Friday, November 28, 2008

Ini yang Katanya Piawai ?



Kalau ditanya, pos belanja apa yang paling disesali dalam bulan ini, jawabanku bisa jadi adalah, mengeluarkan uang sebanyak Rp. 32.500,- untuk membeli “Telaga Fatamorgana”. Ini adalah sebuah buku yang berisikan himpunan cerita pendek karangan Happy Salma.

Kalau ditanya kenapa bisa membeli buku ini, jawabnya, adalah karena rasa penasaran sehabis baca blurb-nya. Plus, fakta bahwa buku kumpulan cerita pendek Nona Salma sebelum ini yang merupakan debutnya di ranah sastra Indonesia berhasil mengantarkannya menjadi nominator Khatulistiwa Literary Award untuk kategori Penulis Muda Berbakat.

Awalnya ketika membaca bagian kata pengantar yang dijuduli ‘Menulis Sebagai Hidup’, sempat terbersit rasa heran karena dengan jujur Nona Salma mengungkapkan bahwa ada beberapa judul cerpennya yang ditolak untuk diterbitkan oleh beberapa publikasi / majalah karena dinilai kurang sesuai dengan visi media yang bersangkutan.

Namun setelah membaca lebih dari separuh isi "Telaga Fatamorgana", yang muncul dalam pikiran justru pertanyaan, jangan-jangan tujuh cerita pendek pertama dari duabelas yang dikumpulkan dalam buku ini adalah rejected short stories, karena menurut hematku, sungguh tidak ada satu pun yang berkualitas baik untuk dipublikasikan bagi konsumsi publik literasi. Bingung rasanya mencari-cari dimana letak kepiawaian menulis seorang Nona Salma yang diklaim demikian di bagian belakang sampul buku himpunan ini.

Mau ga mau meskipun enggan terlihat seperti orang sinis dan / atau nyinyir, aku jadi sedikit curiga dan bertanya-tanya, apakah buku ini dinilai penerbitnya layak terbit menurut hitung-hitungan bisnis lebih karena faktor nama pengarangnya yang sudah dikenal khalayak luas semata?

Anda pun bisa turut menentukannya, karena dengan senang hati akan aku pinjamkan buku ini. Silahkan mendaftar dalam kolom yang tersedia.

Thursday, November 27, 2008

Duka Bagi Mumbai


ketika teror mengintai dari balik gelapnya bayangan
menantikan saat-saat kelengahan menjelang
lalu pada masanya
teror pun menyergap dengan tiba-tiba



kebuasan yang meradang dan menerjang
bangkit menyerang dari relung jiwa yang paling kelam
kini tak lagi ia pedulikan identitasmu
tak lagi ia perhatikan siapa dirimu



dalam kebuasan teror yang memberontak
meluncur kencang dari hati yang membusuk karena dendam
kini yang dicari dan dimintanya dari dunia hanyalah



kerusakan
penderitaan
kehancuran
kematian


empati dan duka mendalam bagi para korban aksi terorisme di Mumbai
semoga jiwa-jiwa yang tercerabut mendapatkan ketenangan dan kedamaian di lain dunia


Menikmati M*



Pernah kubaca entah di mana, seseorang yang kulupa entah siapa, mengatakan bahwa menulis blog itu sama saja dengan bermasturbasi dengan pikirannya.

Oops !
Menurut hematku pribadi, pendapat yang diparafrasekan kembali di atas itu lumayan vulgar. Dan terasa tidak pada tempatnya. Bisa jadi – ini berdasarkan kecurigaan tak berdasar semata – karena yang mengeluarkan pendapat itu cuma asal bunyi saja, sekedar cetusan mencari sensasi belaka.
Ibarat kata, biar happening aja gitu.
(Menggunakan idiom ”ibarat kata” barangkali akan membuat sementara pihak menduga kalau aku terinspirasi oleh Dewi Perssik kala dirinya sedang diinterview oleh para wartawan infotainment)

Soalnya, apa perbedaan nyata antara aktivitas menulis blog dengan menulis diary, selain medium yang dipergunakannya ?
Menulis blog jelas-jelas ditujukan untuk konsumsi khalayak – karena kalau tidak, buat apa dipasang di wilayah yang terkategorikan sangat umum karena bisa diakses oleh sejuta umat. Benar demikian, bukan ? Sedangkan menulis diary jelas-jelas termasuk dalam ranah pribadi, karena rasa-rasanya tidak ada yang melakukannya dengan tujuan untuk kemudian sengaja diekspos/dipublikasikan kepada masyarakat luas.
Tapi tak pernah kudengar ada pendapat yang mengatakan kalau rajin menulis diary berarti gemar bermasturbasi (masih “dengan pikirannya”, ingat dong embel-embel yang ini jangan sampai lupa). Padahal kegiatan menulis diary kan cenderung dilakukan kala si penulis sedang sendirian di dalam sebuah ruangan, saat dirinya merasa rileks dan nyaman serta bisa berkonsentrasi penuh pada aktivitas yang ingin dilakukannya. Bedanya apa coba dengan kondisi yang memungkinkan seseorang bermasturbasi ?

Nah, apabila kembali lagi ke premis yang mendasari tulisan ini, yaitu untuk mengomentari pendapat di atas, rasanya jadi agak semakin membingungkan. Bila dikatakan ”target” pembaca blog itulah yang menjadi dasar pembentukan pendapat itu tadi, berarti bisa jadi ”tuduhan” sesungguhnya adalah bahwa penulis blog itu eksibisionis dong. Secara ”masturbasi” dengan tujuan bisa dinikmati oleh orang lain. [*euw*]

Barangkali hanya aku saja yang jadinya berpendapat begini : si pencetus pendapat itu tadi malah terkesan pervert yah. Seperti si kakek cabul di Dragon Ball, yang memiliki kecenderungan (baca: fetish) berbeda dengan mayoritas orang lainnya, tapi malah menganggap kelompok mayoritas lah yang memiliki kekeliruan. Hhhmm ...

Ngomong-ngomong nih, mengapa lebih banyak orang Indonesia yang tidak mengetahui bahwa padanan kata dalam bahasa Indonesia untuk masturbasi adalah ”merancap” ?
Entah apa akar katanya, dan aku belum sempat mencoba mencari referensi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, apa bentuk kata dasarnya; apakah ’ancap’ atau ’rancap’.

Barangkali ada yang bisa membantu memberikan pencerahan ?

Saturday, November 22, 2008

"Muslimah" yang Tidak Islami



Penghentian penayangan program “Empat Mata” di Trans 7 setelah menayangkan episode kontroversial yang menampilkan aksi Sumanto memakan kodok hidup-hidup barangkali memenuhi asas keadilan mayoritas pemirsa televisi negeri ini. Aku sendiri kebetulan tidak menyaksikannya, karena memang jarang menonton televisi. Namun setelah mendengarkan deskripsi dari seorang rekan betapa vulgarnya gambar-gambar yang dipancarteruskan oleh Trans 7, terus terang aku sendiri jadi sangat mengerti dan memahami serta menyetujui dihenti-tayangkannya “Empat Mata” sampai waktu yang belum ditentukan.

Peristiwa ini lantas mengingatkanku pada satu kejadian yang sangat mengganggu pikiran dan nurani, terkait penayangan sebuah sinetron religi. Kalau misalnya kita berbicara betapa buruknya kualitas mayoritas sinetron Indonesia, sudahlah, pasti akan menjadi obrolan panjang kali lebar tanpa ujung. Namun khusus untuk satu ini, aku sungguh berharap Komisi Penyiaran Indonesia memperhatikan dengan sangat serius serta memberikan peringatan keras kepada rumah produksi yang memproduksi, serta Indosiar sebagai stasiun televisi yang menayangkan sinetron berjudul “Muslimah” (tayang setiap hari antara jam 18.00 s.d. 19.00 WIB).

Bayangkan saja, dalam salah satu episode-nya yang tayang pada tanggal 28 Oktober 2008, sungguh membuat aku bertanya-tanya dan tidak habis pikir, sesungguhnya apa yang ada di dalam kepala si penulis cerita, sutradara, para aktor dan aktris hingga produser sinetron “Muslimah”, karena bisa-bisanya menghasilkan suatu tayangan sebusuk ini.

Kebetulan pada saat itu aku hanya menonton satu segmen – yang kurang lebih berdurasi 8-10 menit, tapi dari hanya satu segmen itu sudah berhasil membuatku jijik dan mual habis-habisan. Sekedar informasi, episode yang tayang tanggal 28 Oktober tersebut merupakan satu-satunya episode “Muslimah” yang kusaksikan.

Bayangkan saja, dalam satu segmen tersebut, pertama kali yang kulihat adalah seorang perempuan (yang sepertinya tokoh antagonis) sedang mengintai si tokoh protagonist (Titi Kamal dengan peran bernama Muslimah, the titular character), yang sepertinya sedang dirawat inap dalam sebuah kamar di rumah sakit. Kebetulan sekali saat itu lewatlah seorang perempuan petugas cleaning service yang memergoki si tokoh antagonis. Dasar sial, si perempuan petugas cleaning service dipukul kepalanya sampai tak sadarkan diri oleh si tokoh antagonis, lalu baju seragamnya dicopot untuk dipakai si tokoh antagonis menyamar. Ini artinya, si perempuan petugas cleaning service dibiarkan terbaring hanya mengenakan pakaian dalam.
Adegan berikutnya berganti dengan memperlihatkan dua orang cewek yang terlibat dalam cekcok mulut yang begitu intens, lalu salah satu cewek itu menampar cewek lainnya, yang dibalas dengan tonjokan di wajah cewek pertama, tapi perkelahian mereka tak berlanjut karena terdengar bunyi bel pintu.
Adegan selanjutnya berganti lagi menjadi sebuah ruangan lain. Seroang perempuan dengan emosi mengambil seorang bayi dari dalam boks tempat tidurnya, lantas berteriak-teriak keras dengan mata melotot-lotot tajam ke si bayi, membuat si bayi menangis dengan keras.
Berikutnya adegan kembali ke awal segmen, ketika si perempuan antagonis yang sudah menyamar sebagai petugas cleaning service sudah berada di dalam kamar dan sedang berusaha menikamkan pisau dapur panjang ke tubuh Muslimah untuk membunuhnya, sambil menjambaknya keras hingga jilbab Muslimah copot.

Persis di adegan tersebut, aku berhenti menonton. Tak sanggup rasanya.

Benar-benar gila !! Ini sih tindakan pembodohan tingkat luar biasa yang dilakukan secara sadar dan sengaja, yang entah mengapa bisa dipancarteruskan dengan leluasa, bahkan menempati jam tayang utama, ketika anak-anak masih bisa bebas menyaksikannya !!

Yang membuat aku betul-betul sedih, adalah karena sinetron “Muslimah” ini, yang memang awal produksinya untuk menyambut bulan Ramadhan tempo hari, ‘menjual’ semua kekerasan dan ketidakmanusiawian itu dalam bungkusan agama Islam. Padahal masih ada begitu banyak jalan lain yang lebih cantik dan santun untuk menyiarkan pesan-pesan agama, tanpa perlu menampilkan adegan-adegan kekerasan secara eksesif seperti yang kudeskripsikan di atas. Andaikan aku seorang Muslim, pastinya tak bisa kuterima agama yang kupercayai ditampilkan dengan cara demikian, dan dikait-kaitkan dengan tindakan kekerasan yang tidak berperikemanusiaan.

Satu harapanku kepada teman-teman yang membaca tulisan ini, khususnya apabila teman-teman sudah memiliki anak, agak menjaga betul anak-anak Anda. Sedapat mungkin, jauhkan dari berbagai tayangan televisi, terutama dari sinetron kita yang aku yakin, minimal 90 % -nya mengandung content yang tidak akan memberikan manfaat apapun bagi pemirsa.

Sayangi keluarga Anda, lindungi anak-anak Anda, boikot tayangan-tayangan tidak bermoral di televisi kita.



Friday, November 21, 2008

OH @ a Hotel’s Lobby


Di suatu siang yang relatif panas akibat garangnya terik sinar matahari untuk standar suhu bulan November yang seharusnya lebih adem daripada saat ini, tapi semua itu tidak terasa sama sekali di area lobby berpenyejuk ruangan sentral di sebuah hotel berbintang lima di seputaran Jakarta Pusat.

Terlihat di salah satu sofa duduklah seorang lelaki yang tampak matang usia dan ramah karena selalu tersenyum dan beberapa kali terdengar tawanya pecah, sedang asyik berbincang dengan seorang perempuan berambut pendek sebahu yang mengenakan pakaian serbahitam, tapi pastinya kalau dinilai dari bentuknya bukan seragam dari kantor manapun.

Lelaki : Eh, jadi nih kita ke Warung Kopi kondang itu?
Perempuan : Ya sudah, hayu’ atuh.
Lelaki (sambil bangkit berdiri dari sofa) : Tapi bentar dulu ya. Gue kebelet pipis nih.
Perempuan (ikut-ikutan bangkit dari sofa) : Oh, kalau gitu kita barengan aja. Kebetulan gue haus nih.
Lelaki (berhenti mendadak) : ... ... Eh ?!?! (lalu tawanya kembali meledak)



Twitterer lazim menyebut pengutipan semacam ini
– dalam versi yang lebih singkat – dengan akronim OH.







Thursday, November 20, 2008

Yearning For More ...


It is 30 minutes past 1 AM already.
Thursday, November 20th, 2008.

After facing my personal computer in this darn office for over 12 hours, I start to imagining things,
That I’m already sleeping soundly on my comfortable bed and dreaming about electronic sheep and a paradise on earth where I don’t have to work my ass for miniature income until such wee hours.

Sleep, nothing that I crave more than it now.




Tuesday, November 18, 2008

Arogan



Sori banget nih kalau gw tidak merespon elo
Dan nyuekin elo habis-habisan
Juga karena bertingkah seolah elo itu ga ada dalam jangkauan radar gw
Menjadikan elo bagaikan seorang yang tak bisa terdeteksi oleh panca indra

Sesungguhnya itu semua gw lakukan karena
Suatu alasan yang sebenarnya cukup sederhana
Tapi mungkin elo ga pernah menyadarinya
Karena ga ada yang berani, bisa dan mau ngasitau langsung ke elo

Sejujurnya,
Gw tuh udah bosen banget denger berjuta janji surga
Yang terus aja lo berikan, tapi
Sampai kini ga pernah bisa elo tepati

Coba sesekali elo pikirkan sendiri,
Emangnya di dunia ini
Cuma elo seorang yang suka sama gw?

Monday, November 17, 2008

Era Baru Komunikasi Politik Indonesia



Bagiku pribadi, yang menarik disimak dari kemenangan telak kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Barack Obama, atas kandidat dari Partai Republik, John McCain, adalah terkait metode kampanye yang dipergunakan oleh President-elect Obama ini.

Bahkan sejak waktu pertama kali beliau terjun untuk menjadi calon kandidat dari Partai Demokrat – yang antara lain harus bersaing menghadapi Senator Hillary Clinton, sepak terjang Obama sangat diperhatikan karena ia sangat memanfaatkan dan mengandalkan kekuatan dunia virtual alias media internet.
Hampir semua situs jejaring sosial terkemuka dimanfaatkan oleh tim sukses beliau untuk berkampanye. Hingga akhirnya beliau memang kemudian menang dalam pemilihan dan terpilih dalam Konvensi Partai Demokrat untuk maju sebagai calon Presiden dari Partai Demokrat.

Penggunaan situs jejaring sosial secara maksimal oleh tim sukses Barack Obama bukan tidak diperhatikan dengan teliti oleh para pesaingnya. Dalam salah satu pidatonya ketika berkampanye, si ‘Bapak Tua yang Ketinggalan Jaman’ alias John McCain, menyindir saingannya dengan menyatakan betapa rajinnya Barack Obama menghabiskan waktu untuk tweeting dan apakah dia pernah bertemu dengan sesama fellow Twitterer, istilah yang dipergunakan oleh para pengguna layanan Twitter ketika meng-update informasi tentang diri mereka.

Sebagai salah satu pengguna setia (alias Twitterer) sejak lebih dari satu tahun belakangan ini, aku sempat merasa geli sendiri pada ketertinggalan zaman si Bapak Tua McCain. Dia membuat dirinya sendiri tampak bodoh di mata para pemilih muda yang sangat akrab dengan teknologi informasi alias internet (mereka yang dapat juga disebut sebagai "Generasi Mac", bukan karena mereka mendukung McCain, tapi karena merupakan generasi yang sangat akrab dengan teknologi dan menjadi konsumen loyal dari produk-produk Apple).

Dan sebagaimana yang akhirnya telah kita semua ketahui bersama, semua upaya dan kerja keras tim sukses Obama membuahkan hasil gemilang dengan kemenangan mutlak Obama atas McCain.

Yang kemudian menjadi fenomena menarik yang patut disimak adalah, metode kampanye Barack Obama ini bukan tidak mungkin akan ditiru oleh para aspirant calon pemimpin di seluruh dunia.
Ini adalah taktik yang juga sudah mulai diadopsi oleh Bapak Rizal Mallaranggeng (yang punya blog dan akun Facebook), dan secara terbuka diakui beliau memang diinspirasikan oleh metode kampanye Mr. Obama.




Mengingat bahwa penetrasi internet (alias melek internet) di negeri ini sedang sangat digalakkan (ingat rangkaian iklan Telkom seri "Internet Masuk Desa" ?), bukan tidak mungkin dengan semakin meningkatnya suhu politik nasional menjelang Pemilu bulan April 2009 (mohon dikoreksi bila aku keliru), mulai awal tahun depan kampanye calon presiden Republik Indonesia juga akan menyerbu dunia virtual yang selama belasan tahun ini relatif steril dari siapapun kandidat pemimpin negeri ini.

Bisa jadi, bukan hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saja yang rajin menyapa rakyat negeri kita lewat kiriman SMS massal, tapi juga para kandidat pemimpin lainnya. Belum lagi belakangan ini diberitakan luas bahwa salah satu partai besar sudah menyatakan akan meninggalkan metode kampanye melalui pengumpulan massa. Barangkali mereka masih tidak bisa melupakan salah satu foto yang pernah tampil di Kompas pada tahun 2003, memperlihatkan satu orang pria yang sama yang ikut dalam kampanye tiga partai politik berbeda (sayang, aku tidak bisa mendapatkan foto itu). Kita lihat saja apakah komitmen partai ini benar-benar dilaksanakan atau tidak tahun depan.

Yang jelas, marilah kita tetap bersemangat menyambut datangnya era baru komunikasi politik di Indonesia!


Friday, November 14, 2008

menggumam pelan

dan ketika kubuka mataku pagi tadi tak lagi kutemukan dirimu terlelap di sampingku membuatku sadar bahwa hari-hari itu telah silam dan harusnya tak lagi kuharap kembali tapi entahlah mungkin aku sudah terlalu terbiasa menatap senyummu yang menghiasi wajah meskipun aku tahu pikiranmu sedang berkelana dan kuyakin sudah lama hal itu kamu ketahui dari caraku menatapmu setiap kali kita bertatap pandang yakinlah bahwa aku masih sayang.

Wednesday, November 12, 2008

Pilih Sendiri Cara Asyik Nyiapin Kematianmu!



Pernahkah kamu memperhatikan iklan-iklan Obituary yang kalau mau repot-repot dihitung, ternyata setiap harinya menyita cukup banyak space permilimeter kolom di koran-koran nasional? Lazimnya iklan-iklan semacam ini selalu menampilkan deretan nama mereka-mereka yang turut merasakan duka cita dengan meninggalnya sang subjek obituari, entah mereka ini dari kalangan ayah-ibu, suami-istri, anak-ipar, sepupu-keponakan, cucu-cicit, handai taulan-tetangga, dan seterusnya.

Anehnya, dalam beberapa iklan dapat diindikasikan bahwa ada anggota keluarga yang turut berduka cita justru telah terlebih dahulu berpulang daripada subjek yang di-obituari-kan. Padahal apabila menggunakan logika agama atau kepercayaan manapun, bukannya seharusnya para “pendahulu”-nya merasa senang ya, karena dengan wafatnya si subjek obituari, artinya sekarang bertambah lagi temannya untuk melewatkan waktu di alam lain sana?

Satu hal lain yang cukup menarik diperhatikan dalam iklan-iklan obituari ini, biasanya foto yang ditampilkan untuk mengidentifikasi mendiang/almarhum/-ah, adalah foto andalan di masa-masa keemasan yang bersangkutan. Meskipun banyak juga sih yang menampilkan foto-foto di kala sudah memasuki usia senior (untuk tidak mengatakan uzur). Ditengarai, ini bisa jadi adalah pas foto yang bersangkutan ketika mendaftarkan diri untuk pembuatan KTP seumur hidup.

Rada aneh memang. Padahal kan pepatah mengatakan, “In this world, nothing is certain but death and taxes.” Tidak ada yang pasti dalam hidup ini selain kematian dan pajak. Nah, berhubung kematian itu sudah pasti datang, kenapa tidak disiapkan selagi ada waktu luang dan dana ekstra ya? Tentu saja maksud hati bukan menyarankan untuk melakukan tindakan seperti mendiang Suzanna Martha Frederika van Osch, yang telah membeli kafan sekitar 8 tahun sebelum dia berpulang. Tapi kan masih ada hal-hal lain yang terkait.
Misalnya, kalau orang-orang bisa meluangkan waktu, tenaga, konsentrasi dan dana sedemikian banyak untuk bikin foto-foto prewedding, kenapa tidak sekalian menyiapkan foto-foto untuk menyambut momen kematian? Toh biasanya kalau sedang disemayamkan di rumah duka, akan dipajang dalam pigura foto yang bersangkutan, seolah-olah ingin menatap satu-persatu para pelayat. So this already prepared photo must come in handy.
Namun tentu saja ada catatan khusus, yaitu disarankan agar pose si yang meninggal di dalam foto tidak harus serius, atau lebih buruk lagi, malah sengaja diseram-seramkan (secara ada kemungkinan sangat besar yang bersangkutan bukan dari kalangan paranormal, kan?). Itu sih membosankan dan tidak menarik, dan niscaya membuat para pelayat tidak nyaman. Masa kalau pengen didoakan agar diampuni dosanya dan bisa masuk surga, masih nakut-nakutin orang sih?

Jadi teringat dalam salah satu adegan di film yang dibintangi di masa-masa awal karirnya (baca, ketika giginya masih gingsul), Tom Cruise pernah ditugaskan oleh dosennya di sekolah bisnis untuk menulis sendiri obituarinya. Penilaian utama diberikan berdasarkan content materi ”jualan” yang bersangkutan tentang dirinya sendiri di masa ketika masih hidup.
Hal ini sesungguhnya menarik untuk dicermati dan dilakukan di masa kini, apalagi bagi mereka-mereka yang sangat mementingkan citra positif di masa-masa semasih hidup, sampai tidak sungkan mengeluarkan dana superekstra untuk menghadiri acara-acara sosialita (minimal, gaun yang dikenakan di setiap acara harus beda) demi bisa terpajang di halaman Tatler, dewi maupun Prestige. Karena seperti kata pepatah, ”Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang”. Kalau manusia yang is dead? Ya tinggalkan citra diri yang positif dong.

Nah, barangkali yang bisa menjadi salah satu alternatif demi menjaga kelanggengan citra positif ini, misalnya kalau calon migran antar-alam maupun ahli warisnya punya dana super berlebih dan canggung meninggalkan gaya hidup bermewah-mewah yang terlanjur diakrabi, sembari mungkin berpikir panjang nantinya ingin memudahkan anak cucu cicit berziarah dengan nyaman, bisa pilih-pilih kapling di San Diego Hill Memorial Park and Funeral Homes. Bayangkan saja, tagline produk properti ini saja sudah sangat menjanjikan ketenangan dan eksklusifitas : “There is no other cemetery like this.” Mantap ya?!

Jadi artinya, tidaklah perlu sampai harus memaksa-maksa diberikan tempat peristirahatan terakhir di salah satu taman makam pahlawan yang tersebar di seluruh negeri ini kok, hanya demi sebuah branding nama besar / nama baik. Sekedar untuk dijadikan pembanding, almarhum Bung Tomo yang tersohor berkat ketegasan sikap dan kepemimpinannya dalam perang mempertahankan kemerdekaan Republik di Surabaya, 10 November 1945 saja, tidak mendapatkan gelar pahlawan nasional hingga tahun ini.

Nah, apalagi bagi mereka – mudah-mudahan saja bukan Anda – yang bayar pajak kepada negara ini secara jujur saja masih enggan, masa masih ingin mendapatkan perlakuan lebih istimewa? Nanti apa kata dunia?


Tuesday, November 11, 2008

Two Lay Lit


INT.
Siang hari di Pizza Indonesia. Saat itu sebenarnya waktu makan siang, namun berhubung ini adalah hari Minggu, jadilah gerai Pizza Indonesia satu ini yang biasanya ramai oleh para pelanggan di hari kerja tampak relatif sepi. Terlihat ada dua-tiga keluarga dengan anak-anak kecil serta sekelompok anak muda berbicara lantang dengan logat suatu daerah dari Sumatra sedang asyik makan siang, menikmati roti tebal pizza yang khas a la Pizza Indonesia. Beberapa orang anak kecil terlihat asyik berkejaran sambil memainkan bebalonan warna-warni yang kini tampaknya menjadi standar aksesoris para pelayan Pizza Indonesia di hampir semua gerainya di seluruh negeri.

INT.
Pintu masuk gerai Pizza Indonesia terdorong membuka. “Kling!” demikian terdengar bunyi bel penanda kalau ada yang membuka pintu utama. Masuklah seorang lelaki yang usianya agak sukar ditebak, karena secara fisik terlihat seperti oom-oom tapi kalau dinilai dari pakaian yang dikenakannya, berupa t-shirt bergambar kartun lucu yang biasanya bisa ditemukan di Chatuchak dan celana pendek setrip-setrip, seharusnya ia tentu masih berusia 20-an. Si lelaki melangkah menuju counter depan – yang disediakan buat ‘mbak dan mas penjaga pintu’.


MBAK PIZZA INDONESIA:
Selamat siang! Selamat datang di Pizza Indonesia. (senyum merekah)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Eh, oh ya. Selamat siang.
(memasang senyum basa-basi karena masih kaget lihat pulasan tebal make-up si mbak Pizza Indonesia yang seperti cewek-cewek Puspita yang sempat dilihatnya dulu)

MBAK PIZZA INDONESIA:
Sendirian ya, Mas? Smoking atau non-smoking? (senyum tetap merekah lebar)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Oh, ga kok. Mau dibawa aja. (memberikan jawaban tidak nyambung)

MBAK PIZZA INDONESIA:
Oh, take away ya, Mas? Silahkan dipilih. (sambil menyodorkan daftar menu)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
(sambil membolak-balik lembaran menu) Memangnya di sini bisa smoking ya, Mbak?

MBAK PIZZA INDONESIA:
Engga sih, Mas. Di sini semuanya non-smoking.

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
(bingung) Loh?! Kalau gitu kenapa tadi ditawarin smoking atau engga’?

MBAK PIZZA INDONESIA:
(sambil tetap tersenyum dengan perasaan tak bersalah)
Yah, sudah kebiasaan di sini, Mas. Tapi nanti kalau ada yang mau merokok, kita terpaksa persilahkan di luar saja.

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Ooh, gitu? (basa-basi saja biar cepat dan ga panjang lagi ngobrolnya)


* * *



Adegan di atas memang direka ulang dari kejadian sesungguhnya, sekedar untuk memberikan gambaran bahwa ternyata sehari-hari di Kota Metropolitan ini masih saja banyak terjadi pembicaraan tidak nyambung, atau yang lazimnya di kalangan masyarakat awam dikenal sebagai tulalit. Mengapakah demikian?

Susah juga untuk memberi jawaban yang bisa dan layak dipertanggungjawabkan. Ini bukan sesuatu yang didasarkan pada teori semata. Karena pada dasarnya, komunikasi efektif itu ya bisa terjadi kalau dipraktekkan. Tapi tampaknya, masih seringkali justru sebatas angan-angan belaka. Nah, kelirunya, kalau beranggapan bahwa hanya mereka yang ”kurang berpendidikan” (sengaja pakai tanda baca quote endquote) saja yang gagal melakukannya, ... ternyata belum tentu juga!

Seorang teman bercerita, di kota tempat dia tinggal, ada sebuah billboard menampilkan sang kepala daerah – yang kabarnya memang hobi tampil, demi untuk tidak menyebut ’banci tampil’ – yang mencoba membangkitkan semangat nasionalisme anak bangsa, terkait dengan Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda, ... dengan mengkampanyekan makan pakai tangan kanan.
Nah, lho?! Apa juga hubungan logisnya antara Sumpah Pemuda dengan tangan kanan? Melakukan berbagai aktivitas dengan mengutamakan penggunaan tangan kanan kan sebenarnya masalah norma dan kebiasaan yang berlaku sejak turun temurun, mungkin sudah dilakukan sejak jamannya Patih Majapahit. Ada-ada saja memang walikota satu itu. Tulalit deh jadinya.

Lain kota, lain pula ceritanya. Seorang teman lain bertutur, dia pernah kebetulan melintas di tengah-tengah demonstrasi massa di area seputaran Bundaran Hotel Itu...tuuuh, dan tema demo hari itu adalah menolak terjadinya kemaksiatan di depan mata dan bangkitnya pornografi yang jelas-jelas mengancam akhlak, dengan menampilkan tokoh antagonis : Majalah Cap Kelinci Indonesia.
Sebagai pusat perhatian dari lautan manusia yang berulangkali mengumandangkan takbir tersebut, berdirilah sang orator dengan gagah dan penuh semangat berapi-api berteriak, ”Kita harus menolak hadirnya Cap Kelinci ini di negara kita. Anda tahu kenapa, Ibu-ibu dan Bapak-bapak?!? Karena dalam bahasa Indonesia, Cap Kelinci itu artinya sama dengan bandot. Dan bandot itu kerjaannya memangsa anak-anak gadis!”
...
...
(kalau dianalogikan dengan manga, niscaya terdengar bunyi jangkrik, "Krik, krik, krik")
...
...
Eh, ehm, ini sih tulalit tingkat fantastis!
(Sekedar catatan: Teman saya yang kebetulan sekali mendengarkan orasi bombastis tersebut, terpaksa menahan tawanya dan buru-buru ambil jurus langkah sepuluh ribu – ceritanya biar sekalian melarikan diri sembari mendukung kampanye susu kalsium tinggi)

Nah, kebetulan sekali pada hari Minggu siang tempo dulu (9.11), nomor kontak pribadiku yang paling utama tidak bisa nyambung alias tulalit, terhitung sudah berlangsung selama lebih dari 24 jam. Padahal provider-nya lagi gencar-gencarnya pasang iklan sinyal kuat selalu nyambung terus di seluruh Nusantara. Selama ketiadaan sinyal bahkan satu baris doang pun itu, iklannya tentang cowok telmi yang asyik mengisi TTS dalam bis TransJakarta bolak-balik nongol di layar kaca. Saking sewotnya lihat iklan yang tidak sesuai dengan bukti di lapangan itu, sampai kumatikan televisi di kamar. Hah!
Berhubung sudah lewat masa tenggang waktu emosional yang di setting max. 24 jam, langsung saja kuhubungi nomer Call Center-nya. Sebetulnya malas sekali berbicara dengan petugas Customer Care provider ini (dan hampir semua provider lainnya) karena – entah mengapa – berbicara dengan mereka serasa berbicara dengan orang-orang ber-IQ pas rata-rata makan. Padahal aku (seharusnya) yakin tidak demikian halnya (berhubung ada teman-temanku semasa kuliah yang dulu sempat meniti karir jadi petugas Call Center semacam ini), karena pasti ada syarat kecerdasan minimum agar bisa lolos seleksi jadi petugas Call Center.
Dan benar saja, setelah harus pencet sana pencet sini agar tersambung dengan si petugas, dan setelah harus berdebat cukup lama dengan si mbak-mbak bersuara cempreng yang aku curigai dipilih karena suaranya ga enak di telinga jadi bikin yang menelpon ga betah berlama-lama, akhirnya yang bisa dia sarankan hanyalah agar aku sebagai pelanggan bersabar dan menunggu 3x24 jam hari kerja agar nantinya dihubungi oleh petugas mereka. Mendengar saran yang bikin naik pitam ini, langsung saja panggilanku kututup. Tulalit.

Mumpung menjelang Pemilu 2009 nih. Pastinya sudah mulai banyak kampanye lewat iklan di televisi. Beriklan di media luar ruangan semacam pemasangan spanduk, poster dan billboard juga sudah mulai marak. Biasanya saat begini ini nih yang perlu dicermati, siapa-siapa saja yang pintar berkomunikasi dan siapa-siapa yang ternyata jadi ”jaka sembung bawa golok”.
Tapi sebetulnya, kedua jenis ini juga sama-sama perlu diwaspadai. Terlalu pintar berkomunikasi jangan-jangan akhirnya sosok yang bersangkutan ternyata bisanya cuma jualan kecap manis cap jempol doang. Tapi kalau dari kampanyenya saja sudah ga nyambung antara omongan dan perbuatan, bahasa tuturan dengan kelakuan, apalagi kalau jadi pemimpin atau wakil rakyat? Pasti ngeri jadinya punya pemimpin macam begini. Tidak akan jelas negara mau dibawa ke mana, karena barangkali antara otak dan alat indra lainnya tidak saling terinterkoneksitasikan (nyeleneh dikit dari istilah interconnectedness).

Jadi ingat salah satu ucapan Mario Teguh tentang calon pemimpin yang kebetulan kulihat ditayangkan di Metro TV (di episode ini, aransemen piano dan biola bikin lagu "Frozen" yang dinyanyikan Nina Tamam jadi bagus banget). Saat itu ketika arah pembicaraan terhubungkan dengan money politics yang ditengarai marak menjelang setiap pelaksanaan pemilu, di mana ada calon pemimpin yang memberikan uang dengan imbalan dipilih untuk posisi apapun itu, Bapak ini dengan tegas memberikan saran, ”Ambil uangnya, jangan pilih orangnya! Karena begitu dia terpilih, dia pasti akan mengambil lebih banyak daripada yang telah dia beri.”
Bener banget! Setuju, Pak! Pernyataan yang ’Syuper’. (mengikuti cara pelafalan Bapak ini)

Tapi apa hubungannya statement Bapak Mario Teguh barusan dengan keseluruhan isi serta maksud dan tujuan dari tulisan ini?
Ehm, memang ga ada sih. Cuma kebetulan teringat, jadilah sekalian aja dimasukkan di sini.


Iya, iya, tahu.
Tulalit.







Catatan kaki:
Keanehan judul tulisan ini memang disengaja koq!
Namanya aja ... ... ...
Yap, betul!!

Friday, November 7, 2008

Cerita Jakarta : Antara Bis Kota dan Taksi


Setelah lebih dari 1 tahun lamanya masa-masa itu kubiarkan berlalu, akhirnya tadi pagi aku mencobanya lagi ...

Naik Metromini !
Nomer 75, rute Blok M – Pasar Minggu.

Dan cara sopir metromini tadi mengemudikan bis ukuran setengah ini, ya ampun bikin aku mendadak merasa uzur karena terpaksa harus berpegangan erat pada sandaran kursi di depanku karena khawatir terjatuh dan karena tubuhku terdoyong-doyong. Jantung pun berdegup keras, takut terjadi apa-apa dan malah berakhir celaka sebagaimana yang biasa kulihat di berita tengah malam. Syukurlah, tadi aku selamat sampai di tujuan hingga bisa turun di halte dekat pom bensin Shell.

Dan kini tentu saja, merasa tidak sabar untuk menuangkannya dalam deret kalimat.

Jadilah sekarang kuteringat pengalaman-pengalaman awal mencoba ”bertualang” naik bis ukuran setengah bernama Metromini maupun Kopaja. Kepanasan, berdesak-desakan, keringatan atau terpaksa mengaromai keringat orang lain (hueks!), belum lagi harus kudu musti wajib waspada tingkat tinggi, jangan-jangan ada pelaku kriminal yang mencoba mencopet barang berharga yang sedang kubawa, atau mencoba merampok seluruh penumpang bis. Seperti yang biasa kubaca di koran-koran. Seram dan mudah-mudahan tidak akan sampai kejadian atasku.

Sejak adanya TransJakarta yang rutenya hampir menjangkau sebagian besar wilayah Ibukota, dan saat itu didukung oleh kondisi perekonomian personal yang – Alhamdulillah – meningkat jadi lebih sejahtera, mulailah kutinggalkan bis kota (besar maupun kecil) dan beralih menjadi pengguna setia kombinasi antara TransJakarta dengan taksi. Atau terkadang, penggunaannya dikombinasikan, terutama apabila terpaksa harus melewati ruas jalan yang sudah hampir pasti selalu macet. Bila kondisinya semacam ini, TransJakarta menjadi pilihan. Setelah melewati deretan titik-titik kemacetan dan kebetulan apabila tujuan akhir belum dilewati oleh busway, barulah kusambung dengan menggunakan taksi. So that I can still arrive at the designated place with style, dan tentu saja, tanpa keringat dan bau asap knalpot!

Kembali ke cerita pengalaman naik Metromini pagi ini, untungnya ada kesempatan untuk bisa memilih Metromini yang tidak padat. Jadi bisa mendapatkan tempat duduk yang diharapkan setidaknya bisa memberikan kenyamanan: tak perlu berdiri!

Ada satu keanehan perasaan yang sebenarnya sangat kuperhatikan. Bayangkan saja, aku jauh lebih takut mengalami kecelakaan lal-lintas dan menjadi korban saat menumpang Metromini dan sejenisnya. Padahal ukurannya yang besar, setidaknya menurutku, seharusnya bisa memberikan – meskipun hanya suatu ilusi – rasa nyaman. Coba dibandingkan dengan naik taksi yang ‘hanya’ berupa sedan kecil. Kalau misalnya ketabrak bis, kan bisa terpelanting tuh mobil?! Yang otomatis akibatnya jelas bisa lebih fatal, bagi si pengemudi apalagi penumpang taksi.

Ada satu hal lagi yang kuperhatikan ketika naik Metromini pagi ini. Aku baru tahu kalau ternyata tarifnya sekarang jauh-dekat Rp 2.500. Padahal perasaanku, terakhir kali naik Metromini dan/atau Kopaja, tarifnya masih Rp. 1.500. Berarti itu kejadian tahun kapan ya? Dan apabila nanti setelah 1 Desember 2008 di mana Pemerintah resmi menurunkan harga bahan bakar minyak jenis Premium sebesar Rp 500 / liter, bakal berpengaruh juga tidak ya ke tarif taksi? Secara bis kan jelas-jelas mengkonsumsi solar.

Siapatau kan nantinya tarif taksi ada penyesuaian, dalam arti berkurang beberapa ratus rupiah. Setidaknya, flagfall (tarif buka pintu) dan perkilometernya bisa disesuaikan. Ini sih kata teman-temanku, adalah ”harapan babu”. Jauh panggang daripada api. Harapan yang nyaris mustahil terwujud.
Tapi kalau misalnya kejadian, yang jelas makin rajinlah aku naik taksi dan akan mengucapkan ’selamat tinggal!’ pada bis-bis segala macam ukuran di Ibukota ini yang kondisi lebih sering tidak aman-nyaman, apalagi manusiawi.

Thursday, November 6, 2008

Omi Gawsh, Jens!



Rasanya masih susah untuk bisa benar-benar percaya!!
Ini beneran ga sih, kalau Jens Lekman emang bakal manggung di Indonesia??
Wah wah wah! Jadi bersemangat!!
Tapi koq venue-nya jauh banget ya?! Mengapa ga diadakan di Ibukota aja sih?




*Mulai merancang agenda liburan demi bisa menonton Jens Lekman live on stage.

Wednesday, November 5, 2008

Welcoming "Change"


Like the majority of people in the world and most citizens of the U.S.A., I never really thought I could live to see an African-American person becomes The President of The United States of America, not to mention a winning by landslide.

Your hard works has been paid back in rich dividends, Mr. President Barack Obama.

Congratulations!

Tuesday, November 4, 2008

OH @ a Local Branch of an International Bookstore



Pada suatu petang di sebuah akhir pekan, dalam sebuah mall kelas menengah-atas di kawasan selatan Jakarta, aku dan Dia lebih memilih untuk masuk ke dalam sebuah toko buku cabang lokal dari sebuah jaringan toko buku internasional. Kami sedang sibuk membuka-buka lembaran majalah asing terbitan terkini, the latest editions. Aku lebih memilih browsing majalah Vanity Fair dan Dia memilih GQ. We’re such loyal Condé Nasties. Apabila ditambah dengan Natalie, Rick dan Vic, makin kompletlah rombongan Condé Nast enthusiasts tersebut.

Saat itu kami berdua sama-sama sedang berdiri menghadapi rak-rak majalah impor yang membuat posisi kami jadi membelakangi pintu masuk, tapi telingaku yang relatif sensitif apabila difungsikan untuk menguping, kebetulan menangkap suara-suara dari seorang pria yang bertutur dalam bahasa Inggris, sedang terlibat dalam dialog bersama salah satu penjaga toko buku tersebut. Potongan dialog yang di-reenact berikut ini sukses luar biasa dalam mengalihkan perhatianku dari lembaran-lembaran Vanity Fair, dan ‘memaksa’-ku untuk secara khusus menoleh untuk melihat kedua lelaki yang terlibat dalam pembicaraan tidak nyambung tersebut.

Pria Asing: Excuse me, do you have books on Flores?
Penjaga Toko Buku: Wait a minute, Sir. (dan beberapa saat kemudian menyerahkan buku kepada si Pria Asing)
Pria Asing: Oh, no. Not this. I’m asking for a book about Flores. The city. Not a book about floors.
Penjaga Toko Buku: Oh, wait. I’ll go check. (dan tak lama kemudian kembali menyerahkan sebuah buku lain kepada si Pria Asing)
Pria Asing: This book is about Nusa Tenggara Timur, right? (katanya sambil melihat judul sampul depan buku)
Penjaga Toko Buku: No, it’s about N.T.T. (sambil melafalkan akronim tersebut dalam Bahasa Inggris)

Sepertinya, dalam upaya keras untuk bisa melayani calon pembeli, yaitu si Pria Asing, si Penjaga Toko Buku malah justru jadi bolak-balik melakukan kesalahan-kesalahan tolol. Apakah para petugas di jaringan toko ini tidak dilatih dengan baik sebelumnya?



Twitterer lazim menyebut pengutipan semacam ini
– dalam versi yang lebih singkat – dengan akronim OH.

Monday, November 3, 2008

“I Just Wanna Say, ‘You’re Such an Arrogant Biatch!’”


Terkadang sukar rasanya untuk menentukan, apakah pelaku industri kreatif negeri ini terlalu pintar sehingga bisa mendikte pasar, atau mayoritas konsumen di negeri ini yang terlalu sederhana pikiran dan seleranya – untuk tidak mengatakan bodoh dan berselera buruk – sehingga bisa diatur dan dikendalikan oleh para pemilik modal.

Lihat saja kondisinya masa kini (yang sedikit banyak sesungguhnya merupakan warisan masa silam). Tontonan konyol bernama sinetron remaja / keluarga dengan aksesori mata melotot teriakan kencang dan bolak-balik berkenalan antar para tokoh lewat peristiwa ditabrak mobil mewah masih saja menjadi jualan laris dan merajai jam tayang utama di berbagai stasiun televisi. Bioskop semakin dibanjiri film-film dengan ide dan alur cerita yang sepertinya diciptakan sambil menunggu buang air besar di pagi hari (meskipun terkadang tak bisa dipungkiri, inspirasi untuk hal-hal brilliant bagi umat manusia didapatkan ketika melakukan ‘ritual pagi’). Penerbitan buku-buku baru belakangan ini lebih berupa kumpulan curhatan dari blog seseorang ketimbang cerita yang diharapkan lebih bisa mencerahkan dan memperkaya khazanah jiwa seseorang (ini mah, rada beuradth ...!)

Lantas bagaimana dengan industri musik tanah air?
Yang jelas, aku tidak akan memberikan komentar soal pembajakan CD/kaset yang makin susah dikendalikan. Juga tidak tentang fenomena Kangen Band dan gaya bermusik dengan inspirasi irama melayu. Apalagi untuk mengomentari balik komentar seorang juri Indonesian Idol terhormat, yang kebetulan beristrikan seorang diva-yang-bertransformasi-menjadi-dewi (hah?!), yang menilai seorang kontestan Idol jadi layak diragukan kelelakiannya karena menyanyikan lagu masa kini yang menye-menye (secara mayoritas lagu-lagu penyanyi pria masa kini yang ngetop selalu tentang ditinggal kekasih atau jadi korban perselingkuhan ... plus patut diingat, bukankah tempo hari juri ini pernah tampil di hadapan khalayak ramai dengan rambut rebonding a la boyband F4 ??).

Beberapa tahun lalu, ketika Naif merilis lagu “Towal-Towel” yang liriknya hanya terdiri dari kata-kata “towal towel jangan mere-mere”, semua orang menganggap ini adalah satu lagi keunikan band unik asal Bandung ini, dan lagu tersebut dapat diterima dengan cukup baik.




Tapi ketika Potret melakukan come back lewat original soundtrack sebuah film komedi remaja, Chika, dengan lagu berjudul dan berlirik full bahasa Inggris, agak aneh rasanya melihat lagu tersebut bisa ngetop dan diterima mayoritas pendengar dan konsumen musik di Nusantara.
Lagu yang kumaksudkan berjudul “I Just Wanna Say I Love You”. Jika ada yang beralasan liriknya yang full English itu yang membuat lagunya terkenal, well, think again. Dari awal sampai akhir, Melly Goeslaw cuma mengucapkan I Just Wanna Say I Love You dengan bermacam gaya dikali sekian puluh kali until fade. Musiknya pun hanya tang-teng-tong dengan sebaris lirik yang sepertinya paling pantas untuk program indoktrinasi cuci otak di kamp konsentrasi para Hippie.
Aku benar-benar bingung dibuatnya. Apa karena Melly bersama group Potret sebegitu pintarnya membaca selera pasar sehingga bisa menghasilkan lagu sedemikian norak tapi bisa ngetop habis-habisan, atau karena konsumen negeri ini cara berpikirnya ’terlalu sederhana’ ya?

Awalnya kupikir arogan sekali Melly Goeslaw dengan lagunya yang berlirik sederhana itu, tapi ternyata aku keliru. Tidak lama setelah itu, muncullah videoklip terbaru dari group musik Dewa 19 yang punya judul eksotis nan fantastis, ”Perempuan Paling Cantik di Negeriku Indonesia”.
Pada awalnya ketika membaca judul lagu tersebut dalam template tayangan, aku berpikir, dan bisa jadi banyak banget orang lainnya juga berpikiran serupa, bahwa lewat lagu ini Ahmad Dhani wants to pay tribute to Mulan Jameela. Ternyata di kemudian hari dalam salah satu wawancara, kata Dhani lagu ini dipersembahkan bagi perempuan-perempuan negeri ini yang terkenal cantik luar dalam.
Bukan soal 'tribute to ...' -nya yang menarik untuk dikupas, melainkan justru latar-belakang / background dari videoklip ini yang terlihat seperti bendera Merah-Putih tapi ditempeli (dijahit) dengan logo bintangnya Dewa (atau Republik Cinta, aku kurang jelas tapi pokoknya bintang segi delapannya itulah).
Please do correct me if I'm wrong, tapi bukankah tindakan itu bisa dikategorikan sebagai perbuatan desakralisasi dan pelecehan terhadap lambang negara ya? Kenapa juga koq bisa ga ada satu manusia pun di negeri ini yang berkomentar dan protes ya? Bisa jadi besok-besok Dhani akan pasang logo mirip Burung Garuda yang dikreasikan dikit terus ditempel di depan selangkangannya, lalu di-shooting close-up untuk videoklip dari sebuah lagu ciptaannya yang berjudul ”Burung Paling Gagah Perkasa di Negeriku Indonesia”.

Ya ampun, Ahmad Dhani. Dirimu itu memang "luar biasa" dan ada-ada saja, sibuk cari-cari sensasi atas nama kreatifitas. Pantas saja engkau tak menolak ketika sebuah majalah lifestyle lisensi asing terbitan lokal menggelarimu sebagai Makhluk Tuhan Paling Arogan.

Simply because YOU ARE.

Saturday, November 1, 2008

"Hardly"


Setiap kali tanggal hari ini, aku pasti akan teringat padanya. Meskipun tentu saja, seiring berjalannya waktu dan bergantinya angka tahun, intensitas ingatanku terhadap dirinya semakin berkurang. Karena kini, tempat di dalam hati dan pikiranku yang dulu diperuntukkan bagi dan tentang dirinya, sudah berganti kepemilikan dan dipindahtangankan kepada pemilik yang baru.

Tanggal hari ini setiap tahunnya adalah saat dirinya merayakan hari jadi. Sampai dengan setidaknya dua tahun lalu, dia masih menjadi seseorang yang teramat istimewa bagiku. Berkat dirinyalah, aku kembali belajar untuk mencintai, dan siap untuk kembali dicintai. Meskipun tentu saja, kini bukan dirinya – yang biasa kupanggil Love.R. – yang mengisi hari-hariku dengan cinta. Melainkan Dia, dengan siapa aku telah menjalin romansa selama enam bulan lamanya, dan semakin kuat seiring berlalunya hari demi hari.

Jika pada tanggal hari ini tahun lalu aku masih mengingatnya dengan perasaan campur-aduk yang cenderung menjadikan hatiku bagai diseliputi mendung tebal, namun tahun ini tidak lagi. Barangkali jika disamakan dengan serial televisi, saat ini sudah mulai season berikutnya dimana sang tokoh protagonis sudah mulai berubah nasibnya ke arah yang lebih baik. Tapi sama seperti pakem dalam serial televisi, masih ada beberapa kejadian di season lampau yang memiliki pengaruh signifikan di masa kini. Salah satunya adalah bahwa aku memutuskan untuk tidak akan pernah lagi mau menjalani hubungan jarak jauh.

Saat itu selama masih menjalin hubungan, kami mencoba untuk saling menguatkan meski ada jarak ribuan kilometer memisahkan kami. Namun entah karena berbagai cara yang bisa jadi kebetulan – meskipun terasa sangat aneh dan “terlalu kebetulan” yang membuatnya jadi cenderung sukar dipercaya – tidak hanya satu kali aku mendapati dirinya berselingkuh, bahkan hingga tidur dengan lelaki lain.

Waktu itu kusangka ketika dirinya sering mengakhiri pesan elektroniknya dengan ungkapan “hardly miss you”, adalah karena dirinya salah memilih terminologi. Bahwa ini hanyalah kesalahan diksi semata, dan yang sebenarnya hendak disampaikannya padaku adalah bahwa dirinya sedang kangen berat, kangen banget. Meskipun “hardly miss you” justru memiliki makna sebaliknya. Akan tetapi setelah tak bisa lagi menahan rasa keingintahuan, akhirnya kukonfirmasilah maksud dan tujuan dirinya menggunakan kata ‘hardly’ dalam pernyataan kangennya. Dugaanku ternyata benar, dia keliru memahami makna kata ‘hardly’ yang cenderung menegasikan maksud yang sebenarnya ingin disampaikan oleh dirinya. Sejak itu dirinya tak pernah lagi menggunakan ‘hardly’ dalam berbagai pesan elektroniknya, yang memang frekuensinya tidak lagi sekerap masa-masa sebelumnya.

Andai saja kala itu aku mengetahui jauh lebih banyak tentang hubungan tersebut dan bisa menyelami lebih dalam untuk mengetahui isi sesungguhnya dari hati dan pikirannya …

Probably I’d also gonna be hardly miss R..