Tuesday, March 31, 2009

I remember, but ...


It’s been too far apart to bridge the distance
And too many principles that separate you and me
No use to pretend not knowing the difference
Because every moment we spent together just breaking me down
I still remember we swore our love will be forever, but
Did you realize it hurts us both just to stay around?

Monday, March 30, 2009

Wordless, Yet Shared

sadness and grief and pain of losing someone so dearly
deeply felt and shared through this picture

Friday, March 27, 2009

Us


Do you realize there’s no reason left for us to hide?
Because it’s been too long we’ve been waiting on the side
So I guess now is the time for us to decide
I’ll hold your hand while we walk down this long path with pride

Wednesday, March 25, 2009

Apel yang Belum Digigit ...


Seorang teman kantor belum lama ini membeli MacBook Pro baru untuk mendukung pekerjaannya yang makin bejibun. Jika sebelumnya dia sering lembur dan pulang larut malam karena harus menyelesaikan tumpukan pekerjaannya, belakangan ini dia jadi bisa pulang lebih cepat hampir setiap hari. Meskipun tetap saja, setibanya di rumah, dia akan kembali membuka MacBook tersebut dan melanjutkan pekerjaannya, dari rumah.

Suatu hari teman kantor ini muncul di kantor dan memperlihatkan sebuah video kocak. Kedua anaknya, perempuan berusia sekitar tujuh tahun dan adik lelakinya yang berusia empat tahun, ternyata menjadikan MacBook ibunya ini mainan baru mereka. Berhubung di MacBook sudah tertanam integrated webcam, maka kedua anak tersebut kemudian memanfaatkannya, yang menurut penuturan teman kantorku ini, dia sendiri tidak mengetahui kalau anak-anaknya bisa menggunakan MacBook tersebut.

Di dalam tayangan video amatir tersebut, kedua anak itu berakting seperti layaknya presenter program anak-anak yang sering mereka saksikan di televisi, tentunya dengan gaya natural mereka sendiri yang lucu dan mengocok perut dengan tawa.

Sang kakak menceritakan ulang sebuah dongeng yang berulang-kali ditimpali oleh adiknya dengan komentar-komentar polos, dan di akhir cerita, sang kakak menutupnya dengan sebuah adlib pesan sponsor layaknya presenter professional. Kurang-lebih seperti ini, “Cerita tadi dipersembahkan oleh ... (menyebutkan nama bank).” Kontan kami terbahak-bahak dibuatnya. Lucu sekali.

Tapi ternyata kelucuan tersebut masih berlanjut. Beberapa minggu kemudian, teman kantorku itu bercerita kalau anak perempuannya jadi ingin punya MacBook-nya sendiri, supaya dia bisa ikut menjelajahi dunia maya (browsing) untuk membantu menyelesaikan pekerjaan sekolahnya, dan karena dia ingin merekam video-video lainnya bersama sang adik.

Yang membuat kami semua tertawa adalah, kepolosan si anak perempuan ketika meminta MacBook baru itu kepada Ibunya. Kurang-lebih katanya, ”Bunda, kakak juga mau laptop seperti punya Bunda, biar gak perlu gantian sama Bunda kalau kakak mau pakai. Tapi kakak maunya laptop yang apelnya belum digigit.”

Ternyata, meskipun terpesona dengan kecanggihan laptop temanku ini, dia memendam rasa tidak suka pada logo Apple. Ha! Ha!


Tuesday, March 24, 2009

Kok Bisa Yaaa ... ?


Kebetulan saja lagi tinggi hasrat bergosipnya hari ini.

Kebetulan kemarin abis bangun pagi instead of mandi, aku leyeh-leyeh dulu di kasur sambil nonton TV. No particular channel or program sih yang dilihat. Just flipping through channels.

Nah, kebetulan saja pas di salah satu kanal, sedang ada gossip selebriti a.k.a. acara infotainment. Sebenarnya pas baru liat orang yang dijadikan pembahasan, sempat males ngelanjutin nontonnya. Tapi entah kenapa saat itu I stay put. Dan kabar yang kemudian kudengar, membuatku sangat terkejut (alias shocking news!).

Ternyata si selebriti mediocre (untuk tidak menyebut dirinya artis, karena ya emang menurutku ga pantes aja, sebab sepanjang pengetahuanku yang bersangkutan ga ada kemampuan art-nya sama sekali) yang sedang dikerubutin wartawan ini lagi diinterview untuk sebuah prestasinya (tumben banget). Biasanya sih, si selebriti mediocre ini kan dirubung wartawan gossip kalau ada kasus (negatif) baru yang menyeret maupun membawa-bawa namanya.
Masih pada ingat dong, sebelumnya si selebriti mediocre ini sempat ”kondang” lagi namanya di infotainment lewat skandal tersebarnya foto-foto yang bersangkutan di bawah shower sedang telanjang bul-bul bersama her sister (sempat dikomentari oleh seorang ”pakar” telematika berinisial R.S. sebagai foto aseli bukan rekayasa) sambil berpose sensual dan terbuka. Persisnya bagaimana, silahkan googling sendiri saja ya.

Ternyata untuk kali ini aku keliru sungguh.
Si selebriti ini kembali masuk radar pemberitaan infotainment, karena dia baru saja diwisuda dan resmi memegang gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Paramadina.
Tak tanggung-tanggung, skripsinya yang mengulas hubungan diplomatik Republik Indonesia dengan Timor Leste terkait kerjasama perbatasan, berhasil mengantarkan sang selebriti lulus dengan nilai akhir tiga koma empat tujuh.
Yap, betul sekali. Kamu tidak salah baca. IPK-nya benar 3.47. Artinya, nyaris mendekati limit minimal untuk lulus dengan pujian (cum laude).

Sempat aku bertanya-tanya, apakah selama ini aku terlalu memandang rendah si selebriti terkait tingkat intelektualitasnya?
Berhubung aku pernah bekerjasama dengan si selebriti ini, dan dari hasil perbincanganku dengan salah satu teman dekat yang adalah juga saudara sepupunya si selebriti, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya dia relatif kurang tanggap dalam soal keilmuan (ini adalah eufemisme). Mungkin karena dia susah atau kurang berkonsentrasi saja selama ini (sekali lagi, eufemisme). Itulah sebabnya, mendengar kabar infotainment kalau yang bersangkutan lulus nyaris cum laude, bagiku benar-benar menjadi surprise yang shocking.

Wow! Masih bisa kuingat, beberapa orang teman yang aku tahu persis otaknya berlabirin banyak alias pintar banget, sempat dibuat jungkir balik di almamater untuk bisa meraih IPK tiga koma empatpuluhan.
Aku sendiri juga sempat dibuat tidak bisa tidur demi nilai rata-rata tiga koma empat sekian itu. Dan mendengar si selebriti yang bisa meraih indeks prestasi kumulatif lebih tinggi daripada yang kudapatkan ketika lulus, rasanya hati ini dibakar rasa iri dan tak bisa menerima keampuhan otak orang lain. Huh! Kok bisa-bisanya ya dia?

Dari awalnya rasa iri, kemudian malah jadi timbul kecurigaan (namanya juga lagi niat berghibah yang kebetulan bisa diakomodir habis-habisan di sini), sebenarnya bagaimanakah standar penilaian mahasiswa di Universitas Paramadina, apabila dibandingkan dengan almamater teman-teman?
Rasanya pertanyaan ini harus kuajukan kepada seorang teman yang pernah menjadi staff pengajar di perguruan tinggi tersebut, dan kebetulan merupakan jurusan yang sama seperti yang diambil sang selebriti.

Korek-korek info dulu aaahh ...

Friday, March 20, 2009

Pizza a la Zanzibar


Lagi pengen berbagi cerita iseng di hari Jumat pagi. Berhubung sudah weekend, jadi topiknya yang ringan dan santai aja, seperti nyiur melambai di tepi pantai. Ssaaahhh ...

Kebetulan (again?) tadi sempat menonton program jalan-jalan wisata yang diproduksi oleh sebuah stasiun televisi Inggris. Sepertinya seru sekali. Ceritanya si host yang adalah seorang laki-laki yang tampaknya in his early thirties (and yes, he has English teeth) sedang berkunjung ke benua Afrika.

Diperlihatkan kepada para pemirsa, bahwa si host sedang berada di Zanzibar, dan mengunjungi sebuah pasar tradisional yang katanya khas sana. Waktu kuamati, malah yang kepikiran, kok mirip banget dengan pasar-pasar tradisional nan becek berlumpur dan bau di negara kita ya?

Sambil menatap ke kamera dan nyengir tersungging, si host mengajak para pemirsa, ”Ayo kita makan Pizza Zanzibar!”
Lalu diperlihatkan tayangan close up bagaimana cara mengolah bahan-bahan dan memasaknya menjadi Pizza Zanzibar. Lapisan semacam ’kulit’ seperti pangsit besar dikembangkan melebar lantas digoreng di alas penggorengan rata dengan minyak panas. Di atasnya, dicampur segala macam bahan dan bumbu untuk menyedapkan rasa, lalu ’kulit’ tersebut dilipat sambil terus digoreng.
Aku sempat penasaran melihat proses memasaknya, karena terlihat cukup familiar. ”Kayanya aku bisa kebayang deh bentuk jadinya,” demikian batinku saat itu.

Setelah matang, si host langsung memakan pizza yang dihidangkan di atas piring plastik murahan dengan mempergunakan tangan, tanpa sendok garpu.
”How barbaric!” demikian komentar terlontar bagi mereka yang makan dengan cara tersebut, demikian menurut cerita-cerita dari Inggris Raya era Perang Dunia II karya Enid Blyton.

Yang membuat aku tertawa terbahak-bahak, adalah melihat ekspresi ”maknyus” dan ”ajib” yang terlihat di wajah si host.
Karena ternyata, yang disebutnya Pizza Zanzibar itu ternyata sama persis dengan martabak telor di Indonesia. Ha! Ha! Ha!

Jadi teringat ’kasus’ Indomie yang jadi makanan pokok aseli Nigeria.


Monday, March 16, 2009

Darimana Datangnya Ilham?


Yang namanya ilham, bisa datang di mana saja dan kapan saja. Bagi yang kerjanya di bidang industri kreatif, pasti paham betul hal ini dan mengamininya. Oleh karena itulah, manusia yang lagi cari ilham – atau sebetulnya tidak dalam kondisi ’looking for, but who knows ...’ – haruslah selalu bersiap untuk menangkap ilham yang siapatau kebetulan melintas dan menghampiri.

Seperti baru-baru ini, lagi suntuk di satu petang pada suatu akhir pekan, dan merasa terganggu melihat celotehan tak lucu dari Komeng dan Adul di sebuah program ga penting di salah satu stasiun tivi swasta nasional, tiba-tiba aku terpikir satu hal.

Yaitu adalah, apa sebenarnya kondisi medis yang tepat untuk menganalisa dan menjelaskan keistimewaan fisik Adul? Tubuhnya kecil sepintas jadi mirip anak usia sekolah dasar, namun yang jelas umurnya sudah lebih dari batas minimal untuk memilih dalam pemilihan umum. Kalau dia memang menderita kondisi kretin, kenapa wajahnya tidak menua seperti Ucok Baba?

Terpancing rasa penasaran untuk temukan jawaban dan mengetahui kondisi medis si Adul ini, malah memunculkan ilham untuk menulis cerita seram, tentang seseorang yang tubuhnya tak pernah dewasa. Tentu saja bukan tentang seseorang yang darahnya dihisap oleh vampir ketika masih usia kanak-kanak, melainkan karena itu tadi, kondisi medis tertentu yang membuatnya demikian.

Jadi meskipun nantinya cerita khayalanku ini seram dan diduga mengandung unsur mistik dan klenik, namun sesungguhnya murni terkait kondisi psikologis dan fisiologis, serta dapat dijelaskan secara medis.

Kalau memang begitu halnya, cerita tersebut bisa disebut fiksi ilmiah tidak ya?

Terus, kira-kira judulnya yang cocok seperti apa ya?

Friday, March 13, 2009

An Ungrateful Son


My father turns 70 tomorrow.

Honestly, I remember this because not more than half an hour ago, my eldest sister texted me, a reminder to give my father a call tomorrow morning.

Probably for some, what I’m about to say is going to be a bit shocking.
The reason why I totally forgot about it, partly because I just don’t care about my family like I used to. Or have to. I rarely talk to any of them on regular basis. And in some cases, it stretched to months, which translate to Christmases and birthdays only.

Is that making me such an ungrateful son?



The paint featured as illustration above is Jean-Baptiste Greuze's "The Father's Curse : The Ungrateful Son" (about 1778)

Thursday, March 12, 2009

Geoddicted


Lagi bosen tanpa kesibukan berarti di kantor, jadinya ’ngewarnet’ aja. Maksudnya, memanfaatkan fasilitas koneksi internet ’gratis’ di kantor untuk hal-hal hiburan. Mulai dari menonton videoklip dari YouTube, melihat update kabar terkini teman-teman maya di Twitter, dan tentu saja, menjelajahi facebook. Kalau ”abusing office facilities” buat mengunduh porn stuff, itu sih ‘jatah’-nya temanku. *telltale* Hehehe.

Situs jejaring sosial yang disebut terakhir ini paling oke diakses kalau sedang mati gaya, have no idea mau ngapain, tapi sangat beruntung karena sedang ada akses koneksi internet yang lincah (artinya, lancar jaya seperti sedang melaju di jalan tol yang sepi dari kendaraan).

Biasanya, sejak mengenal aplikasi baru bernama Playfish di facebook ini, hampir setiap hari aku setidaknya menghabiskan waktu nyaris satu jam untuk memainkan ragam games Playfish app, mulai dari “Who Has The Biggest Brain?” (jawabannya: not me, mos def!), “Mini Golf” (jadi ingat farewell tiga tahunan lalu di Putt Putt Senayan), "Word Challenge" (a little bit of spelling bee mixed with scrabble, d'oh!), sampai “Geo Challenge”.

Yang disebut terakhir ini, entah kenapa bisa bikin aku ketagihan. Padahal sebenarnya permainan ini cukup sederhana: sang pemain diminta untuk mencocokkan setiap bendera dengan nama negara ataupun union-nya, selanjutnya diminta untuk mencocokkan peta buta suatu negara dengan nama negaranya, dan dua babak terakhir adalah menunjukkan letak kota-kota serta landmarks dengan jarum di sebuah peta dunia. Awalnya kelihatan membingungkan sih memang, tapi selanjutnya kalau sudah ingat, jadi sangat gampang. Seharusnya sih. Cuma berhubung ingatanku kurang mendukung untuk bisa menghapal nama-nama, tetap saja keliru terus jadinya.

Eh tapi setelah bolak-balik main sampai lebih dari duapuluhlima kali mencoba, aku berhasil masuk 10 besar di dalam lingkaran teman-teman facebook-ku. Sempat bangga sedikit, sampai kemudian rasa bangga itu hancur berkeping-keping beberapa menit kemudian setelah melihat rekor skor untuk level Indonesia.

Hah?!?! Masa skorku yang dicapai dengan susah-payah itu ternyata hanya beberapa belas persen dari skor tertinggi untuk para pemain asal Indonesia?

Dan yang lebih bikin shock lagi adalah ... ternyata skorku itu bahkan ga sampai sepuluh persennya dari tiga besar top skorer para kontestan dari seluruh dunia!

Parah parah parah ... Hiks hiks. Tapi ...



Main lagi aaah ... (penjustifikasian rasa malas yang diisi dengan aktivitas ‘kurang’ penting).

Tuesday, March 10, 2009

The Mysteries, Has Yet To Be Exposed


"Men who sleep with men are just big cowards."


That’s what Phlox Lombardi said to Arthur Bechstein, while leaving Arthur Bellwether and his date for that night, a young skinny guy, at their table.

If it’s not because of the party proposal I should submit by tomorrow, I’d spent these nights devouring the many pages of this intriguing novel.

Monday, March 9, 2009

Because I Was



I started the first line of my last short story, "Unlike Others", in August of 2008, in the old given-by-my-boss Toshiba laptop in my old rented room. Don't ask me how I got the initial idea for such controversial opening line, because it just popped up into my mind. I was sitting on my bed in my thinly loosed boxer short, topless and sweating, because that room has no air-con. The only small green desk fan could not repel the sweltering Jakarta heat that seeped through the cracks on the wall and the windowsills. Don't you think it's some kind of mystery that you'd never know who lived in the rented room before you? That room was a bit like a crawl space, almost square-like and narrow. Three sides of its walls were duplex, so you can hear what others said or done in the room next to yours. And obviously, they too can hear yours. That rented room always smelled of dust, cold and itchy. In normal conditions, I would have used this kind of rented room for storage, but at that point in my life when I have to survive living in this vicious metropolis with the cruel unfunny joke called the microscopic scale of monthly salary, I just had no other choice. What kept me sane was a dream that one day my life here will pace up and the condition will eventually improve. I was optimistic, because the hope that lived in me was the sole power that kept me level-headed. I was right. The condition did improve. I don’t have to live in the status quo like the main character in that short story. Because I was unlike others.

Wednesday, March 4, 2009

“The First Outfit I Tried on Today”


johncmayer Why not wear the first outfit you try on today?
about 2 hours ago from TwitterBerry


Well, it is so true. John has a point there.
(ciee … sok akrab bener manggilnya with his first name)

Terkadang rasanya memang teramat sukar untuk menemukan outfit yang pas untuk dipakai keluar rumah, yang cocok dengan occasion dan kondisi cuaca saat itu.

Pernah suatu ketika, saat kukira di kantor hari itu tidak ada skedul bertatap muka dengan klien jadinya iseng pakai t-shirt belel, celana cargo sedikit di bawah lutut dan flip-flop kumal ke kantor, ternyata salah satu calon klien baru minta bertemu sore harinya. Terpaksa balik to my crib hanya untuk berganti pakaian yang lebih pantas dan tentunya, representatif.

Di kesempatan lain, saat akan menghadiri party di club milik salah seorang sahabat, hampir setengah jam habis kupergunakan untuk membongkar isi lemari hanya untuk menemukan outift yang terlihat pantas rapi dan keren tanpa terlalu menonjolkan ‘kemajuan’ my belly (ha!ha!).
Dan di tengah kesibukan yang diliputi kebingungan itu, si Dia hanya tertawa saja karena menganggap I looked so cute in the middle of my confusion. (Emangnya dahi berkerenyit dan bibir manyun gitu lucu ya?)
Hah! Tentunya aku harus bisa mengimbanginya malam itu agar si Dia tidak terlihat over-dress sementara pacarnya ini sendiri tampak under-dress (meski tentunya, bukan hanya memakai ‘under-garment’ doang !) di tengah party yang dihadiri upper-class people itu.

Pernah kubaca saran bagus dari salah seorang pengamat mode yang mengatakan, “it’s better to look over-dress than under-dress”.
Tapi kalau kemudian munculnya malah seperti seorang pria di butik (x).s.m.l. yang kulihat beberapa bulan lalu – dia memakai trucker cap Guess?, kaos berkerah Burberry, celana jins Versace, belt DSquared, dan sepatu Gucci – kurasa jatuhnya malah jadi sama sekali tidak berselera dan jauh dari keren.
Help! I just saw a walking mannequin!
Kira-kira apa yang ada di dalam benak lelaki itu sebelum dia keluar dari dalam kamarnya hari itu?
“Wow, I looked so phat!”
Prolly that was it.

Jadi teringat pacarnya William yang berprofesi sebagai penyanyi latar itu. Dia paling sering menolak keluar dari apartemen William kalau tidak tampil lengkap.
Versi lengkapnya adalah: rambut ditata spikey dengan gel, cincin dan kalung bling-bling, belt dengan gesper besar, dan sepatu yang bersih cenderung mengkilap.
Padahal, William hanya mau mengajak orang itu makan malam di area food court di kompleks apartemen tersebut.
Alasan pacarnya William adalah (dan ini sumpah bikin ketawa terbahak-bahak), “Aku kan kerjanya di entertain. Kalau nanti ada yang ngeliat aku lagi biasa banget kaya kamu, apa kata mereka?”
I bet he thinks Paris Hilton thinks the same about herself, always put in mind what others may say as her first and utmost concern before deciding what to wear before going out to those trendy-cool-and-hip parties.

Ketika salah seorang teman memberikan questioner profile untuk diisi, dan salah satu pertanyaan dalam questioner itu adalah “How do you define your fashion-style?”, dengan penuh percaya diri aku mencontreng pilihan “preppy-look”.
Menurut penilaianku sendiri, penampilan seperti anak sekolah baik kalem dan polos begitu paling pantas untuk ‘menipu’ orang-orang dengan harapan bisa menyamarkan keculasan hatiku. Ha!Ha!

Dan meskipun hari ini aku tidak terlihat sesuai dengan pilihan style ideal ku yang preppy-look itu, tapi dengan mengenakan kaus berkerah warna marun cream-colored chino sepatu mokasin coklat serta tas selempang biru tua sebagai outfit ke kantor hari ini, aku benar-benar memakai “the first outfit I tried on today”. Just like what John suggested some couple of hours ago.




Tuesday, March 3, 2009

Nanti, di April


Sebagaimana yang sudah diajarkan oleh orang-orang tuwa sejak jaman dahulu kala, alangkah baiknya untuk jangan menggantung harapan terlalu tinggi karena kalau nantinya tidak jadi terwujud malah akan bikin hati yang empunya harapan hancur berkeping-keping. Dan sakitnya itu lho, wuidiiiih ...

Nah, mungkin orang-orang tuwa yang hidup di jaman dulu itu sudah bolak-balik mengalami kekecewaan, dalam kadar dan kesempatan serta sebab yang berbeda-beda pula, jadinya ya begitu deh, beliau-beliau ini menjadi lebih bijaksana dalam menyikapi hidup, karena memang kondisinya “memaksa” demikian. 

Meskipun tulisan ini tidak akan setajam sebuah artikel sebelumnya di masa silam yang menyindir seorang ‘aktris’ (disebut peraga adegan kayanya lebih pantes) sinetron yang menjabarkan secara spesifik karakter suami ideal yang diharapkannya, tapi setidaknya ada kemiripan tema pembahasan. Yaitu tentang harapan. Hope. Meskipun kalau dibandingkan dengan salah satu tema kampanyenya tim Barrack Hussein Obama tahun lalu, ‘harapan’ yang ini sih cetek banget. Trivialities lah.

Jadi ceritanya tadi saat makan siang bersama teman-teman kantor, salah seorang teman menginformasikan kepada kami semua dengan ekspresi mata berbinar-binar dan mimik muka penuh semangat, kalau Jamiroquai akan tampil di Jakarta bulan April mendatang. Wah, mendengar kabar ini, pastinya aku langsung semangat dong. 

Karena masih teringat betapa kerennya aksi panggung Jay Kay dalam potongan klip live performance mereka yang pernah kulihat di YouTube. Dan yang bikin lebih semangat lagi, si teman ini mengatakan kalau harga tiketnya hanya 500 ribu saja! Kalau “cuma” segitu doing sih, aku tak akan berpikir sampai dua kali untuk membelinya.

Sekembalinya dari makan siang tadi, aku kembali duduk menghadap laptop, dan mulai grusah-grusuh cari info kebenaran berita dari temanku tersebut. Hasil dari browsing kilat ku menunjukkan, ternyata betul adanya dan sudah dikonfirmasikan pula oleh pihak promotor di sini dan manajemen sang artis di Eropa sana, bahwa Jamiroquai akan tour ke Indonesia pada tanggal 8 April setelah tiga hari sebelumnya menggoyang Kuala Lumpur terkait pelaksanaan lomba balap Formula 1 Sepang.

Tapi kemudian ada bel berbunyi di alam bawah sadarku. Tanggal 8 April? Itu kan cuma satu hari sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif? Memangnya pihak kepolisian akan mengeluarkan izin keramaian di hari se-kritis dan sepenting itu? Jangan-jangan nanti ditunggangi oleh partai politik tertentu. Atau dimanfaatkan oleh provokator untuk bikin rusuh. Nah, ini sisi negatif dari kepribadianku yang mulai berbicara. Sebaiknya, untuk saat ini langkah terbaik adalah mengabaikannya dulu.

Anyway, jadi ceritanya nih saat aku lagi semangat-semangatnya memelototi poster biru bertuliskan kalimat berukuran besar “YES IT’S TRUE” dengan logo Jamiroquai manusia bertopi aneh yang tersohor itu, antusiasme ini langsung padam setelah melihat daftar harga karcisnya dicetak dalam angka-angka relatif kecil di bagian bawah. Buset dah, dua koma lima juta untuk kursi yang persis menghadap panggung ?! Dan harga karcis paling murah untuk kursi yang jaraknya sekian ratus meter dari panggung untuk kondisi normal price adalah tujuh ratus limapuluh ribu ? Harga ini bahkan lebih mahal daripada karcis kelas festival Bjork yang tidak pakai sesi penjualan early bird (dan saat itu harga kelas festival adalah yang paling mahal). Mulailah hati ini terperciki rasa kesal. Huh ! Kenapa sih pertunjukan musik yang seharusnya ditujukan untuk menghibur, seringkali malah bikin emosi karena harga-harga tiketnya seringkali seperti “cari perkara” ??

Actually, I can afford the ticket price, but somehow I just rather opted not to buy. 

Lebih baik uang sejumlah minimal lima ratus ribu dan maksimal dua koma lima juta rupiah itu disimpan dalam rekening buat nambah-nambahin bujet liburan merayakan ulang tahun si Dia sekaligus our anniversary di salah satu destinasi favorit dunia.

Jadinya, harapan yang sebelumnya sempat berantakan jadi kembali utuh, bahkan membuatku lebih bersemangat.

Can hardly wait for April !

Monday, March 2, 2009

The Life of Me


Time never waits for you. It just never stops.

It was just last night when it suddenly dawned on me that it’s already March of 2-0-0-9; and I haven’t write a single page of the first draft of my so called adult novel. I can make a list of reasons why I failed to compose at least a paragraph, but hardly able to consider it as serious barrier to even make a start. Simply put, I was just too lazy.

I should have take lessons from the movie which I watched last night, Das Leben der Anderen. The writers of then East Germany faced constant scrutiny from the secret police, Stasi. Yet, the most rebellious of the league always tried to put down in words whatever they had in mind, and found ways for it to be published. Even if their writings can cost them their dearly lives.

While I spend most of my times sit in this comfortably air-conditioned room, listen to any songs I like, and read any books or papers I can lay my hands on, not even a single page I produced for the past couple of months. Yet, I constantly remind myself that my mind is still ripe with these brilliant ideas that can be turned into literary gold. And that translates into best selling novels.

Talk about procrastinating. The only person I disappointed with this laziness is me.