Monday, March 31, 2008

To Die For : The Ira Lennon Story




Sekapur Sirih: Sebuah Pengantar

Tersebutlah beberapa tahun silam, Nicole Kidman membintangutamai sebuah film drama-komedi berjudul To Die For. Plot utama film ini adalah obsesi seorang perempuan (yang diperankan oleh Kidman) yang bekerja di sebuah stasiun TV lokal untuk meraih popularitas dengan cara menjadi seorang anchorlady. Masalah mulai timbul karena perempuan ini bersediah menempuh segala cara dan mengorbankan apa saja yang dianggapnya perlu – termasuk menyuruh orang lain membunuh suaminya sendiri – demi meraih cita-citanya tersebut. Demi mencapai satu hal abstrak bertajuk “ketenaran” ! Demi sebuah popularitas !

Akan tetapi pertanyaan yang kemudian timbul adalah, apakah hubungan antara plot cerita tersebut dengan teman kita yang lebih popular dengan nama cantik Ira Lennon?

Barangkali akan sukar menemukan keterkaitan di antara keduanya, kalau saja kita tidak terlebih dahulu mengenal Nona Ira sebagai salah satu anggota aktif IWAPI (Ikatan Wanita Penggoda Iman) yang haus akan popularitas.

Sebelum sidang pembaca menyimak kisah nyata yang akan dituturkan berikut ini, perkenankan penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada saudara Arief Rachman yang telah berjasa untuk pertama kalinya menyingkapkan rahasia DSP (Desperately Seeking Popularity) syndrome yang menjangkiti beberapa orang Hilander98, dan menjadikannya satu topik semi-ilmiah yang menarik untuk dieksplorasi.

Tanpa bermaksud menghambat niat dan hasrat sidang pembaca yang telah menggebu-gebu untuk mencari tahu seperti apa dan bagaimana DSP syndrome ini sesungguhnya, perlu kiranya penulis sampaikan di muka bahwa diturunkannya laporan khusus berikut ini telah mendapatkan persetujuan lisan dari saudari Ira Lennon yang sama sekali tidak berkeberatan (bahkan di mata penulis cenderung terlihat kegirangan) dengan dituturkannya kembali kisah sejati dirinya melalui tangan penulis.

Akhir kata, penulis menghaturkan banyak terimakasih karena sidang pembaca telah berkenan meluangkan waktu online-nya yang berharga untuk membaca rangkaian kalimat sekapur sirih ini, dan ...

Selamat membaca!



* * *

To Die For : The Ira Lennon Story
[juga dikenal sebagai kasus “Desperately Seeking Popularity Syndrome”]


Hari Rabu siang, tepatnya pada tanggal 17 April silam, di tengah-tengah berlangsungnya sebuah acara diskusi mengenai kawasan Asia Timur yang disponsori oleh sekelompok teman dari kalangan Hilander98, tampaklah seorang pria tak dikenal beredar wara-wiri di antara kalangan mahasiswa yang secara terpaksa harus menghadiri acara ini di ruang seminar yang berada di lantai 2, gedung Dekan.

Setelah sekian lama mondar-mandir tidak jelas, lantas pria ini mendekati sekelompok mahasiswa yang tengah santai berdiskusi (untuk tidak menyebut bergosip) di depan kantor Dekan, dengan disaksikan oleh jejeran foto para mantan Rektor almamater tercinta.
Tanpa terlebih dahulu memperkenalkan identitasnya, pria ini mulai mengajukan serangkaian pertanyaan ‘maksa’ kepada kumpulan mahasiswa tersebut, yang kebetulan sebagian di antaranya adalah personil panitia acara diskusi semi-formal tentang Asia Timur ini.

Setelah rangkaian sesi tanya-jawab berakhir dengan agak terpaksa (karena yang menjawab hanya dua orang saja, yaitu saudara Ichsan dan saudari Fifi; sedangkan penulis dan saudara Rizal, Sony, dan saudari Mirna yang juga duduk di tempat yang sama tampak asyik mengupas tuntas konten sebuah novel Jepang pemberian saudari Syufra); maka barulah pria ini memperkenalkan identitasnya sebagai wartawan harian Metro Bandung.

Pria yang mengaku dirinya wartawan ini kemudian mencoba mengorek informasi dari Ichsan tentang kenalan-kenalannya sesama mahasiswa yang memiliki kemampuan dan kegemaran memasak, untuk diwawancarai. Berhubung Ichsan hanya memiliki pengetahuan terbatas tentang hal ini, maka pembicaraan pun berakhir dengan cepat. Namun sang wartawan seakan enggan meninggalkan tempat duduknya dan justru malah terlihat sibuk menulis entah apa di dalam buku catatannya.

Pada saat yang sama, dari selasar tangga yang berhadapan dengan kursi tempat kami sedang berkumpul, terdengar ketukan berirama langkah seseorang. Tak lama, terlihat Ira Lennon berjalan melenggang perlahan dengan pose seolah-olah sedang memeragakan busana di atas catwalk. Secercah senyum sesegar tomat merah merekah di wajahnya yang sumringah melihat penulis yang sedang duduk santai sambil membaca.

Dengan rasa percaya diri yang takarannya cenderung overdosis, Ira segera mengambil tempat di sebelah kiri penulis dan mulai melancarkan jurus “rangkaian bugar”: BUjukan – GodaAn - Rayuan, dengan tujuan agar penulis mengekspos dirinya dalam postingan edisi berikutnya di forum Hilander98. Karena ketulusan hati dan didorong oleh niat baik agar temannya yang cantik ini dapat memenuhi hasrat terpendam akibat pengaruh DSP syndrome yang tampak mengakar kuat dalam kepribadiannya, maka penulis berinisiatif memperkenalkan Ira kepada si kuli tinta tersebut.

Ternyata, tanpa bermaksud menyia-nyiakan sedetikpun waktu dan seumpritpun kesempatan, secara sigap dan agresif Ira berupaya menarik perhatian si wartawan, dengan bergaya seolah-olah mewawancarai wartawan tersebut sambil pura-pura menyorongkan mike ke wajah pria itu.

“Bagaimana, Mas, rasanya menjadi seorang wartawan? Sering nggak dikejar-kejar deadline? Susah nggak mewawancarai orang?” adalah sedikit dari sedemikian banyak pertanyaan yang diajukan Ira. Pertanyaan yang sesungguhnya tidak dia cari jawabannya, karena yang dibutuhkannya justru adalah perhatian wartawan tersebut.

“Gimana sih, Mas, caranya menjadi wartawan? Apa setiap tahun ada buka lowongan untuk menjadi wartawan? Soalnya teman saya ada yang ingin menjadi jurnalis.” Tampaknya Ira menganggap perlu memberikan alasan logis atas brondongan pertanyaannya itu. Karena si wartawan justru terlihat gelagapan dan jadi salah tingkah tidak bisa berkata apapun, akhirnya keluarlah kalimat pengakuan dari Ira, “Saya mau dong diwawancarai.”

Karena merasa sedikit iba melihat ekspresi kaget wartawan tersebut, maka penulis berusaha menengahi dengan maksud mempertautkan tujuan keduanya: si wartawan sedang mencari narasumber yang gemar memasak untuk diwawancara, sedangkan si mahasiswi mencari kesempatan untuk ditampilkan di dalam media massa jenis apapun (jika tidak bisa nasional maupun tingkat daerah, yang berskala lokal pun boleh lah).

“Kalau boleh tahu, kegemarannya apa, mbak?” tanya si wartawan berbasa-basi, setelah berhasil mengatasi keterkejutannya akan agresivitas Ira. Tampaknya upaya Ira berhasil nih!

Sambil langsung mengambil pose duduk seperti yang diajarkan oleh sekolah kepribadian yang dianggap paling pantas dan paling cocok memancarkan daya tarik kewanitaannya, dengan santainya Ira menjawab, “Saya sangat menggemari dua hal: memasak dan cowok ganteng. Tapi saya paling senang satu hal, memasak cowok ganteng.” Entah apa yang dimaksudkan oleh Ira dengan pernyataan tidak logis ini, namun senyum lebarnya yang menggoda itu tidak pernah lepas sekejap pun dari wajahnya.

Si wartawan mencoba bertahan dengan mengajukan pertanyaan, “Mbak paling jago memasak apa?”, yang dijawab Ira sambil tetap memamerkan cengiran khasnya, “Memasak air, kadang sampai habis.”

Barangkali karena menduga niat utamanya tidak akan kesampaian jika menghadapi tipe wanita dengan kepribadian seunik Ira, si wartawan mengubah taktik. Dengan mimik sedikit kaku dia bertanya lagi, “Saya serius, mbak. Sebenarnya mbak senang memasak apa?”

Bisa jadi karena merasakan perubahan intonasi bicara, Ira mengubah caranya menjawab, “Mas tau opor ayam?”, yang dijawab “Ya” oleh si wartawan sambil mengangguk.

“Kalau balado opor ayam?” lanjut Ira. “Apa Mas suka?”

“Ya, tau. Lumayan suka” jawab si wartawan.

Sementara itu penulis jadi sibuk menduga-duga seperti apa gerangan wujud masakan yang bernama balado opor ayam itu, dan tentu saja, karena telah mengenal kepribadian temannya ini, penulis juga mencoba-coba menerka apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Ira.

“Nah,” lanjut Ira masih dengan mimik agak serius. “Kalau saya lebih suka balada anak tiri”, dan kemudian ia tertawa. Mendengar jawaban Ira yang tidak terduga ini, lepaslah tawa penulis, terbahak-bahak. Sedangkan si wartawan terlihat sebal, dan mungkin sedikit menyesal memberikan perhatian dan meluangkan waktunya mewawancarai gadis ini.

Karena merasa tidak enak kepada si wartawan, maka penulis beranjak pergi hendak meninggalkan kedua insan yang sedang ‘mempermainkan-dan-dipermainkan’ itu.

“Wah, Marko, elo jangan pergi dong. Temenin gue nih wawancara,” panggil Ira sambil melambaikan tangan dan jemarinya yang pendek-pendek namun dipaksakan melengkung lentik, laksana seorang artis yang sedang menghadapi salah satu rutinitas kehidupan sebagai seorang selebriti, yaitu diwawancarai infotainment.

“Gak mau ah, elo kaya’ gitu sih!” sahut penulis sambil melangkah ke selasar dan mulai menuruni anak tangga.

“Emangnya elo mau ke mana sih? Kalau ke Nanang, gue nitip apa aja ya, satu!” teriak Ira dan kemudian kembali mengalihkan perhatiannya kepada si wartawan, dengan harapan agar ia dapat kembali diwawancarai.

Yang kemudian tersisa adalah begitu banyak pertanyaan:
Apakah maksud Ira Lennon untuk diwawancarai tercapai?
Apakah si wartawan sanggup bertahan menghadapi tingkah-laku ‘ajaib’ salah satu pengidap sindrom DSP akut ini?
Apakah tujuan si wartawan Metro Bandung yang berupaya mencari narasumber bagi tugas peliputannya tercapai?
Sesungguhnya penulis tidak tahu jawaban atas misteri ini, karena lebih memilih untuk nongkrong di lokalisasi perjudian Pojok Kasino ’99, yang saat itu ditempati oleh beberapa konsumen Baso Malang Arema.
Apakah kepentingan kedua belah pihak, Ira Lennon dan si wartawan, dapat dipertemukan bagaikan gayung bersambut?
Apakah ‘pengorbanan’-nya menjalani proses wawancanda tersebut membuahkan hasil?
Jadikah pendapat Ira mengenai hobi memasaknya dimuat di koran tersebut?
Adakah yang sempat membaca harian Metro Bandung keesokan harinya (edisi Kamis, 18 April 2002)?
Dan apakah Ira berhasil maju selangkah dalam usahanya menapaki jalan terjal menuju puncak popularitas?
Apakah Ira siap melakukan dan mengorbankan apa saja demi sebuah ketenaran?
Apakah di kemudian hari Ira akan berhasil menjadi seorang selebriti seperti yang didambakannya selama ini?

Jelas sekali bahwa rangkaian pertanyaan ini sukar untuk mendapatkan jawaban yang pasti.

Barangkali jawaban terbaik yang bisa diberikan adalah dengan mengutip sebaris lirik single grup Warna yang menjadi soundtrack film Ca Bau Kan, “... hanya waktu yang kan menjawab semua ...” ***



- Format original artikel To Die For: The Ira Lennon Story pertama kali dipublikasikan online di milis Hilander98 pada tanggal 21 April 2002. Yang Anda baca di sini adalah versi yang telah mengalami pengeditan ulang -

2 comments:

Ira Lathief said...

Hahaha...gue baca posting ini ampe keluar aer mata! What a perfect memory we had then :)
Gak nyangka...bertahun2 setelahnya, gue malah yg jadi wartawan, dan gantian sering dikerjain narasumber :) Great post! Thx for still keeping it markoh....really energizing!! btw...kyknya lo berpotensi jd penulis humor deh....

markoromanek said...

wekekekekekek lucu lucu...btw, mau gue lanjutin ceritanya gak? gw punya banyak jawabannya nech secara ending tulisannya khan ngambang penuh pertanyaan...