Showing posts with label friends. Show all posts
Showing posts with label friends. Show all posts

Tuesday, June 2, 2009

To Blog, Or To Nap? That's The Question



A friend asked me in private message sent through Facebook, why I stopped updating my blog.
I told him I didn’t. I just put my entries up on hold. They’re all there, lining up chronologically in “Draft” section.
The reason why it seemed I was in hiatus is because I was pretty much busy with my work. (Do I hear someone yelled, “Booo! Lame excuse!”?) But hey, that’s true.
My works were pretty tight up choking me, and if I do have some time to spare, I’d used it for ... sleeping. Yes, I read somewhere that by sleeping, one can burn more calories than sitting behind his/her office desk and running his/her fingers on the keyboards, i.e. typing. My belly is getting rounder by day, so I guess I’d just sleep it off.
If you hear some strange purring noise near my office desk after lunch time, please not to worry. Probably that was just me snoring while napping.

Oh and about the hiatus thingy, actually I did create some short writings. They’re what others labeled as microblogging. If you don’t know what I mean, check my Twitter account.
And somehow I just know that this friend of mine in no time upon hearing my reason would certainly asked me: is microblogging count as regular blogging?

Tuesday, March 24, 2009

Kok Bisa Yaaa ... ?


Kebetulan saja lagi tinggi hasrat bergosipnya hari ini.

Kebetulan kemarin abis bangun pagi instead of mandi, aku leyeh-leyeh dulu di kasur sambil nonton TV. No particular channel or program sih yang dilihat. Just flipping through channels.

Nah, kebetulan saja pas di salah satu kanal, sedang ada gossip selebriti a.k.a. acara infotainment. Sebenarnya pas baru liat orang yang dijadikan pembahasan, sempat males ngelanjutin nontonnya. Tapi entah kenapa saat itu I stay put. Dan kabar yang kemudian kudengar, membuatku sangat terkejut (alias shocking news!).

Ternyata si selebriti mediocre (untuk tidak menyebut dirinya artis, karena ya emang menurutku ga pantes aja, sebab sepanjang pengetahuanku yang bersangkutan ga ada kemampuan art-nya sama sekali) yang sedang dikerubutin wartawan ini lagi diinterview untuk sebuah prestasinya (tumben banget). Biasanya sih, si selebriti mediocre ini kan dirubung wartawan gossip kalau ada kasus (negatif) baru yang menyeret maupun membawa-bawa namanya.
Masih pada ingat dong, sebelumnya si selebriti mediocre ini sempat ”kondang” lagi namanya di infotainment lewat skandal tersebarnya foto-foto yang bersangkutan di bawah shower sedang telanjang bul-bul bersama her sister (sempat dikomentari oleh seorang ”pakar” telematika berinisial R.S. sebagai foto aseli bukan rekayasa) sambil berpose sensual dan terbuka. Persisnya bagaimana, silahkan googling sendiri saja ya.

Ternyata untuk kali ini aku keliru sungguh.
Si selebriti ini kembali masuk radar pemberitaan infotainment, karena dia baru saja diwisuda dan resmi memegang gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Paramadina.
Tak tanggung-tanggung, skripsinya yang mengulas hubungan diplomatik Republik Indonesia dengan Timor Leste terkait kerjasama perbatasan, berhasil mengantarkan sang selebriti lulus dengan nilai akhir tiga koma empat tujuh.
Yap, betul sekali. Kamu tidak salah baca. IPK-nya benar 3.47. Artinya, nyaris mendekati limit minimal untuk lulus dengan pujian (cum laude).

Sempat aku bertanya-tanya, apakah selama ini aku terlalu memandang rendah si selebriti terkait tingkat intelektualitasnya?
Berhubung aku pernah bekerjasama dengan si selebriti ini, dan dari hasil perbincanganku dengan salah satu teman dekat yang adalah juga saudara sepupunya si selebriti, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya dia relatif kurang tanggap dalam soal keilmuan (ini adalah eufemisme). Mungkin karena dia susah atau kurang berkonsentrasi saja selama ini (sekali lagi, eufemisme). Itulah sebabnya, mendengar kabar infotainment kalau yang bersangkutan lulus nyaris cum laude, bagiku benar-benar menjadi surprise yang shocking.

Wow! Masih bisa kuingat, beberapa orang teman yang aku tahu persis otaknya berlabirin banyak alias pintar banget, sempat dibuat jungkir balik di almamater untuk bisa meraih IPK tiga koma empatpuluhan.
Aku sendiri juga sempat dibuat tidak bisa tidur demi nilai rata-rata tiga koma empat sekian itu. Dan mendengar si selebriti yang bisa meraih indeks prestasi kumulatif lebih tinggi daripada yang kudapatkan ketika lulus, rasanya hati ini dibakar rasa iri dan tak bisa menerima keampuhan otak orang lain. Huh! Kok bisa-bisanya ya dia?

Dari awalnya rasa iri, kemudian malah jadi timbul kecurigaan (namanya juga lagi niat berghibah yang kebetulan bisa diakomodir habis-habisan di sini), sebenarnya bagaimanakah standar penilaian mahasiswa di Universitas Paramadina, apabila dibandingkan dengan almamater teman-teman?
Rasanya pertanyaan ini harus kuajukan kepada seorang teman yang pernah menjadi staff pengajar di perguruan tinggi tersebut, dan kebetulan merupakan jurusan yang sama seperti yang diambil sang selebriti.

Korek-korek info dulu aaahh ...

Wednesday, December 10, 2008

A Father I Have Known



Up on the mountainous northern part of the mineral-rich and fertile island
There laid this little village inhabited by less than one hundred people
It had neither electrical supply, convenient store nor a gas station
The closest ones were forty minutes ride by car from that little village

The small old wooden houses in that little village were spread on the mountain
Going from one house to another to visit the neighbors need extra physical work
Walking minutes to hours on the dirt roads, because there’s no other way than that

So it was not to anyone’s amazement when the little village was bit by bit left crumbling
Witnessed by its natural inhabitants, the underage kids and the elderly who could say nothing

Just like my father who left the little village even before he turned thirteen
Because he had his own dreams, to build his own better future
Riding in shiny motorcycles and living in a brick house with big glass windows
Instead of sweating and straining his muscles cultivating the rice fields
And struggling with low temperature at nights that freezes your breaths into dews once you exhaled

Because back in the time when the Dutch still colonized those fertile lands
Of the mountainous northern part of the mineral-rich and fertile island
Everyone wants to be like the people in the big cities

Just like my father who saw those big cities
From the thirty-five millimeters celluloid projected on large white fabric functioned as screen
Together with his peers and hundred others on that big grassy field
In the little town thirty minutes ride by car from his own village

That’s what people did back then to have some fun
That’s how my father got his inspirations and dreams for a better future
That’s also where and when he saw my mother for the very first time
That’s also why he left his parents in their old wooden house up on the mountain

Because he had his own dreams and he had fought to make them came true

So here I am now standing
Mere couple of years before turning thirty
And recently realized that
Probably, I was one of his many dreams but
Obviously he never told me that in words

He didn’t have to do it so simply because I already knew

Everytime I came home and hugged him
He hugged me back
The mutual feelings shared without any words being exchanged

I know I have to make it right this time to pay him back and make him proud





Note:
The old photograph posted above was taken from a Singaporean's blog.

Thursday, September 25, 2008

Tiga Seribu


Ini bukanlah cerita tentang barang murahan produksi Republik Rakyat Cina yang dijual dengan harga yang luar biasa sangat amat murah, jenis barang-barang yang biasa digelar oleh para pedagang kaki lima di pasar-pasar tradisional, atau diasongkan di lampu-lampu merah, di dalam bis-bis kota maupun terminal-terminal.

Ini adalah pengalaman sejatiku (nadanya lebay!) yang terjadi persis kemarin, Rabu, 24 September 2008. Berikut ini adalah penuturan langsung dariku, tentang serangkaian kebetulan yang tampaknya terlalu kebetulan sehingga rasanya jadi kurang wajar. Rangkaian kejadian yang pada awalnya terlihat tidak memiliki interkoneksitas, tapi setelah ditelaah lebih mendalam lagi, ternyata semuanya terkait dengan bilangan ’TIGA’.

Siang hari sekitar pukul duabelasTIGApuluh, sehabis makan siang dengan Presiden Direktur dan Kepala Divisi kantorku.
Saat itu, Sang Presiden Direktur sedang meledak, meluapkan segala emosinya yang sudah terlalu lama ditahan selama ini. Kami berdiri berTIGA di lapangan parkir sebuah rumah makan di kawasan Casablanca, di bawah panasnya terik matahari yang menyengat.
Meskipun sebenarnya aku dan si Kepala Divisi bukanlah objek yang dimarahi, karena Sang Presiden Direktur sedang menumpahkan kekesalannya tentang kondisi politik kantor, tapi tetap saja rasanya tidak nyaman karena orang-orang yang melintas di jalan raya Casablanca dan melihat bahasa tubuh kami bertiga, tentu akan menduga aku dan si Kepala Divisi itulah yang sedang dimarahi habis-habisan.
Padahal, sebenarnya tidak.
Cuma memang kejadian ini lumayan bikin stress dan pusing, secara kami jadinya berdiri lama di bawah siraman terik cahaya mentari Jakarta yang menyengat. Saat itu aku yakin kalau suhu kota ini sedang berada di angka TIGApuluhan derajat Celcius.
Lalu kulihat seorang pengendara sepeda motor yang hendak mengeluarkan motornya dari parkiran, tanpa sengaja ketika merogoh saku celana panjangnya, menjatuhkan beberapa lembar uang seribuan yang terlipat rapi. Awalnya hendak kupanggil si mas pengendara motor, memberitahunya kalau dia baru saja menjatuhkan uang. Tapi melirik ekspresi wajah Sang Presiden Direktur, kuurungkan niatku. Sebaiknya jangan cari gara-gara dengan seseorang yang sedang marah-marah murka besar, apalagi kalau orang tersebut adalah orang yang menggajimu. Haha!
Beberapa menit kemudian dan kami bertiga masih belum lagi beranjak dari tempat tersebut. Kulihat TIGA orang anak kecil yang tadi sempat menawarkan jasanya menyemir sepatu pada kami bertiga ketika sedang santap siang, berkumpul di dekat jatuhnya uang itu. Pikiranku segera teralih, mengamati mereka bertiga, menduga-duga siapa yang akan pertama kali melihat uang tersebut dan mengambilnya. Tapi anehnya, sampai bosku Sang Presiden Direktur mengakhiri sesi emosionalnya dan kami berpisah dan menuju kendaraan masing-masing, tak ada satupun dari ketiga anak itu yang mengambil jatuhan uang tadi. Aku bingung, rasanya tidak mungkin uang itu hanya fantasiku saja.

Sore hari menjelang berbuka puasa. TIGA orang personil Media Relations kantor bersiap-siap beranjak. Ada janji buka puasa bersama TRI-partit: kantorku, kantor klien, dan stasiun televisi yang menyiarkan program klien kantorku. Aku diajak ikut serta dan meramaikan acara, secara makan-makan gratis, tapi entah mengapa rasanya malas lantas kutolak ajakan tersebut. Kebetulan teringat, ada TIGA jenis cake di dalam lemari pendingin kantor yang dikirimkan pihak supplier yang menunggu untuk disantap. Haha!

Ternyata hujan turun dengan derasnya tak lama setelah adzan maghrib berkumandang. Siyal! Aku terperangkap di kantor. Bengong ga tau mau ngapain. Akhirnya sambil tiduran di sofa kucoba membaca The Great Gatsby yang sudah TIGA minggu lalu kubeli dari Kinokuniya. Edisi Wordsworth, harganya TIGApuluhsaturibu rupiah.
Belakangan ini mood membacaku sedang hancur-hancurnya, berada di titik terendah. Bayangkan saja, novel setipis ini sudah tiga minggu berlalu sejak kubaca kata pertamanya, tapi aku baru sampai di halaman TIGAbelas. Mungkin pengaruh cuaca juga, mood membaca tidak muncul-muncul juga, lantas aku mencoba tidur.

Kurang-lebih TIGA jam kemudian, hujan sedikit mereda menjadi gerimis. Teman-teman personil Media Relations baru saja tiba kembali di kantor. Tak lama berselang, TIGA orang personil divisi event juga tiba. Senangnya, suasana kembali riuh dan ceria. Lalu kulihat di salah satu kaki meja, ada uang seribuan yang terlipat rapi tergeletak. Pasti ada seseorang yang tanpa sengaja menjatuhkannya. Berbeda dengan tadi siang, kali ini seorang teman kantorku melihat lantas memungutnya, dan kemudian berteriak mengumumkan, bertanya siapa yang merasa kehilangan uang seribuan yang jumlahnya mencapai sepuluh ribu rupiah. Anehnya, tidak ada satupun yang mengaku merasa kehilangan. Akhirnya, uang ribuan tersebut diputuskan untuk dimasukkan ke dalam celengan plastik murahan yang kami namai celengan dugem, sebuah celengan yang dikonsepkan sebagai dana bersama yang nantinya setelah terisi penuh akan kami manfaatkan untuk acara bergaul malam hari. Biasanya sih penggunaannya kalau tidak untuk karaoke bareng, ya minum-minum alkohol lah sedikit.

Jam dinding memperlihatkan waktu baru saja lewat pukul sembilanTIGApuluh malam. Hujan sudah reda, saatnya untuk pulang ke kos. Berjalan kaki lah, seperti biasa.
Tapi sebelumnya aku mau mengantarkan seorang teman perempuan dulu dan menemaninya di pinggir jalan, menantikan taksi untuk mengantar dia pulang. Biasanya malam-malam sehabis hujan deras, ditambah suasananya menjelang libur Lebaran, sudah tradisinya susah memesan taksi Blue Bird lewat telepon. Harus menunggu di pinggir jalan, karena biasanya lebih cepat dan lebih mudah. Apalagi jam segini belum terlalu larut, pasti masih banyak taksi berseliweran.
Betul sih, masih banyak taksi yang lewat di depan kami, tapi semuanya penuh, lagi narik. Untung kami berdua tidak perlu menanti terlalu lama. Setelah teman ini mendapatkan taksi, aku pun beranjak dari tempat tersebut.

Kakiku melangkah, menyeberangi jalan raya yang ramai.
Kondisi jarak antara kos dan kantor yang tidak terlalu jauh, dan kondisi lalu-lintas yang terlalu ramai, membuat pilihan moda transportasi bagiku untuk dari dan ke kantor sangat terbatas. Hanya ada satu opsi: kedua kakiku.
Untung saja sejak adanya jalur busway di jalan raya ini, membuat proses menyeberang jalan jadi sedikit lebih mudah. Lebar jalan yang dipadati kendaran jadi berkurang, karena ada dua ruas jalan yang diblok untuk armada ”mobilnya Sutiyoso” ini. Di tengah-tengah jalan yang diblok untuk busway ini, kondisinya hampir selalu sepi, terlebih lagi malam-malam seperti sekarang. Jadi memudahkan bagi pejalan kaki untuk melintas, meskipun tetap ada bahaya dari kendaraan yang tiba-tiba mencuri masuk lewat jalur busway dan kemudian melintas dan ngebut kencang.
Ketika sedang melangkah menyusuri jalur busway itulah, mataku kembali melihat lembaran uang seribuan. Tergeletak pasrah dan basah oleh siraman air hujan, pasti tanpa sengaja dijatuhkan oleh seseorang yang melintas hari ini, demikian pikirku saat itu.

Lalu kemudian muncullah pemikiran iseng yang mengingatkanku, ini adalah kejadian keTIGA hari ini, di mana aku melihat uang seribuan yang tergeletak begitu saja tanpa ada yang mengakui mengklaim sebagai miliknya.
Tapi aku tetap urung memungutnya. Masih teringat petuah orangtua saat aku masih kecil dulu. ”Kalau menemukan uang terjatuh dan kamu mengambilnya, segeralah dibelanjakan,” demikian kata ibuku. ”Kalau tidak, dan kamu memilih untuk menyimpannya, suatu saat kamu akan kehilangan sepuluh kali lipat daripada jumlah uang yang kamu temukan.”
Dulu aku menganggapnya sebagai sebuah takhyul tolol – sejak kecil pikiranku sudah menjurus kepada kekurangajaran, memang – sampai suatu ketika aku menemukan selembar duit limaratusperak dan menyimpannya untuk dibelanjakan kemudian, kalau sudah dapat ide mau dipakai untuk membeli apa. Masa itu, komik Donal Bebek masih berharga seribulimaratus rupiah. Kebayang dong jadinya, saat itu duit gopek masih lumayan berharga.
Seperti yang bisa ditebak, aku lupa tentang petuah itu dan peristiwa penemuan duit tersebut, sampai suatu hari beberapa tahun kemudian, aku kehilangan uang persis sejumlah limaribu perak, uang jajanku selama seminggu. Dan petuah yang dulu kuremehkan tiba-tiba saja terlintas di kepala. Barangkali memang kedua kejadian tersebut tidak ada hubungannya, hanyalah kebetulan yang dibumbui takhayul belaka, tapi tetap saja ada semacam beban pikiran menggelayuti alam bawah sadarku sejak saat itu hingga kini.
Itulah barangkali yang menjadi satu sebab utama mengapa aku membiarkan uang-uang itu begitu saja di tempat aku melihatnya. Biar saja orang lain yang mengambil dan memanfaatkannya, batinku.

Setibanya di kos, kulihat tumpukan mug sendok dan mangkuk bekas sarapan tadi pagi yang belum kucuci masih tergeletak di meja. Setengah malas setengah terpaksa, kuberanjak menuju keran dan mencuci semuanya. Untung saja tidak sampai disemutin, atau malah mengundang reptil (cecak) dan serangga lainnya (kecoa) untuk merubung bekas-bekas sarapan tersebut. Meskipun kutahu pasti, I will never know for sure. Siapalah yang tahu apa yang terjadi tadi siang saat tak ada seorang pun di dalam kamar. Haha!
Saat mug melaminku kubasuh, tanpa sengaja mug tersebut tergelincir dan terlepas dari genggaman, lantas jatuh terbanting. Pecah. Damn!
Tiba-tiba kuteringat, siyal! Ini adalah mug melamin keTIGA yang kupecahkan tahun ini. Dua mug sebelumnya pecah tak sengaja karena kejadian yang nyaris sama, terlepas dari tanganku saat sedang dicuci. Rugi pisan, euy.
Dengan gelondongan kesebalan kuselesaikan mencuci alat-alat makan lainnya dan kukeringkan, lalu kulihat pisang Cavendish yang kubeli hari Minggu kemarin masih ada. Kubuka plastik penyimpanannya, dan kuputuskan untuk menyudahi riwayatnya segera. Dari aromanya tercium kalau dibiarkan lebih lama lagi, let’s say sekitar dua hari lagi, pisang-pisang ini akan segera membusuk. Segera kusantap semua sampai habis.
Saat tanganku membuka kulit pisang terakhir, baru pikiranku tersadar, ini adalah buah pisang keTIGA !

Pasti ada kebetulan-kebetulan yang aneh dengan hari tersebut. Serangkaian peristiwa kebetulan yang agak sukar dijelaskan, meskipun sebetulnya tidak ada sesuatu hal mendesak yang membuatnya harus bisa dijelaskan.
Tapi tetap saja karena belakangan ini pikiranku sedang tidak disibukkan oleh urusan pekerjaan, hal-hal (yang tampaknya) remeh semacam ini justru lebih asyik untuk ditelaah lebih dalam dan direka-reka penjelasan logisnya. Bahkan sampai kurasa perlu untuk dituangkan ke dalam tulisan, dan dengan demikian terciptalah tulisan ini.

Namun sungguh, sampai sekarang aku masih tidak habis pikir, mengapa dan bagaimana bisa ya, sampai semua kejadian tersebut terkait dengan bilangan TIGA.
Padahal tanggal hari itu kan 24, bukan 23?!



Friday, September 19, 2008

Sungguh Pedulikah Kamu?


"Gambarkan aku dengan 1 kata. Hanya 1 kata. Kirim jawabannya padaku lalu kirim pesan ini ke teman2mu dan lihat jawaban aneh dan mengagumkan tentangmu. Bales ya, karena ini sangat seru!"

Ternyata meninggalkan jejak-jejak eksistensi berupa komentar dan testimonial di berbagai situs jejaring sosial seperti MySpace, Friendster, Multiply dan Facebook kini tidak lagi cukup bagi sebagian orang.
Sejak dua hari belakangan ini, sudah puluhan teman mengirimkan pesan serupa di atas yang tiba-tiba muncul begitu saja dalam jendela perbincangan saat aku sedang online di Yahoo! Messenger.
Dari content-nya saja, sudah ketahuan dengan jelas bahwa pesan ini tidak lebih dari semacam pesan massal yang dikirimkan kepada semua orang di dalam daftar teman-teman Messenger si pengirim, dan cenderung memberikan kesan layaknya spam messages, yang kurang-lebih menyerupai pesan ucapan selamat hari raya identik dan kurang berperasaan – karena bersifat sangat impersonal – yang berseliweran dan memenuh-menuhi kotak surat telepon genggam kita menjelang perayaan hari raya tertentu.
Sebenarnya sudah sebegitu narsiskah kita kini, sampai merasa perlu meminta semua orang di dalam daftar Y!M kita untuk mendeskripsikan diri kita sendiri? Kalaupun kemudian teman-teman kita di daftar Y!M tersebut merespon, apakah kita benar-benar peduli apa jawaban yang mereka berikan? Apakah kita akan benar-benar senang ketika mendapatkan dan membacanya? Apakah cuma pujian – atau apapun bentuk jawaban yang kita dapatkan – yang memberi makna bagi hidup kita?

Hal-hal kecil dalam hidup terkadang dan dengan caranya yang tak terduga memang bisa mewarnai dan menambah ceria hidup ini.
Namun terkait pesan “hanya 1 kata” ini, apakah kita akan bisa sungguh-sungguh peduli?

Bila ditanyakan padaku, jawabannya adalah: tidak.
Jika aku tidak merasa memiliki kedekatan personal dengan si pemberi jawaban / respon balik, rasanya apapun jawaban yang dia / mereka berikan untukku, tidak akan meninggalkan kesan apapun. Dan sebagai impilkasinya, aku juga tidak akan peduli.
Now you can call me ignorant. Silahkan. I don’t mind at all.


Dan sebagai penutup tulisan ini:
Maaf buat beberapa teman yang hanya mendapatkan respon balik berupa tanda tanya (?) dariku. Aku sudah jelaskan apa maksudku dengan tanda baca itu, bukan?

Wednesday, August 13, 2008

Tapi Buka Dulu Topengmu


Lagi malas banget buka account Facebook-ku belakangan ini.
Padahal biasanya setiap pagi pas baru online, salah satu webpage yang langsung diakses selain e-mail, ya situs buku muka itu.

Sebenarnya sih kegiatan rutin pagi-pagi ini dilakukan lebih karena alasan iseng, pengen liat hal-hal baru (catching updates) dari teman-teman.
Seperti pagi ini, pas liat di Newsfeed, ternyata Ilpo went from being ’In Relationship’ into ’Single’, suatu kondisi status yang dulu berasosiasi dengan privasi tapi sekarang mulai merambah ranah publik, yang merupakan salah satu dampak ”Facebook effect”; bahwa Farrel baru saja balik ke Indonesia setelah hampir dua minggu pelesiran di Amerika Selatan; dan bahwa Dia ternyata masih memiliki hubungan dengan salah satu anggota keluarga dinasti Moran. Hmm ..., the latter is new to me.

But anyway, malasnya lebih karena hal lain.
Jadi begini, kebiasaanku kalau baru log in ke account Facebook, adalah membiarkannya tetap terbuka, as in still logged in, sampai nanti memutuskan sudah cukup waktu dihabiskan untuk kerja dan online hari itu, lalu sign out dan mematikan computer. Praktis bisa dikatakan, sepanjang hari selalu online di Facebook, seperti orang tidak punya kegiatan lain yang lebih penting untuk dikerjakan.
Nah, masalah mulai muncul karena belakangan ini, orang ini selalu menyapa lewat chat. Buat yang belum tahu, setiap user Facebook yang terkoneksi sebagai 1st degree friend bisa menyapa temannya seperti layaknya dalam chat, apabila temannya tersebut sedang online atau mengakses account Facebook-nya.
Tidak akan menjadi masalah jika saja orang ini dulunya tidak membuat masalah denganku. In terms of, dia yang mencari gara-gara duluan dengan melakukan perbuatan buruk di belakangku, yang mengakibatkan sampai saat ini aku memutuskan untuk lebih baik tidak berkomunikasi lagi dengan dirinya. Atau kalaupun ada komunikasi, kubatasi sampai seminimal mungkin. Kurang-lebih, hanya saat momen Eid-al-Fitr saja, itupun kalau dia ingat mengirimkan template SMS massal memohon maaf lahir dan bathin secara basa-basi.
Ya iyalah, secara kalau dilakukan tulus, pasti akan lebih personal sifat SMS-nya. Minimal mencantumkan namaku di body text. Tapi mengingat kelakuannya tempo doeloe yang membuat hubungan kami renggang, kelakuan basa-basi ini tidaklah sampai mengherankanku.

Kembali ke maksud dan tujuan semula posting ini, adalah sungguh amat disayangkan bahwa sampai saat ini aku masih belum tahu bagaimana bisa mengaktifkan ”stealth setting” di Facebook chat ini sebagaimana opsi yang ditawarkan Yahoo! Messenger. Jadinya setiap kali aku terlihat online, siapapun yang ada di dalam list teman-temanku pasti akan tahu, termasuk orang ini. Mungkin apabila ada teman-teman yang membaca posting ini bisa membantu dengan informasi, please do let me know ya. Thank you in advance!

Untuk menjawab di muka pertanyaan yang mungkin muncul di dalam benak Anda yang membaca posting ini, perlu kiranya diketahui bahwa aku bukanlah tipe yang men-delete seseorang dari daftar online teman-teman (friendlist) hanya karena kesalahan yang telah dilakukan (oleh pihak manapun).
Dengan bangga bisa kukatakan sambil menepuk dada, “Aku bukan seperti ‘Perempuan Itu yang Tidak Perlu Disebutkan Namanya’”, yang menghapus aku dan beberapa orang lainnya dari daftar online teman-temannya hanya karena kami memergoki bahwa selama ini ‘Perempuan Itu’ gemar membual dan menyebarkan berita tidak benar yang sampai pernah merusak reputasi orang lain (and one of her victim was: Me!). Barangkali saking malunya tertangkap basah, ‘Perempuan Itu’ memilih untuk berpura-pura tidak mengenal kami yang dulu merupakan teman-teman jalannya, hingga sekarang.
Tipe orang seperti ini memang lebih baik dienyahkan saja dari pergaulan, tapi jangan sampai terlupakan, karena penting dalam hidup ini untuk selalu mengingat pengkhianatan, agar lebih berhati-hati lagi dalam berteman.

Dan this person yang lagi bikin aku malas buka account Facebook-ku adalah juga orang yang seperti ‘Perempuan Itu’, melakukan pengkhianatan, dan ketahuan.
Alih-alih meminta maaf atau sekedar mengakui kesalahannya, dia malah berakting seolah-olah never did anything wrong to me.
Terus tiba-tiba saja di awal minggu ini say “Hi!” lagi lewat Facebook chat. Masih ingat tempo doeloe ketika dia yang jelas-jelas sudah mapan dan stabil secara ekonomi, kalau pengen ngobrol denganku selalu SMS minta ditelpon, atau nge-buzz via Y!M. Kasihan sekali dia ... (baca dengan nada penuh sarkasme).

Padahal yang mungkin waktu itu perlu dikasihani adalah aku, yang mau-maunya saja dibodohi, menghabiskan pulsa untuk menelpon dia dan mendengarkan curhatnya.
I was sooo bego saat itu, ha ha! Mungkin memang karena masih muda (masa-masa brondong jaya!), masih terlalu naïf, dan (entah mengapa koq bisa) percaya bahwa ini orang baik kepribadiannya. If only I knew the reality back then, ... pasti itu telpon sudah kututup dengan kasar dan meludah, cuih!

Mudah-mudahan sore ini pas aku mengakses account Facebook-ku, dia tidak sedang online. Jadi aku tidak perlu berbasa-basi untuk merespon sapaannya.
Susah sendiri juga sih sebenarnya, kalau jadi orang yang paling susah untuk berpura-pura di hadapan orang lain, tidak bisa acting basa-basi ga penting gitu ke orang yang dimaksud.
Kalau saja ada yang menjual topeng wajah dengan senyum penuh (kepalsuan) tersungging lebar yang praktis bisa terpasang otomatis di wajah ini anytime I need it, hidup tentu akan lebih mudah. Tidak perlu menjauhi orang yang tidak disukai, blend in aja, berbuat sama seperti orang itu, berpura-pura seperti tidak ada negative things happened.

Sayang sekali, topeng semacam itu barangkali hanya available dengan cara khusus, such as given and emotionally attached to one’s personality at the moment one was born into this world.
Now this is one condition that I am lack of, but never really consider as my loss.

I am a proud Real Personae!




Catatan khusus:
Judul posting ini diinspirasikan oleh lirik lagu Peterpan berjudul "Topeng".

Wednesday, August 6, 2008

Orange Suede Shoes


I once read from a fashion magazine that a man is measured by the shoes he’s wearing.

What if that guy is wearing orange suede shoes with synthetic leather-like brownish sidelines and interlacing red and green stripes on the soles?

“Simply gay,” said William, while supporting a big grin on his oval plumpy face.

Being a gay guy himself, whatever judgement William made, we as his friends need to listen. Though this time I don’t think I’d listen and ‘obey’ his suggestion. Because it was me who wore the shoes described above in our monthly get-together. They were gift. And everyone knows how much I love getting gifts. Haha!




*image above is just an illustration to the article

Friday, July 25, 2008

Dinda Bakrie or Daughtry? That's The Question.

Dua hari lalu resepsionis kantor mengantarkan sebentuk segi empat kertas karton warna merah ke mejaku.
”Apaan nih?” pikirku yang sedikit merasa terganggu karena sejenak konsentrasi dalam menulis skrip untuk Frida dialihpaksakan untuk benda kecil ini.

Quickview: perhatianku otomatis langsung tertuju pada alamat pengirim dan tulisan INVITATION yang tertera dalam cetak bold. Plus ada logo Sony Ericsson yang membentuk tanda semacam ‘heart’ itu: “I ‘Sony Ericsson logo’ jamming with Daughtry”.

Hasil penelaahan kilat menunjukkan bahwa lembar karton merah ini adalah invitation buat nonton show Daughtry. Wow!
Dari ngeliat alamat pengirimnya yang sebuah publication group, aku langsung tau siapa yang bertanggung-jawab.
(Thanks ya Ruli, semoga kau berbahagia hingga akhir hayat dengan pria ndud-mu ... hehehe ...)

Tanggal acaranya yang tertera: 25 Juli 2008, pukul 18.00 WIB.
Tema acaranya: Sony Ericsson Traffic Jam Street Party.

Langsung kuambil telepon genggamku – which is Nokia, which becomes an irony for the main sponsor, ha! – dan menelpon sang pacar. Secara pacar gitu ya, pasti dia yang ada dalam top of mind kalo buat bersenang-senang.
Plus, minggu sebelumnya saat kita berdua pulang abis nonton The Dark Knight yang mantap gila itu di blitzmegaplex Grand Indonesia, aku sempat bertanya apa dia akan nonton Alicia Keys concert. Terus dia bilang lebih berminat nonton Daughtry. Tapi waktu itu aku masih ga gitu ngeh kalo ternyata show-nya Daughtry itu akan terjadi minggu berikutnya.

Tapi ga sampai 30 detik ngobrol, aku langsung kecewa.
Pacarku ga bisa menemani nonton Daughtry – meskipun dia sempat tereak gembira waktu aku ajukan pertanyaan “How do you like watching Daughtry with me?” – karena dia harus hadir di acara lain.
Acara lain yang glamour dan extravagant yang jadi salah satu hottest rumor ot this past couple of months: The Wedding of The Year (or what Jakarta Social Blog labeled as The Splendid Wedding Plan)
Dia harus datang bukan karena dia kenal keluarga mempelai wanita, tapi justru karena keluarganya kenal dengan keluarga mempelai pria. Jadilah dia harus datang bersama ibu dan bibinya.

Hhmm, aku tahu kalau pacarku memang lahirnya di Singapura, dan pendidikan dasar serta menengahnya juga dilewatkan di negeri singa itu, tapi aku baru tahu kalau keluarganya kenal dengan salah satu keluarga terkaya di negara tetangga – yang oleh Bapak Presiden (then) Habibie once called as “little red dot” – itu.
Ugh, hopefully I don’t sound like ... ehm, well, you know ... gossipy folks ... or even worse, a ‘mountaineering’ (referring to Mira Nair’s Vanity Fair). Which is very untrue in my case.

Anyway, pacarku bertanya apakah Daughtry akan perform malam around 10ish or 11ish. Alasannya, kalau sekitar jam segituan, dia bisa datang after attending that so-called The Wedding of The Year. Yah, meneketehe?! (terj. bebas: how should I know?)

Jadilah seusai perbincangan itu aku kelimpungan nyari temen asik buat nemenin nonton. Yang kira-kira bisa apresiasi musik rock juga.
First name that popped up in mind: Richard. Secara dia akan jadi teman sekantorku bulan depan. Plus dia sangat apresiatif dengan pertunjukan musik. Buktinya, mau keluarin duit jutaan buat nonton Java Jazz tahun ini. Kalo ada yang gratisan, masa sih dia nolak. Eh ga taunya dia lagi kambuh bengekannya. Dengan menangis-nangis bombay gitu terpaksa melepaskan kesempatan ini.

Ya sudah ku-pithcing-in saja tiket ini. Tapi teteup, ke siapa ya?
Ronald is certainly out of question. Bocah manja yang paling males jalan-jalan di luar area jajahannya, Pondok Indah, yang katanya already has everything to offer to satisfy his needs. Mana mau dia main ke area Senayan on Friday evening – unless dijemput. Pakai bajaj, mau?

Pacarku sih menganjurkan untuk ajak William. Tapi sebelum aku bertanya kepadanya, somehow I already know he couldn’t make it. Eh beneran dong. Dia ga bisa. Aku curiga jangan-jangan sebenarnya mau ewes-ewesan sama pacarnya yang penyanyi itu, bukan karena harus menemani Mama di rumah seperti alasan dia.
Mengelebat pikiran iseng: eh kalo seorang penyanyi pas mengalami orgasme, apakah suara desah/teriakannya juga akan terdengar indah dan merdu?

Jadilah kutanya Bradley. Eh itu orang ditelpon jam 11 siang kok ya masih di apartemen aja? Mentang-mentang bos divisi public affairs sebuah rumah produksi raksasa. Asyik bener hidupmu, bro’!
“Eh lo malam ini mo ngapain? Mau jalan sama Tisha atau mau nemenin gue nonton Daughtry nanti malam?”
Respon pertamanya: ”Heh?! Emang lagi ada Daughtry di Jakarta?”
Yaelah! Kalo ga ada, ngapain juga aku ngajakin. Aya-aya wae ni orang.
Setelah menjelaskan duduk perkara agak panjang lebar, akhirnya we made a deal. Sepakat buat nonton bareng but I have to come to his office around 5ish so we can go together. His driver will drop us at the venue. Deal yang sebenarnya rada ngerepotin bagiku, secara kantornya di area Rasuna Said sisi Kedubes Australia yang jam orang pulang kantor berubah jadi neraka kemacetan.

Phew! Untung dapat teman nonton yang kupercaya bakalan bisa dibawa asyik buat seru-seruan (hey, Brad, if you read this, jangan langsung tepuk dada besar kepala dulu!).
Otherwise, these tickets would be definitely wasted. Padahal pas barusan dapat tiket ini, to make sure the schedule – and that I’m not dreaming – aku sampai ngecek situs resmi Daughtry, lho.
Eh yang ketemu under Jakarta’s date malah hysteria, kepanikan, caci-maki - you name it - dari orang-orang yang mengaku fans berat Daughtry yang tidak bisa ngedapetin tiket nonton karena mereka ga mau membeli handphone Sony Ericsson seri Walkman sebagai satu-satunya syarat untuk dapat 2 lembar tiket nonton. Such irony, because I got mine for free. Having friends who have accesses is so much fun, right?

Tapi emang ya, seseru-serunya jalan sama sobat sendiri, lebih seru kalo having fun sama pacar tersayang.

Setuju kan, mai prenz?! (which Bradley would definitely amen-ed loudly to that)

Too bad pacarku harus datang ke resepsi supermewah itu. Otherwise, we’re definitely gonna have F-U-N tonight !!