Friday, November 7, 2008

Cerita Jakarta : Antara Bis Kota dan Taksi


Setelah lebih dari 1 tahun lamanya masa-masa itu kubiarkan berlalu, akhirnya tadi pagi aku mencobanya lagi ...

Naik Metromini !
Nomer 75, rute Blok M – Pasar Minggu.

Dan cara sopir metromini tadi mengemudikan bis ukuran setengah ini, ya ampun bikin aku mendadak merasa uzur karena terpaksa harus berpegangan erat pada sandaran kursi di depanku karena khawatir terjatuh dan karena tubuhku terdoyong-doyong. Jantung pun berdegup keras, takut terjadi apa-apa dan malah berakhir celaka sebagaimana yang biasa kulihat di berita tengah malam. Syukurlah, tadi aku selamat sampai di tujuan hingga bisa turun di halte dekat pom bensin Shell.

Dan kini tentu saja, merasa tidak sabar untuk menuangkannya dalam deret kalimat.

Jadilah sekarang kuteringat pengalaman-pengalaman awal mencoba ”bertualang” naik bis ukuran setengah bernama Metromini maupun Kopaja. Kepanasan, berdesak-desakan, keringatan atau terpaksa mengaromai keringat orang lain (hueks!), belum lagi harus kudu musti wajib waspada tingkat tinggi, jangan-jangan ada pelaku kriminal yang mencoba mencopet barang berharga yang sedang kubawa, atau mencoba merampok seluruh penumpang bis. Seperti yang biasa kubaca di koran-koran. Seram dan mudah-mudahan tidak akan sampai kejadian atasku.

Sejak adanya TransJakarta yang rutenya hampir menjangkau sebagian besar wilayah Ibukota, dan saat itu didukung oleh kondisi perekonomian personal yang – Alhamdulillah – meningkat jadi lebih sejahtera, mulailah kutinggalkan bis kota (besar maupun kecil) dan beralih menjadi pengguna setia kombinasi antara TransJakarta dengan taksi. Atau terkadang, penggunaannya dikombinasikan, terutama apabila terpaksa harus melewati ruas jalan yang sudah hampir pasti selalu macet. Bila kondisinya semacam ini, TransJakarta menjadi pilihan. Setelah melewati deretan titik-titik kemacetan dan kebetulan apabila tujuan akhir belum dilewati oleh busway, barulah kusambung dengan menggunakan taksi. So that I can still arrive at the designated place with style, dan tentu saja, tanpa keringat dan bau asap knalpot!

Kembali ke cerita pengalaman naik Metromini pagi ini, untungnya ada kesempatan untuk bisa memilih Metromini yang tidak padat. Jadi bisa mendapatkan tempat duduk yang diharapkan setidaknya bisa memberikan kenyamanan: tak perlu berdiri!

Ada satu keanehan perasaan yang sebenarnya sangat kuperhatikan. Bayangkan saja, aku jauh lebih takut mengalami kecelakaan lal-lintas dan menjadi korban saat menumpang Metromini dan sejenisnya. Padahal ukurannya yang besar, setidaknya menurutku, seharusnya bisa memberikan – meskipun hanya suatu ilusi – rasa nyaman. Coba dibandingkan dengan naik taksi yang ‘hanya’ berupa sedan kecil. Kalau misalnya ketabrak bis, kan bisa terpelanting tuh mobil?! Yang otomatis akibatnya jelas bisa lebih fatal, bagi si pengemudi apalagi penumpang taksi.

Ada satu hal lagi yang kuperhatikan ketika naik Metromini pagi ini. Aku baru tahu kalau ternyata tarifnya sekarang jauh-dekat Rp 2.500. Padahal perasaanku, terakhir kali naik Metromini dan/atau Kopaja, tarifnya masih Rp. 1.500. Berarti itu kejadian tahun kapan ya? Dan apabila nanti setelah 1 Desember 2008 di mana Pemerintah resmi menurunkan harga bahan bakar minyak jenis Premium sebesar Rp 500 / liter, bakal berpengaruh juga tidak ya ke tarif taksi? Secara bis kan jelas-jelas mengkonsumsi solar.

Siapatau kan nantinya tarif taksi ada penyesuaian, dalam arti berkurang beberapa ratus rupiah. Setidaknya, flagfall (tarif buka pintu) dan perkilometernya bisa disesuaikan. Ini sih kata teman-temanku, adalah ”harapan babu”. Jauh panggang daripada api. Harapan yang nyaris mustahil terwujud.
Tapi kalau misalnya kejadian, yang jelas makin rajinlah aku naik taksi dan akan mengucapkan ’selamat tinggal!’ pada bis-bis segala macam ukuran di Ibukota ini yang kondisi lebih sering tidak aman-nyaman, apalagi manusiawi.

No comments: