Wednesday, January 28, 2009

Di Antara Fiksi dan Karma



Sometimes, it can be very surprising to know what other people might do to you if they think you’re crossing their boundaries of comfort zone.


Baru beberapa menit yang lalu aku tersadarkan, seorang teman perempuan menghapus diriku dari daftar pertemanannya di Facebook, hanya karena aku menandai (tagged) dirinya di dalam salah satu entry catatanku. Barangkali dia tersinggung (offended?) dengan materi konten tulisan tersebut, yang sebenarnya murni fiksi. Meskipun sejujurnya, aku tak mengerti apa pentingnya dia merasakan hal tersebut. Toh aku sudah langsung mencantumkan ‘Disclaimer’ di bawah entry tersebut. Jadi rasa-rasanya, tidak perlulah sampai memberikan respon balik yang relatif keras semacam itu. Tapi ah, daripada aku malah menghabiskan waktu untuk sibuk menganalisis mengapa si model Eropa ini sampai menempuh langkah tersebut, lebih baik aku memikirkan hal-hal lain saja. Misalnya, mengapa aku masih saja berkutat di halaman “The Great Gatsby” yang itu-itu juga, meskipun sudah lebih tiga minggu berlalu sejak ketibaanku di pagina tersebut? Atau pertanyaan penting lainnya, mengapa aku selalu merasakan kantuk dan lapar dalam interval yang hanya tiga hingga empat jam? Mudah-mudahan bukan pertanda penyakit serius macam diabetes mellitus. Menakutkan, menyeramkan. Jadi ingat, aku meninggalkan tontonanku di-pause di menit tigapuluhan. Mari melanjutkannya !


Tuesday, January 27, 2009

Disco Will Not Be Here to Stay (Neither Will You)


This is where we’ve come to
After all these things we’ve gone through

This time I’m taking it away
It is you who have got a problem

I see you are lost in so many different ways
When the problems getting in the way

You told me they made you feel like being left out in darkness
Alone, by yourself
Where no one is around to help you
While in fact I was actually standing next to you, yet
Invisible
To your eyes

Do you know that love can easily come and pass you by ?
Do you realize that it can hit you hard and then you realize,
that it’s already slipping through your fingers out of your hands ?

But you just don’t understand

So this time I’m taking it away
So you won’t have to see the elevating pain,
As the hurt turns into hating

My mind’s done with you and everything about us

But still I have this one question burning inside,
“Since I’m here to stay, can I just throw you away?”

Monday, January 26, 2009

2 5 6 0


sepanjang pengetahuanku, yang tergolong relatif pendek ini, hujan deras yang turun setiap perayaan sin cia merupakan pertanda bagus. kurang lebih sama seperti salah satu lagu dalam tata ibadah kristiani yang mendendangkan "hujan berkat 'kan tercurah". semakin deras hujan yang turun pada saat hari pertama tahun baru cina, tandanya akan semakin besar rejeki yang dilimpahkan pada tahun itu.

nah, kalau melihat kondisi cuaca hari ini, harusnya sih semua pada deg-degan. soalnya cuma mendung tebal yang menggantung, membuat warna langit jadi kelabu dan menyebalkan. was-was juga sih, secara hari ini aku pengennya jalan-jalan cari dvd (bajakan, tentunya!) di ambassador. gimana kalau hujan, coba? padahal kan lanjutannya pengen ke aksara kemang.

soalnya dari info semacam tenaga pi-ar -nya si aksara, dia bilang kalau aksara lagi ngadain clearance sale. banyak banget buku yang diskon besar, dijual cuma 50ribu perak perbuah !!! meskipun, yah, sebenarnya kan kamis (22 januari) kemarin kan aku sudah beli 6 judul, tapi kan siapatau nemu buku lainnya yang lumayan menantang. seperti salman rushdie, misalnya? kalau "midnight children" -nya dijual murah juga, i'll definitely gonna buy it !

ngomong-ngomong soal beli dvd film yang bajakan, jadi agak bimbang. kalau nemu "slumdog millionaire", beli ga ya? tapi kenny bilang film itu bakal tayang pada minggu pertama februari di blitz. itu artinya kurang lebih cuma 2 minggu lagi !! kayanya lebih tepat menunggu. biar nontonnya bareng si gembul.

eniwei, si gembul pasti lagi makan banyak-banyaknya hari ini. itu sebabnya dia kupanggil gembul. kalau kami lagi makan bareng, waw ! terkadang aku terkagum-kagum dengan semua makanan yang bisa masuk ke dalam perutnya, tapi selalu saja aku yang lebih ndud dibanding dia. jangan-jangan, seperti 'tuduhan' yang kulontarkan saat dinner bareng natasha, vonny, ronny dan jason di kiyadon senayan city hari sabtu (24 januari) lalu, usus si gembul terhubung ke dimensi lain. jadi apapun yang dia makan, it doesn't matter.

dan entah mengapa, tiba-tiba aku terpikir mooncake ! harusnya sih, imlek begini pasti banyak dihidangkan ya? pesan satu ah sama si gembul, minta dibawain yang diameter 10 cm besok kalau ketemuan. hahaha! nyam-nyam.

oh ya sekalian mau ngucapin: gong xi fat choi! bagi teman-teman yang merayakan. happy chinese new year 2560.

Friday, January 23, 2009

"Maaf, Pak. Ada kartu lain?"



Ini adalah kejadian memalukan pertama, dan mudah-mudahan juga menjadi yang terakhir, yang kualami kemarin ketika mencoba berbelanja dengan menggunakan kartu debit “yang itu” (tidak menyebutkan nama bank yang mengeluarkan, karena rasanya tidak perlu dan memang kurang relevan dengan cerita yang ini).

Jadi ceritanya, kartu debit “yang itu” sebenarnya mengandalkan isi rekening tempat gajiku ditransfer setiap bulannya. Dan lazimnya yang kulakukan pada akhir bulan adalah, begitu gaji bulan berjalan ditransfer, isinya langsung didistribusikan lagi ke rekening bank milikku yang lain.

The problem is, sejak awal bulan ini aku sudah agak-agak mulai menyadari, sepertinya terjadi kesalahan pendistribusian gaji dan bonus bulan Desember 2008 lalu. Meskipun kesadaran ini datangnya relatif terlambat. Ada beberapa pos pengeluaran ekstra yang tidak kuperhitungkan sebelum mendistribusikan ke rekening yang lain. Akhirnya bisalah dikatakan, saldo yang disisakan di dalam rekening “yang itu” kurang memadai untuk men-support kehidupan bujangan metropolis pencinta mall ini.

Sebenarnya, kalau mengingat resolusi awal tahun ini untuk hidup lebih sederhana lagi, well, masih bisa aja sih survive dengan duit sekedarnya, mengikuti jumlah yang tersisa di dalam rekening. Namun seperti kata pepatah, manusia boleh berencana, tapi yang menentukan sih, lain lagi pihaknya. Inilah penuturan tentang pencobaan itu, yang menghantamku dengan keras kemarin banget, ketika lagi iseng-iseng selesai kerja malah kelayapan di Ritz Carlton Pacific Place.

Saat itu, sambil menunggu si Dia datang buat penuhi janji dinner bareng, aku memilih untuk keluyuran di aksara bookstore. Sebenarnya sih saat masuk ke dalam toko itu, tak ada niat sedikit pun buat beli buku apapun, sekali lagi, karena ingat pada isi dompet yang sangat terbatas.

Akan tetapi memang namanya nasib sering berkata lain, ya. Saking kelamaannya menunggu si Dia tiba di mall extra mahal ini, aku mulai melangkah ke rak-rak literature dan fiksi. Saat itulah aku dikejutkan ketika melihat label merah kecil menempel di cover belakang begitu banyak novel popular, maupun yang menang atau sekedar dinominasikan buat penghargaan literature bergengsi. Dan yang membuatku terkaget-kaget itu adalah, angka yang tertera di label merah kecil itu : 50.000. Hah?!?!

Dengan perasaan skeptis dan tak percaya, kutanyakan pada salah satu penjaga toko buku yang sedang asyik memindah-mindahkan setumpuk buku hard cover dari meja pajangan (pasti berat, siah!), apakah memang benar label harga merah itu bukan sebuah kekeliruan?

Dan coba tebak, si penjaga toko itu bilang bahwa harganya memang betul diturunkan jadi cuma 50.000 saja !! Mendapatkan jawaban afirmatif ini, langsung dengan penuh kesigapan, semua buku yang memang tampak menarik kutarik dari raknya untuk sekedar mengecek label harganya.

Saat aku mulai dijangkiti euphoria setelah menemukan banyak buku menarik seharga masing-masing hanya 50.000, tiba-tiba saja si Dia menepuk pundakku dari belakang. Quite a perfect timing, secara kalau tidak, bisa jadi akan ada setumpuk novel berbagai ukuran memenuhi pelukanku saat itu. Jadi teringat waktu QB World Bookstore closing sale, langsung saja membuatku mendadak kalap! Yaiyalah, secara semua buku didiskon 70%. Yabiiessh ... !!

Anyway, berkat petunjuk dan arahan dari si Dia (agar tidak boros dan malah membeli buku lebih banyak daripada yang bisa aku baca – ini hal yang sudah lazim banget terjadi padaku, a true bibliophiliae), akhirnya kuputuskan untuk memilih judul-judul berikut : “The Virgin Suicides”, “Ghost World”, “The Mysteries of Pittsburgh”, “Everything is Illuminated”, “Darkmans”, “Memories of My Melancholy Whores”, dan “My Mistress’s Sparrow is Dead”. Khusus untuk judul terakhir, berhubung cetakan hardcover jadi harganya lebih mahal daripada yang enam judul lainnya (IDR 100.000), tapi itu pun sebenarnya masih relatif murah dibandingkan harga aselinya (± IDR 275.000).

Lantas dengan penuh percaya diri aku berjalan menuju kasir dan menyerahkan setumpuk tebal buku-buku pilihanku tersebut berikut kartu debit “yang itu”. Sambil menunggu proses pembayaran, aku ngobrol dengan Dia. Saat tengah asyik berbincang-bincang, lelaki yang bertugas di kasir menyela percakapan kami dengan suara agak pelan dan terdengar sedikit ragu, “Maaf, Pak. Kartunya ada yang lain, ga? Yang ini di reject, katanya insufficient fund.”

Dan langit mendadak terasa runtuh menimpa kepalaku. Apaaaa … ?!?!?!

Saldo di rekening “yang itu” tidak mencukupi untuk belanja buku senilai IDR 400 ribu ?!?! Hastaga, malu banget rasanya. Apalagi kejadiannya di depan pacar sendiri. Si Dia sih dengan sigap langsung mengeluarkan dompet dan mencoba mengangsurkan salah satu kartu kredit gold-nya untuk melunasi pembayaran.

Meskipun aku tahu persis kalau si Dia tak akan pernah mempermasalahkan pembayaran yang cuma beberapa ratus ribu ini di kemudian hari, apalagi karena pengeluaran tersebut buat pacarnya sendiri. Tapi tetap dong, aku harus bisa menjaga gengsi pribadi. Apalagi kalau bukan persoalan ego dan harga diri seorang lelaki. Hehehe ... (*yang berkomentar nyinyir siap-siap ditonjok!*)

Tentu saja, sambil mengambil kembali kartu debit ”yang itu” dan mencegah si petugas menerima kartu kredit si Dia, dengan tegas kujawab, ”Oh, ga apa-apa. Bayarnya cash aja.” Dan untung bangetlah, saat itu uang tunai yang terselip di dalam dompetku yang mulai robek karena mulai uzur itu masih lebih dari mencukupi untuk melunasi transaksi semua buku tersebut (dan masih ada lebihannya untuk makan malam bareng Dia).

Setelah melunasi pembayaran, kami berdua pun melangkahkan kaki keluar dari aksara, dan aku setengah menulikan telinga dari beberapa pertanyaan bernada khawatir dari Dia terkait kondisi keuanganku sat itu.

Walk with pride, boy! Biarkan masalah hari ini menjadi masalah hari ini, dan yang besok pun demikian. Kurang lebih itulah salah satu kalimat bijak yang pernah kubaca di dalam kitab suci.

Pesan moral dari pengalaman memalukan ini adalah : ”Woy !! Ingat-ingat tuh Resolusi 2009 –mu !! Baru juga 3 minggu berlalu sejak Resolusi itu dibuat. Jangan sampai bikin malu lagi, ah !”



Tuesday, January 13, 2009

A Dress That Could ...



otherwise buy you an SUV,
or a small yet nice house in some Asian countries (try suburban Jakarta!),
or even ...
feed a whole population of a mid-size village in rural Africa for a whole year.

Ah, life is so full of ironies.



This photograph of Anne Hathaway at The 66th Annual Golden Globe Awards,
wearing Swarovski crystal-encrusted Armani Prive gown,
is courtesy of omg!

Monday, January 12, 2009

Unlike Others



“Do you like my cock?”

David asks me for what seems like the millionth time since we slept together for the very first time. And it was only four months ago. Tonight is no difference from our previous dates.

He stands in front of the ceiling-to-floor mirror, admiring his lean-and-chiseled looks. The body of a professional surfer; which he’s everything but.
While I am lying on the bed, stripped down from my formal dinner wear to my birthday suit. Cuddling a fluffy white pillow, half-covering my lower part, looking at his arse.

“Hhmm ...,” is my only response, before trying to change the subject by asking, “Don’t you think this room is too cold?”

David took me to his penthouse in City Central after having dinner at The Bistro with the Smith-Kleins. The look of this unit really fit in with his bachelor lifestyle.
The impressionist paintings, the handwoven foreign-made rugs, the personal gym-corner, his large two one-seater couches – a couple of Lazy Boys, my guess – facing this huge plasma TV. His home theatre set.
I simply could not imagine him living in a nice house in suburb with a family of his own. He just does not fit in for such picture.

What I think does not match with this whole picture of his bachelor style apartment is, surprisingly, ... his bed. It surely feels comfortable enough to lie all day and cuddle with him on it. It’s the linens that keep bothering my mind. As if he borrowed them from any expensive hotels around town. Have you ever noticed that all hotel linens are always bleached white, no matter where you go?

“No. It’s just fine with me. You know well I can’t stand heat.”

“But it’s just last weekend we went to the beach and there you were soaking yourself under the sun.”

“Well, that’s different. What else you’re gonna do on sunny beaches?”

“Hhmm ...,” is the only voice comes out of my mouth.

“You haven’t answered my question, dear. Do you like it? Do you like my cock?”
His left hand touching his lower part.

“Oh, yes,” I whispered in such a low voice, yet adding some adjectives to please him. “It’s so straight and beautiful and pink and warm in my hand.”

“You want it, don’t you? You know it can give you pleasure, don’t you think?”
He walks closer to bed. I almost feel like he intentionally wants to shove his cock in front of my face. So I raise my head, now supporting it on my left hand. My head tilt a bit lower and I smile.

I want to shake him out of his consciousness. I want to stare him straight in the eyes and ask: Why do you always ask that question? Why do you need, constantly, of my approval? You’re a successful businessman. You have the power to move millions with a single phonecall. You are one of the most sought after bachelor in this state. Why, then, is my opinion of your penis so important that you must ask me about it twelve times in half an hour?

“Oh, yes. That’ll be fantastic.” My hands start to become busy giving him the job, something that David said I have a talent of.

What talent? Can you say jacking off someone until he comes is talent?
Ask any teenage boy. He would definitely laugh at the mere thought of it.

“You know my thick warm cock would feel so good inside you, fucking you for hours, until I cum on you,” his breath is getting harsh, which is a good sign for me. I’m hoping for speed on this one, simply so that we can be done with all the cock-talk, and I can finally rest. The dinner we had hours ago somehow drained me out of vitality. Must be because all of the political pep-talks.

He reaches and pulls me upward. He has this habit of pulling me way to close as he gets excited, so that it feels like he breathes on my face. Somehow, the way he does it, always exarcebates my irritation. “Oh you know damn well I’d fuck you for hours.”

Splendid!
I believe he surely thinks that’s the only thing I want in this world right now.

“Oh, yes. That would feel so great,” I say, starting to calculate how long will it take for me to get up, get dress, take the elevator down to the lobby, and ask the concierge to get me a cab and leave, once this is all said and done. But it’s Friday night. It should take him longer to hail a cab for me. The concierge, not David.

“Slow down, darl. I don’t wanna come yet …”

Damn!
“Oh, no. I don’t want you to come yet, either. Your cock feels so good …”

The hands of the clock on his bedside table show it’s almost midnight. How time flies!

David and I have seen each other for about four months or so now. And each time what he did overwhelmed me. We go out to dinner at least once a week at some fancy restaurants and then up to his plush penthouse. Even though I’m not into him physically, the conversations and experiences are enjoyable enough that overall I’m glad to be in his company.
It’s a pretty interesting, consistent, house-free free gig. Besides, David seems pretty serious about “taking care of my future”, whatever that means to him.
But on the contrary, I am not greedy enough to accept such a thing, even if I could. However, when he keeps looking deeply into my eyes, telling me how smart and talented I am, I realize that I’m falling into the pattern of seeing him as a walking ATM rather than a person. And how I hate that.
Deep down, I know that at least part of my irritation with him is really irritation with the person I’m becoming when I’m around him.

Almost an hour later.
I stand at the window looking down at the scenery. The city lights always impress me, who spent earlier childhood at backwater area. Noting how different the City looks from way up here, as if I’m in a different city. This place of skyscrapers, grouping into close proximities, almost like competing to dominate each other. Or like the pecking order I often saw back then in grandma’s farm.

This City of orderly lined skyscrapers of endless white linens. The one I learn to love. Which is a hard task.
It’s David’s city, and of people not unlike him, a city of the kind of money that I can’t even imagine that they throw around like that they throw around like Monopoly’s money.
Looking down at their City, and feel like a complete crap that is trying to climb the social ladder. Or mountaineering, as once I and David heard of being in use in that period movie, when an old English lady referred to Becky Sharp.

David gets a bit fussy when I gather my things and starting to leave. But I really need to get out of here.
The last time we had a quarrel about me refusing to stay over, I ended up spending the next two following nights at his place. Which turned out ugly, as I barely sleep when he’s around. And when I’m staying at his place, he simply refuses to leave the unit, choosing to work from home.
That was a mistake. For me.
It made me feel trapped in a golden cage. And now when he expects me to do it again, I back out, giving him hundreds of excuses.
Staying over is not something I plan on repeating often.

After one single moment of fussiness though, David walks me to the elevator door. He kisses my cheek, whispers, “You know I’m going to Paris this weekend. But I’m going nuts thinking that I might leave you behind.”

“Don’t worry,” I say, forcing a wide smile. “I can wait.”
The elevator entrance tinged open, I stepped in.

“See you soon, darling.”

Monday, January 5, 2009

Gajah dan Semut (atau: Perhatikan Bajumu Biar Tak Malu !)


Ada yang tahu acara televisi bernama “John Pantau”?

Ini adalah semacam satu program berita ringan yang rutin dipancarluaskan oleh stasiun Trans TV setiap hari Sabtu dan Minggu petang.
Boleh dikatakan, acara ini punya cukup banyak penggemar setia, dan mendapatkan dukungan dari begitu banyak pemirsanya di seluruh kawasan Nusantara.
Setidaknya, itulah yang terekam dari berbagai komentar positif yang terpajang di profile Facebook dan Multiply-nya.
Berdasarkan catatan pada tanggal penulisan artikel ini, 5 Januari 2008, Situs Pantau di Multiply merekam 222 komentar dan 1.539 teman di Facebook.

Konsep acara “John Pantau” sendiri sih, seperti yang dideskripsikan secara singkat dan lugas dalam kolom Info di profile Facebook-nya, menyebut bahwa John Pantau memiliki pandangan politik “memantau penyimpangan dan pelanggaran masyarakat” serta meyakini “jaga perilaku biar ga malu” sebagai agamanya. Aktivitas si John ini adalah “memantau pelanggaran masyrakat Indonesia” (typo sengaja mengikuti apa yang tercantum dalam profile), dan ketika tiba saatnya untuk menjelaskan secara singkat siapa itu John Pantau, inilah yang tercantum:

“John yang suka iseng memantau penyimpangan dan pelanggaran di masyarakat. Ingat-ingat kalau mau melanggar ya, jangan ambil resiko... melanggar aturan bisa bikin bahaya untuk diri sendiri dan orang lain... belum lagi malunya kalau kepergok sama John.. Makanya... Jaga perilaku biar nggak malu !!”
(di-copy persis sama seperti yang tertulis di dalam profile John Pantau, pertanggal 5 Januari 2009)

Dalam episodenya kemarin, sebagaimana biasanya, John dengan gaya hiperaktifnya yang bagai ulat keked (ini bukan celaan) menangkap basah anggota-anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran lalu-lintas, mulai dari remaja-remaja dan ibu-ibu pengajian yang menyeberang jalan di tempat yang jelas-jelas memajang rambu Dilarang Menyeberang, hingga mengulik-ulik informasi dari seorang bapak pengelola parkir motor tidak resmi – tapi anehnya mengantongi surat izin resmi (?) dari pemerintah kota Jakarta Selatan (surat tersebut di-laminating dan diperlihatkan kepada pemirsa) – di area seputar ITC Kuningan persis di bawah rambu Dilarang Parkir sebelum mencapai mall tersebut.

Sama seperti mayoritas pemirsa “John Pantau”, aku pun menonton acara ini karena ingin melihat bagaimana reaksi orang-orang yang ‘tertangkap basah’ melakukan pelanggaran tersebut. Syukur-syukur kalau ada bumbu drama berupa ‘keramaian’ (now that’s what I call “guilty pleasures”), seperti episode nge-gap seorang perokok di sebuah stasiun kereta api (tindakan melanggar Perda DKI Jakarta no. 75 Tahun 2005), yang aku lupa tayang tanggal berapa.

Tapi sebenarnya ada satu kelucuan yang terasa ironis pada karakter John Pantau ini. Mengingat betapa dirinya asyik-asyik memantau penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan anggota masyarakat, ternyata bung John ini sendiri melakukan penyimpangan dan pelanggaran yang serius ... dalam bidang fashion. Ayo kita ulik bersama, dimulai dengan memperhatikan foto-foto yang menyertai artikel ini. Lihatlah ‘seragam wajib’ si John: topi fedora, kemeja, jins (*ketat*, euw!), dilengkapi ikat pinggang dan suspender.



Apakah outfit John Pantau terlihat fashionable di mata Anda?
Jika jawaban Anda adalah “Ya”, justru di situlah ‘masalah’-nya.

Bagi mereka yang mengerti Men’s Fashion 101 – atau pengetahuan dasar tentang mode bagi pria, pasti akan tahu bahwa mengenakan ikat pinggang DAN suspender SEKALIGUS merupakan penyimpangan dalam gaya berpakaian yang baik dan benar dan seharusnya, serta merupakan pelanggaran serius terhadap aturan-aturan dasar fashion. Kedua item fashion itu tidak boleh digabungkan penggunaannya: hanya bisa memilih salah satu saja untuk dipergunakan dalam satu kesempatan. Memakai ikat pinggang dan suspender sekaligus sama salahnya dengan jalan-jalan bersama istri dan selingkuhan pada saat yang bersamaan: pebuatan dosa yang tidak dapat dijustifikasikan dengan alasan apapun.

Jadi, saranku untuk John Pantau, produser dan pihak-pihak yang bertanggung-jawab dalam produksi acara ini, sebaiknya benahi dulu karakter (baca: outfit) John Pantau sebelum dia dengan cengiran lebar khasnya itu memergoki anggota-anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran. Meskipun tentu saja, memang lebih mudah dan lebih enak sih menunjukkan kesalahan orang lain daripada melihat kekeliruan di diri kita sendiri.
Sama seperti kata pepatah, “Gajah di pelupuk mata tak tampak, Semut di seberang lautan kelihatan”.




Friday, January 2, 2009

Beli-beli & Baca-baca



Lebih dari satu dekade lalu, seorang Menteri Pendidikan di era Orde Baru pernah menolak mentah-mentah permintaan dari banyak penerbit, agar pajak atas kertas diturunkan atau kalau perlu dihapuskan saja, sehingga tidak memberatkan para penerbit dan bisnis percetakan.
Diharapkan, dengan diturunkannya pajak kertas, akan berdampak pada kebangkitan kembali bisnis perbukuan (dan majalah serta perkoranan, pokoknya media cetak lah) yang telah lama lesu akibat harga kertas yang tinggi. Dengan berkurang/dihapuskannya pajak kertas, otomatis akan berpengaruh pada turunnya harga buku-buku (bermutu) dan berbagai media cetak lainnya, sehingga akan memudahkan pencapaian tujuan untuk meningkatkan minat baca bangsa ini, yang tentunya berimplikasi pada upaya-upaya mencerdaskan bangsa. Langkah ini sesuai dengan amanat yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Masih kuingat kala itu, sempat aku kaget saat membaca respon Bapak Menteri yang terhormat atas pertanyaan wartawan terkait permintaan penurunan pajak kertas. Beliau malah menganalogikan buku dengan kaset (jaman itu CD lagu masih mahal banget, dan lagu-lagu format .mp3 masih berupa mimpi masa depan yang bahkan banyak orang tak bisa membayangkan), bahwa orang-orang yang suka musik dan menggemari artis tertentu, semahal apapun albumnya tetap akan dibeli. Jadi dengan pe-de-nya si Bapak Menteri meminta orang-orang maklum dan nrimo saja harga kertas (dan buku serta majalah) yang tinggi itu.
Perhaps, in other words, secara ekstrem ini sama saja dengan mengatakan kepada orang banyak, “Jangan bawel deh elo-elo semua, beli aja kalo emang pengen baca buku! Kalo emang ga sanggup beli, ya jangan berisik!” (minta ditonjok nih kayanya).

Melompat kita ke masa kini, sekitar belasan tahun berlalu sejak Bapak itu tidak lagi menjadi seorang Menteri Kabinet Pembangunan. Aku sudah tidak mengikuti lagi kabar soal pajak-pajakan, jadi tidak tau persis apakah harga kertas sudah benar-benar turun signifikan atau tidak.
Yang jelas, belakangan ini, setidaknya berdasarkan pengamatan sudut pandang seorang awam, dunia penerbitan dan perbukuan di negeriku ini sudah mengalami peningkatan positif. Semakin banyak orang yang gemar membaca, meskipun tentu saja, kondisinya masih bisa lebih baik lagi daripada yang sekarang.
Ada banyak buku, baik yang isinya serius maupun tidak, yang mengalami cetak ulang hingga puluhan kali dan terjual ratusan ribu bahkan jutaan kopi, dan bahkan begitu populernya sampai-sampai diangkat ke layar lebar, dan mencetak rekor fantastis untuk jumlah penonton film nasional (semua pasti tahu, film “Ayat-Ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi” yang sukses bikin Bapak Presiden SBY dan Wapres JK menangis).
Yang lebih menggembirakan lagi, aktivitas membaca buku bermutu mulai mendapatkan porsi yang relatif lebih besar di media televisi, seperti yang bisa kita lihat dalam program Kick Andy di Metro TV.

Tapi sebenarnya, betul sudah semakin baikkah tingkat minat baca bangsa kita? Bagi mereka yang hadir di Pesta Diskon Gramedia untuk menandai pembukaan Toko Buku Gramedia terbesar di Indonesia, yang berlokasi di West Mall Grand Indonesia, jawabannya sudah pasti: YA.
Sebagai gambaran, dapat kuceritakan apa yang kualami sendiri pada saat aku mencoba mencari Kamus Indonesia-Inggris kondang karya John Echols dan Hassan Shadilly, pada hari Sabtu tanggal 20 Desember.
Suasana hari itu sudah seperti lautan manusia yang nyaris chaos! Bisa jadi dalam satu kurun waktu tertentu saat itu, ada ratusan orang berjubel di kedua lantai toko tersebut. Semua berdesak-desakan, bolak-balik aku harus menyenggol dan menyikut orang lain saat melewati tumpukan ataupun rak buku tertentu. Belum lagi anak-anak kecil yang kehilangan orang-tuanya, maupun ibu-ibu yang berteriak-teriak memanggil-manggil nama anaknya yang hilang dari pandangan (tertutup padatnya manusia). Dan penyejuk ruangan di Grand Indonesia yang biasanya dingin menggigit, saat itu sama sekali tidak terasa saking berjubelnya pengunjung. Hanya setengah jam lebih sedikit aku menghabiskan waktu di dalam toko, tapi ketika keluar, sudah dalam kondisi lecek seperti habis keluar-masuk pasar tradisional. Tentu saja, minus lumpur dan becek dan bau amis ikan dan daging.
Menurut dugaan kasarku saja, setidaknya dalam satu hari ketika aku berkunjung itu saja, transaksi pembelian yang dicatatkan Gramedia Grand Indonesia mencapai ratusan juta rupiah. Dan ini adalah angka perkiraan yang pesimistis.
Jadi ternyata, bukan hanya tingkat minat baca orang-orang Indonesia saja yang meningkat, melainkan juga daya belinya, khususnya untuk memenuhi kebutuhan non-primer. Ini sungguh merupakan sebuah kabar baik bagi semua pihak, bukan?




Thursday, January 1, 2009

Tantangan Itu Bernama : "Resolusi 2009"



Sudah jamak memang apabila menjelang setiap tutup tahun, orang-orang di seluruh dunia beramai-ramai membuat resolusi yang ditekadkan untuk dilaksanakan pada tahun berikutnya. Entah kemudian resolusi itu sungguh-sungguh dikerjakan sepanjang tahun, atau hanya sekedar mimpi utopis untuk menyenang-nyenangkan hati si pembuatnya, yang kemudian menguap entah ke mana bahkan sebelum tanggal 31 Januari – atau lebih parah lagi, bahkan sebelum dampak hangover akibat pesta mabuk-mabukan saat New Year’s Eve hilang – sehingga tak bisa terlaksana hingga tiba di penghujung tahun yang berjalan dan tiba lagi saatnya untuk membuat resolusi yang lebih baru lagi.

Setidaknya, kondisi semacam yang dijelaskan terakhir itu kualami berkali-kali, sehingga bisalah dengan fasih aku bertutur seperti di atas. Niatnya mengurangi berat badan yang sudah melebihi standar normal, tapi apa daya angka timbangan tidak pernah bergerak turun barang sekilo dua kilo. Tekadnya akan lebih ramah dan tidak negative thinking pada sesiapapun, tapi ternyata masih saja gemar menyilet perasaan orang lain dengan ketajaman lidah dalam bertutur-kata yang tetap bisa memberikan kenikmatan khas pada hati ini. Rencananya akan lebih banyak beramal dan berbuat baik tanpa pamrih, apa daya saat kesempatan itu tiba, keengganan untuk mau repot ditambah rasa malas yang luar biasa mengalahkan segalanya.

Tapi namanya manusia ya, sudah tabiat alamiahnya untuk tidak pernah merasa puas. Kali ini pun, aku tetap mencoba membuat resolusi untuk menyambut tibanya tahun 2009. Setelah sempat dilanda kebimbangan dan dihantam gelombang keraguan – soalnya niatnya kali ini serius ingin dilaksanakan, maklumlah sudah semakin tua artinya sudah saatnya untuk semakin bisa mengatur dan mengendalikan diri sendiri – akhirnya kuputuskanlah bahwa pada tahun 2009 ini, aku akan mencoba untuk ”hidup lebih sederhana dan bersahaja”, serta lebih ”down-to-earth dan humble dalam bersikap dan bertutur kata” (meskipun yang terakhir ini merupakan pengulangan resolusi beberapa waktu silam, tapi karena yang tempo hari gagal ya dicoba lagi tahun ini).

Bagi mereka yang mengenaliku secara personal dan tahu persis kepribadianku, bisa jadi akan tersenyum-senyum belaka saat membaca resolusi keduaku, yaitu untuk menjadi lebih “down-to-earth and humble” itu. Because I am everything but that. Seringkali kesan pertama yang muncul tentang diriku saat kenal dengan orang baru dan masuk dalam lingkungan baru, adalah bahwa aku itu sombong dan belagu. Dan biasanya sih, aku tak pernah menegasikannya. Tidak pernah mau bersusah-payah untuk mencoba. Biar saja orang berkata apa, why should I give a damn?
Sebenarnya ini kurang-lebihnya adalah karena mengikuti falsafah seorang teman dekat, (yang di sini kusebut saja sebagai Bugs Bunny), yang dengan sejuta kepedeannya pernah beberapa kali mengatakan bahwa dalam hidup ini kita tak akan pernah bisa membuat semua orang senang dan menyukai kita. Jadi terimalah dirimu apa adanya. (Tidak persis seperti itu sih ucapan dan makna yang dia sampaikan, tapi kurang-lebihnya sudah mirip lah).

Nah, pertanyaan berikutnya adalah, mengapa aku sampai memutuskan untuk ”hidup lebih sederhana dan bersahaja” menjadi resolusi utamaku di tahun 2009 ini?
Alasannya sebenarnya sederhana. Percaya atau tidak, dampak krisis keuangan global ini terasa sampai ke dompetku juga.
Berhubung klien-klien kantorku mayoritas adalah lembaga keungan dan badan usaha lainnya yang memang berakar serta memiliki markas besar di luar negeri, tak urung pengaruh krisis tersebut pasti terasa hingga perusahaan-perusahaan subsidiary –nya di Indonesia. Hingga saat ini kabarnya masih terus saja terjadi banyak pemotongan anggaran dan penundaan berbagai proyek. Itu artinya, pekerjaan untuk kantorku berkurang secara sangat signifikan, padahal kebutuhan hidup mendasar sebagai seorang lajang metropolitan yang harus tetap bisa tercukupi tidak ikut-ikutan berkurang.

Sebenarnya, kata kuncinya di sini adalah ’cukup’.
Masih bisa kuingat dengan jelas dulu pada masa-masa awal mulai bekerja, dengan gaji a la kadarnya untuk standar ibukota, ternyata masih bisa dicukup-cukupkan untuk menutupi semua ongkos. Indekosnya sengaja dipilih di kamar yang sangat seadanya, makannya pun cukup di warung saja.
Seiring perjalanan waktu dan hidup semakin kekinian, bertambahnya nilai nominal gaji ternyata malah membuat pengeluaran ikut-ikutan meningkat. Begitu terus sampai sekarang, ketika kemana-mana maunya (minimal) naik taksi dan tiap hari makan di mall berpenyejuk udara. Disesuaikan dengan kebutuhan dan selaras dengan kemampuan.
Implikasinya, gaji sekarang dengan nominal sekian, tetap terasa ’cukup-cukup saja’. Suatu hal yang seharusnya patut disyukuri, karena toh kondisinya sampai sekarang hidupku masih bebas dari hutang.
Kecuali, mungkin, hutang balas budi pada kedua orang-tuaku yang sudah membiayai semuanya sampai aku bisa seperti ini sekarang. Meskipun tidak sampai sukses luar-biasa dan tersohor kemana-mana, tetapi juga tidak malu-maluin seperti beberapa anak kerabat lainnya (obviously, I won’t give names).
Bisa dikatakan, hidupku saat ini serba berkecukupan lah. Sekali lagi, ini merupakan satu hal yang sungguh sangat patut disyukuri.

Kembali ke perihal resolusi utama tahun 2009 untuk bisa ”hidup lebih sederhana dan bersahaja”, sebenarnya masih ada satu hal yang masih agak mengganjal di dalam pikiran.
Aku punya target personal untuk bisa (jauh) lebih hemat lagi, agar di tahun 2009 ini dapat memenuhi salah satu impian pribadiku, yaitu untuk membeli Macbook hitam seperti yang dipergunakan oleh Sidney Young ketika ia menulis artikel tentang Vincent Lepak.
That thing definitely looks smart, tech-savvy, classy and elegant at the same time.

Tapi, ...
Apakah target personal ini masih sesuai dengan prinsip “hidup sederhana dan bersahaja”, sebagaimana resolusi 2009 –ku?
Terus satu lagi, dan ini merupakan pertanyaan paling penting, duitnya dari mana ya?
Bingung nih.