Friday, February 27, 2009

Pertanyaannya: Diwariskan atau Dijual, ya?


Bagi seseorang yang baru untuk pertama kalinya melihat kondisi meja kerjaku di kantor yang sekarang, tentu akan timbul pertanyaan, “Bagaimana mungkin ada orang yang bisa kerja apapun dengan meja seperti itu ya?”
Wajar saja sih sebenarnya bisa muncul pertanyaan seperti itu. Soalnya, aku pun sebenarnya pernah menanyakan hal serupa pada diriku sendiri, “Kok bisa-bisanya ya aku kerja di meja seberantakan ini?”

Kalau misalnya meja yang dipenuhi tumpukan kertas dan berkas dokumen doang sih, itu sudah biasa. Rasanya, mayoritas meja kerja di seluruh kantor di dunia akan kurang-lebih sama kondisi dan tampilannya. Akan tetapi, karena di kantorku tidak memakai sistem kubikel untuk membatasi area personal setiap pegawainya, jadilah setiap orang dari kami mencoba menciptakan area personal sendiri sebatas ukuran meja kerjanya masing-masing.
Kalau beberapa spesies binatang tertentu menandai wilayahnya dengan urine, tentu saja kami memilih cara yang lebih beradab dengan praktek-praktek yang dapat diterima semua kebudayaan di muka bumi.
Ada yang menghiasi meja kerjanya dengan foto keluarga dan orang terkasih, ada yang cukup konvensional dengan hanya meletakkan stationeries dan beberapa aksen dekorasi pembangkit semangat (seperti hiasan meja bertulisan“Yesterday was History, Tomorrow is Mystery, and Today is Gift. That’s Why We Call It Present”).

Bagaimana dengan mejaku sendiri?
Wilayah personalku tercipta lewat tumpukan tinggi kertas, bisa berupa print-out naskah dan proposal, sampai ke majalah-majalah koleksi pribadi (yang sumbernya memang dibeli dengan uang sendiri maupun minta dibelikan, hingga yang “ditemukan” di café dan rumah makan berkelas di seantero Jakarta lantas dibawa pulang) yang dibuat menumpuk di sisi kiri dan kananku seakan membentuk benteng (jadi ingat temanku dulu sewaktu masih duduk di bangku SMP yang membentengi dirinya dengan tumpukan buku, tas dan macam-macam lainnya saat sedang ulangan karena takut dicontek, yang ga penting juga secara waktu itu aku lebih pintar darinya, ha!ha!); serta sederet souvenir dari klien dan teman-teman dekat yang dijejer dengan sepantasnya di atas meja (such challenge, karena mejaku sudah terlanjur penuh oleh buku dan majalah dan berkas dokumen). Oh ya, dan ada satu botol Absolut Vodka sisa perayaan tahun baru 2008 yang masih berisi vodka asli 1/8-nya.
Selain botol Vodka yang nyasar di meja kerjaku, kalau sekali tebar pandangan, sebenarnya bisa ditemukan benda-benda lain yang tampaknya out of place. Obviously, bukan karena aku tidak sengaja meninggalkan grooming kit di atas meja, meskipun pernah kejadian selama beberapa waktu akibat kesibukan pekerjaan yang memaksaku menginap di kantor dan tidur di atas sofa yang lapisan kulit imitasinya sudah mulai berubah warna (euw!), tapi adalah beberapa bentuk benda plastik aneka bentuk yang semuanya berfungsi sebagai wadah. Mulai dari semacam stoples berbagai ukuran, hingga ceret plastik! Bayangkan saja, ukuran tiap wadah yang tidak sama jelas membuat penuh meja, karena harus pandai-pandai mengaturnya.
Kalau kamu bertanya kenapa sampai ada wadah-wadah tersebut di atas meja kerjaku, well, jawabannya adalah karena ini semua merupakan hadiah dari salah satu klien pendistribusi produk-produk rumah-tangga (baca: Tupperware), yang tidak muat disimpan di laci meja dan tak sudi kuletakkan di pantry kantor ini. Lantas kalau ditanya kenapa tidak dibawa pulang saja, well, itu karena di kamarku sendiri sudah ada banyak produk Tupperware lainnya dan sampai kini aku masih merasa belum membutuhkan ekstra wadah apapun (padahal aku sudah sempat memberikan beberapa canister kepada sanak saudara dan handai taulan karena tidak ingin melihat barang-barang plastik itu menumpuk di sekitarku). Biar tidak tampak terlalu memenuhi meja, akhirnya dengan kreatif dan ‘cerdik’-nya, satu-dua barang kuletakkan di kolong meja meski implikasinya adalah agak sedikit menghambat gerak kakiku.

Kalau sudah begini, aku jadi heran dan bertanya-tanya sendiri, koq bisa ya ada orang-orang yang sepertinya begitu menggila-gilai aneka rupa produk Tupperware itu, dan bahkan sampai mengoleksinya? (Jadi teringat cerita bosku tentang mertuanya)
Seberapa banyak canister, tumbler dan teko plastik sih yang dibutuhkan oleh seseorang sepanjang hidupnya? Karena rasa-rasanya, hanya dengan mengumpulkan gift dari klien ini saja, aku sudah punya stok aneka wadah plastik yang cukup hingga akhir hayat. Bahkan mungkin saja, agak lebih daripada umurku sendiri, karena sifat plastik yang nyaris tidak bisa didaur ulang secara alami, sehingga kalau bentuknya tidak rusak karena mengalami kecelakaan, rasanya canister berukuran dua liter ini kelak bisa kuwariskan kepada anak cucu.

Atau, ... Kalau aku tawarkan untuk dijual kepada siapapun (through e-Bay, perhaps?), kira-kira ada yang berminat tidak ya?

Tuesday, February 24, 2009

Simply Because


Why don't you come here to meet me
and read me some good stories to sleep
Why don't you come here and set me free
so I won't ever again spend time to weep

We both know that this is the time of the season
For I have one very good reason
From now on no one's gonna make me hide
and no, I won't stay inside

Simply because
I have been staying here too long

Monday, February 23, 2009

Learning from Jay Gatsby


It can be said that I was particularly clueless about the plot of F. Scott Fitzgerald's “The Great Gatsby” when I first started reading it a couple of months back. All I ever knew was that this novel always made it to the shortlist of “great American novels of the 20th century”, or "100 best novels of all time”. I also heard from someone or read from somewhere that this novel had perfectly portrayed the lifestyle of the wealthy and famous, the socialites and crème de la crème which formed New York’s upper class in the 1920s. Those two reasons alone were the main reason that aroused my curiosity to this novel.

Little that I knew that its story would end in such a very dramatic way. That was why I felt some kind of sad, awe and shocked by its very tragic ending.

It also made me ask myself for a thousandth time the ever so old yet still mind-bugging question, “If you really love someone so deep, how long will you wait for her (or him) to love you back with the same intensity?”

Jay Gatsby waited persistently for nearly five years to be able to meet his one true love, Daisy Buchanan, once again.

How long will I patiently wait to be able to meet the love of my life, for the very first time?

Friday, February 20, 2009

A city, for us.


I'm looking over from the wide window of
the forty-fourth floor to the vast landscape

It's the skyline of the city that
never stops breathing

Where little miracles happen to everyone
not only to the faithful and devout believers

The city that shines bright with neon lights
and produce strange loud noises from deep inside its lungs

A city that breathes in breathes out
signaling the fragility of lives

How happiness lives just next door to sorrow
and how death lurks in from every corner

Because we all need a place where we can go
where we feel safe and love and provide us shelter

A city for each and everyone of us.


Tuesday, February 3, 2009

dengan sederhana


aku ingin bisa mencintaimu seutuhnya dengan caraku yang begitu sederhana
ingin kubisa membuatmu tertawa menangis berteriak bercinta dalam satu nafas kita yang sama
sehingga ketika jemariku bertaut kau berada dalam sentuhannya
dan ketika kupejamkan kelopak mata aku melihat sosokmu seutuhnya
dan ketika aku berbicara ada kehangatan jiwamu memancar lewat setiap suku kata
karena aku sungguh ingin bisa mencintaimu seutuhnya dengan caraku yang amat sederhana



- sedikit banyak diinspirasikan oleh salah satu puisi Sapardi Djoko Damono