Thursday, October 23, 2008

Writers Association, for Real


Reality shows may not have the kind of scripts used in conventional TV dramas and comedies, but they do have scripts that plot stories, suggest dialogue, and indicate how the final cut should be framed. Increasingly, those responsible for formulating those scripts in USA’s television businesses are demanding the benefits of the already established TV writers, who formed union under Writers Guild of America.

Well, that’s in the U.S. How about here, in Indonesia?

Jangankan untuk penulis skrip TV program, untuk mewakili SELURUH pekerja industri kreatif di negeri ini saja tidak ada union-nya. Tidak ada organisasi profesi yang mewakili dan menyuarakan hak-hak pekerja industri ini. Cukup memprihatinkan.
Mungkin gara-gara zaman dulu, katanya, Partai Komunis Indonesia mempergunakan berbagai organisasi dan serikat profesi sebagai onderbow pendukung gerakan partai, jadilah sampai beberapa tahun lalu, masih banyak saja yang alergi atau minimal mencurigai, pada upaya-upaya dari sementara pihak yang ingin membentuk serikat pekerja (apapun).
Sekedar gambaran saja, kalau di era Orde Baru dulu, sosok macam Muchtar Pakpahan dan Budiman Sudjatmiko yang aktif memberikan pendidikan organisasi kepada para buruh itulah yang dianggap sebagai simbolisasi bangkitnya kembali kekuatan komunisme di negeri ini (yeah, right! *rolling eyes*).
Lalu bagaimana dengan sekarang? Ternyata mereka sudah berhasil menduduki kursi wakil rakyat di Senayan sana.

Sebagai seorang yang pernah meniti karir di dunia pertelevisian Indonesia, jelas hal-hal semacam ini menjadi perhatianku. Meskipun kini tidak lagi mencari nafkah di dunia tersebut, tapi aku masih punya banyak kenalan yang bertanggung-jawab dalam menciptakan dan memproduksi berbagai program siaran yang menghiasi layar kaca ratusan juta unit televisi negeri ini.
Terkadang kalau bertemu mereka dalam berbagai kesempatan berbeda, biasanya yang sering terucap dari mulut teman-temanku ini adalah berbagai keluhan mengenai pekerjaannya. Yang terlalu menyita waktu lah, yang menguras fisik dan stamina lah, yang bikin stress karena dikejar target rating lah, yang gajinya terasa ga pernah mencukupi lah, dan masih banyak alasan lainnya.

Aku juga punya keluhan sendiri dengan pekerjaanku yang sekarang, tapi setiapkali mendengar curhatan teman-temanku ini, deep down inside aku malah jadi berucap syukur. Masih diingatkan bahwa apa yang kudapatkan sekarang, meski terkadang kurasa tidak memadai, ternyata masih lebih daripada teman-temanku yang lain.

Padahal mulai tahun ini, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah meminta secara khusus dukungan dari jajaran pembantunya, semacam menteri-menteri dan departemen terkait, untuk mendukung pertumbuhan industri kreatif Indonesia, yang katanya, dan memang ada betulnya juga, sangat potensial sebagai alternatif dalam meningkatan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Tampaknya Bapak kita ini “termakan” dengan fenomena kesuksesan film Ayat-Ayat Cinta, yang katanya secara hitung-hitungan bisnis minimal sudah sekian belas kali melewati BEP-nya.

Namun agak sukar rasanya membayangkan pertumbuhan industri kreatif dengan tingkat yang menggiurkan akan terjadi – dan kalaupun betul kejadian, akan berlangsung secara kontinyu – tanpa adanya keterwakilan dalam bentuk organisasi profesi, seperti pada profesi-profesi lainnya (masa buruh pabrik saja punya asosiasi?).

But for this time being, sepertinya para pekerja industri kreatif (terpaksa) harus berpuas diri dulu untuk terus (dipacu) berkarya demi mengejar Rupiah (bonus kalau target rating terlampaui), demi bisa bertahan hidup (dan berbelanja di mall kelas menengah-atas). Dan mudah-mudahan saja kondisi tanpa keterwakilan ini tidak bertahan lama.
Kabar-kabarnya sih, di Senayan sana sedang ada upaya pembentukan organisasi profesi bagi para pelaku industri kreatif yang dilindungi oleh Undang-undang.

Semoga saja tidak jadi organisasi macan ompong. Karena yang begitu itu sih sudah banyak.

No comments: