Friday, January 23, 2009

"Maaf, Pak. Ada kartu lain?"



Ini adalah kejadian memalukan pertama, dan mudah-mudahan juga menjadi yang terakhir, yang kualami kemarin ketika mencoba berbelanja dengan menggunakan kartu debit “yang itu” (tidak menyebutkan nama bank yang mengeluarkan, karena rasanya tidak perlu dan memang kurang relevan dengan cerita yang ini).

Jadi ceritanya, kartu debit “yang itu” sebenarnya mengandalkan isi rekening tempat gajiku ditransfer setiap bulannya. Dan lazimnya yang kulakukan pada akhir bulan adalah, begitu gaji bulan berjalan ditransfer, isinya langsung didistribusikan lagi ke rekening bank milikku yang lain.

The problem is, sejak awal bulan ini aku sudah agak-agak mulai menyadari, sepertinya terjadi kesalahan pendistribusian gaji dan bonus bulan Desember 2008 lalu. Meskipun kesadaran ini datangnya relatif terlambat. Ada beberapa pos pengeluaran ekstra yang tidak kuperhitungkan sebelum mendistribusikan ke rekening yang lain. Akhirnya bisalah dikatakan, saldo yang disisakan di dalam rekening “yang itu” kurang memadai untuk men-support kehidupan bujangan metropolis pencinta mall ini.

Sebenarnya, kalau mengingat resolusi awal tahun ini untuk hidup lebih sederhana lagi, well, masih bisa aja sih survive dengan duit sekedarnya, mengikuti jumlah yang tersisa di dalam rekening. Namun seperti kata pepatah, manusia boleh berencana, tapi yang menentukan sih, lain lagi pihaknya. Inilah penuturan tentang pencobaan itu, yang menghantamku dengan keras kemarin banget, ketika lagi iseng-iseng selesai kerja malah kelayapan di Ritz Carlton Pacific Place.

Saat itu, sambil menunggu si Dia datang buat penuhi janji dinner bareng, aku memilih untuk keluyuran di aksara bookstore. Sebenarnya sih saat masuk ke dalam toko itu, tak ada niat sedikit pun buat beli buku apapun, sekali lagi, karena ingat pada isi dompet yang sangat terbatas.

Akan tetapi memang namanya nasib sering berkata lain, ya. Saking kelamaannya menunggu si Dia tiba di mall extra mahal ini, aku mulai melangkah ke rak-rak literature dan fiksi. Saat itulah aku dikejutkan ketika melihat label merah kecil menempel di cover belakang begitu banyak novel popular, maupun yang menang atau sekedar dinominasikan buat penghargaan literature bergengsi. Dan yang membuatku terkaget-kaget itu adalah, angka yang tertera di label merah kecil itu : 50.000. Hah?!?!

Dengan perasaan skeptis dan tak percaya, kutanyakan pada salah satu penjaga toko buku yang sedang asyik memindah-mindahkan setumpuk buku hard cover dari meja pajangan (pasti berat, siah!), apakah memang benar label harga merah itu bukan sebuah kekeliruan?

Dan coba tebak, si penjaga toko itu bilang bahwa harganya memang betul diturunkan jadi cuma 50.000 saja !! Mendapatkan jawaban afirmatif ini, langsung dengan penuh kesigapan, semua buku yang memang tampak menarik kutarik dari raknya untuk sekedar mengecek label harganya.

Saat aku mulai dijangkiti euphoria setelah menemukan banyak buku menarik seharga masing-masing hanya 50.000, tiba-tiba saja si Dia menepuk pundakku dari belakang. Quite a perfect timing, secara kalau tidak, bisa jadi akan ada setumpuk novel berbagai ukuran memenuhi pelukanku saat itu. Jadi teringat waktu QB World Bookstore closing sale, langsung saja membuatku mendadak kalap! Yaiyalah, secara semua buku didiskon 70%. Yabiiessh ... !!

Anyway, berkat petunjuk dan arahan dari si Dia (agar tidak boros dan malah membeli buku lebih banyak daripada yang bisa aku baca – ini hal yang sudah lazim banget terjadi padaku, a true bibliophiliae), akhirnya kuputuskan untuk memilih judul-judul berikut : “The Virgin Suicides”, “Ghost World”, “The Mysteries of Pittsburgh”, “Everything is Illuminated”, “Darkmans”, “Memories of My Melancholy Whores”, dan “My Mistress’s Sparrow is Dead”. Khusus untuk judul terakhir, berhubung cetakan hardcover jadi harganya lebih mahal daripada yang enam judul lainnya (IDR 100.000), tapi itu pun sebenarnya masih relatif murah dibandingkan harga aselinya (± IDR 275.000).

Lantas dengan penuh percaya diri aku berjalan menuju kasir dan menyerahkan setumpuk tebal buku-buku pilihanku tersebut berikut kartu debit “yang itu”. Sambil menunggu proses pembayaran, aku ngobrol dengan Dia. Saat tengah asyik berbincang-bincang, lelaki yang bertugas di kasir menyela percakapan kami dengan suara agak pelan dan terdengar sedikit ragu, “Maaf, Pak. Kartunya ada yang lain, ga? Yang ini di reject, katanya insufficient fund.”

Dan langit mendadak terasa runtuh menimpa kepalaku. Apaaaa … ?!?!?!

Saldo di rekening “yang itu” tidak mencukupi untuk belanja buku senilai IDR 400 ribu ?!?! Hastaga, malu banget rasanya. Apalagi kejadiannya di depan pacar sendiri. Si Dia sih dengan sigap langsung mengeluarkan dompet dan mencoba mengangsurkan salah satu kartu kredit gold-nya untuk melunasi pembayaran.

Meskipun aku tahu persis kalau si Dia tak akan pernah mempermasalahkan pembayaran yang cuma beberapa ratus ribu ini di kemudian hari, apalagi karena pengeluaran tersebut buat pacarnya sendiri. Tapi tetap dong, aku harus bisa menjaga gengsi pribadi. Apalagi kalau bukan persoalan ego dan harga diri seorang lelaki. Hehehe ... (*yang berkomentar nyinyir siap-siap ditonjok!*)

Tentu saja, sambil mengambil kembali kartu debit ”yang itu” dan mencegah si petugas menerima kartu kredit si Dia, dengan tegas kujawab, ”Oh, ga apa-apa. Bayarnya cash aja.” Dan untung bangetlah, saat itu uang tunai yang terselip di dalam dompetku yang mulai robek karena mulai uzur itu masih lebih dari mencukupi untuk melunasi transaksi semua buku tersebut (dan masih ada lebihannya untuk makan malam bareng Dia).

Setelah melunasi pembayaran, kami berdua pun melangkahkan kaki keluar dari aksara, dan aku setengah menulikan telinga dari beberapa pertanyaan bernada khawatir dari Dia terkait kondisi keuanganku sat itu.

Walk with pride, boy! Biarkan masalah hari ini menjadi masalah hari ini, dan yang besok pun demikian. Kurang lebih itulah salah satu kalimat bijak yang pernah kubaca di dalam kitab suci.

Pesan moral dari pengalaman memalukan ini adalah : ”Woy !! Ingat-ingat tuh Resolusi 2009 –mu !! Baru juga 3 minggu berlalu sejak Resolusi itu dibuat. Jangan sampai bikin malu lagi, ah !”



No comments: