Friday, October 10, 2008

Nobel Peace Prize Winners, Made in Indonesia


Petang itu baru saja aku signed out dari akun surat elektronik Yahoo! –ku, yang akan secara otomatis mengembalikan pengguna ke halaman muka situs Yahoo!, ketika pandanganku tertumbuk pada laman terbarunya yang mencantumkan headline berikut : “Nobel Peace Prize Winner has been announced”. Foto yang menyertai headline itu memperlihatkan seorang pria Kaukasia tua. Unrecognizable. Karena penasaran, segera kuklik link-nya.

Aku diarahkan ke satu laman artikel yang dengan cepat kubaca. Artikel tersebut memberitakan, bahwa baru beberapa jam sebelumnya, Komite Nobel Norwegia mengumumkan siapa sosok peraih penghargaan Nobel Perdamaian untuk tahun ini.

Namanya, Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia.
Salah satu alasan Komite memilih Bapak Ahtisaari sebagai pemenang, adalah karena kerja keras beliau yang hasilnya sangat memuaskan dalam mewujudkan kesepakatan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dengan pemerintah RI, yang dinilai berhasil dan sukses mengakhiri konflik senjata yang telah berlangsung selama lebih dari tiga dekade.

Selamat untuk Bapak Ahtisaari.

Namun seharusnya, penghargaan bagi Bapak Ahtisaari ini lebih dipandang sebagai tamparan telak bagi bangsa kita. Karena ini menjadi kali kedua nama Indonesia kembali disebut oleh Komite Nobel sebagai alasan yang mendasari penganugerahan penghargaan paling prestisius ini, dan keduanya untuk alasan yang tidak mengenakkan. Baru 12 tahun sebelumnya, Uskup Timor-Timur (dulu) Carlos Felipe Ximenes Belo dan tokoh Fretilin, José Ramos Horta, diumumkan sebagai peraih penghargaan serupa atas upaya-upaya mereka untuk mewujudkan perdamaian di daerah Timor-Timur (sekarang Timor Leste) yang terus bergejolak.

Itu artinya, dalam dua kali kesempatan penghargaan yang berselisih duabelas tahun ini, nama Indonesia disebutkan dalam konteks cenderung negatif dan tidak pantas dibanggakan oleh Komite Nobel. Adalah militer Indonesia yang brutal dan opresif lah yang menjadi “tokoh antagonis” dan penyebab utama ketiga tokoh di atas meraih Nobel Perdamaian.

Andai saja Bapak Pramoedya Ananta Toer yang kabarnya berulang-kali masuk bursa nominasi penghargaan betul-betul berhasil meraih Nobel Sastra sebelum akhirnya dijemput ajal, lengkaplah sudah wajah bengis keantagonisan militer Indonesia. Bagi para penikmat karya-karya Bapak Pram, demikian beliau biasa dipanggil di masa hidupnya, tentu mengerti betul alasannya.

Dan jika saja pemerintah Republik ini, atau elemen-elemen tertentu yang terkait dan memang relatif memiliki power, terus saja melakukan ketidakadilan dan kekerasan di negara ini, bisa jadi di masa yang akan datang kembali lahir peraih penghargaan Nobel berikutnya, made in Indonesia.

No comments: