Tuesday, March 18, 2008

A Very Brief History on Many Attacks of The Blood-Thirsty Creatures


Berbeda dengan lagu kanak-kanak yang populer sekian dekade yang lalu, Bangun pagi kuterus mandi tidak lupa menggosok gigi ..., dst., pagi itu begitu kubuka kelopak mata, kepalaku langsung merasakan pusing yang amat sangat. Pasti akibat efek samping baru tidur jam 5 pagi dengan durasi yang hanya kurang dari tiga jam. Ditambah pula, sinar matahari yang masuk dari jendela langsung mengenai mataku. Memang sebetulnya pengaturan posisi ranjangku disengaja demikian sebagai trick untuk memaksa siapapun yang berbaring di atasnya tidak bermalas-malasan di tempat tidur begitu pagi tiba.

Setelah merasakan mataku mulai beradaptasi dengan tingkat kesilauan cahaya pagi itu, kubuka lagi kelopak mataku. Aah, this is much better. Kugapai handphone yang dini hari tadi sebelum tidur kuletakkan di sebelah kepala untuk mengecek pesan masuk. Sebenarnya, bisa jadi inilah salah satu penyebab kepalaku sering pusing ketika baru bangun pagi: radiasi yang dipancarkan oleh handphone selalu terpapar langsung ke otakku yang, menurut si cerewet kutilubis, hanya tinggal seperempat ukuran normal, dan itupun berupa attachment belaka dalam tempurung kepala. Thank goodness this time si frantic-hysterical caller yang biasa menghubungi di jam-jam ajaib ketika hanya para petugas kemananan shift tiga dan clubbers yang baru pulang dugem saja yang masih terjaga, kali ini absen mengontak. Tapi ada pesan singkat dari Dewi dan Sakti. Hmm, I can reply them later, pikirku.

Beranjak bangun dari atas kasur, aku mengambil teko melamin dari bedside table dan menenggak isinya sebanyak-banyaknya. Old habits die hard. Minum air putih banyak-banyak begitu bangun pagi, dan minum air yang langsung dituangkan ke mulut dari bibir teko. Pacarku pasti akan marah melihat kebiasaan burukku yang satu ini, sedangkan ayahku yang memberikan contoh buruk itu ketika aku masih kecil pasti akan murka melihat pacarku yang sekarang.

Selesai minum, mataku mencari-cari dan pikiranku mencoba mengingat di mana kuletakkan Vanity Fair edisi November yang aku baca tadi subuh sebelum ketiduran. Ah, ternyata aku tidak meletakkannya, melainkan menjatuhkannya ke celah di antara ranjang dan bedside table. Mari melanjutkan lagi aktivitas membaca artikel perihal ke-antics-an pemimpin paling kampungan masa kini, George Walker Bush, yang tadi subuh sebelum ketiduran belum sempat kuselesaikan. Kuambil posisi favoritku jika sedang membaca, yaitu sembari tidur terlentang (sedangkan posisi favorit kedua: sembari duduk di atas dudukan kloset).

Uhm, tapi tunggu dulu! Masih ada satu hal lagi yang kurang. Satu hal yang penting banget bagiku setiap pagi selain sarapan pagi dan musik sebelum memulai aktivitas sehari-hari, yaitu sirkulasi udara segar. Aku kembali bangun dari ranjang dan membuka kedua jendela lebar-lebar dan disusul dengan pintu kamar yang semalam tidak aku kunci. Salah satu kebiasaan ‘buruk’-ku yang lain.

Angin segar segera berhembus masuk dari jendela yang terbuka dan kedua lubang hidungku dengan rakus langsung mengembang-kempis untuk menghirupnya sebanyak-banyaknya. Sayangnya, seiring dengan masuknya udara segar yang sangat kubutuhkan itu, masuk pula beberapa parasit paling menyebalkan yang pernah terlahir di dunia ini, nyamuk. Tidak butuh waktu lama bagi mereka, barangkali bahkan kurang dari dua menit, untuk meninggalkan lima bentolan kecil gatal di kedua kakiku.

Mengapa sih Tuhan mesti menciptakan nyamuk?, protesku dalam hati sembari menggaruk-garuk bentol-bentol kecil tersebut yang perlahan memerah dan membesar.
Sebetulnya kejadian seperti ini sudah terjadi sejak lama sekali. Barangkali sejak aku mulai bisa mengingat. Sejak kecil aku seringkali menjadi sasaran serangan minivampires tersebut. Dulu sekali sebelum mencapai usia pubertas sehingga kaki dan tanganku ditumbuhi banyak rambut pertanda kedewasaan, seringkali terlihat jelas bekas-bekas gigitan nyamuk jahanam itu.

Salah satu kejadian paling parah yang masih kuingat adalah ketika aku sempat berlibur di rumah seorang bibi di wilayah timur area suburban Jakarta ketika masih duduk di grade 6, mereka (para nyamuk, bukan bibiku dan keluarganya) meninggalkan banyak sekali tanda-mata berupa bentol-bentol hitam yang jelek seperti bekas-bekas penyakit kulit yang belum sembuh benar, yang baru hilang perlahan selama tiga bulan dengan bantuan olesan salep khusus dua kali sehari setiap habis mandi.

Misterius sekali, substansi racun macam apakah yang disuntikkan para nyamuk itu ke balik lapisan epidermisku sehingga dalam waktu dua malam saja mampu mentransformasi penampakan sejahtera seorang bocah yang sehat-ceria-ribut-manja dan berpipi gembul menjadi seorang bocah yang selalu bersungut-sungut cemberut dan kedua tangannya selalu sibuk menggaruk sekujur kaki dan tangan bagaikan anak kampung yang menderita serbuan sekoloni parasit kutu?

Kejadian aneh lainnya terjadi ketika aku masih lebih muda lagi, sekira masih duduk di grade 3. Saat itu bersama dengan beberapa teman lain, untuk pertama kalinya aku diikutkan orang-tuaku les pelajaran matematika. Jadi pergilah kami semua, sekitar tujuh orang anak kecil lucu ceria dan ribut, bergembira naik sepeda menuju kompleks tempat tinggal si guru les, Bapak Syamsul. Sebenarnya beliau adalah juga guru kami di sekolah, dan belakangan kuketahui bahwa apabila pihak pengelola sekolah mengetahui beliau memberikan pelajaran ekstra di luar sekolah kepada murid-muridnya sendiri dengan menerima pembayaran khusus, ia akan langsung dipecat. Tapi ini cerita lain.

Sesampainya di rumah Bapak Syamsul – yang ternyata bukan rumahnya sendiri melainkan ia menumpang di rumah kakaknya yang bekerja sebagai polisi – dan selama les berlangsung, nyaris tidak ada satupun materi les hari itu yang berhasil aku serap. Mind you, bukan karena otakku yang cuma berukuran seperempat seperti tuduhan si kutilubis (I hope she read this! Haha!) sehingga daya penyerapan ilmunya jadi terbatas, melainkan karena aku lebih sibuk mempergunakan kedua tanganku menepuk nyamuk-nyamuk yang bermunculan entah darimana untuk merubungi kulitku. Alih-alih mengonsentrasikan otakku untuk mengerjakan soal-soal hitung-hitungan di buku latihan, aku malah lebih berkonsentrasi dalam tugas pengkoordinasian otak-mata-tangan untuk berburu nyamuk yang berseliweran berdengung-dengung dan menggigiti bagian-bagian tubuhku yang terbuka.

Barangkali karena kasihan melihatku menderita dan dengan mempertimbangkan gangguan yang kutimbulkan bagi teman-teman lainnya akibat perburuanku yang sepertinya tidak akan berakhir sebelum aku sendiri yang beranjak meninggalkan rumahnya, akhirnya Bapak Syamsul pun menghentikan pelajaran hari itu lebih cepat, menghidangkan sirop dan kueh-kueh untuk sedikit mengurangi kesedihan perasaanku menghadapi kenyataan menyakitkan sebagai satu-satunya korban kebuasan dan kebiadaban para nyamuk di antara tujuh orang anak didiknya sore itu, lalu membiarkan kami bermain petak umpet di halaman rumahnya sebelum mengizinkan kami pulang sesuai jadwal bubaran les yang seharusnya. Itulah kesempatan pertama sekaligus terakhir kalinya aku mengikuti les di rumah beliau, namun aku curiga mungkin Bapak Syamsul pun sedikit bersyukur tidak perlu lagi berurusan dengan si bocah pemikat nyamuk yang merepotkan ini.

Beranjak dewasa, seiring melebatnya rambut di kakiku (yang jadi poin plus-plus dalam memikat pacarku yang sekarang *wink!*), serangan nyamuk mulai terbatas hanya di wilayah mulai dari mata kaki hingga ke telapaknya yang (memang) tidak (mungkin) ditumbuhi rambut. Namun daerah tidak terlindungi ini justru kemudian menjadi wilayah paling potensial bagi para nyamuk tersebut untuk unjuk sungut penyengat.

Sama seperti yang kualami beberapa hari belakangan ini, dan khususnya di pagi ini. Yang paling menyebalkan adalah jika nyamuk-nyamuk sialan itu mengigit di kulit telapak kaki. Menggaruknya tidak pernah "menyenangkan", karena perbedaan ketebalan lapisan kulit dengan bagian kaki yang lain.

Sesungguhnya, menggaruk bekas gigitan serangga apapun di kulitku sangat tidak dianjurkan, lebih karena kemampuan diriku yang didukung oleh mantapnya kekuatan kuku-kuku jemari tanganku untuk terus menggaruk sampai kulitku tergerus membuka dan dari bentol-bentol itu mulai muncul setitik darah. Yap, kebiasaan mengerikan!

Seringkali aku menggaruk kulit begitu dahsyatnya dan baru berhenti setelah bentolan berubah menjadi luka-luka kecil. Luka-luka kecil yang butuh waktu relatif lama untuk mengering dan, mengingat kondisi diriku sebagai keturunan pengidap diabetes dari pihak Ibu meskipun thank God sampai saat ini aku masih bebas dari penyakit itu, butuh waktu lebih lama lagi agar bekas-bekasnya menghilang.

Sebelum William melihat sendiri aku melakukan aksi 'berdarah-darah' ini di hadapannya di sebuah café yang ajaibnya memiliki sarang nyamuk entah di sebelah mana, hingga kini Grace adalah manusia terakhir yang berkomentar standar soal kebiasaan tidak sehat ini (dan ini terjadi di bulan Januari 2004 ketika aku mengunjungi boarding house-nya).

Entah mengapa, semua orang yang melihatku menggaruk-garuk kaki dan tangan pasti akan mencetuskan komentar serupa, "Pasti karena lo belum mandi ya, hahaha...." Basi banget, dan sangat menyebalkan.

Berhubung seminggu sebelumnya aku baru saja membaca artikel kecil di bagian iptek harian Kompas berisi laporan temuan hasil satu riset di Inggris, bahwa kaki pria adalah bagian tubuh manusia yang paling sering diserang oleh nyamuk, karena terlepas dari soal apakah sudah mandi atau belum pada kenyataannya kaki pria terbukti memancarkan panas dan menguarkan aroma khas yang merangsang indra penciuman nyamuk, yang kemudian berfungsi semacam pengumuman dan undangan bagi mereka untuk berpesta pora penuh darah (hal pertama yang terpikirkan olehku adalah, kasihan sekali para lelaki yang menjadi sample percobaan itu; hal kedua yang terpikirkan adalah, kasihan sekali diriku terpaksa menderita gatal-gatal secara cuma-cuma, sedangkan mereka yang menjadi sample masih bisa mendapatkan bayaran atas penderitaan mereka). Jadi bisa dikatakan bahwa seolah-olah panas dan aroma khas kaki pria itu memancarkan sinyal gelombang mikro yang tinggal ditangkap oleh radar nyamuk-nyamuk yang kebetulan melintas. Perhaps it’s like the effect of flame to moth, without the certainty on the deadly exposure caused by heat.

Oleh karena itu, begitu Grace melontarkan komentar standar yang sudah kuantisipasi sebelumnya, meluncurlah fakta-fakta hasil riset tersebut dari mulutku dengan fasih karena sudah kuhapalkan sebelumnya. Begitu berapi-apinya penjelasan dan pembelaan yang kulontarkan sehingga berhasil membungkam Grace untuk sementara waktu (bagi mereka yang mengenal Grace secara pribadi, berhasil membuat mulutnya diam tanpa mengucapkan sepatah katapun selama satu jam atau lebih adalah satu prestasi yang patut dibanggakan dan barangkali diusulkan untuk dicatatkan dalam rekor MURI, tetapi saat itu aku hanya berhasil melakukannya selama 10 menit).

Namun laporan hasil riset yang kubaca itu sama sekali tidak menginformasikan solusi apa yang paling baik untuk mengatasi gangguan serbuan nyamuk-nyamuk sialan itu. Tidak ada info perihal apakah aku harus melakukan diet dengan tidak mengkonsumsi unsur dan bahan makanan tertentu, atau apakah aku harus pakai salep kulit tertentu, atau apakah aku harus pindah ke daerah tertentu yang tidak memungkinkan bagi kehidupan dan perkembangbiakan nyamuk, serta tidak juga perihal kemungkinan bagiku agar berusaha menumbuhkan rambut-rambut selebat mungkin di sekujur kakiku sehingga tidak ada peluang bagi makhluk-makhluk ganas ini untuk menembusnya mencapai permukaan kulitku.

Jadilah hingga saat ini aku masih belum berhasil menemukan satu hal pun yang mampu hentikan perburuan tanpa akhir para nyamuk tersebut akan darahku: tidak dengan mempergunakan obat nyamuk bakar maupun obat semprot yang hanya mengakibatkan sesak napas dan mata perih maupun pengolesan lotion anti nyamuk yang hanya mengakibatkan iritasi pada kulitku yang sensitif.

As if nothing could ever satisfied those mosquitoes' neverending hunger for the taste of my sweet red blood, they always hunted me wherever and whenever they can. Sounds eerie and gory like a teen horror slasher movie at the same time, doesn't it?!




- This writing was originally titled Mosquitos: The Hunt for The Red-Blooded Man which was posted online on November 14th, 2005 -

No comments: