Showing posts with label price. Show all posts
Showing posts with label price. Show all posts

Friday, January 2, 2009

Beli-beli & Baca-baca



Lebih dari satu dekade lalu, seorang Menteri Pendidikan di era Orde Baru pernah menolak mentah-mentah permintaan dari banyak penerbit, agar pajak atas kertas diturunkan atau kalau perlu dihapuskan saja, sehingga tidak memberatkan para penerbit dan bisnis percetakan.
Diharapkan, dengan diturunkannya pajak kertas, akan berdampak pada kebangkitan kembali bisnis perbukuan (dan majalah serta perkoranan, pokoknya media cetak lah) yang telah lama lesu akibat harga kertas yang tinggi. Dengan berkurang/dihapuskannya pajak kertas, otomatis akan berpengaruh pada turunnya harga buku-buku (bermutu) dan berbagai media cetak lainnya, sehingga akan memudahkan pencapaian tujuan untuk meningkatkan minat baca bangsa ini, yang tentunya berimplikasi pada upaya-upaya mencerdaskan bangsa. Langkah ini sesuai dengan amanat yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Masih kuingat kala itu, sempat aku kaget saat membaca respon Bapak Menteri yang terhormat atas pertanyaan wartawan terkait permintaan penurunan pajak kertas. Beliau malah menganalogikan buku dengan kaset (jaman itu CD lagu masih mahal banget, dan lagu-lagu format .mp3 masih berupa mimpi masa depan yang bahkan banyak orang tak bisa membayangkan), bahwa orang-orang yang suka musik dan menggemari artis tertentu, semahal apapun albumnya tetap akan dibeli. Jadi dengan pe-de-nya si Bapak Menteri meminta orang-orang maklum dan nrimo saja harga kertas (dan buku serta majalah) yang tinggi itu.
Perhaps, in other words, secara ekstrem ini sama saja dengan mengatakan kepada orang banyak, “Jangan bawel deh elo-elo semua, beli aja kalo emang pengen baca buku! Kalo emang ga sanggup beli, ya jangan berisik!” (minta ditonjok nih kayanya).

Melompat kita ke masa kini, sekitar belasan tahun berlalu sejak Bapak itu tidak lagi menjadi seorang Menteri Kabinet Pembangunan. Aku sudah tidak mengikuti lagi kabar soal pajak-pajakan, jadi tidak tau persis apakah harga kertas sudah benar-benar turun signifikan atau tidak.
Yang jelas, belakangan ini, setidaknya berdasarkan pengamatan sudut pandang seorang awam, dunia penerbitan dan perbukuan di negeriku ini sudah mengalami peningkatan positif. Semakin banyak orang yang gemar membaca, meskipun tentu saja, kondisinya masih bisa lebih baik lagi daripada yang sekarang.
Ada banyak buku, baik yang isinya serius maupun tidak, yang mengalami cetak ulang hingga puluhan kali dan terjual ratusan ribu bahkan jutaan kopi, dan bahkan begitu populernya sampai-sampai diangkat ke layar lebar, dan mencetak rekor fantastis untuk jumlah penonton film nasional (semua pasti tahu, film “Ayat-Ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi” yang sukses bikin Bapak Presiden SBY dan Wapres JK menangis).
Yang lebih menggembirakan lagi, aktivitas membaca buku bermutu mulai mendapatkan porsi yang relatif lebih besar di media televisi, seperti yang bisa kita lihat dalam program Kick Andy di Metro TV.

Tapi sebenarnya, betul sudah semakin baikkah tingkat minat baca bangsa kita? Bagi mereka yang hadir di Pesta Diskon Gramedia untuk menandai pembukaan Toko Buku Gramedia terbesar di Indonesia, yang berlokasi di West Mall Grand Indonesia, jawabannya sudah pasti: YA.
Sebagai gambaran, dapat kuceritakan apa yang kualami sendiri pada saat aku mencoba mencari Kamus Indonesia-Inggris kondang karya John Echols dan Hassan Shadilly, pada hari Sabtu tanggal 20 Desember.
Suasana hari itu sudah seperti lautan manusia yang nyaris chaos! Bisa jadi dalam satu kurun waktu tertentu saat itu, ada ratusan orang berjubel di kedua lantai toko tersebut. Semua berdesak-desakan, bolak-balik aku harus menyenggol dan menyikut orang lain saat melewati tumpukan ataupun rak buku tertentu. Belum lagi anak-anak kecil yang kehilangan orang-tuanya, maupun ibu-ibu yang berteriak-teriak memanggil-manggil nama anaknya yang hilang dari pandangan (tertutup padatnya manusia). Dan penyejuk ruangan di Grand Indonesia yang biasanya dingin menggigit, saat itu sama sekali tidak terasa saking berjubelnya pengunjung. Hanya setengah jam lebih sedikit aku menghabiskan waktu di dalam toko, tapi ketika keluar, sudah dalam kondisi lecek seperti habis keluar-masuk pasar tradisional. Tentu saja, minus lumpur dan becek dan bau amis ikan dan daging.
Menurut dugaan kasarku saja, setidaknya dalam satu hari ketika aku berkunjung itu saja, transaksi pembelian yang dicatatkan Gramedia Grand Indonesia mencapai ratusan juta rupiah. Dan ini adalah angka perkiraan yang pesimistis.
Jadi ternyata, bukan hanya tingkat minat baca orang-orang Indonesia saja yang meningkat, melainkan juga daya belinya, khususnya untuk memenuhi kebutuhan non-primer. Ini sungguh merupakan sebuah kabar baik bagi semua pihak, bukan?




Friday, November 7, 2008

Cerita Jakarta : Antara Bis Kota dan Taksi


Setelah lebih dari 1 tahun lamanya masa-masa itu kubiarkan berlalu, akhirnya tadi pagi aku mencobanya lagi ...

Naik Metromini !
Nomer 75, rute Blok M – Pasar Minggu.

Dan cara sopir metromini tadi mengemudikan bis ukuran setengah ini, ya ampun bikin aku mendadak merasa uzur karena terpaksa harus berpegangan erat pada sandaran kursi di depanku karena khawatir terjatuh dan karena tubuhku terdoyong-doyong. Jantung pun berdegup keras, takut terjadi apa-apa dan malah berakhir celaka sebagaimana yang biasa kulihat di berita tengah malam. Syukurlah, tadi aku selamat sampai di tujuan hingga bisa turun di halte dekat pom bensin Shell.

Dan kini tentu saja, merasa tidak sabar untuk menuangkannya dalam deret kalimat.

Jadilah sekarang kuteringat pengalaman-pengalaman awal mencoba ”bertualang” naik bis ukuran setengah bernama Metromini maupun Kopaja. Kepanasan, berdesak-desakan, keringatan atau terpaksa mengaromai keringat orang lain (hueks!), belum lagi harus kudu musti wajib waspada tingkat tinggi, jangan-jangan ada pelaku kriminal yang mencoba mencopet barang berharga yang sedang kubawa, atau mencoba merampok seluruh penumpang bis. Seperti yang biasa kubaca di koran-koran. Seram dan mudah-mudahan tidak akan sampai kejadian atasku.

Sejak adanya TransJakarta yang rutenya hampir menjangkau sebagian besar wilayah Ibukota, dan saat itu didukung oleh kondisi perekonomian personal yang – Alhamdulillah – meningkat jadi lebih sejahtera, mulailah kutinggalkan bis kota (besar maupun kecil) dan beralih menjadi pengguna setia kombinasi antara TransJakarta dengan taksi. Atau terkadang, penggunaannya dikombinasikan, terutama apabila terpaksa harus melewati ruas jalan yang sudah hampir pasti selalu macet. Bila kondisinya semacam ini, TransJakarta menjadi pilihan. Setelah melewati deretan titik-titik kemacetan dan kebetulan apabila tujuan akhir belum dilewati oleh busway, barulah kusambung dengan menggunakan taksi. So that I can still arrive at the designated place with style, dan tentu saja, tanpa keringat dan bau asap knalpot!

Kembali ke cerita pengalaman naik Metromini pagi ini, untungnya ada kesempatan untuk bisa memilih Metromini yang tidak padat. Jadi bisa mendapatkan tempat duduk yang diharapkan setidaknya bisa memberikan kenyamanan: tak perlu berdiri!

Ada satu keanehan perasaan yang sebenarnya sangat kuperhatikan. Bayangkan saja, aku jauh lebih takut mengalami kecelakaan lal-lintas dan menjadi korban saat menumpang Metromini dan sejenisnya. Padahal ukurannya yang besar, setidaknya menurutku, seharusnya bisa memberikan – meskipun hanya suatu ilusi – rasa nyaman. Coba dibandingkan dengan naik taksi yang ‘hanya’ berupa sedan kecil. Kalau misalnya ketabrak bis, kan bisa terpelanting tuh mobil?! Yang otomatis akibatnya jelas bisa lebih fatal, bagi si pengemudi apalagi penumpang taksi.

Ada satu hal lagi yang kuperhatikan ketika naik Metromini pagi ini. Aku baru tahu kalau ternyata tarifnya sekarang jauh-dekat Rp 2.500. Padahal perasaanku, terakhir kali naik Metromini dan/atau Kopaja, tarifnya masih Rp. 1.500. Berarti itu kejadian tahun kapan ya? Dan apabila nanti setelah 1 Desember 2008 di mana Pemerintah resmi menurunkan harga bahan bakar minyak jenis Premium sebesar Rp 500 / liter, bakal berpengaruh juga tidak ya ke tarif taksi? Secara bis kan jelas-jelas mengkonsumsi solar.

Siapatau kan nantinya tarif taksi ada penyesuaian, dalam arti berkurang beberapa ratus rupiah. Setidaknya, flagfall (tarif buka pintu) dan perkilometernya bisa disesuaikan. Ini sih kata teman-temanku, adalah ”harapan babu”. Jauh panggang daripada api. Harapan yang nyaris mustahil terwujud.
Tapi kalau misalnya kejadian, yang jelas makin rajinlah aku naik taksi dan akan mengucapkan ’selamat tinggal!’ pada bis-bis segala macam ukuran di Ibukota ini yang kondisi lebih sering tidak aman-nyaman, apalagi manusiawi.

Friday, September 26, 2008

Bapak Presiden Yth.,


Aktris dan presenter Rieke Dyah Pitaloka, yang minggu ini aktingnya bisa dilihat dalam film ”Laskar Pelangi” yang baru saja ditayangkan perdana kemarin (25 September 2008), dipanggil oleh penyidik Mabes Polri, juga kemarin. Didampingi oleh pengacaranya, Rieke diperiksa dalam kapasitasnya sebagai saksi terkait insiden demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM pertengahan tahun ini yang berakhir anarkhis di seputaran Semanggi.

Seusai diperiksa, masih dengan didampingi pengacaranya, Rieke yang dirubung oleh para kuli tinta memberikan penjelasan alasan mengapa dia ikut turun ke jalan dan berdemonstrasi:

“Saya rasa kita ga butuh pemimpin yang hanya menangis ketika menonton Ayat-Ayat Cinta.”




This is verbatim of the week. Take note, SBY-JK !