Showing posts with label Timor Leste. Show all posts
Showing posts with label Timor Leste. Show all posts

Tuesday, March 24, 2009

Kok Bisa Yaaa ... ?


Kebetulan saja lagi tinggi hasrat bergosipnya hari ini.

Kebetulan kemarin abis bangun pagi instead of mandi, aku leyeh-leyeh dulu di kasur sambil nonton TV. No particular channel or program sih yang dilihat. Just flipping through channels.

Nah, kebetulan saja pas di salah satu kanal, sedang ada gossip selebriti a.k.a. acara infotainment. Sebenarnya pas baru liat orang yang dijadikan pembahasan, sempat males ngelanjutin nontonnya. Tapi entah kenapa saat itu I stay put. Dan kabar yang kemudian kudengar, membuatku sangat terkejut (alias shocking news!).

Ternyata si selebriti mediocre (untuk tidak menyebut dirinya artis, karena ya emang menurutku ga pantes aja, sebab sepanjang pengetahuanku yang bersangkutan ga ada kemampuan art-nya sama sekali) yang sedang dikerubutin wartawan ini lagi diinterview untuk sebuah prestasinya (tumben banget). Biasanya sih, si selebriti mediocre ini kan dirubung wartawan gossip kalau ada kasus (negatif) baru yang menyeret maupun membawa-bawa namanya.
Masih pada ingat dong, sebelumnya si selebriti mediocre ini sempat ”kondang” lagi namanya di infotainment lewat skandal tersebarnya foto-foto yang bersangkutan di bawah shower sedang telanjang bul-bul bersama her sister (sempat dikomentari oleh seorang ”pakar” telematika berinisial R.S. sebagai foto aseli bukan rekayasa) sambil berpose sensual dan terbuka. Persisnya bagaimana, silahkan googling sendiri saja ya.

Ternyata untuk kali ini aku keliru sungguh.
Si selebriti ini kembali masuk radar pemberitaan infotainment, karena dia baru saja diwisuda dan resmi memegang gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Paramadina.
Tak tanggung-tanggung, skripsinya yang mengulas hubungan diplomatik Republik Indonesia dengan Timor Leste terkait kerjasama perbatasan, berhasil mengantarkan sang selebriti lulus dengan nilai akhir tiga koma empat tujuh.
Yap, betul sekali. Kamu tidak salah baca. IPK-nya benar 3.47. Artinya, nyaris mendekati limit minimal untuk lulus dengan pujian (cum laude).

Sempat aku bertanya-tanya, apakah selama ini aku terlalu memandang rendah si selebriti terkait tingkat intelektualitasnya?
Berhubung aku pernah bekerjasama dengan si selebriti ini, dan dari hasil perbincanganku dengan salah satu teman dekat yang adalah juga saudara sepupunya si selebriti, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya dia relatif kurang tanggap dalam soal keilmuan (ini adalah eufemisme). Mungkin karena dia susah atau kurang berkonsentrasi saja selama ini (sekali lagi, eufemisme). Itulah sebabnya, mendengar kabar infotainment kalau yang bersangkutan lulus nyaris cum laude, bagiku benar-benar menjadi surprise yang shocking.

Wow! Masih bisa kuingat, beberapa orang teman yang aku tahu persis otaknya berlabirin banyak alias pintar banget, sempat dibuat jungkir balik di almamater untuk bisa meraih IPK tiga koma empatpuluhan.
Aku sendiri juga sempat dibuat tidak bisa tidur demi nilai rata-rata tiga koma empat sekian itu. Dan mendengar si selebriti yang bisa meraih indeks prestasi kumulatif lebih tinggi daripada yang kudapatkan ketika lulus, rasanya hati ini dibakar rasa iri dan tak bisa menerima keampuhan otak orang lain. Huh! Kok bisa-bisanya ya dia?

Dari awalnya rasa iri, kemudian malah jadi timbul kecurigaan (namanya juga lagi niat berghibah yang kebetulan bisa diakomodir habis-habisan di sini), sebenarnya bagaimanakah standar penilaian mahasiswa di Universitas Paramadina, apabila dibandingkan dengan almamater teman-teman?
Rasanya pertanyaan ini harus kuajukan kepada seorang teman yang pernah menjadi staff pengajar di perguruan tinggi tersebut, dan kebetulan merupakan jurusan yang sama seperti yang diambil sang selebriti.

Korek-korek info dulu aaahh ...

Friday, October 10, 2008

Nobel Peace Prize Winners, Made in Indonesia


Petang itu baru saja aku signed out dari akun surat elektronik Yahoo! –ku, yang akan secara otomatis mengembalikan pengguna ke halaman muka situs Yahoo!, ketika pandanganku tertumbuk pada laman terbarunya yang mencantumkan headline berikut : “Nobel Peace Prize Winner has been announced”. Foto yang menyertai headline itu memperlihatkan seorang pria Kaukasia tua. Unrecognizable. Karena penasaran, segera kuklik link-nya.

Aku diarahkan ke satu laman artikel yang dengan cepat kubaca. Artikel tersebut memberitakan, bahwa baru beberapa jam sebelumnya, Komite Nobel Norwegia mengumumkan siapa sosok peraih penghargaan Nobel Perdamaian untuk tahun ini.

Namanya, Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia.
Salah satu alasan Komite memilih Bapak Ahtisaari sebagai pemenang, adalah karena kerja keras beliau yang hasilnya sangat memuaskan dalam mewujudkan kesepakatan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah RI, yang dinilai berhasil dan sukses mengakhiri konflik senjata yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade.

Selamat untuk Bapak Ahtisaari.

Namun seharusnya, penghargaan bagi Bapak Ahtisaari ini lebih dipandang sebagai tamparan telak bagi bangsa kita. Karena ini menjadi kali kedua nama Indonesia kembali disebut oleh Komite Nobel sebagai alasan yang mendasari penganugerahan penghargaan paling prestisius ini, dan keduanya untuk alasan yang tidak mengenakkan. Baru 12 tahun sebelumnya, Uskup Timor-Timur (dulu) Carlos Felipe Ximenes Belo dan tokoh Fretilin, José Ramos Horta, diumumkan sebagai peraih penghargaan serupa atas upaya-upaya mereka untuk mewujudkan perdamaian di daerah Timor-Timur (sekarang Timor Leste) yang terus bergejolak.

Itu artinya, dalam dua kali kesempatan penghargaan yang berselisih duabelas tahun ini, nama Indonesia disebutkan dalam konteks cenderung negatif dan tidak pantas dibanggakan oleh Komite Nobel. Adalah militer Indonesia yang brutal dan opresif lah yang menjadi “tokoh antagonis” dan penyebab utama ketiga tokoh di atas meraih Nobel Perdamaian.

Andai saja Bapak Pramoedya Ananta Toer yang kabarnya berulang-kali masuk bursa nominasi penghargaan betul-betul berhasil meraih Nobel Sastra sebelum akhirnya dijemput ajal, lengkaplah sudah wajah bengis keantagonisan militer Indonesia. Bagi para penikmat karya-karya Bapak Pram, demikian beliau biasa dipanggil di masa hidupnya, tentu mengerti betul alasannya.

Dan jika saja pemerintah Republik ini, atau elemen-elemen tertentu yang terkait dan memang relatif memiliki power, terus saja melakukan ketidakadilan dan kekerasan di negara ini, bisa jadi di masa yang akan datang kembali lahir peraih penghargaan Nobel berikutnya, made in Indonesia.