segala cara dan mengorbankan apa saja yang dianggapnya perlu – termasuk menyuruh orang lain membunuh suaminya sendiri – demi meraih cita-citanya tersebut. Demi mencapai satu hal abstrak bertajuk “ketenaran” ! Demi sebuah popularitas !

Akan tetapi pertanyaan yang kemudian timbul adalah, apakah hubungan antara plot cerita tersebut dengan teman kita yang lebih popular dengan nama cantik Ira Lennon?

Barangkali akan sukar menemukan keterkaitan di antara keduanya, kalau saja kita tidak terlebih dahulu mengenal Nona Ira sebagai salah satu anggota aktif IWAPI (Ikatan Wanita Penggoda Iman) yang haus akan popularitas.

Sebelum sidang pembaca menyimak kisah nyata yang akan dituturkan berikut ini, perkenankan penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada saudara Arief Rachman yang telah berjasa untuk pertama kalinya menyingkapkan rahasia DSP (Desperately Seeking Popularity) syndrome yang menjangkiti beberapa orang Hilander98, dan menjadikannya satu topik semi-ilmiah yang menarik untuk dieksplorasi.

Tanpa bermaksud menghambat niat dan hasrat sidang pembaca yang telah menggebu-gebu untuk mencari tahu seperti apa dan bagaimana DSP syndrome ini sesungguhnya, perlu kiranya penulis sampaikan di muka bahwa diturunkannya laporan khusus berikut ini telah mendapatkan persetujuan lisan dari saudari Ira Lennon yang sama sekali tidak berkeberatan (bahkan di mata penulis cenderung terlihat kegirangan) dengan dituturkannya kembali kisah sejati dirinya melalui tangan penulis.

Akhir kata, penulis menghaturkan banyak terimakasih karena sidang pembaca telah berkenan meluangkan waktu online-nya yang berharga untuk membaca rangkaian kalimat sekapur sirih ini, dan ...

Selamat membaca!



* * *

To Die For : The Ira Lennon Story
[juga dikenal sebagai kasus “Desperately Seeking Popularity Syndrome”]


Hari Rabu siang, tepatnya pada tanggal 17 April silam, di tengah-tengah berlangsungnya sebuah acara diskusi mengenai kawasan Asia Timur yang disponsori oleh sekelompok teman dari kalangan Hilander98, tampaklah seorang pria tak dikenal beredar wara-wiri di antara kalangan mahasiswa yang secara terpaksa harus menghadiri acara ini di ruang seminar yang berada di lantai 2, gedung Dekan.

Setelah sekian lama mondar-mandir tidak jelas, lantas pria ini mendekati sekelompok mahasiswa yang tengah santai berdiskusi (untuk tidak menyebut bergosip) di depan kantor Dekan, dengan disaksikan oleh jejeran foto para mantan Rektor almamater tercinta.
Tanpa terlebih dahulu memperkenalkan identitasnya, pria ini mulai mengajukan serangkaian pertanyaan ‘maksa’ kepada kumpulan mahasiswa tersebut, yang kebetulan sebagian di antaranya adalah personil panitia acara diskusi semi-formal tentang Asia Timur ini.

Setelah rangkaian sesi tanya-jawab berakhir dengan agak terpaksa (karena yang menjawab hanya dua orang saja, yaitu saudara Ichsan dan saudari Fifi; sedangkan penulis dan saudara Rizal, Sony, dan saudari Mirna yang juga duduk di tempat yang sama tampak asyik mengupas tuntas konten sebuah novel Jepang pemberian saudari Syufra); maka barulah pria ini memperkenalkan identitasnya sebagai wartawan harian Metro Bandung.

Pria yang mengaku dirinya wartawan ini kemudian mencoba mengorek informasi dari Ichsan tentang kenalan-kenalannya sesama mahasiswa yang memiliki kemampuan dan kegemaran memasak, untuk diwawancarai. Berhubung Ichsan hanya memiliki pengetahuan terbatas tentang hal ini, maka pembicaraan pun berakhir dengan cepat. Namun sang wartawan seakan enggan meninggalkan tempat duduknya dan justru malah terlihat sibuk menulis entah apa di dalam buku catatannya.

Pada saat yang sama, dari selasar tangga yang berhadapan dengan kursi tempat kami sedang berkumpul, terdengar ketukan berirama langkah seseorang. Tak lama, terlihat Ira Lennon berjalan melenggang perlahan dengan pose seolah-olah sedang memeragakan busana di atas catwalk. Secercah senyum sesegar tomat merah merekah di wajahnya yang sumringah melihat penulis yang sedang duduk santai sambil membaca.

Dengan rasa percaya diri yang takarannya cenderung overdosis, Ira segera mengambil tempat di sebelah kiri penulis dan mulai melancarkan jurus “rangkaian bugar”: BUjukan – GodaAn - Rayuan, dengan tujuan agar penulis mengekspos dirinya dalam postingan edisi berikutnya di forum Hilander98. Karena ketulusan hati dan didorong oleh niat baik agar temannya yang cantik ini dapat memenuhi hasrat terpendam akibat pengaruh DSP syndrome yang tampak mengakar kuat dalam kepribadiannya, maka penulis berinisiatif memperkenalkan Ira kepada si kuli tinta tersebut.

Ternyata, tanpa bermaksud menyia-nyiakan sedetikpun waktu dan seumpritpun kesempatan, secara sigap dan agresif Ira berupaya menarik perhatian si wartawan, dengan bergaya seolah-olah mewawancarai wartawan tersebut sambil pura-pura menyorongkan mike ke wajah pria itu.

“Bagaimana, Mas, rasanya menjadi seorang wartawan? Sering nggak dikejar-kejar deadline? Susah nggak mewawancarai orang?” adalah sedikit dari sedemikian banyak pertanyaan yang diajukan Ira. Pertanyaan yang sesungguhnya tidak dia cari jawabannya, karena yang dibutuhkannya justru adalah perhatian wartawan tersebut.

“Gimana sih, Mas, caranya menjadi wartawan? Apa setiap tahun ada buka lowongan untuk menjadi wartawan? Soalnya teman saya ada yang ingin menjadi jurnalis.” Tampaknya Ira menganggap perlu memberikan alasan logis atas brondongan pertanyaannya itu. Karena si wartawan justru terlihat gelagapan dan jadi salah tingkah tidak bisa berkata apapun, akhirnya keluarlah kalimat pengakuan dari Ira, “Saya mau dong diwawancarai.”

Karena merasa sedikit iba melihat ekspresi kaget wartawan tersebut, maka penulis berusaha menengahi dengan maksud mempertautkan tujuan keduanya: si wartawan sedang mencari narasumber yang gemar memasak untuk diwawancara, sedangkan si mahasiswi mencari kesempatan untuk ditampilkan di dalam media massa jenis apapun (jika tidak bisa nasional maupun tingkat daerah, yang berskala lokal pun boleh lah).

“Kalau boleh tahu, kegemarannya apa, mbak?” tanya si wartawan berbasa-basi, setelah berhasil mengatasi keterkejutannya akan agresivitas Ira. Tampaknya upaya Ira berhasil nih!

Sambil langsung mengambil pose duduk seperti yang diajarkan oleh sekolah kepribadian yang dianggap paling pantas dan paling cocok memancarkan daya tarik kewanitaannya, dengan santainya Ira menjawab, “Saya sangat menggemari dua hal: memasak dan cowok ganteng. Tapi saya paling senang satu hal, memasak cowok ganteng.” Entah apa yang dimaksudkan oleh Ira dengan pernyataan tidak logis ini, namun senyum lebarnya yang menggoda itu tidak pernah lepas sekejap pun dari wajahnya.

Si wartawan mencoba bertahan dengan mengajukan pertanyaan, “Mbak paling jago memasak apa?”, yang dijawab Ira sambil tetap memamerkan cengiran khasnya, “Memasak air, kadang sampai habis.”

Barangkali karena menduga niat utamanya tidak akan kesampaian jika menghadapi tipe wanita dengan kepribadian seunik Ira, si wartawan mengubah taktik. Dengan mimik sedikit kaku dia bertanya lagi, “Saya serius, mbak. Sebenarnya mbak senang memasak apa?”

Bisa jadi karena merasakan perubahan intonasi bicara, Ira mengubah caranya menjawab, “Mas tau opor ayam?”, yang dijawab “Ya” oleh si wartawan sambil mengangguk.

“Kalau balado opor ayam?” lanjut Ira. “Apa Mas suka?”

“Ya, tau. Lumayan suka” jawab si wartawan.

Sementara itu penulis jadi sibuk menduga-duga seperti apa gerangan wujud masakan yang bernama balado opor ayam itu, dan tentu saja, karena telah mengenal kepribadian temannya ini, penulis juga mencoba-coba menerka apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Ira.

“Nah,” lanjut Ira masih dengan mimik agak serius. “Kalau saya lebih suka balada anak tiri”, dan kemudian ia tertawa. Mendengar jawaban Ira yang tidak terduga ini, lepaslah tawa penulis, terbahak-bahak. Sedangkan si wartawan terlihat sebal, dan mungkin sedikit menyesal memberikan perhatian dan meluangkan waktunya mewawancarai gadis ini.

Karena merasa tidak enak kepada si wartawan, maka penulis beranjak pergi hendak meninggalkan kedua insan yang sedang ‘mempermainkan-dan-dipermainkan’ itu.

“Wah, Marko, elo jangan pergi dong. Temenin gue nih wawancara,” panggil Ira sambil melambaikan tangan dan jemarinya yang pendek-pendek namun dipaksakan melengkung lentik, laksana seorang artis yang sedang menghadapi salah satu rutinitas kehidupan sebagai seorang selebriti, yaitu diwawancarai infotainment.

“Gak mau ah, elo kaya’ gitu sih!” sahut penulis sambil melangkah ke selasar dan mulai menuruni anak tangga.

“Emangnya elo mau ke mana sih? Kalau ke Nanang, gue nitip apa aja ya, satu!” teriak Ira dan kemudian kembali mengalihkan perhatiannya kepada si wartawan, dengan harapan agar ia dapat kembali diwawancarai.

Yang kemudian tersisa adalah begitu banyak pertanyaan:
Apakah maksud Ira Lennon untuk diwawancarai tercapai?
Apakah si wartawan sanggup bertahan menghadapi tingkah-laku ‘ajaib’ salah satu pengidap sindrom DSP akut ini?
Apakah tujuan si wartawan Metro Bandung yang berupaya mencari narasumber bagi tugas peliputannya tercapai?
Sesungguhnya penulis tidak tahu jawaban atas misteri ini, karena lebih memilih untuk nongkrong di lokalisasi perjudian Pojok Kasino ’99, yang saat itu ditempati oleh beberapa konsumen Baso Malang Arema.
Apakah kepentingan kedua belah pihak, Ira Lennon dan si wartawan, dapat dipertemukan bagaikan gayung bersambut?
Apakah ‘pengorbanan’-nya menjalani proses wawancanda tersebut membuahkan hasil?
Jadikah pendapat Ira mengenai hobi memasaknya dimuat di koran tersebut?
Adakah yang sempat membaca harian Metro Bandung keesokan harinya (edisi Kamis, 18 April 2002)?
Dan apakah Ira berhasil maju selangkah dalam usahanya menapaki jalan terjal menuju puncak popularitas?
Apakah Ira siap melakukan dan mengorbankan apa saja demi sebuah ketenaran?
Apakah di kemudian hari Ira akan berhasil menjadi seorang selebriti seperti yang didambakannya selama ini?

Jelas sekali bahwa rangkaian pertanyaan ini sukar untuk mendapatkan jawaban yang pasti.

Barangkali jawaban terbaik yang bisa diberikan adalah dengan mengutip sebaris lirik single grup Warna yang menjadi soundtrack film Ca Bau Kan, “... hanya waktu yang kan menjawab semua ...” ***



- Format original artikel To Die For: The Ira Lennon Story pertama kali dipublikasikan online di milis Hilander98 pada tanggal 21 April 2002. Yang Anda baca di sini adalah versi yang telah mengalami pengeditan ulang -

Wednesday, March 26, 2008

Enjoying Simple Things in Life


| Fashionably women in short skirts with beautiful long legs wearing high heels |

| Natural reddish or pinkish wet look smiling lips |

| Sitting on a cozy sofa in a homey café drinking cappuccino eating almond brownies and listening to chilling music while reading a mind-absorbing novel |

| Big warm bear-hugs (the one you feel hard to let go) |

| Anyone singing I Can't Make You Love Me in full emotions from deep inside the heart |

| Everything related to Spongebob Squarepants and his friends |

| Sophie Muller's directed music-videos of Maroon 5 She Will Be Loved and Coldplay Fix You |

| Super-discounted good quality enjoyable readings |

| Classic-style postman bags or other vintage looking sling bags |

| Chocolate, dark chocolate, and more darker chocolate |

Birches, Willows, Sycamores and Rhododendron Shrubs



If many other fellow readers were fascinated with the mysteries comprised in tens of Agatha Christie’s novels – like who killed Roger Ackroyd, who committed homicide inside the snow-blocked Orient Express, or who killed the wealthy lady aboard a luxurious cruiser down the Nile – I was in to them for other reasons.

I still remember the first murder mystery novel written by Agatha Christie that I finished reading. It was Cat Among the Pigeons, which I borrowed from Sylvia. Actually it belongs to her older sister, and Sylvia lent me it without her sister’s knowing as a simple reward after I helped her with her history essay on Middle East’s ancient cultures (those of Assyrians and Mesopotamians).

Saat itu sebenarnya kami baru saja duduk di grade 7. Usiaku sendiri masih dalam minggu-minggu pertama menginjak 12 tahun – and I remember vaguely that I had just experienced my first wet dream (ha! ha! such an irrelevant confession) – tapi aku sudah mulai mencari-cari bacaan yang lebih seru, lebih mendebarkan dan lebih memacu adrenalin daripada serial petualangan Famous Five maupun Secret Seven-nya Enid Blyton yang kurasa sudah tidak cocok lagi dengan seleraku.
Apalagi jika menyebut serial yang ber-setting-kan sekolah asrama khusus putri seperti St. Clare dan Malory Towers, yang pastinya sudah dibiarkan tidak tersentuh lagi.
Rasanya sedikit malu untuk mengakui bahwa dulu, hanya beberapa tahun sebelumnya, aku bisa sangat menikmati cerita-cerita tentang kejenakaan dan kenakalan cewek-cewek Inggris yang mengerjai guru bahasa Prancis mereka dengan penuh niat (ditambah lagi kebingungan melafalkan istilah ‘Mademoiselle’ dan ‘Paris’ dengan bunyi r-r-r khas yang mengandalkan posisi lidah harus menempel di atas langit-langit mulut, huh!), serunya midnights’ pajamas parties di salah satu ruang kumpul bersama di salah satu menara, dan lomba lacrosse antarsekolah yang dideskripsikan begitu serunya tapi sebenarnya highly predictable karena sudah pasti kompetisi itu akan dimenangkan oleh tim dari sekolah si tokoh utama.
Pfuih! I need something more mature than these materials.

Pikiranku kembali melayang ke masa ketika aku masih berusia sedikit lebih muda daripada waktu itu, barangkali saat itu aku baru saja naik kelas ke grade 6 dan sedang dalam masa liburan kenaikan kelas. Karena didera kebosanan, lantas aku berusaha mencari kesibukan sendiri. Entah bagaimana awalnya, yang jelas saat itu kutemukan diriku sendiri sedang berdiri di dalam salah satu kamar yang dihuni oleh kakakku yang tertua, dan sedang mengintip ke dalam rak buku besar yang berada di salah satu sisi kamar itu. Rak buku itu penuh berisikan koleksi novel-novel untuk pembaca dewasa. Pandanganku saat itu lantas terfokus pada deretan novel bersampul hitam dengan nama pengarang Agatha Christie, yang terlihat berderet dalam jumlah relatif banyak dibandingkan dengan buku-buku lainnya. Hmmm... kira-kira novel tentang apa ya?, pikirku.
Jadilah kucomot satu buku secara acak. Desain cover-nya memperlihatkan sebuah boneka berwujud anak kecil berkulit hitam berambut keriting berbaju merah bercelana panjang hijau yang tampaknya seperti tergantung. Lantas kubaca judulnya, Sepuluh Anak Negro. Judul yang tidak biasa, pikirku saat itu.
Kulanjutkan dengan membaca synopsis di cover belakang. Ooh, yang ini berkisah tentang sepuluh orang yang terjebak di sebuah pulau terpencil tanpa akses komunikasi keluar pulau serta – nah, ini yang membuatku jadi sangat tertarik – tidak memiliki tempat untuk melarikan diri dari petaka kematian yang secara misterius menghampiri mereka satu demi satu.

Eh, tunggu dulu! Ini kan mirip cerita di satu film India jaman dulu, barangkali diproduksi di masa ketika Amitabh Bachchan masih brondong (ha! ha!), yang pernah aku tonton dari channel RTM2?
Film yang aku tak tahu judulnya ini bertutur tentang sekitar 10 orang yang menang undian berhadiah paket wisata. Namun dalam perjalanan, entah karena satu alasan apa yang kurang jelas buatku, pesawat terbang yang mereka naiki terpaksa melakukan pendaratan darurat di sebuah pulau. Dan ternyata saat mereka semua turun dari pesawat untuk melihat-lihat kondisi pulau tersebut, pesawat itu langsung lepas landas lagi! Perlahan mereka mulai menyadari bahwa ini semua adalah jebakan mengerikan, perangkap maut yang telah dipersiapkan dengan penuh perencanaan matang a la iblis untuk menghabisi mereka satu demi satu.
Ada beberapa hal yang masih kuingat dari film tersebut hingga kini, antara lain an unforgettable scene dimana sepasang muda-mudi berjoget sambil menyanyi di tengah siraman hujan deras (ah, Bollywood cliché!) di malam hari di antara deretan batu nisan di sebuah pekuburan tua yang sudah tidak terawat (wow! ini baru setting yang tidak biasa!), lalu ketika si perempuan menari sambil berputar-putar 360 derajat tanpa henti (and by doing so, beating Midori Ito and Tonya Harding decades before they were able to perform triple axel jumps in late ‘80s and early ‘90s respectively), tubuhnya menabrak salah satu teman seperjalanan mereka yang sedang dalam posisi terduduk kaku di antara deretan nisan di tengah pekuburan tersebut. Kaku bak arca karena sudah menjadi mayat. Si perempuan yang tadinya in a mental state of happy-happy joy-joy joget-joget bersama sang kekasih pujaan hati langsung menjerit ngeri (shrieking: "Nahiiin!").
Hingga kini aku masih penasaran dengan kelanjutan cerita film ini, karena saat menonton film itu waktu sudah hampir jam 10 malam, yang artinya sudah tiba saatku sebagai seorang bocah cilik berusia 9 tahun untuk tidur karena besoknya harus sekolah. Betul sekali, orang-tuaku cukup disiplin untuk hal satu ini. Huh, menjadi anak kecil itu memang lebih banyak tidak enaknya ya.*

Mari kita kembali ke diriku yang masih saja berdiri di depan rak buku di kamar kakakku. Jadilah Sepuluh Anak Negro yang sudah dalam genggaman tangan kuselipkan di balik baju seperti gaya anak sekolah menengah teknik yang pernah kulihat di pinggir jalan, lantas aku mengendap-endap keluar kamar.
Deg-degan.
Kakak-kakakku pasti akan marah dan langsung mengadu pada Ibu kalau mereka sampai tahu aku hendak mencuri baca novel dewasa mereka.

Sesampainya di dalam kamarku, hatiku bergembira.
Victory!
Kini novel itu sudah berada dalam genggaman kekuasaanku.
Persoalan berikutnya?
Bagaimana caranya agar aku bisa mulai membaca buku ini tanpa menimbulkan keramaian, alias ketahuan oleh kakak-kakakku.
Well, the only open option was to arrange some ‘mutual understandings’ with my brother Matthew, since we shared bedroom together. Aku sudah lupa apa isi kesepakatan kami yang berhasil dicapai saat itu, namun yang jelas, aku bisa mulai membaca Sepuluh Anak Negro malam itu tanpa harus bersembunyi di dalam tenda selimut dengan bantuan penerangan senter.

Misteri pertama yang kujumpai saat itu adalah, apa itu red herring? Kira-kira seperti apa ya bentuk ikan herring merah itu? Imajinasi yang kemudian terbentuk di dalam benakku saat itu adalah red herring fish merupakan sejenis ikan berukuran sedang yang lazim ditemukan di dalam kaleng sarden ABC, karena biasanya saat aku membelah tubuh ikan itu, akan terlihat dagingnya yang berwarna cenderung kemerahan. Hhmm ... sepertinya aku tidak akan suka memakan red herring, sama seperti aku tidak terlalu menyukai ikan sarden.
Anehnya, aku sama sekali tidak merasa penasaran dengan sosok asli U.N. Owen yang berhasil menjebak 10 orang malang itu di pulau terpencil itu untuk kemudian membunuhi mereka satu per satu. Sepertinya ini merupakan tanda-tanda awal bahwa aku tidak memiliki bakat investigatif sedikit pun. Ha! Ha!

Ternyata kebingunganku akan wujud red herring tidak bertahan lama, karena seperti yang begitu mudahnya diterka, aku ketahuan.
Kakak-kakakku mengomel-ngomel panjang lebar dan mengadu ke Ibu. But to my sisters’ surprise, Ibu sama sekali tidak marah dan justru hanya menasehati dengan nada bijak, bahwa aku harus menunggu hingga berusia 13 tahun terlebih dahulu agar bisa lebih memahami dunia penuh kekejian dan kekerasan semacam yang sedang coba kuselami lewat novel itu.
Mungkin maksudnya adalah, aku harus sedikit bersabar menunggu masa-masa pubertasku dimulai, sebagai isyarat alam bahwa aku sudah mulai beranjak dewasa, barulah aku diizinkan melangkah lebih jauh. Eh, tampak berbelit-belit ya? Not to worry, karena aku juga bingung apa maksudnya saat itu. Untuk lebih jelasnya dan sebagai perbandingan saja, aku masih ingat bahwa saat itu aku pun masih belum diperbolehkan menonton film-film komedi Warkop DKI meskipun sudah berulang-kali ditayangkan di stasiun televisi nasional. Whether you’re going to believe me or not, in our childhood, I and my brother were not allowed to watch any of Dono-Kasino-Indro movies, because my parents believed that they would give bad examples to us by simply exposing and exploiting women’s certain body parts just to create laughs and excitements.
Wrong decision, I guess. But that was another bit of an irrelevant story.

Kembali ke maksud semula tulisan ini, itulah sebabnya mengapa kemudian Kucing di Tengah Burung Dara dan bukan Sepuluh Anak Negro yang menjadi novel Agatha Christie pertama yang selesai aku baca. Barangkali ini menjadi semacam lelucon aneh bagiku, karena ternyata setting misteri pembunuhan dalam novel ini terjadi di sebuah sekolah asrama khusus putri, yang suasananya sedikit mengingatkanku pada St. Claire maupun Malory Towers.
Reputasi dan prestise sekolah yang harus dijaga membuat ibu kepala sekolah terpaksa meminta bantuan dari Scotland Yard, yang kemudian mengutus seorang agen detektif muda belia gagah lagi ganteng pula, Adam Eden (tentu saja, karena begitu tidak lazimnya, sudah pasti ini nama samaran), untuk menyelidiki kasus ini sembari menyamar sebagai tukang kebun sekolah. Ide iseng kemudian merasuk di kepalaku, jangan-jangan tukang kebun baru di tetangga sebelah itu juga seseorang yang menyamar untuk tujuan-tujuan tertentu? Eh, tapi setelah dipikir-pikir lagi, orang itu kok lebih mirip abang-abang tukang sayur yang sama sekali tidak tampak keren. Lantas kusimpulkan bahwa sudah barang tentu dia bukan agen detektif yang sedang menyamar.
Growing up in a place where deaths naturally come to those of elderly people or caused by traffic-accidents – which were very rarely happened, homicide cases in fiction-books always fascinates me.
Itulah sebabnya, sejak cerita tentang berlian yang disembunyikan di dalam gagang raket tennis itu berhasil kutamatkan, dalam hitungan beberapa tahun saja, sudah puluhan novel Miss Christie yang selesai kubaca. Aku pun berkenalan lebih intim lagi dengan berbagai karakter ciptaan beliau yang kerap muncul berulang di dalam cerita-cerita detektif itu, mulai dari Monsieur Hercule Poirot si detektif berkumis tebal dengan kepala bulat telur yang sangat mengandalkan sel-sel kelabu otaknya untuk menyelesaikan perkara, lanjut ke nenek tua lincah dan ceria Miss Jane Marple, terus ke si penulis novel detektif Ariadne Oliver yang sepertinya sedikit neurotic, hingga pasangan kocak Tommy dan Tuppence, to name a few.

Kembali lagi ke maksud awal tulisan ini, kegagalan terus-menerus untuk menebak dengan tepat siapa pelaku kejahatan sesungguhnya berdasarkan motif dan bukti-bukti yang tersedia yang dibeberkan kepada sidang pembaca, lama-lama membuatku menjadi tidak lagi termotivas untuk untuk mencoba peruntunganku menjadi seorang detektif. Biarlah ketekunanku dalam membaca saja yang akhirnya akan membawaku menemui sosok keji pelaku kejahatan yang sesungguhnya.

Bagiku, sudah cukup menarik apabila rasa ingin tahuku akan hal-hal berbau investigasi amatiran menemukan misteri-misteri kecil, trivialities, yang tidak kalah dapat membangkitkan kepenasaranan, yang jawaban-jawabannya baru kutemukan kemudian seiring perjalanan dan bertambahnya pengalaman dalam hidup.
Bahwa mentega cap gentong yang kucampurkan ke dalam adonan bolu ketika membantu Ibu mempersiapkan hidangan Natal ternyata menjadi barang mahal dan langka di masa Perang Dunia II, dan bahwa mentega ternyata memang memiliki rasa dan tekstur ketebalan yang berbeda dengan margarine dapur yang biasa kami pakai sehari-hari di rumah.
While attending farewell party being a senior in high school, I found out the real form, taste and smell of bacon, medium-cooked steak and mustard sauce.
Ketika baru mulai kuliah, seorang teman membelikan muffin coklat dengan imbuhan chocolate chips yang luar biasa lezat yang bisa jadi memiliki keempukan yang sama dengan yang dinikmati para tamu di Hotel Bertram.
Ternyata ikan salmon asap memiliki aroma yang agak aneh dan rasa yang sedikit menggelikan.
Red wine terasa lebih keras dan pahit dibandingkan white wine, meskipun belum lagi dicampur dengan sianida.
Dan bahwa motif karpet Persia yang terkena noda darah dari mayat yang disimpan di dalam peti Spanyol bisa jadi mirip dengan karpet berwarna dasar merah tua yang sudah usang di rumah mendiang nenekku.

Sekali lagi kembali ke maksud awal tulisan ini, bahwa sesungguhnya masih ada beberapa hal kecil lainnya yang hingga kini masih belum jelas bagiku.
Misalnya, seperti apakah sebenarnya wujud dari pohon birch, pohon willow, pohon sycamore dan semak-semak rhododendron?

Maybe I should consult Google or Wikipedia.





* Later on when consulting Wikipedia to support this writing, I found out that the aforementioned Indian movie was titled Gumnaam, and there were only seven passengers plus a flight attendant inside that airplane trapped on that remote island, instead of 10 persons like in the original source. The information on its loose reference to Agatha Christie’s Ten Little Niggers a.k.a. And Then There Were None is noted here, here and here.




- Original version of "Birches, Willows, Sycamores and Rhododendron Shrubs" was posted online on May 17, 2006 under the title "Birches, Willows and Rhododendron" -

Tuesday, March 18, 2008

When in Doubt

"Doubt is useful for a while. We must all pass through the garden of Gethsemane, if Christ played with doubt, so must we. If Christ spent an anguish night in prayer, if He burst out from the Cross, “My God, my God, why have you forsaken me?” then surely we are also permitted doubt. But we must move on. To choose doubt as a philosophy of life is akin to choosing immobility as a means of transportation."



- a reminder quotation from Yann Martel's award-winning novel, Life of Pi, which I finished reading on December 2004 -

C'est la Vie

Last Saturday night, two different girls and another guy who don't know each other, asked me out on a ‘date’.

Diane asked me to accompany her on a 'wedding-date', because she doesn't like the curse of the singles' table ever happen to her. She even insisted on lending her ex-husband's designer's suit when I told her I have nothing decent and classy enough to wear for a wedding ceremony that is going to be celebrities-studded and full of A+ guests in such a plush place.

Simone asked me to escort her on her friend's birthday party in a hip nightclub which will be followed by “only God knows what”.

Chip told me that he's up to whatever things that will please me and make me happy and enjoy the long night as long as I keep him in my company.

Three generous offers.

Which one I decided to go to and who were the less-lucky persons that I gave "NO" as an answer?

Apparently, no one.

Turned them all down by saying that I already made a promise a couple of weeks ago with an old-time friend.

In which, technically, I lied.

The situation was that I asked a girl-friend out for a midnight show of a highly-anticipated action movie but she failed to respond my offer, by not returning my calls nor replied my text messages. Later I found out that she was out of town since Thursday evening for a family-related matter.

Such irony.

By refusing the three offers – and since I don't want to make a fool out of myself by telling any of them three that I decided to change my mind and go with his/her offer instead – the only choice that was left for me to choose from (well, it was actually not an option then) was the least I expected to do over a Saturday night, that was to accompany Eric watching his most favorite TV show, Kontes Dangdut TPI.

Euw...!




- This writing was originally posted on June 22nd, 2005 -

A Very Brief History on Many Attacks of The Blood-Thirsty Creatures


Berbeda dengan lagu kanak-kanak yang populer sekian dekade yang lalu, Bangun pagi kuterus mandi tidak lupa menggosok gigi ..., dst., pagi itu begitu kubuka kelopak mata, kepalaku langsung merasakan pusing yang amat sangat. Pasti akibat efek samping baru tidur jam 5 pagi dengan durasi yang hanya kurang dari tiga jam. Ditambah pula, sinar matahari yang masuk dari jendela langsung mengenai mataku. Memang sebetulnya pengaturan posisi ranjangku disengaja demikian sebagai trick untuk memaksa siapapun yang berbaring di atasnya tidak bermalas-malasan di tempat tidur begitu pagi tiba.

Setelah merasakan mataku mulai beradaptasi dengan tingkat kesilauan cahaya pagi itu, kubuka lagi kelopak mataku. Aah, this is much better. Kugapai handphone yang dini hari tadi sebelum tidur kuletakkan di sebelah kepala untuk mengecek pesan masuk. Sebenarnya, bisa jadi inilah salah satu penyebab kepalaku sering pusing ketika baru bangun pagi: radiasi yang dipancarkan oleh handphone selalu terpapar langsung ke otakku yang, menurut si cerewet kutilubis, hanya tinggal seperempat ukuran normal, dan itupun berupa attachment belaka dalam tempurung kepala. Thank goodness this time si frantic-hysterical caller yang biasa menghubungi di jam-jam ajaib ketika hanya para petugas kemananan shift tiga dan clubbers yang baru pulang dugem saja yang masih terjaga, kali ini absen mengontak. Tapi ada pesan singkat dari Dewi dan Sakti. Hmm, I can reply them later, pikirku.

Beranjak bangun dari atas kasur, aku mengambil teko melamin dari bedside table dan menenggak isinya sebanyak-banyaknya. Old habits die hard. Minum air putih banyak-banyak begitu bangun pagi, dan minum air yang langsung dituangkan ke mulut dari bibir teko. Pacarku pasti akan marah melihat kebiasaan burukku yang satu ini, sedangkan ayahku yang memberikan contoh buruk itu ketika aku masih kecil pasti akan murka melihat pacarku yang sekarang.

Selesai minum, mataku mencari-cari dan pikiranku mencoba mengingat di mana kuletakkan Vanity Fair edisi November yang aku baca tadi subuh sebelum ketiduran. Ah, ternyata aku tidak meletakkannya, melainkan menjatuhkannya ke celah di antara ranjang dan bedside table. Mari melanjutkan lagi aktivitas membaca artikel perihal ke-antics-an pemimpin paling kampungan masa kini, George Walker Bush, yang tadi subuh sebelum ketiduran belum sempat kuselesaikan. Kuambil posisi favoritku jika sedang membaca, yaitu sembari tidur terlentang (sedangkan posisi favorit kedua: sembari duduk di atas dudukan kloset).

Uhm, tapi tunggu dulu! Masih ada satu hal lagi yang kurang. Satu hal yang penting banget bagiku setiap pagi selain sarapan pagi dan musik sebelum memulai aktivitas sehari-hari, yaitu sirkulasi udara segar. Aku kembali bangun dari ranjang dan membuka kedua jendela lebar-lebar dan disusul dengan pintu kamar yang semalam tidak aku kunci. Salah satu kebiasaan ‘buruk’-ku yang lain.

Angin segar segera berhembus masuk dari jendela yang terbuka dan kedua lubang hidungku dengan rakus langsung mengembang-kempis untuk menghirupnya sebanyak-banyaknya. Sayangnya, seiring dengan masuknya udara segar yang sangat kubutuhkan itu, masuk pula beberapa parasit paling menyebalkan yang pernah terlahir di dunia ini, nyamuk. Tidak butuh waktu lama bagi mereka, barangkali bahkan kurang dari dua menit, untuk meninggalkan lima bentolan kecil gatal di kedua kakiku.

Mengapa sih Tuhan mesti menciptakan nyamuk?, protesku dalam hati sembari menggaruk-garuk bentol-bentol kecil tersebut yang perlahan memerah dan membesar.
Sebetulnya kejadian seperti ini sudah terjadi sejak lama sekali. Barangkali sejak aku mulai bisa mengingat. Sejak kecil aku seringkali menjadi sasaran serangan minivampires tersebut. Dulu sekali sebelum mencapai usia pubertas sehingga kaki dan tanganku ditumbuhi banyak rambut pertanda kedewasaan, seringkali terlihat jelas bekas-bekas gigitan nyamuk jahanam itu.

Salah satu kejadian paling parah yang masih kuingat adalah ketika aku sempat berlibur di rumah seorang bibi di wilayah timur area suburban Jakarta ketika masih duduk di grade 6, mereka (para nyamuk, bukan bibiku dan keluarganya) meninggalkan banyak sekali tanda-mata berupa bentol-bentol hitam yang jelek seperti bekas-bekas penyakit kulit yang belum sembuh benar, yang baru hilang perlahan selama tiga bulan dengan bantuan olesan salep khusus dua kali sehari setiap habis mandi.

Misterius sekali, substansi racun macam apakah yang disuntikkan para nyamuk itu ke balik lapisan epidermisku sehingga dalam waktu dua malam saja mampu mentransformasi penampakan sejahtera seorang bocah yang sehat-ceria-ribut-manja dan berpipi gembul menjadi seorang bocah yang selalu bersungut-sungut cemberut dan kedua tangannya selalu sibuk menggaruk sekujur kaki dan tangan bagaikan anak kampung yang menderita serbuan sekoloni parasit kutu?

Kejadian aneh lainnya terjadi ketika aku masih lebih muda lagi, sekira masih duduk di grade 3. Saat itu bersama dengan beberapa teman lain, untuk pertama kalinya aku diikutkan orang-tuaku les pelajaran matematika. Jadi pergilah kami semua, sekitar tujuh orang anak kecil lucu ceria dan ribut, bergembira naik sepeda menuju kompleks tempat tinggal si guru les, Bapak Syamsul. Sebenarnya beliau adalah juga guru kami di sekolah, dan belakangan kuketahui bahwa apabila pihak pengelola sekolah mengetahui beliau memberikan pelajaran ekstra di luar sekolah kepada murid-muridnya sendiri dengan menerima pembayaran khusus, ia akan langsung dipecat. Tapi ini cerita lain.

Sesampainya di rumah Bapak Syamsul – yang ternyata bukan rumahnya sendiri melainkan ia menumpang di rumah kakaknya yang bekerja sebagai polisi – dan selama les berlangsung, nyaris tidak ada satupun materi les hari itu yang berhasil aku serap. Mind you, bukan karena otakku yang cuma berukuran seperempat seperti tuduhan si kutilubis (I hope she read this! Haha!) sehingga daya penyerapan ilmunya jadi terbatas, melainkan karena aku lebih sibuk mempergunakan kedua tanganku menepuk nyamuk-nyamuk yang bermunculan entah darimana untuk merubungi kulitku. Alih-alih mengonsentrasikan otakku untuk mengerjakan soal-soal hitung-hitungan di buku latihan, aku malah lebih berkonsentrasi dalam tugas pengkoordinasian otak-mata-tangan untuk berburu nyamuk yang berseliweran berdengung-dengung dan menggigiti bagian-bagian tubuhku yang terbuka.

Barangkali karena kasihan melihatku menderita dan dengan mempertimbangkan gangguan yang kutimbulkan bagi teman-teman lainnya akibat perburuanku yang sepertinya tidak akan berakhir sebelum aku sendiri yang beranjak meninggalkan rumahnya, akhirnya Bapak Syamsul pun menghentikan pelajaran hari itu lebih cepat, menghidangkan sirop dan kueh-kueh untuk sedikit mengurangi kesedihan perasaanku menghadapi kenyataan menyakitkan sebagai satu-satunya korban kebuasan dan kebiadaban para nyamuk di antara tujuh orang anak didiknya sore itu, lalu membiarkan kami bermain petak umpet di halaman rumahnya sebelum mengizinkan kami pulang sesuai jadwal bubaran les yang seharusnya. Itulah kesempatan pertama sekaligus terakhir kalinya aku mengikuti les di rumah beliau, namun aku curiga mungkin Bapak Syamsul pun sedikit bersyukur tidak perlu lagi berurusan dengan si bocah pemikat nyamuk yang merepotkan ini.

Beranjak dewasa, seiring melebatnya rambut di kakiku (yang jadi poin plus-plus dalam memikat pacarku yang sekarang *wink!*), serangan nyamuk mulai terbatas hanya di wilayah mulai dari mata kaki hingga ke telapaknya yang (memang) tidak (mungkin) ditumbuhi rambut. Namun daerah tidak terlindungi ini justru kemudian menjadi wilayah paling potensial bagi para nyamuk tersebut untuk unjuk sungut penyengat.

Sama seperti yang kualami beberapa hari belakangan ini, dan khususnya di pagi ini. Yang paling menyebalkan adalah jika nyamuk-nyamuk sialan itu mengigit di kulit telapak kaki. Menggaruknya tidak pernah "menyenangkan", karena perbedaan ketebalan lapisan kulit dengan bagian kaki yang lain.

Sesungguhnya, menggaruk bekas gigitan serangga apapun di kulitku sangat tidak dianjurkan, lebih karena kemampuan diriku yang didukung oleh mantapnya kekuatan kuku-kuku jemari tanganku untuk terus menggaruk sampai kulitku tergerus membuka dan dari bentol-bentol itu mulai muncul setitik darah. Yap, kebiasaan mengerikan!

Seringkali aku menggaruk kulit begitu dahsyatnya dan baru berhenti setelah bentolan berubah menjadi luka-luka kecil. Luka-luka kecil yang butuh waktu relatif lama untuk mengering dan, mengingat kondisi diriku sebagai keturunan pengidap diabetes dari pihak Ibu meskipun thank God sampai saat ini aku masih bebas dari penyakit itu, butuh waktu lebih lama lagi agar bekas-bekasnya menghilang.

Sebelum William melihat sendiri aku melakukan aksi 'berdarah-darah' ini di hadapannya di sebuah café yang ajaibnya memiliki sarang nyamuk entah di sebelah mana, hingga kini Grace adalah manusia terakhir yang berkomentar standar soal kebiasaan tidak sehat ini (dan ini terjadi di bulan Januari 2004 ketika aku mengunjungi boarding house-nya).

Entah mengapa, semua orang yang melihatku menggaruk-garuk kaki dan tangan pasti akan mencetuskan komentar serupa, "Pasti karena lo belum mandi ya, hahaha...." Basi banget, dan sangat menyebalkan.

Berhubung seminggu sebelumnya aku baru saja membaca artikel kecil di bagian iptek harian Kompas berisi laporan temuan hasil satu riset di Inggris, bahwa kaki pria adalah bagian tubuh manusia yang paling sering diserang oleh nyamuk, karena terlepas dari soal apakah sudah mandi atau belum pada kenyataannya kaki pria terbukti memancarkan panas dan menguarkan aroma khas yang merangsang indra penciuman nyamuk, yang kemudian berfungsi semacam pengumuman dan undangan bagi mereka untuk berpesta pora penuh darah (hal pertama yang terpikirkan olehku adalah, kasihan sekali para lelaki yang menjadi sample percobaan itu; hal kedua yang terpikirkan adalah, kasihan sekali diriku terpaksa menderita gatal-gatal secara cuma-cuma, sedangkan mereka yang menjadi sample masih bisa mendapatkan bayaran atas penderitaan mereka). Jadi bisa dikatakan bahwa seolah-olah panas dan aroma khas kaki pria itu memancarkan sinyal gelombang mikro yang tinggal ditangkap oleh radar nyamuk-nyamuk yang kebetulan melintas. Perhaps it’s like the effect of flame to moth, without the certainty on the deadly exposure caused by heat.

Oleh karena itu, begitu Grace melontarkan komentar standar yang sudah kuantisipasi sebelumnya, meluncurlah fakta-fakta hasil riset tersebut dari mulutku dengan fasih karena sudah kuhapalkan sebelumnya. Begitu berapi-apinya penjelasan dan pembelaan yang kulontarkan sehingga berhasil membungkam Grace untuk sementara waktu (bagi mereka yang mengenal Grace secara pribadi, berhasil membuat mulutnya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun selama satu jam atau lebih adalah satu prestasi yang patut dibanggakan dan barangkali diusulkan untuk dicatatkan dalam rekor MURI, tetapi saat itu aku hanya berhasil melakukannya selama 10 menit).

Namun laporan hasil riset yang kubaca itu sama sekali tidak menginformasikan solusi apa yang paling baik untuk mengatasi gangguan serbuan nyamuk-nyamuk sialan itu. Tidak ada info perihal apakah aku harus melakukan diet dengan tidak mengkonsumsi unsur dan bahan makanan tertentu, atau apakah aku harus pakai salep kulit tertentu, atau apakah aku harus pindah ke daerah tertentu yang tidak memungkinkan bagi kehidupan dan perkembangbiakan nyamuk, serta tidak juga perihal kemungkinan bagiku agar berusaha menumbuhkan rambut-rambut selebat mungkin di sekujur kakiku sehingga tidak ada peluang bagi makhluk-makhluk ganas ini untuk menembusnya mencapai permukaan kulitku.

Jadilah hingga saat ini aku masih belum berhasil menemukan satu hal pun yang mampu hentikan perburuan tanpa akhir para nyamuk tersebut akan darahku: tidak dengan mempergunakan obat nyamuk bakar maupun obat semprot yang hanya mengakibatkan sesak napas dan mata perih maupun pengolesan lotion anti nyamuk yang hanya mengakibatkan iritasi pada kulitku yang sensitif.

As if nothing could ever satisfied those mosquitoes' neverending hunger for the taste of my sweet red blood, they always hunted me wherever and whenever they can. Sounds eerie and gory like a teen horror slasher movie at the same time, doesn't it?!




- This writing was originally titled Mosquitos: The Hunt for The Red-Blooded Man which was posted online on November 14th, 2005 -

Saturday, March 8, 2008

Where Did Nebbercracker Go?


Have you seen Monster House ?

It was a funny-yet-spooky animated movie about an old-creaky-scary house that swallows.
Yes, swallows. Because it has something of tongue-like that can catch everything stupid/poor/sad/unlucky enough to set foot upon/standing/just be on its lawn and extended on to the sidewalks.
Also because the house has teeth and a uvula that works just like humans', so basically the house in question really eats, which makes it even scarier.

But after finished watching this movie back in September 2006, I was indeed left curiously wondering whatever happened to Nebbercracker, the doomed house owner, when all the missing things and characters emerged from the big hole left from the then demolished house. Everything and everyone, but him.

Where did Nebbercracker go from the pit of his former house?

Can anyone -really- tell me?

Wednesday, March 5, 2008

A Thousand Oceans



These tears I have cried, for you I have cried a thousand oceans
And if it seems like I'm floating in the pitch darkness,
well, that’s because you filled my mind all these times

Still I can't believe that I would keep you from flying high just to find me waiting
But I would cry a thousand more if that's what it takes to sail you home
Sail you home, back inside my flaming heart

I'm much aware what the rules are, for our true love to survive
But you know that in the end I will always run back into your arms
You know that I will follow you,
even to the farthest-side corner of the world

And if I find you, will you still remember me playing under the rain,
running through the woods,
walking on the sands by the sea holding hands with you,
and forgetting all the sad moments as time passed us by,
or do these memories of me just fade away?

These tears I have cried, for you I have cried a thousand oceans
And if it seems I'm floating persistently in the darkness,
well, that’s because I’m still searching the way into my harbor, the safe haven,
and that's your soul

So I would cry a thousand more oceans if that's what it takes to sail you home
Sail you home, back inside of me





- Inspired by Tori Amos’ 1000 Oceans in reminiscing bittersweet memories of Love.R -

As I Lay Me Down to Sleep

Recently, I always fall asleep in Jack’s company.

But in many nights before that, it was either with Whitney or Charlotte, or sometimes, Sarah.

Am I becoming gay?

Oh dear, of course ... not (necessarily)!

In good company of Sarah at nights just before I go to bed always reminded me of Billy. Con Te Partiro. Even that day when we had our breakfast under the brightly morning sun, the hotel’s internal loudspeakers played that song serendipitiously. As if it was played simply for our benefit on that very relaxing occasion. And that was also became the single-yet-main reason why I decided to change the tune and let her joined others in the CD shelves.

Sleeping with Charlotte reminded me of Louise. Simply because to me, she has The Heart That Mattered Most. But where is Louise now? We lost contact a year before I graduated from Uni. Does she live well with her aunt by migrating to Canada right after graduating college? Did she complete her master degree in arts like she planned to? Did she manage to get a decent and kind husband just like what her mother has hoped her to find? I don’t know answers to these and many other related questions, and I just don’t think I want to talk about it, at least for now. Because it’d reminded me of how forgetful and ignorant I am to her. That was why I threw Charlotte under the others inside the musical chest.

Moments before I closed my eyes at nights while being in romantic company of Whitney on Valentine’s week always reminded me of Cintaku, my Love.R, who works far across the sea. Cintaku is the one special someone who turned my world upside down. The one exceptional person who could make sparkling little diamonds rolling down my cheeks while listening to Chris or Titi. The One, like Shakira sang compassionately, I need. If only I can say that illustrious line from Dorothy to Jerry, “You completed me” to my Love.R, face to face, in person, everyday …
But Whitney also reminded me of some regretful things of the past.

So, in such desperate effort to keep the memories at bay, I decided to change my sleeping company. I turned to Jack - a better substitute from George whom I slept over with couple of nights ago while working late way until past midnight. Jack had me thinking of how happy I could become if only I could live a life like his:
Surrounded by everyone he loves.
Doing everything he wants and enjoys his life to the fullest.

Riding the waves at mornings and writing love songs at nights.

Making banana pancakes while playing ukulele and watching the rain fell outside.

And not only sitting, waiting, wishing for his love to come, … at last.

As I lay myself down to sleep, I fell in love with Jack’s way of treasuring “how it is always better when we’re together”.

So this is for you, Cintaku, Jack's 'Better Together':

But if all of these dreams might find their way
Into my day to day scene
I'd be under the impression
I was somewhere in between
With only two
Just me and you