Showing posts with label TV station. Show all posts
Showing posts with label TV station. Show all posts

Monday, January 5, 2009

Gajah dan Semut (atau: Perhatikan Bajumu Biar Tak Malu !)


Ada yang tahu acara televisi bernama “John Pantau”?

Ini adalah semacam satu program berita ringan yang rutin dipancarluaskan oleh stasiun Trans TV setiap hari Sabtu dan Minggu petang.
Boleh dikatakan, acara ini punya cukup banyak penggemar setia, dan mendapatkan dukungan dari begitu banyak pemirsanya di seluruh kawasan Nusantara.
Setidaknya, itulah yang terekam dari berbagai komentar positif yang terpajang di profile Facebook dan Multiply-nya.
Berdasarkan catatan pada tanggal penulisan artikel ini, 5 Januari 2008, Situs Pantau di Multiply merekam 222 komentar dan 1.539 teman di Facebook.

Konsep acara “John Pantau” sendiri sih, seperti yang dideskripsikan secara singkat dan lugas dalam kolom Info di profile Facebook-nya, menyebut bahwa John Pantau memiliki pandangan politik “memantau penyimpangan dan pelanggaran masyarakat” serta meyakini “jaga perilaku biar ga malu” sebagai agamanya. Aktivitas si John ini adalah “memantau pelanggaran masyrakat Indonesia” (typo sengaja mengikuti apa yang tercantum dalam profile), dan ketika tiba saatnya untuk menjelaskan secara singkat siapa itu John Pantau, inilah yang tercantum:

“John yang suka iseng memantau penyimpangan dan pelanggaran di masyarakat. Ingat-ingat kalau mau melanggar ya, jangan ambil resiko... melanggar aturan bisa bikin bahaya untuk diri sendiri dan orang lain... belum lagi malunya kalau kepergok sama John.. Makanya... Jaga perilaku biar nggak malu !!”
(di-copy persis sama seperti yang tertulis di dalam profile John Pantau, pertanggal 5 Januari 2009)

Dalam episodenya kemarin, sebagaimana biasanya, John dengan gaya hiperaktifnya yang bagai ulat keked (ini bukan celaan) menangkap basah anggota-anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran lalu-lintas, mulai dari remaja-remaja dan ibu-ibu pengajian yang menyeberang jalan di tempat yang jelas-jelas memajang rambu Dilarang Menyeberang, hingga mengulik-ulik informasi dari seorang bapak pengelola parkir motor tidak resmi – tapi anehnya mengantongi surat izin resmi (?) dari pemerintah kota Jakarta Selatan (surat tersebut di-laminating dan diperlihatkan kepada pemirsa) – di area seputar ITC Kuningan persis di bawah rambu Dilarang Parkir sebelum mencapai mall tersebut.

Sama seperti mayoritas pemirsa “John Pantau”, aku pun menonton acara ini karena ingin melihat bagaimana reaksi orang-orang yang ‘tertangkap basah’ melakukan pelanggaran tersebut. Syukur-syukur kalau ada bumbu drama berupa ‘keramaian’ (now that’s what I call “guilty pleasures”), seperti episode nge-gap seorang perokok di sebuah stasiun kereta api (tindakan melanggar Perda DKI Jakarta no. 75 Tahun 2005), yang aku lupa tayang tanggal berapa.

Tapi sebenarnya ada satu kelucuan yang terasa ironis pada karakter John Pantau ini. Mengingat betapa dirinya asyik-asyik memantau penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan anggota masyarakat, ternyata bung John ini sendiri melakukan penyimpangan dan pelanggaran yang serius ... dalam bidang fashion. Ayo kita ulik bersama, dimulai dengan memperhatikan foto-foto yang menyertai artikel ini. Lihatlah ‘seragam wajib’ si John: topi fedora, kemeja, jins (*ketat*, euw!), dilengkapi ikat pinggang dan suspender.



Apakah outfit John Pantau terlihat fashionable di mata Anda?
Jika jawaban Anda adalah “Ya”, justru di situlah ‘masalah’-nya.

Bagi mereka yang mengerti Men’s Fashion 101 – atau pengetahuan dasar tentang mode bagi pria, pasti akan tahu bahwa mengenakan ikat pinggang DAN suspender SEKALIGUS merupakan penyimpangan dalam gaya berpakaian yang baik dan benar dan seharusnya, serta merupakan pelanggaran serius terhadap aturan-aturan dasar fashion. Kedua item fashion itu tidak boleh digabungkan penggunaannya: hanya bisa memilih salah satu saja untuk dipergunakan dalam satu kesempatan. Memakai ikat pinggang dan suspender sekaligus sama salahnya dengan jalan-jalan bersama istri dan selingkuhan pada saat yang bersamaan: pebuatan dosa yang tidak dapat dijustifikasikan dengan alasan apapun.

Jadi, saranku untuk John Pantau, produser dan pihak-pihak yang bertanggung-jawab dalam produksi acara ini, sebaiknya benahi dulu karakter (baca: outfit) John Pantau sebelum dia dengan cengiran lebar khasnya itu memergoki anggota-anggota masyarakat yang melakukan pelanggaran. Meskipun tentu saja, memang lebih mudah dan lebih enak sih menunjukkan kesalahan orang lain daripada melihat kekeliruan di diri kita sendiri.
Sama seperti kata pepatah, “Gajah di pelupuk mata tak tampak, Semut di seberang lautan kelihatan”.




Friday, January 2, 2009

Beli-beli & Baca-baca



Lebih dari satu dekade lalu, seorang Menteri Pendidikan di era Orde Baru pernah menolak mentah-mentah permintaan dari banyak penerbit, agar pajak atas kertas diturunkan atau kalau perlu dihapuskan saja, sehingga tidak memberatkan para penerbit dan bisnis percetakan.
Diharapkan, dengan diturunkannya pajak kertas, akan berdampak pada kebangkitan kembali bisnis perbukuan (dan majalah serta perkoranan, pokoknya media cetak lah) yang telah lama lesu akibat harga kertas yang tinggi. Dengan berkurang/dihapuskannya pajak kertas, otomatis akan berpengaruh pada turunnya harga buku-buku (bermutu) dan berbagai media cetak lainnya, sehingga akan memudahkan pencapaian tujuan untuk meningkatkan minat baca bangsa ini, yang tentunya berimplikasi pada upaya-upaya mencerdaskan bangsa. Langkah ini sesuai dengan amanat yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Masih kuingat kala itu, sempat aku kaget saat membaca respon Bapak Menteri yang terhormat atas pertanyaan wartawan terkait permintaan penurunan pajak kertas. Beliau malah menganalogikan buku dengan kaset (jaman itu CD lagu masih mahal banget, dan lagu-lagu format .mp3 masih berupa mimpi masa depan yang bahkan banyak orang tak bisa membayangkan), bahwa orang-orang yang suka musik dan menggemari artis tertentu, semahal apapun albumnya tetap akan dibeli. Jadi dengan pe-de-nya si Bapak Menteri meminta orang-orang maklum dan nrimo saja harga kertas (dan buku serta majalah) yang tinggi itu.
Perhaps, in other words, secara ekstrem ini sama saja dengan mengatakan kepada orang banyak, “Jangan bawel deh elo-elo semua, beli aja kalo emang pengen baca buku! Kalo emang ga sanggup beli, ya jangan berisik!” (minta ditonjok nih kayanya).

Melompat kita ke masa kini, sekitar belasan tahun berlalu sejak Bapak itu tidak lagi menjadi seorang Menteri Kabinet Pembangunan. Aku sudah tidak mengikuti lagi kabar soal pajak-pajakan, jadi tidak tau persis apakah harga kertas sudah benar-benar turun signifikan atau tidak.
Yang jelas, belakangan ini, setidaknya berdasarkan pengamatan sudut pandang seorang awam, dunia penerbitan dan perbukuan di negeriku ini sudah mengalami peningkatan positif. Semakin banyak orang yang gemar membaca, meskipun tentu saja, kondisinya masih bisa lebih baik lagi daripada yang sekarang.
Ada banyak buku, baik yang isinya serius maupun tidak, yang mengalami cetak ulang hingga puluhan kali dan terjual ratusan ribu bahkan jutaan kopi, dan bahkan begitu populernya sampai-sampai diangkat ke layar lebar, dan mencetak rekor fantastis untuk jumlah penonton film nasional (semua pasti tahu, film “Ayat-Ayat Cinta” dan “Laskar Pelangi” yang sukses bikin Bapak Presiden SBY dan Wapres JK menangis).
Yang lebih menggembirakan lagi, aktivitas membaca buku bermutu mulai mendapatkan porsi yang relatif lebih besar di media televisi, seperti yang bisa kita lihat dalam program Kick Andy di Metro TV.

Tapi sebenarnya, betul sudah semakin baikkah tingkat minat baca bangsa kita? Bagi mereka yang hadir di Pesta Diskon Gramedia untuk menandai pembukaan Toko Buku Gramedia terbesar di Indonesia, yang berlokasi di West Mall Grand Indonesia, jawabannya sudah pasti: YA.
Sebagai gambaran, dapat kuceritakan apa yang kualami sendiri pada saat aku mencoba mencari Kamus Indonesia-Inggris kondang karya John Echols dan Hassan Shadilly, pada hari Sabtu tanggal 20 Desember.
Suasana hari itu sudah seperti lautan manusia yang nyaris chaos! Bisa jadi dalam satu kurun waktu tertentu saat itu, ada ratusan orang berjubel di kedua lantai toko tersebut. Semua berdesak-desakan, bolak-balik aku harus menyenggol dan menyikut orang lain saat melewati tumpukan ataupun rak buku tertentu. Belum lagi anak-anak kecil yang kehilangan orang-tuanya, maupun ibu-ibu yang berteriak-teriak memanggil-manggil nama anaknya yang hilang dari pandangan (tertutup padatnya manusia). Dan penyejuk ruangan di Grand Indonesia yang biasanya dingin menggigit, saat itu sama sekali tidak terasa saking berjubelnya pengunjung. Hanya setengah jam lebih sedikit aku menghabiskan waktu di dalam toko, tapi ketika keluar, sudah dalam kondisi lecek seperti habis keluar-masuk pasar tradisional. Tentu saja, minus lumpur dan becek dan bau amis ikan dan daging.
Menurut dugaan kasarku saja, setidaknya dalam satu hari ketika aku berkunjung itu saja, transaksi pembelian yang dicatatkan Gramedia Grand Indonesia mencapai ratusan juta rupiah. Dan ini adalah angka perkiraan yang pesimistis.
Jadi ternyata, bukan hanya tingkat minat baca orang-orang Indonesia saja yang meningkat, melainkan juga daya belinya, khususnya untuk memenuhi kebutuhan non-primer. Ini sungguh merupakan sebuah kabar baik bagi semua pihak, bukan?




Friday, December 19, 2008

Salaam, Saudaraku



Ada yang perlu dicermati secara khusus tentang pelaksanaan kerukunan antarumat beragama di negeri ini, ketika ...

Perusahaan-perusahaan besar berlomba-lomba membuat iklan khusus dan memasangnya dalam jumlah ratusan spot yang bernilai milyaran rupiah di berbagai stasiun televisi, dengan bertemakan toleransi antarumat beragama - yang entah mengapa seringkali memperlihatkan pengadeganan mereka yang menganut agama bukan mayoritas di Nusantara dengan sukarela mengulurkan tangan membantu temannya dari agama mayoritas untuk menunaikan ibadah.

Ini merupakan jenis tema iklan yang sebenarnya akan lebih menyentuh sanubari dan membanggakan lagi, andai saja yang kemudian terjadi adalah ...

Munculnya versi 'balasan', di mana giliran si penganut agama mayoritas yang sebelumnya dibantu dalam melancarkan penunaian ibadahnya oleh si penganut agama minoritas, gantian mengulurkan tangan dengan tulus membantu ketika menjelang dan selama perayaan hari besar agama-agama minoritas lainnya yang berlangsung di lingkungannya.

Dan ketika justru hal ini tidak terjadi, lalu ...

Bagaimana mungkin toleransi tercipta dan kerukunan terjaga, apabila ego yang lebih berkuasa?

Wednesday, December 17, 2008

Menikmati Secangkir Teh Prancis



“I can’t understand any French movies. Probably, they’re just not my cup of tea ...”


Sahabatku Bradley pernah bersumpah bahwa dia tak akan pernah lagi mau membuang waktunya untuk menonton film Prancis manapun. Aku tak tahu apakah Francophone movies termasuk dalam kategori sumpahnya itu, yang jelas sepanjang pengetahuanku sejak dia mengucap sumpah itu usai menonton salah satu film produksi Prancis dalam ajang Festival Sinema Prancis tiga tahun silam, tak pernah sekalipun dia menonton lagi film dari negara mode itu.

Sumpah Bradley terujar bukan karena kala itu dia dipaksa – dan setengah diseret menuju bioskop – oleh salah satu teman dekatnya yang kebetulan juga kukenal untuk menemaninya menonton, tapi lebih karena menurutnya menonton film Prancis merupakan pengalaman traumatis yang menyiksa. Dia tak bisa mengerti dimana bagusnya film Prancis manapun yang pernah dia lihat, dan dia tidak terlalu terkesan dengan kenyataan betapa mudahnya aktor-aktris Prancis tampil polos tanpa malu seperti bayi baru dilahirkan di layar lebar untuk dipelototi dan dikonsumsi dengan rakus oleh mata para penonton. Padahal bagiku dulu waktu baru mulai memasuki usia puber, justru inilah alasan satu-satunya aku bertahan dan membetahkan diri menonton TV5 Monde.

Pada masa-masa awal ketika aku tahu tentang sumpah Bradley ini, entah mengapa aku berusaha membuat Bradley mengubah pikirannya. Alasanku waktu itu, it’s going to be his loss kalau menolak menonton film-film yang bagus dan bermutu dari negara moyangnya sinema dunia itu. Ketika dia bertanya balik setengah mendesak, apakah aku bisa menyebutkan film Prancis apa yang telah dia lewatkan sehingga akan membuat dia menyesali keputusannya itu, giliran aku yang terdiam.

Aku nyaris menyebut “Léon The Professional”, lalu aku teringat bahwa Jean Reno memang aktor Prancis dan Luc Besson adalah sutradara kondang Prancis, tapi film itu diproduksi oleh Sony Pictures dan juga dibintangi oleh Natalie Portman dan Gary Oldman yang notabene berstempel “Made in Hollywood”. So it is not a pure French movie, in a ‘traditional’ sense. (By the way while I’m still on this subject, can someone tell me why oh why Monsieur Reno agreed to act in such a stupid monster movie, “Godzilla”?)

Ada “Belphegor La Phantom de Louvre”, tapi film itu standar horor a la Hollywood, ga bisa juga disebut bagus. Yang lebih buruk lagi adalah film komedi slapstick “Taxi” dan semua sekuelnya yang garing bin boring itu. Sedangkan menonton film kelas festival semacam “Baise Moi” terasa lebih seperti menonton orgy of sex (obviously!) and violence, dan “Irreversible” malah membuatku sempat beberapa kali memalingkan wajah karena ngeri saat adegan-adegan kekerasan yang (bagiku) tampak sangat nyata dan vulgar dijembreng di depan mata (adegan pemerkosaan di underground tunnel itu membuat aku mual-mual seharian).

Ada juga ”Bleu”, yang diikuti oleh sekuelnya ”Bialy” dan ”Rouge”, tapi aku belum menontonnya, jadi ga bisa juga kupakai judul-judul itu sebagai argument untuk meyakinkan Bradley mengubah pikirannya. Dari hasilku meng-googling sembari menulis this ramblings, ada beberapa judul film yang disutradarai Francois Truffaut dan Jean Luc Goddard yang sepertinya pantas disebut, tapi kasusnya sama seperti trilogi tiga warnanya Krzystof Kieslowski (yes, I have to google in order to spell his name correctly), aku ga pernah menontonnya.

Sekian tahun kemudian, ada satu film Prancis yang ketika kusaksikan di salah satu bioskop di daerah Jakarta Pusat, masih dalam ajang Festival Sinema Prancis, nyaris bikin aku tersedak kaget – dan bagi beberapa penonton perempuan membuat mereka tertawa terkikik-kikik serta penonton laki-laki mendadak gelisah dan tak nyaman – karena memperlihatkan adegan di mana sepasang pria homoseksual sedang bercinta. Ya, betul. Dalam keadaan telanjang bugil bulat. And you can see some very visibly hard cocks (I was about to say, erected penises, but opted for a less formal term instead) on the big screen. Tapi film yang tak akan kusebutkan di sini judulnya, menurut hematku bukanlah film yang bagus-bagus amat, karena plotnya yang sangat tipikal: homosexual charater(s) are doomed to meet horrible death or ugly fate in the end of the movie. Euch!

Masih dari ajang yang sama, meskipun beda tahun pelaksanaan, aku sempat menonton “Cache” dan “L’enfant” serta “La Marche de l’empereur”. Tapi dua judul pertama membuat aku menyesal membuang waktu masing-masing lebih dari dua jam untuk menontonnya, karena kembali menurut hematku pribadi, kedua judul ini ga ada bagus-bagusnya !
“Cache” berakhir dengan kebingungan dan tanda tanya besar yang sangat menyebalkan dan mengganggu (daripada jadi spoiler dengan membeberkan akhir ceritanya di sini jadi sengaja tidak diungkap), sedangkan “L’enfant” – yang sebenarnya adalah film Belgia tapi karena mereka juga bertutur dalam bahasa Prancis jadi bisalah dimasukkan dalam pembahasan kali ini – membuatku pengen melompat dari kursi dan memukuli si aktor utama saking kesalnya (I even posted a specific blog entry for this ugly feature). Sedangkan judul ketiga yang kusebutkan, adalah film documenter yang lucu dan mengharukan, rasa-rasanya malah jadi ineligible to ‘compete’ dalam kategori yang sama dengan judul-judul lainnya yang sudah kusebutkan di muka.

Dan di sinilah aku mulai kehabisan ‘amunisi’ untuk mendebat Bradley dan meminta dia mengubah pikiran serta untuk menarik / membatalkan sumpah anti-film Prancisnya. Secara film Prancis terakhir yang kutonton, “De battre mon coeur s'est arrêté”, sama sekali tidak bisa membantuku berargumentasi positif, karena aku sendiri merasa tersiksa waktu menonton film tentang perselingkuhan ini. Ugh!

Akhirnya apabila kamu yang membaca tulisan ini bertanya, what is my standpoint now on the issue of watching French movies after all those experiences, well, sadly to say, aku jadi cenderung mengikuti dan mengamini sumpah Bradley (walau tidak sampai bibir ini mengucap seperti yang ia lakukan beberapa tahun lalu).
Meskipun tentu saja, dalam beberapa kondisi khusus dan untuk beberapa judul aku mencoba membuat perkecualian, misalnya untuk film animasi hitam putih “Renaissance” yang lumayan mendebarkan, film musikal "Les choristes" yang lumayan menyentuh, the feel good romantic comedy "Le fabuleux destin d'Amélie Poulain", serta biopic “La Môme” yang membuat mata ini berkaca-kaca karena terharu (and yes, I do believe Marianne Cotillard deserved her Oscar).

Kita lihat saja apakah dalam waktu dekat aku kembali akan membuat perkecualian lainnya (termasuk untuk other Francophone titles), yang dalam istilah Bradley, “Now that’s what I call my cup of tea”.


Tuesday, October 30, 2007

Karma Photograph

There were some certain things you would never see me doing.
Wearing a pair of leather pants, or coloring my finger and toe nails black (just like rock-stars), riding any motorcycle (because I can’t!), nor kissing my boss(-es) ass(-es), for instances.
There is a bigger chance for you to see me picking my nose on public places, or walking around naked in a room, than doing those things mentioned above.
Ha! Ha!

The list of Things I Wouldn’t Do grew longer each year because I added some new prohibited acts while I was still studying at the university. Included in it: confessing private stuffs to any member of my family (because he/she would use it against me while we argued, just like the one on scary nightmares prior to Christine’s death), lending any personal property to new friends I just knew (because that was how I lost my Dangerous Liaisons video and Great Expectations novel), and taking pictures with (any) actors, artists and celebrities.

Until I got my first job on a national TV station.
Friends and relatives often asked me why I didn't take pictures with the celebrities I’ve met, simply because I was working in show-business industry, which means there was a bigger chance to meet those so-called-artists (but-I-prefer-to-call-them-celebrities) regularly. Which was true, it happened on daily basis. In which I replied shortly, “I just don’t want to.”
The same questions popped up again these past weeks because they saw me on another national TV channel – broadcasted live weekly – sitting with some celebrities in this year Indonesian Idol contest.

Well, to tell you the truth, there was a personal reason for me to not doing so.
It’s because I was not really into the idea of idolatry, especially if those persons in concern were only working in show-business as performers.
I always keep in mind that: "Artis juga manusia!"
They become *special* only because people see them on television or movie screen. The ones you must give more respect are those who worked behind the scenes.
And the certain kind of celebrities I despised most are those who only showed up in gossip-shows and tabloids supporting scandalous shameful things I consider as personal stuffs you normally never want to disclose to others and would always fear other people find them out.

But here is a confession: the more personal reason that refrained me from taking pictures together with celebrities-cum-performers was the one that involved Tora Sudiro and Nadya Hutagalung, back in the time when I was still struggling to keep my first big job on that particular TV station.
The one I still remember as a bittersweet memory until today.

It was the first time ever I broke the 'anti-idolatry' belief I firmly hold on to before, in which during the course of events happened that particular week I ended up losing that first big job, even though the belief-crossing and job-losing actually had no positive correlation at all.
I just thought that that was my karma for crossing the said belief. Though I didn't (really) regret (much) the lost job (“it surely has other meaning which I didn’t realized back then”), but the one thing I kind of regret until now was the fact that I never had that “karma photograph” in my possession, the one in which we hugged so close acted as if we were both lovers, taken during breaks of shooting comedic sketches when I also acted as an extra talent in one segment.
One hilariously funny experience I will never forget.

As for now, I chose to take a more moderate position into the anti-idolatry issue.
And whenever there was any chance available, I would definitely seized it and took pictures together with certain famous people like Pramoedya Ananta Toer or Kylie Minogue or Cameron Crowe or Audrey Tatou.

Or Dian Sastrowardoyo. Not because I adore her that much, but simply because I just want to make my friends, and especially my brother, Matt, jealous and envy my luck.

Oh jolly cupcakes, on a second thought, will I ever call it luck?!



{ Original version of Karma Photograph was posted online under the title Karma Celebrities on my now defunct Friendster’s blog on June 22nd, 2005. Explanatory statement: at the moment of the original writing, Pramoedya Ananta Toer was still alive }