Wednesday, November 12, 2008

Pilih Sendiri Cara Asyik Nyiapin Kematianmu!



Pernahkah kamu memperhatikan iklan-iklan Obituary yang kalau mau repot-repot dihitung, ternyata setiap harinya menyita cukup banyak space permilimeter kolom di koran-koran nasional? Lazimnya iklan-iklan semacam ini selalu menampilkan deretan nama mereka-mereka yang turut merasakan duka cita dengan meninggalnya sang subjek obituari, entah mereka ini dari kalangan ayah-ibu, suami-istri, anak-ipar, sepupu-keponakan, cucu-cicit, handai taulan-tetangga, dan seterusnya.

Anehnya, dalam beberapa iklan dapat diindikasikan bahwa ada anggota keluarga yang turut berduka cita justru telah terlebih dahulu berpulang daripada subjek yang di-obituari-kan. Padahal apabila menggunakan logika agama atau kepercayaan manapun, bukannya seharusnya para “pendahulu”-nya merasa senang ya, karena dengan wafatnya si subjek obituari, artinya sekarang bertambah lagi temannya untuk melewatkan waktu di alam lain sana?

Satu hal lain yang cukup menarik diperhatikan dalam iklan-iklan obituari ini, biasanya foto yang ditampilkan untuk mengidentifikasi mendiang/almarhum/-ah, adalah foto andalan di masa-masa keemasan yang bersangkutan. Meskipun banyak juga sih yang menampilkan foto-foto di kala sudah memasuki usia senior (untuk tidak mengatakan uzur). Ditengarai, ini bisa jadi adalah pas foto yang bersangkutan ketika mendaftarkan diri untuk pembuatan KTP seumur hidup.

Rada aneh memang. Padahal kan pepatah mengatakan, “In this world, nothing is certain but death and taxes.” Tidak ada yang pasti dalam hidup ini selain kematian dan pajak. Nah, berhubung kematian itu sudah pasti datang, kenapa tidak disiapkan selagi ada waktu luang dan dana ekstra ya? Tentu saja maksud hati bukan menyarankan untuk melakukan tindakan seperti mendiang Suzanna Martha Frederika van Osch, yang telah membeli kafan sekitar 8 tahun sebelum dia berpulang. Tapi kan masih ada hal-hal lain yang terkait.
Misalnya, kalau orang-orang bisa meluangkan waktu, tenaga, konsentrasi dan dana sedemikian banyak untuk bikin foto-foto prewedding, kenapa tidak sekalian menyiapkan foto-foto untuk menyambut momen kematian? Toh biasanya kalau sedang disemayamkan di rumah duka, akan dipajang dalam pigura foto yang bersangkutan, seolah-olah ingin menatap satu-persatu para pelayat. So this already prepared photo must come in handy.
Namun tentu saja ada catatan khusus, yaitu disarankan agar pose si yang meninggal di dalam foto tidak harus serius, atau lebih buruk lagi, malah sengaja diseram-seramkan (secara ada kemungkinan sangat besar yang bersangkutan bukan dari kalangan paranormal, kan?). Itu sih membosankan dan tidak menarik, dan niscaya membuat para pelayat tidak nyaman. Masa kalau pengen didoakan agar diampuni dosanya dan bisa masuk surga, masih nakut-nakutin orang sih?

Jadi teringat dalam salah satu adegan di film yang dibintangi di masa-masa awal karirnya (baca, ketika giginya masih gingsul), Tom Cruise pernah ditugaskan oleh dosennya di sekolah bisnis untuk menulis sendiri obituarinya. Penilaian utama diberikan berdasarkan content materi ”jualan” yang bersangkutan tentang dirinya sendiri di masa ketika masih hidup.
Hal ini sesungguhnya menarik untuk dicermati dan dilakukan di masa kini, apalagi bagi mereka-mereka yang sangat mementingkan citra positif di masa-masa semasih hidup, sampai tidak sungkan mengeluarkan dana superekstra untuk menghadiri acara-acara sosialita (minimal, gaun yang dikenakan di setiap acara harus beda) demi bisa terpajang di halaman Tatler, dewi maupun Prestige. Karena seperti kata pepatah, ”Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang”. Kalau manusia yang is dead? Ya tinggalkan citra diri yang positif dong.

Nah, barangkali yang bisa menjadi salah satu alternatif demi menjaga kelanggengan citra positif ini, misalnya kalau calon migran antar-alam maupun ahli warisnya punya dana super berlebih dan canggung meninggalkan gaya hidup bermewah-mewah yang terlanjur diakrabi, sembari mungkin berpikir panjang nantinya ingin memudahkan anak cucu cicit berziarah dengan nyaman, bisa pilih-pilih kapling di San Diego Hill Memorial Park and Funeral Homes. Bayangkan saja, tagline produk properti ini saja sudah sangat menjanjikan ketenangan dan eksklusifitas : “There is no other cemetery like this.” Mantap ya?!

Jadi artinya, tidaklah perlu sampai harus memaksa-maksa diberikan tempat peristirahatan terakhir di salah satu taman makam pahlawan yang tersebar di seluruh negeri ini kok, hanya demi sebuah branding nama besar / nama baik. Sekedar untuk dijadikan pembanding, almarhum Bung Tomo yang tersohor berkat ketegasan sikap dan kepemimpinannya dalam perang mempertahankan kemerdekaan Republik di Surabaya, 10 November 1945 saja, tidak mendapatkan gelar pahlawan nasional hingga tahun ini.

Nah, apalagi bagi mereka – mudah-mudahan saja bukan Anda – yang bayar pajak kepada negara ini secara jujur saja masih enggan, masa masih ingin mendapatkan perlakuan lebih istimewa? Nanti apa kata dunia?


No comments: