Wednesday, December 24, 2008

Menolak Untuk Melupakan Sejarah

Wajah perempuan itu terlihat begitu tua, kulitnya yang berwarna kecoklatan ditandai bintik-bintik hitam dengan guratan keriput pertanda rentang usia yang sudah begitu lama menghirup udara Nusantara. Giginya hanya tinggal beberapa, itu pun seringkali tersembunyi di balik katupan bibir yang dulunya pasti penuh dan merah, namun kini sudah ikut keriput juga. Dengan suara terbata-bata sambil sesekali mengusap air mata yang menggenangi pelupuk mata, perempuan tua itu bertutur tentang pengalamannya mencari suaminya yang sempat menghilang seharian. Suaminya yang kemudian dia temukan menjelang senja dalam kondisi sudah tak lagi bernyawa, tersungkur di sawah yang basah oleh air hujan bercampur darah manusia bersama puluhan mayat lainnya.

Nama perempuan tua itu, Wanti. Malam tadi kulihat dia dalam tayangan ”Nama dan Peristiwa” yang disiarkan oleh tvone. Wanti adalah salah satu janda korban pembantaian Rawa Gede, sebuah desa kecil yang terletak di Karawang, Jawa Barat.

Sekitar 61 tahun yang lalu, saat perundingan Renville terkait penentuan kedaulatan Indonesia baru dimulai satu hari sebelumnya, sepasukan tentara Belanda mengepung desa Rawa Gede, dalam upayanya mencari dan menangkap para tentara pejuang Indonesia yang diperkirakan bersembunyi di desa tersebut. Setiap rumah di Rawa Gede didobrak masuk dan digeladah untuk mencari senjata maupun para pejuang yang barangkali tinggal bersama penduduk.
Seluruh penduduk berjenis kelamin laki-laki di atas usia 15 tahun kemudian dikumpulkan dan digiring ke suatu tempat. Mereka semua dibariskan berjajar dan ditanyai tentang keberadaan para tentara Indonesia. Tak satu lelaki pun mengaku tahu, tak seorang pun bisa menjawab interogasi tentara Belanda itu.
Yang kemudian terjadi adalah, tanpa melalui prosedur pengadilan, tuntutan maupun pembelaan, seluruh lelaki itu diberondong dengan senapan mesin oleh para tentara Belanda. Mereka semua dibantai di tempat. Satu persatu tubuh para lelaki itu roboh ke bumi, meregang nyawa atau mati seketika. Beberapa mayat yang sudah saling menindih bahkan masih ditembaki beberapa kali, untuk meyakinkan bahwa mereka semua sudah mati.
Darah pun mengalir membasahi pertiwi.

Tidak cukup sampai di situ, tentara Belanda masih terus mencari jejak para lelaki yang diduga sempat melarikan diri. Mereka diburu seperti hewan liar, dikejar dengan bantuan anjing pelacak. Setiap lelaki dewasa yang ditemukan, ditembak mati di tempat. Hari itu, 9 Desember 1947, ratusan jiwa penduduk sipil melayang di Rawa Gede.

Malam tadi, menyaksikan penuturan Ibu Wanti tentang hari kelam 61 tahun yang lalu itu, membuat perih hati ini.
Dengan suaranya yang lirih dan semakin terbata-bata sambil terus mengusap air mata, Ibu Wanti bercerita bagaimana seorang tetangganya memberitahu bahwa suaminya tercinta tewas ditembak tentara Belanda. Dalam kondisi tengah hamil 9 bulan, Ibu Wanti ditemani oleh ibunya pergi mencari mayat suaminya. Di bawah derasnya hujan yang dicurahkan langit yang seakan turut menangisi kepergian ratusan lelaki Rawa Gede, Ibu Wanti bersama ibunya terpaksa harus mencari-cari di antara tumpukan mayat lelaki yang saling tumpang tindih di tengah sawah. Dua perempuan ibu dan anak ini, dalam kedukaan yang mendalam, tanpa lelah terus mencari lelaki yang mereka kasihi, bersama dengan puluhan perempuan Rawa Gede lainnya. Setelah mayat suaminya berhasil ditemukan, berdua bersama ibunya, Ibu Wanti harus bersusah payah membawa mayat tersebut kembali ke desa untuk dimakamkan secara Islam. Tak bisa kubayangkan betapa hancurnya hati Ibu Wanti dan ibunya senja itu, karena imam sekaligus pencari nafkah keluarga mereka telah pergi untuk selamanya.

Malam tadi, baru untuk pertama kalinya aku mengetahui ada peristiwa keji semacam ini terjadi di negeriku Indonesia. Tak habis pikir rasanya, mengapa kejahatan perang semacam ini tak pernah masuk dalam catatan peristiwa di buku-buku sejarah yang kupelajari semasa sekolah.
Apakah nyawa ratusan lelaki dari sebuah desa kecil di Karawang yang direnggut paksa tersebut tidak bermakna apapun juga?
Dan mengapa, berdasarkan beberapa wawancara yang ditayangkan dalam program acara malam tadi, Pemerintah kita – termasuk para anggota Dewan terhormat – seakan turut menutup mata dan tidak peduli, tak pernah secara serius memperhatikan nasib mereka dan mendukung upaya advokasi para korban untuk memperkarakan kejahatan perang ini di Mahkamah Internasional?

Apakah sebegitu tidak relevannya bagi bangsa ini, penderitaan yang harus ditanggung oleh para penduduk Rawa Gede yang hidupnya berubah drastis untuk seterusnya, sejak hari naas 9 Desember, 61 tahun yang lalu itu?

Apakah kita ’diharapkan’ lupa pada sejarah perjuangan bangsa ini – serta seluruh pengorbanan yang diserahkan oleh para pendahulu kita – saat berupaya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Negara Indonesia?

Aku memilih untuk tetap ingat. Setidaknya dengan caraku sendiri.
Itulah sebabnya aku membuat tulisan ini.


No comments: