Monday, December 29, 2008

Shoe-ing That Insult


Why do you hate President Bush and his aides,
while he and his Republican peers couldn’t care any less?
That's why when you threw that shoe and missed,
he just laughed it off and not a second looked pissed.

Saturday, December 27, 2008

The Picnic Picture



There was an old photograph on your refrigerator pinned with a magnetic pineapple
Its colors turned to yellowish, a sure sign of years it has gone through
When I first looked at it, I thought it was the picture of Jesus and His disciples having a picnic under a big leafy tree
Because everyone in it had thick shaggy beards long wavy hair and wore some kind of long dresses
Like the robes they used to wear back then in the early years of Our Lord


But when I first saw the photograph, it was not because of what it depicted
It was because I had to divert my gaze from the kitchen window overlooking your backyard
Since I saw you getting steamy with another guy, not far from the pool we once made love inside


I know you’re no longer mine, but hey
Was it wrong if I feel jealousy looking at that scene with my very own eyes?


Wednesday, December 24, 2008

Menolak Untuk Melupakan Sejarah

Wajah perempuan itu terlihat begitu tua, kulitnya yang berwarna kecoklatan ditandai bintik-bintik hitam dengan guratan keriput pertanda rentang usia yang sudah begitu lama menghirup udara Nusantara. Giginya hanya tinggal beberapa, itu pun seringkali tersembunyi di balik katupan bibir yang dulunya pasti penuh dan merah, namun kini sudah ikut keriput juga. Dengan suara terbata-bata sambil sesekali mengusap air mata yang menggenangi pelupuk mata, perempuan tua itu bertutur tentang pengalamannya mencari suaminya yang sempat menghilang seharian. Suaminya yang kemudian dia temukan menjelang senja dalam kondisi sudah tak lagi bernyawa, tersungkur di sawah yang basah oleh air hujan bercampur darah manusia bersama puluhan mayat lainnya.

Nama perempuan tua itu, Wanti. Malam tadi kulihat dia dalam tayangan ”Nama dan Peristiwa” yang disiarkan oleh tvone. Wanti adalah salah satu janda korban pembantaian Rawa Gede, sebuah desa kecil yang terletak di Karawang, Jawa Barat.

Sekitar 61 tahun yang lalu, saat perundingan Renville terkait penentuan kedaulatan Indonesia baru dimulai satu hari sebelumnya, sepasukan tentara Belanda mengepung desa Rawa Gede, dalam upayanya mencari dan menangkap para tentara pejuang Indonesia yang diperkirakan bersembunyi di desa tersebut. Setiap rumah di Rawa Gede didobrak masuk dan digeladah untuk mencari senjata maupun para pejuang yang barangkali tinggal bersama penduduk.
Seluruh penduduk berjenis kelamin laki-laki di atas usia 15 tahun kemudian dikumpulkan dan digiring ke suatu tempat. Mereka semua dibariskan berjajar dan ditanyai tentang keberadaan para tentara Indonesia. Tak satu lelaki pun mengaku tahu, tak seorang pun bisa menjawab interogasi tentara Belanda itu.
Yang kemudian terjadi adalah, tanpa melalui prosedur pengadilan, tuntutan maupun pembelaan, seluruh lelaki itu diberondong dengan senapan mesin oleh para tentara Belanda. Mereka semua dibantai di tempat. Satu persatu tubuh para lelaki itu roboh ke bumi, meregang nyawa atau mati seketika. Beberapa mayat yang sudah saling menindih bahkan masih ditembaki beberapa kali, untuk meyakinkan bahwa mereka semua sudah mati.
Darah pun mengalir membasahi pertiwi.

Tidak cukup sampai di situ, tentara Belanda masih terus mencari jejak para lelaki yang diduga sempat melarikan diri. Mereka diburu seperti hewan liar, dikejar dengan bantuan anjing pelacak. Setiap lelaki dewasa yang ditemukan, ditembak mati di tempat. Hari itu, 9 Desember 1947, ratusan jiwa penduduk sipil melayang di Rawa Gede.

Malam tadi, menyaksikan penuturan Ibu Wanti tentang hari kelam 61 tahun yang lalu itu, membuat perih hati ini.
Dengan suaranya yang lirih dan semakin terbata-bata sambil terus mengusap air mata, Ibu Wanti bercerita bagaimana seorang tetangganya memberitahu bahwa suaminya tercinta tewas ditembak tentara Belanda. Dalam kondisi tengah hamil 9 bulan, Ibu Wanti ditemani oleh ibunya pergi mencari mayat suaminya. Di bawah derasnya hujan yang dicurahkan langit yang seakan turut menangisi kepergian ratusan lelaki Rawa Gede, Ibu Wanti bersama ibunya terpaksa harus mencari-cari di antara tumpukan mayat lelaki yang saling tumpang tindih di tengah sawah. Dua perempuan ibu dan anak ini, dalam kedukaan yang mendalam, tanpa lelah terus mencari lelaki yang mereka kasihi, bersama dengan puluhan perempuan Rawa Gede lainnya. Setelah mayat suaminya berhasil ditemukan, berdua bersama ibunya, Ibu Wanti harus bersusah payah membawa mayat tersebut kembali ke desa untuk dimakamkan secara Islam. Tak bisa kubayangkan betapa hancurnya hati Ibu Wanti dan ibunya senja itu, karena imam sekaligus pencari nafkah keluarga mereka telah pergi untuk selamanya.

Malam tadi, baru untuk pertama kalinya aku mengetahui ada peristiwa keji semacam ini terjadi di negeriku Indonesia. Tak habis pikir rasanya, mengapa kejahatan perang semacam ini tak pernah masuk dalam catatan peristiwa di buku-buku sejarah yang kupelajari semasa sekolah.
Apakah nyawa ratusan lelaki dari sebuah desa kecil di Karawang yang direnggut paksa tersebut tidak bermakna apapun juga?
Dan mengapa, berdasarkan beberapa wawancara yang ditayangkan dalam program acara malam tadi, Pemerintah kita – termasuk para anggota Dewan terhormat – seakan turut menutup mata dan tidak peduli, tak pernah secara serius memperhatikan nasib mereka dan mendukung upaya advokasi para korban untuk memperkarakan kejahatan perang ini di Mahkamah Internasional?

Apakah sebegitu tidak relevannya bagi bangsa ini, penderitaan yang harus ditanggung oleh para penduduk Rawa Gede yang hidupnya berubah drastis untuk seterusnya, sejak hari naas 9 Desember, 61 tahun yang lalu itu?

Apakah kita ’diharapkan’ lupa pada sejarah perjuangan bangsa ini – serta seluruh pengorbanan yang diserahkan oleh para pendahulu kita – saat berupaya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Negara Indonesia?

Aku memilih untuk tetap ingat. Setidaknya dengan caraku sendiri.
Itulah sebabnya aku membuat tulisan ini.


Tuesday, December 23, 2008

Of Wishes and Dreams



Within those long nights when everything seems to go wrong
I had these strange dreams that keep recurring
That I hid behind this certain thicket fence
And see the world through different eyes
It rushes and left me alone silently watching

I need someone to help me figure these dreams out
What they mean when they kept rushing right through my life
And let me playing with my tears before they dried in the sun

It seems like years
I don’t think you will ever be coming back for more
At first I was afraid to set you free
Even when I know that’s the way things should be

Now let me kiss away the pain of our old memories
And stop trying to make sense of everything
Just look beyond ourselves so we can survive
Through the dreams and reminiscences

If you still have doubt, let the night decide
Because I still have this one wish,
To kiss you tenderly to sleep

Friday, December 19, 2008

Salaam, Saudaraku



Ada yang perlu dicermati secara khusus tentang pelaksanaan kerukunan antarumat beragama di negeri ini, ketika ...

Perusahaan-perusahaan besar berlomba-lomba membuat iklan khusus dan memasangnya dalam jumlah ratusan spot yang bernilai milyaran rupiah di berbagai stasiun televisi, dengan bertemakan toleransi antarumat beragama - yang entah mengapa seringkali memperlihatkan pengadeganan mereka yang menganut agama bukan mayoritas di Nusantara dengan sukarela mengulurkan tangan membantu temannya dari agama mayoritas untuk menunaikan ibadah.

Ini merupakan jenis tema iklan yang sebenarnya akan lebih menyentuh sanubari dan membanggakan lagi, andai saja yang kemudian terjadi adalah ...

Munculnya versi 'balasan', di mana giliran si penganut agama mayoritas yang sebelumnya dibantu dalam melancarkan penunaian ibadahnya oleh si penganut agama minoritas, gantian mengulurkan tangan dengan tulus membantu ketika menjelang dan selama perayaan hari besar agama-agama minoritas lainnya yang berlangsung di lingkungannya.

Dan ketika justru hal ini tidak terjadi, lalu ...

Bagaimana mungkin toleransi tercipta dan kerukunan terjaga, apabila ego yang lebih berkuasa?

Wednesday, December 17, 2008

Menikmati Secangkir Teh Prancis



“I can’t understand any French movies. Probably, they’re just not my cup of tea ...”


Sahabatku Bradley pernah bersumpah bahwa dia tak akan pernah lagi mau membuang waktunya untuk menonton film Prancis manapun. Aku tak tahu apakah Francophone movies termasuk dalam kategori sumpahnya itu, yang jelas sepanjang pengetahuanku sejak dia mengucap sumpah itu usai menonton salah satu film produksi Prancis dalam ajang Festival Sinema Prancis tiga tahun silam, tak pernah sekalipun dia menonton lagi film dari negara mode itu.

Sumpah Bradley terujar bukan karena kala itu dia dipaksa – dan setengah diseret menuju bioskop – oleh salah satu teman dekatnya yang kebetulan juga kukenal untuk menemaninya menonton, tapi lebih karena menurutnya menonton film Prancis merupakan pengalaman traumatis yang menyiksa. Dia tak bisa mengerti dimana bagusnya film Prancis manapun yang pernah dia lihat, dan dia tidak terlalu terkesan dengan kenyataan betapa mudahnya aktor-aktris Prancis tampil polos tanpa malu seperti bayi baru dilahirkan di layar lebar untuk dipelototi dan dikonsumsi dengan rakus oleh mata para penonton. Padahal bagiku dulu waktu baru mulai memasuki usia puber, justru inilah alasan satu-satunya aku bertahan dan membetahkan diri menonton TV5 Monde.

Pada masa-masa awal ketika aku tahu tentang sumpah Bradley ini, entah mengapa aku berusaha membuat Bradley mengubah pikirannya. Alasanku waktu itu, it’s going to be his loss kalau menolak menonton film-film yang bagus dan bermutu dari negara moyangnya sinema dunia itu. Ketika dia bertanya balik setengah mendesak, apakah aku bisa menyebutkan film Prancis apa yang telah dia lewatkan sehingga akan membuat dia menyesali keputusannya itu, giliran aku yang terdiam.

Aku nyaris menyebut “Léon The Professional”, lalu aku teringat bahwa Jean Reno memang aktor Prancis dan Luc Besson adalah sutradara kondang Prancis, tapi film itu diproduksi oleh Sony Pictures dan juga dibintangi oleh Natalie Portman dan Gary Oldman yang notabene berstempel “Made in Hollywood”. So it is not a pure French movie, in a ‘traditional’ sense. (By the way while I’m still on this subject, can someone tell me why oh why Monsieur Reno agreed to act in such a stupid monster movie, “Godzilla”?)

Ada “Belphegor La Phantom de Louvre”, tapi film itu standar horor a la Hollywood, ga bisa juga disebut bagus. Yang lebih buruk lagi adalah film komedi slapstick “Taxi” dan semua sekuelnya yang garing bin boring itu. Sedangkan menonton film kelas festival semacam “Baise Moi” terasa lebih seperti menonton orgy of sex (obviously!) and violence, dan “Irreversible” malah membuatku sempat beberapa kali memalingkan wajah karena ngeri saat adegan-adegan kekerasan yang (bagiku) tampak sangat nyata dan vulgar dijembreng di depan mata (adegan pemerkosaan di underground tunnel itu membuat aku mual-mual seharian).

Ada juga ”Bleu”, yang diikuti oleh sekuelnya ”Bialy” dan ”Rouge”, tapi aku belum menontonnya, jadi ga bisa juga kupakai judul-judul itu sebagai argument untuk meyakinkan Bradley mengubah pikirannya. Dari hasilku meng-googling sembari menulis this ramblings, ada beberapa judul film yang disutradarai Francois Truffaut dan Jean Luc Goddard yang sepertinya pantas disebut, tapi kasusnya sama seperti trilogi tiga warnanya Krzystof Kieslowski (yes, I have to google in order to spell his name correctly), aku ga pernah menontonnya.

Sekian tahun kemudian, ada satu film Prancis yang ketika kusaksikan di salah satu bioskop di daerah Jakarta Pusat, masih dalam ajang Festival Sinema Prancis, nyaris bikin aku tersedak kaget – dan bagi beberapa penonton perempuan membuat mereka tertawa terkikik-kikik serta penonton laki-laki mendadak gelisah dan tak nyaman – karena memperlihatkan adegan di mana sepasang pria homoseksual sedang bercinta. Ya, betul. Dalam keadaan telanjang bugil bulat. And you can see some very visibly hard cocks (I was about to say, erected penises, but opted for a less formal term instead) on the big screen. Tapi film yang tak akan kusebutkan di sini judulnya, menurut hematku bukanlah film yang bagus-bagus amat, karena plotnya yang sangat tipikal: homosexual charater(s) are doomed to meet horrible death or ugly fate in the end of the movie. Euch!

Masih dari ajang yang sama, meskipun beda tahun pelaksanaan, aku sempat menonton “Cache” dan “L’enfant” serta “La Marche de l’empereur”. Tapi dua judul pertama membuat aku menyesal membuang waktu masing-masing lebih dari dua jam untuk menontonnya, karena kembali menurut hematku pribadi, kedua judul ini ga ada bagus-bagusnya !
“Cache” berakhir dengan kebingungan dan tanda tanya besar yang sangat menyebalkan dan mengganggu (daripada jadi spoiler dengan membeberkan akhir ceritanya di sini jadi sengaja tidak diungkap), sedangkan “L’enfant” – yang sebenarnya adalah film Belgia tapi karena mereka juga bertutur dalam bahasa Prancis jadi bisalah dimasukkan dalam pembahasan kali ini – membuatku pengen melompat dari kursi dan memukuli si aktor utama saking kesalnya (I even posted a specific blog entry for this ugly feature). Sedangkan judul ketiga yang kusebutkan, adalah film documenter yang lucu dan mengharukan, rasa-rasanya malah jadi ineligible to ‘compete’ dalam kategori yang sama dengan judul-judul lainnya yang sudah kusebutkan di muka.

Dan di sinilah aku mulai kehabisan ‘amunisi’ untuk mendebat Bradley dan meminta dia mengubah pikiran serta untuk menarik / membatalkan sumpah anti-film Prancisnya. Secara film Prancis terakhir yang kutonton, “De battre mon coeur s'est arrêté”, sama sekali tidak bisa membantuku berargumentasi positif, karena aku sendiri merasa tersiksa waktu menonton film tentang perselingkuhan ini. Ugh!

Akhirnya apabila kamu yang membaca tulisan ini bertanya, what is my standpoint now on the issue of watching French movies after all those experiences, well, sadly to say, aku jadi cenderung mengikuti dan mengamini sumpah Bradley (walau tidak sampai bibir ini mengucap seperti yang ia lakukan beberapa tahun lalu).
Meskipun tentu saja, dalam beberapa kondisi khusus dan untuk beberapa judul aku mencoba membuat perkecualian, misalnya untuk film animasi hitam putih “Renaissance” yang lumayan mendebarkan, film musikal "Les choristes" yang lumayan menyentuh, the feel good romantic comedy "Le fabuleux destin d'Amélie Poulain", serta biopic “La Môme” yang membuat mata ini berkaca-kaca karena terharu (and yes, I do believe Marianne Cotillard deserved her Oscar).

Kita lihat saja apakah dalam waktu dekat aku kembali akan membuat perkecualian lainnya (termasuk untuk other Francophone titles), yang dalam istilah Bradley, “Now that’s what I call my cup of tea”.


Tuesday, December 16, 2008

And I Remember Our Last Kiss



There will be no kisses tonight because
we are no longer lovers like we used to be

You know damn too well you’ve broke my heart and
I can’t understand why it felt like the fireworks blew up above our head and
its lights shone down on us

You promised me that you would
never kiss anyone who doesn’t burn you like
rays of sun at midday

I still remember our last kiss like our very first
and I would like to keep the memory of that first kiss
as it is

Monday, December 15, 2008

Sebentar Lagi, ...



Kebiasaan kalau hari Sabtu siang lagi bengong ga ada kerjaan, dipikir-pikir daripada cuma tiduran berhibernasi di kamarku yang sejuk atau menonton acara gosip ga jelas dan membosankan, mendingan sekalian jalan-jalan 10 ribu langkah sembari menyambangi salah satu tempat perbelanjaan yang isinya macam-macam di area Casablanca. Dan itulah yang kulakukan weekend kemarin, sekalian mau lunch, ceritanya.

Sesampainya di mall kondang tersebut, dan bersyukur karena tidak terjebak kemacetan yang menjadi ‘ritual’ di depan mall ini setiap akhir pekan, dengan bersemangat kucari dulu makanan apa yang rasanya enak dan cocok untuk mengisi perutku yang sudah mulai keruyukan minta diisi. Setelah mondar-mandir cukup lama akhirnya kuputuskan untuk makan menu Manado, apalagi kalau bukan a la rica-rica.

Karena suasana tempat makan ini sama sekali tidak nyaman, pilihan satu-satunya adalah untuk segera menghabiskan makanan lalu buru-buru angkat kaki dari area food court yang berisik itu.

Sebenarnya kalau kondisinya lebih manusiawi dan lebih bersih, beraktivitas menongkrong di area food court sebuah mall merupakan aktivitas killing time yang menyenangkan. Sambil duduk dan pura-puranya menikmati makanan yang dihidangkan di depan tubuh, mata bisa sambil plirak-plirik kiri-kanan dan melihat serbaneka manusia. Terkadang, ada hal-hal menarik yang bisa bikin surprise dan lumayan menghibur bisa disaksikan melintas di depan mata. Seperti kemarin ini, ada seorang pria pakai t-shirt tie-dye dengan warna fantasi seperti kaos reagge gitu, dengan bawahan celana kotak-kotak kecil hitam putih abu-abu. Benar-benar menjadi tantangan buat mata. “Bold choice,” kalau istilah para Condé Nasties. Dan pakaian pria tersebut masih dilengkapi dengan trucker cap butut (bukan yang sengaja dibuat butut kaya Ed Hardy’s, catet!) dan aksesoris tas pinggang hitam yang tampak lusuh. Ehem! ... Seorang teman pasti akan mengatakan aku ga sopan dengan membahas hal-hal remeh serta dangkal semacam ini.

Nah, biar ga makin bertambah saja dosa-dosaku hanya karena duduk di situ, jadi selesai makan aku segera angkat kaki.

Pindah ke mall sebelahnya, dan sempat kepikiran (dan memang tergoda) untuk menyambangi beberapa toko yang biasanya menjual t-shirt dan aksesoris lucu-lucu gitu, biasanya sih barang-barang yang diimpor dari Thailand. Ini sebenarnya dilakukan hanya untuk sekedar iseng, mengecek apakah ada barang baru yang relatif murah dan tak dijual di mall kelas luxe yang biasanya berlokasi di area-area prima. Lumayan kan, buat nambah-nambahin koleksi kalau lagi males rapih pas ke kantor saat hari Jumat (maupun saat terpaksa lembur di akhir pekan).

Tapi niatan ini terpaksa diurungkan, karena saat melintasi beberapa toko, baru teringat kalau masih ada beberapa kemeja yang tempo hari dibeli dan sampai hari ini masih belum sempat dikenakan sekali pun. Daripada jadi pemborosan, mending ditunda dulu saja niatan untuk melihat-lihat (dan yang biasanya sih ujung-ujungnya jadi belanja) ini.

Lagipula, kalau berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang dibentuk oleh tradisi sejak beberapa tahun lalu, biasanya pada saat akhir pekan terakhir sebelum Natal, akan ada satu agenda spesial yang butuh pos pengeluaran khusus, yaitu Diskon Akhir Tahun Kinokuniya. Rata-rata semua buku didiskon 20%, menarik banget kan? Setelah tahun lalu membeli Truman Capote dan David Sedaris, tahun ini rencananya mau mengumpulkan beberapa novel lainnya yang sudah diadaptasi ke layar lebar maupun yang memenangkan penghargaan di berbagai ajang literatur. Misalnya, ”On The Road”-nya Jack Kerouac versi selebrasi 50 tahun, yang katanya lebih lengkap daripada yang telah dikenal luas selama ini (ternyata ada beberapa bagian yang disensor di terbitan-terbitan awal). Interesting, eh?

Jadi sebenarnya kalau ada yang iseng bertanya perihal daftar belanja Natal-ku untuk tahun ini, ya cuma itu jawabannya: borong buku di Kinokuniya.

By the way lagi ngebahas topik ini dan kebetulan pandangan mata secara otomatis bergerak untuk mengecek kalender, baru nyadar kalau ternyata Diskon Akhir Tahun Kinokuniya itu seharusnya akhir pekan ini dong ya kejadiannya? Secara hari Kamis depan kan sudah Natal. Sedikit terlupa karena tidak ada persiapan khusus menyambut perayaan tahun ini, selain gantungan kaos kaki merah dengan daun holly plastik di depan pintu kamar.

Perayaan Natal tahun ini bagiku pribadi tampaknya akan mengambil tema ”Kontemplasi dalam Kesunyian dengan Kerendahan Hati yang Tulus”. Bisakah?

I’ll just wait and see.

Wednesday, December 10, 2008

A Father I Have Known



Up on the mountainous northern part of the mineral-rich and fertile island
There laid this little village inhabited by less than one hundred people
It had neither electrical supply, convenient store nor a gas station
The closest ones were forty minutes ride by car from that little village

The small old wooden houses in that little village were spread on the mountain
Going from one house to another to visit the neighbors need extra physical work
Walking minutes to hours on the dirt roads, because there’s no other way than that

So it was not to anyone’s amazement when the little village was bit by bit left crumbling
Witnessed by its natural inhabitants, the underage kids and the elderly who could say nothing

Just like my father who left the little village even before he turned thirteen
Because he had his own dreams, to build his own better future
Riding in shiny motorcycles and living in a brick house with big glass windows
Instead of sweating and straining his muscles cultivating the rice fields
And struggling with low temperature at nights that freezes your breaths into dews once you exhaled

Because back in the time when the Dutch still colonized those fertile lands
Of the mountainous northern part of the mineral-rich and fertile island
Everyone wants to be like the people in the big cities

Just like my father who saw those big cities
From the thirty-five millimeters celluloid projected on large white fabric functioned as screen
Together with his peers and hundred others on that big grassy field
In the little town thirty minutes ride by car from his own village

That’s what people did back then to have some fun
That’s how my father got his inspirations and dreams for a better future
That’s also where and when he saw my mother for the very first time
That’s also why he left his parents in their old wooden house up on the mountain

Because he had his own dreams and he had fought to make them came true

So here I am now standing
Mere couple of years before turning thirty
And recently realized that
Probably, I was one of his many dreams but
Obviously he never told me that in words

He didn’t have to do it so simply because I already knew

Everytime I came home and hugged him
He hugged me back
The mutual feelings shared without any words being exchanged

I know I have to make it right this time to pay him back and make him proud





Note:
The old photograph posted above was taken from a Singaporean's blog.

Tuesday, December 9, 2008

From Yesterday



I see you coming from Yesterday
Still looking as graceful as I remembered you from your youth
Radiant skin gleaming smiles
And beautiful bangs of hair framed your freckled face

How could I ever forget our first kiss ?
Your lips sweet and wet
But probably it was your perfect lip gloss I tasted

How are you doing now, Darling,
The girl who just arrived from Yesterday ?

Friday, December 5, 2008

Tak Kulihat Dia Bertanya, “Mengapa?”


Bisa dikatakan, aku termasuk suka menonton ”Oprah”.
Meskipun tidak bisa disebut penggemar berat, tapi terkadang kalau sedang ada topik-topik menarik yang dibahas dalam satu episode tertentu, aku bisa menghentikan segala aktivitas hanya untuk bisa menyimak dengan baik episode tersebut.

Seperti dalam salah satu episodenya yang paling terkenal yang dipancarteruskan beberapa tahun lalu, yang kemudian diliput oleh berbagai media di seluruh dunia, termasuk Kompas. Dalam episode itu, Oprah Winfrey memperkenalkan kepada audience di studio dan para pemirsanya, apa-apa saja ”Most Favorite Things” –nya pada tahun tersebut.
Yang membuat episode itu menjadi buah bibir dan sukses di mana-mana, adalah karena masing-masing penonton yang hadir di studio – semuanya merupakan guru-guru dari seluruh negara bagian Amerika Serikat – berhak atas setiap jenis produk favorit Oprah. Termasuk mobil ! Bisa jadi, hari itu adalah salah satu hari terbaik dalam hidup setiap guru tersebut.
Jadi sudah sepantasnya lah kalau dalam episode itu, semua penonton berteriak-teriak kencang, histeris, bahkan menangis sesenggukan karena begitu gembiranya. Aku sendiri yakin kalau saja saat itu aku juga merupakan salah satu dari para penonton di studio yang mendapatkan Blackberry dengan masa berlangganan gratis 3 bulan, puluhan voucher bernilai total (yang kalau dikonversikan bisa mencapai) puluhan juta rupiah, barang-barang elektronik, dan sebuah mobil; aku pun pasti akan menangis dan sujud syukur mencium tanah.
Ini seperti menang dalam”The Price is Right” tapi tanpa harus merasakan deg-degan takut, karena dalam game show itu, alih-alih bisa mendapatkan home appliances, mobil dan paket liburan ke Kepualuan Bahama, bisa jadi malah pulangnya bawa sebuah sepeda saja.

Anyway, kembali ke awal maksud dan tujuan tulisan ini, salah satu episode Oprah yang tidak menyenangkan untuk dilihat disiarkan pada tahun 2004. Betul sekali, sudah relatif lamaaa ...
Kepada para pemirsa, diperlihatkan bagaimana Oprah berinteraksi dengan beberapa tentara dan perwira dari angkatan bersenjata Amerika Serikat yang ditugaskan di Iraq saat Operation Iraqi Freedom, yang seperti kita semua tahu, berakhir dengan tumbangnya rejim Saddam Hussein.
Dalam perbicangannya dengan para ”pahlawan” perang Amerika itu – mayoritas terluka dalam tugas, bahkan ada yang sampai diamputasi kakinya – Oprah selalu memuji-muji keberanian mereka yang telah rela berjuang demi pembebasan rakyat Irak.
Tapi yang kuperhatikan sepanjang perbincangannya dengan para tentara dan perwira tersebut, tak pernah sekalipun dia mempertanyakan, mengapa secara pribadi, mereka – ratusan prajurit dan perwira ini – setuju maju berperang di negeri yang jauhnya separuh keliling bumi dari tempat asal mereka, melawan orang-orang yang tak pernah sekalipun menyakiti mereka maupun orang-orang yang mereka kenal, apalagi mereka cintai.
Tentu saja, jawaban yang kuharapkan di sini bukanlah karena rantai komando militer mewajibkan para bawahan patuh pada semua keputusan atasan, dalam hal ini, pucuk tertinggi komando berada di tangan Commander-in-Chief sekaligus Presiden Amerika Serikat sendiri, George W. Bush.
Bagiku, keseluruhan perbincangan dalam episode tersebut jadi terasa begitu bias, aneh dan menggelikan. Toh sepertinya seluruh penduduk dunia di luar Amerika Serikat yakin seyakin-yakinnya, bahwa Operation Iraqi Freedom itu dilancarkan oleh duet Bush-Cheney dengan didasarkan pada begitu banyak alasan serta hal-hal lain, dan ”untuk membebaskan rakyat Irak dari rejim opresif Saddam Hussein” tidak termasuk salah satu alasan utama, meskipun di depan media tentu saja mereka berkata lain.

Dengan segala hormat pada segala kapabilitas personal yang Anda miliki, Miss Winfrey, rasanya akan lebih bagus bagi Anda untuk menghindari membahas hal-hal strategis semacam Perang Irak. Biarkanlah tamu-tamu Anda yang lebih profesional dalam bidang tersebut, seperti Anderson Cooper dan Christiane Amanpour, yang melakukannya bagi rakyat Amerika.



Tuesday, December 2, 2008

Not Gonna (Give Up)


What’s good having you by my side
If your heart belongs to someone else?
But baby, I’m not gonna give you up easily
On that, you can count me on
I will make you fall in love with me all over again
Because remember baby, I’m not gonna give you up