Monday, July 27, 2009

Ada Apa Dengan "Anda" ?


Salah satu aspek paling menarik terkait profesi resmiku, adalah tantangan secara simultan terhadap keluasan wawasan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. Memang ada sih beberapa tugas penulisan naskah yang terasa datar dan membosankan karena sudah ada pakemnya dan tidak boleh melenceng sedikitpun dari jalur tersebut, tapi banyak juga yang tidak.

Misalnya pernah ada kejadian dalam satu minggu, aku harus memahami setidaknya tiga hal: latar-belakang munculnya fortune cookies dalam dunia kuliner, segmen kisah ”Hanoman Obong” dalam cerita pewayangan Ramayana, dan perkembangan terkini pasar modal di Indonesia. Dijamin pusing, karena sekian banyak informasi harus bisa ditanam dalam memori otak ditambah lagi dengan keharusan meluangkan waktu untuk survey kilat serta membaca, mengakibatkan waktu tidurku berkurang. Meskipun kalau diingat-ingat sekarang, ada manfaatnya juga perluasan wawasan tersebut; misalnya jadi tidak ada lagi rasa penasaran terhadap fortune cookies yang dijual seharga Rp. 2.500,- / buah di rumah makan favorit teman-temanku di Oakwood Plaza.

Namun peristiwa minggu lalu yang kembali membangkitkan rasa penasaranku adalah ketika ternyata ada pihak-pihak yang tidak menyukai penggunaan kata ganti orang kedua, ”Anda”.
Entah karena alasan apa, klien ini yang adalah salah satu group usaha terbesar di negera kita (Presiden Direkturnya tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia), begitu mengharamkan penggunaan kata ”Anda”. Itulah sebabnya, bukan hanya naskah buatanku yang diubek-ubek diberi catatan revisi sampai titik komanya, tapi tulisan yang tercantum dalam kupon seating arrangement pun dikeluhkan sehingga terpaksalah ratusan kupon itu diganti seluruhnya!
Kejadian yang kurang lebih serupa pernah kualami dua tahun lalu, saat itu sedang bekerjasama dengan dengan sebuah anak perusahaan group besar dan ternama. Bagian Corporate Communication perusahaan tersebut meminta penggantian semua kata ”Anda” menjadi ”Bapak-bapak dan Ibu-ibu”, tanpa merinci alasannya secara spesifik.
Untung saja naskahku ditulis dengan menggunakan program Microsoft Word, sehingga tidak susah dan makan waktu untuk mengeditnya. Yang lebih kasihan, adalah teman-temanku bagian Creative Design yang terpaksa mengganti semua kata ”Anda” yang sudah terlanjur dicetak di atas kupon yang jumlahnya ratusan itu secara manual; lalu mencetaknya ulang.

Memangnya ada apa sih dengan kata ganti “Anda” dan maknanya, yang barangkali belum kuketahui? Apakah nilai dan makna kata tersebut sudah tereduksi sedemikian rupa sehingga menjadi tidak pantas lagi untuk dipergunakan dalam berbahasa di media-media maupun forum-forum resmi? Bingung nih!





Betul sekali !
Artikel ini memang tidak memiliki hubungan apapun dengan ilustrasinya.


Wednesday, July 22, 2009

Not Your Typical Woman


Call me anything, from shallow to overpessimistic, but I failed to grasp what’s there to love and fascinate over Poppy (played by Sally Hawkins) and her quirkiness in Mike Leigh’s Happy Go Lucky.

Yes, I did noticed some of her traits in others that I’m (or was) closed with, which in different situation they might make me laughing all over, but in most times I saw Poppy’s character as aggravative and obnoxious as Sarah Lewis in Forces of Nature.

That’s why it took me over five weeks to finish watching this (not so funny comedy) from DVD.

Now I wonder why I love Amélie Poulain more?

Tuesday, July 21, 2009

Di Akhir Usia


Seorang teman memberikan link Catatan Pinggir-nya Bapak Goenawan Mohammad minggu ini, yang mengulas aksi teror peledakan bom di Hotel J.W. Marriott dan Ritz Carlton, Jakarta.

Dari sekilas membaca cepat artikel tersebut, pikiranku justru dibawa melayang pada sebuah adegan klimaks anime Metropolis karya sutradara kondang, Osamu Tezuka. Dalam film tersebut, digambarkan jelas ketika sebuah ledakan mahadahsyat meluluhlantakkan sebagian Metropolis, tak ada efek suara menggelegar memekakkan telinga layaknya yang lazim didengar oleh para penonton sebagaimana biasanya dalam film-film action khas Hollywood.

Sebagai gantinya, visual pengadeganan ledakan tersebut diiringi sebuah tembang lawas lembut memanja gendang telinga, suara mendiang Ray Charles menyanyikan I Can’t Stop Loving You. Anehnya, dampak yang ditimbulkan justru jauh lebih memukau dan menghanyutkan perasaan, jauh lebih efektif dalam menciptakan rasa haru-biru.

Karena barangkali ketika kematian tidak bisa lagi dielakkan, yang memang ingin benak kita ingat menjelang waktu di dunia berakhir, adalah kenangan-kenangan indah tentang tawa, cinta dan bahagia yang pernah kita rasa.

Atau barangkali aku saja yang kebetulan sedang terbawa suasana dan jadi sentimentil? Entahlah.

Friday, July 17, 2009

United We Stand


Kami tidak takut menghadapi serangan teroris.
Indonesia Unite !

Thursday, July 16, 2009

Blocked


write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write write.

i have to start writing because deadline’s approaching but my hands & my mind won't cooperating.




*image was taken without permission from peter, bjorn and john's cover album

Wednesday, July 15, 2009

Buku ku, checked. Dua kali. Mengapa?


Sejak kejadian 9/11, sudah sewajarnya jika pengamanan di seluruh Bandar Udara, berstatus internasional maupun tidak, diperketat.

Pemeriksaan memang musti dilakukan berlapis, untuk menghindari masuknya barang-barang berbahaya dan atau tidak dikehendaki di dalam kabin pesawat terbang. Meskipun misalnya jadi terbentuk antrian di saat-saat sibuk (terutama peak season saat musim liburan sekolah), itu adalah resiko yang memang harus diambil.

Aku pun tidak akan mengeluhkannya, karena, siapapun pasti lebih memilih terbang nyaman dan aman, daripada terjadi kejutan-kejutan saat pesawat yang dinaiki sedang terbang tinggi di udara. Jadi buatku biasa saja kalau misalnya harus melewati body scanner atau metal detector sampai lebih dari satu kali.

Yang membuatku sedikit bingung adalah ketika minggu lalu, ketika hendak terbang ke Bandara Ngurah Rai, Denpasar, dari Soekarno-Hatta, ada dua orang petugas yang secara khusus meminta novel “The Mysteries of Pittsburgh” yang kutenteng. Mereka berdua, meskipun melakukannya secara terpisah, membolak-balikkan halaman demi halaman novel tersebut. Skimming and leafing through the pages.

Entah apa yang mereka cari, karena ketika kutanyakan, mereka tidak memberikan jawaban yang jelas. “Prosedur rutin, Pak,” katanya. Karena memang pada dasarnya aku malas bertanya lebih panjang kali lebar, ya sudah, kuambil kembali novel yang diangsurkan ke arahku tersebut, mengambil tas cangklong-ku dari roda berjalan mesin pemindai, dan melangkah menuju ruang tunggu.

Kira-kira ada yang bisa memberi jawaban tidak ya, mengapa buku yang dipegang ketika melewati metal detector sampai diperiksa isinya dua kali, sedangkan kalau dimasukkan ke dalam tas, tidak akan diperiksa semendetail itu? Bingung.