Monday, October 6, 2008

Imajinasi Tingkat Tinggi



Bisa jadi masih belum banyak penduduk negeri ini yang tahu dan sadar, bahwa sejak beberapa bulan lalu sampai awal tahun depan, adalah masa kampanye politik jelang Pemilu 2009. Barangkali karena masa kampanye kali ini sangat panjang apabila dibandingkan masa-masa sebelumnya yang hanya dalam hitungan tiga bulanan, jadi masih banyak partai politik yang seolah-olah testing the water dan cenderung mengambil sikap menunggu, menanti partai mana yang akan melakukan start duluan dan dengan cara apa. Mayoritas partai-partai politik ini belum lagi kencang menghambur-hamburkan dana untuk berpromosi, apalagi menggebrak dengan kampanye yang bersifat massive dan sensasional.

Barangkali baru sejak medio Agustus lah mulai ramai bermunculan berbagai spanduk, umbul-umbul, billboard dan bentuk-bentuk media luar ruang lainnya, yang mengusung nama, logo maupun wajah yang mewakili partai politik tertentu, menghiasi (atau mengotori ?) berbagai tempat strategis di seantero Jakarta dan sekitarnya. Sudah jamak memang apabila pesan politik disampaikan lewat berbagai media yang bisa mengakomodasinya, dengan titik-titik sentuh bersifat langsung dengan olahan seefektif mungkin (masih ingat kampanye Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Pemilu 2004 dengan slogan ”Moncong Putih” ?).

Salah satu medium penyampaian pesan politik yang paling diminati sejak dulu hingga kini, sudah tentu adalah lewat tayangan iklan di televisi. Belakangan ini, dua muka lama mulai rajin menyambangi layar kaca kita : Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, dan Wiranto dari Partai Hanura. Sejujurnya buatku pribadi, agak seram melihat kedua sosok ini bangkit lagi di masa kini, mengingat track record keduanya yang tidak bisa dikatakan bersih dari pelanggaran hak azasi manusia pada masa keduanya masih menjadi pimpinan militer di era Orde Baru.
Namun yang juga menarik untuk dicermati adalah kemunculan dua wajah baru yang berusaha mengimbangi dua muka lama tadi, yaitu Soetrisno Bachir dari Partai Amanat Nasional, serta Rizal Mallaranggeng.
Khusus untuk nama yang disebut terakhir ini cukup memancing rasa penasaranku, karena beliau yang mengaku dalam iklan satu halamannya di harian Kompas, mengklaim dirinya tidak disokong oleh partai politik manapun dalam upayanya memperkenalkan diri ke publik. Plus, kata adik kandung penasihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, dirinya juga bukanlah seorang pengusaha. Intinya adalah, beliau menyatakan dirinya sebagai calon presiden independen yang berangkat dari jalur perseorangan.
Hal ini jelas-jelas di kemudian hari menimbulkan tanda tanya besar : darimanakah beliau mendapatkan dana untuk menjalankan kampanye politiknya? Terlebih kalau melihat billboard ekstrabesar dua sisi yang memasang wajahnya di seputaran Jembatan Semanggi yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Sekali lihat, pasti langsung terbayang gelontoran dana yang harus dikucurkan untuk mengisi kedua sisi billboard tersebut dengan wajah bapak berkumis tebal ini. Belum lagi, sekian banyak jenis dan versi iklan politik beliau. Perhitungan kasar pun memunculkan angka milyaran rupiah.
Sayangnya, menurut hasil polling yang kulihat bulan lalu di acara politik tvone, berbagai iklan politik beliau masih belum memberikan dampak nyata di tataran political awareness rakyat negeri ini. Barangkali karena rakyat negeri ini masih belum terbiasa dengan kampanya multi-media a la Barack Obama.

Sedangkan menurut pendapatku pribadi, memasang iklan politik di area sepanjang jalan Gatot Soebroto, Sudirman dan Thamrin, itu sudah biasa.
Yang menjadi luar biasa, barangkali apabila memasang iklan di beberapa tempat yang lebih lazim dipergunakan sebagai medium promosi niaga, seperti billboard aktif yang ada di dekat gedung BEI, di depan Pusdiklat Deplu, atau memblok area dinding luar salah satu mall terkenal di kawasan Senayan, yang seingatku pertamakali dilakukan oleh MRA Media untuk mempromosikan majalah Esquire Indonesia edisi perdana kurang-lebih satu tahun lalu, yang terbukti cukup sukses menggoyang pasar majalah khusus pria dewasa di negeri ini.




Setidak-tidaknya, dalam imajinasiku, kalau aku memiliki uang dalam jumlah besar untuk dihambur-hamburkan, aku pun ingin menampilkan wajahku dengan cara yang kurang-lebih serupa.
Apalagi kalau pemotretannya dilakukan oleh fotografer kelas dunia, seperti Annie Leibovitz atau David LaChappelle atau Mario Testino.
Lantas dicetak dalam ukuran raksasa dan dipajang di mall tadi.
Cukuplah memajangnya selama empat minggu, dengan empat versi berbeda yang berganti setiap minggunya; dijamin setidak-tidaknya akan ada beberapa juta pasang mata yang akan melihat poster raksasa itu selama kurun waktu tersebut, yang kemudian diharapkan akan dapat memancing rasa penasaran mereka untuk mencari tahu lebih banyak lagi.
Niscaya langkah ini tentu akan berhasil meningkatkan awareness atas diriku, suatu hal yang kata William sudah relatif berhasil kulakukan di beberapa situs jejaring sosial bersifat pertemanan (i.e. Friendster dan Facebook), berkat foto-foto pribadiku yang (kuharap bisa memberikan kesan) artistik.

Ngayal berlebihan, sekali-sekali boleh dong?





No comments: