Monday, April 27, 2009

Because I Always



I love it when we are together
when we do things that we both love

Talking under the big tree, enjoying the breeze
your head on my shoulder, I can smell the scent of your hair
Sitting on the couch, enjoying our lattes
you tell me stories about your recent trip to europe
Leafing through a magazine, discussing the photographs and the articles
you recount the days when you're still an intern in a high profile political magazine
Playing pingpong, try to outdone each other
you look sexy when your shirt begin to stain with sweats

I just don't want to let you go
I need to hold you tight in my arms

Because I always love it
when we're doing things that we really love together

Friday, April 17, 2009

Sesosok Pria Yang Selalu Tampak Tersenyum



Kalau kita sudah ’terlanjur’ mengakrabi sosok seseorang di masa-masa ketika ia sudah tidak muda usia lagi, tentunya akan terasa sedikit aneh apabila kemudian melihat dari foto atau bentuk dokumentasi lainnya, bagaimana penampakan orang tersebut di masa muda.

Misalnya, sejak pertama kali aku bisa mengingat pun, rasanya Bapak sudah terlihat cukup tua. Mungkin saat itu umurnya sudah lebih dari empatpuluh tahun. Rambutnya sudah mulai memutih karena ubannya sudah tumbuh banyak, tapi dia mengakalinya dengan cat rambut hitam merk tancho.
Masih bisa pula kuingat piring kaleng kecil yang biasanya ia jadikan wadah untuk mengaduk formula tancho itu. Diameternya paling sekitar limabelas sentimeter, dengan ornamen dedaunan hijau dan kembang berwarna merah yang entah apa jenisnya dan telah berubah warna karena berulang-kali terkena tancho. Biasanya, Ibu lah yang mempersiapkan formula tancho itu, lantas menyemirkannya di kepala suaminya sambil mereka berdua asyik mengobrol entah tentang apa saja yang melintas di kepala.

Masih bisa juga kuingat, ketika aku bersama Adik dan Kakak ditemani Ibu berdiri di tepian jalan aspal, berbaris bersama ratusan orang lainnya.
Saat itu aku masih sangat kecil, belum lagi mulai masuk sekolah. Kakak tampak begitu bersemangat siang itu, dan memilih bergabung bersama teman-temannya yang tampak sibuk mengibar-ngibarkan bendera Merah Putih.
Ibu menggenggam tanganku dan Adik. Ibu bilang, kami berdiri di tepi jalan untuk menyambut kedatangan Bapak Presiden. Ibu tampak begitu bersemangat, sama seperti wajah semua orang yang berdiri di tepian jalan aspal itu. Adikku sedikit berbeda, wajahnya sedang cemberut, karena tadi dipaksa mandi dan bersiap-siap oleh Ibu, padahal dia masih ingin bermain dengan tentara-tentaraan plastik hadiah ulang tahun kami. Terkadang Adikku sering bertingkah konyol dan menyebalkan, tapi Ibu jarang memarahinya. Kakakku pernah bilang, itu karena Adik adalah anak bungsu di keluarga kami. Entah apa maksudnya ketika itu berkata demikian, dan baru ketika usiaku semakin bertambah barulah kupahami makna tersiratnya.

Orang-orang mulai ramai berteriak-teriak, dan ratusan tangan, entahlah berapa banyak persisnya, tapi ada terlihat begitu banyak tangan terangkat mengacung ke udara, dan ratusan bendera Merah Putih kecil-kecil terkibar dengan kencang dan bersemangat.
Siang itu rasanya sama seperti siang-siang sebelumnya. Langit masih tetap berwarna biru cerah, dan matahari tetap bersinar terik. Biasanya Ibu suka bawel kalau aku dan Adik serta teman-teman bermain sepak bola di lapangan saat panas terik begini. Ibu tak ingin kami terlihat dekil dan kumal, karena nanti Bapak akan marah dan menganggap Ibu tak becus mengurus anak-anaknya sendiri. Namun siang ini justru Ibu yang terlihat bersemangat meskipun keringatnya terlihat mengalir cukup deras.
Pasti ada yang tidak biasa hari ini, demikian pikirku. Siapapun Bapak Presiden itu, dia pasti penting sekali, sampai-sampai Ibu memakai salah satu baju terusannya yang masih relatif baru yang ia jahit sendiri untuk acara Natal tahun sebelumnya, dan kuperhatikan juga betapa berbedanya wajah Ibu saat itu. Ia mengenakan rias wajah sedikit, sesuatu yang tampak tidak biasa. Dan wajahnya tetap tersenyum, meskipun kulihat bajunya sudah mulai basah karena keringat.

Lalu aku mendengar bunyi sirene kencang mengaung-ngaung. Perhatianku langsung tertuju ke jalan, mencoba menyelip menyelinap untuk bisa melihat lebih jelas.
Ah, aku kesal sekali, terlalu banyak orang dewasa menghalangi pandanganku, padahal aku mau melihat lebih jelas kenapa ada sirene meraung kencang. Tapi Ibu tak mau melepas pegangannya di tanganku, meskipun sudah kutarik-tarik. Akhirnya aku mundur dan kembali merapat ke dekat kaki Ibu. Kesal, karena tak bisa melihat apapun selain orang-orang dewasa. Huh, kalau saja aku sudah lebih besar ..., demikian pikirku.

Tak lama, lewatlah berderet-deret motor tentara dengan sirene berbunyi kencang dan lampunya berwarna terang berkilatan. Gagah sekali rasanya naik motor seperti itu. Seperti para polisi di serial Chips yang biasa ditonton oleh Ibu dan Bapak dari siaran televisi Malaysia. Di belakang motor-motor itu ada mobil jip tentara, dan diikuti pula oleh beberapa sedan gelap berkaca hitam.
Semua orang tampak berteriak-teriak penuh semangat dan semakin histeris melambai-lambaikan bendera Merah Putih kecil yang berada di tangan masing-masing ke arah sedan gelap berkaca hitam itu. Aku tak mengerti, mobil siapa itu sebenarnya? Mana Bapak Presiden yang katanya mau lewat? Aku masih belum lagi melihatnya.
Tampak di belakang sedan gelap berkaca hitam yang melaju dengan sangat kencangnya itu, lewatlah entah berapa mobil lagi yang juga tak jelas siapa yang berada di dalamnya. Semuanya tampak berkaca gelap dan tak terlihat sedikit pun siapa-siapa saja yang duduk di kursi belakang.

Lalu tiba-tiba saja semuanya selesai. Orang-orang mulai membubarkan diri dari barisan, dan Ibu sambil menarik tanganku dan Adik berkata, “Ayo, Nak, kita pulang. Bapak Presiden sudah lewat.”
Wajah Adik langsung berubah cerah, sedangkan aku masih saja tak mengerti. “Bapak Presidennya mana, Bu? Kok aku belum melihatnya dari tadi?”
”Tadi sudah lewat kok, Sayang. Di dalam salah satu sedan gelap berkaca hitam itu. Ibu juga tak tahu dia di mobil yang mana. Tapi Ibu bangga, Bapak Presiden mau berkunjung ke kota kita. Bapak kalian mungkin nanti bisa melihat beliau langsung saat di pabrik nanti. Kita tunggu Bapak kalian pulang saja ya, mungkin nanti dia bisa bercerita banyak tentang Bapak Presiden.”
Malamnya ketika Bapak pulang, seingatku dia tak bercerita apapun tentang kunjungan Bapak Presiden pada hari itu. Atau barangkali ingatanku keliru, dan Bapak sungguh bercerita kepada kami semua, tapi aku saja yang sudah lupa.

Hingga malam kemarin, ketika aku membongkar salah satu kardus tua yang menumpuk di dalam gudang untuk mencari kotak Monopoli yang dibelikan Kakak ketika dia masih kuliah, lebih dari sepuluh tahun lalu, sebagai hadiah kenaikan kelas. Entah mengapa aku mendadak kangen untuk bermain Monopoli lagi, meskipun malam kemarin tak ada seorang pun yang bisa kuajak bermain. Begitu kubuka kardus tua itu, yang pertama kali kulihat adalah sebuah album prangko yang sudah kumal dan sedikit berdebu. Ah, jadi teringat hobi filateli yang kutekuni saat aku masih duduk di sekolah dasar. Malam kemarin, tak bisa kuingat kenapa kemudian aku berhenti mengoleksi prangko. Bisa jadi karena bosan. Kubuka sampul depan album, dan kubalik lembar demi lembar halamannya yang tebal. Tak sengaja, mataku tertuju pada deretan koleksi wajah Bapak Presiden dalam prangko. Seperti sebuah milestone saja, melihat serangkaian memorabilia yang seakan membawamu kembali ke masa lalu. Salah satunya yang kemudian mengingatkanku kembali pada satu siang ketika aku, Adik, dan Ibu berdiri di tepi jalan di bawah cahaya matahari yang panas dan terik, adalah wajah Bapak Presiden sedang mengenakan peci dan setengah tersenyum. Tahun yang tercantum di dalam prangko : 1974. Ah, jadi seperti ini ya wajah beliau ketika masih belum terlalu lanjut usia, demikian batinku berkata. Entah mengapa aku bisa lupa.

Yang masih kuingat sangat jelas, sampai Bapak Presiden meninggal beberapa tahun lalu, belum pernah sekalipun aku melihat sosoknya yang sudah berusia lanjut itu secara langsung dengan mata kepalaku sendiri.
Di dalam bayanganku, beliau hanyalah sesosok pria tua yang selalu tampak tersenyum lebar mirip meringis, yang kukenal lewat tayangan-tayangan di layar kaca. Atau dari koran Suara Karya yang dibagikan gratis dari kantor Bapak. Atau dari harian Kompas yang memang jadi langganan keluarga kami.
Hanya melalui siaran televisi sajalah, bisa kulihat jelas sosok Bapak Presiden. Dari tayangan-tayangan di layar kaca itu, beliau tampak jauh lebih dekat dan lebih akrab daripada hari itu, di siang yang panas terik ketika kami berdiri di tepi jalan dan sedan gelap berkaca hitam melaju kencang di depan kami semua.


Wednesday, April 15, 2009

Will You ?


Half closed, these dreamy eyes of mine
Hallucinating, I saw you in between the graceful sunflowers
Whirling and dancing like the spinning wheel
Your hearty laughs fill the air with excitement
It feels like you’re just within arms reach, so close I can smell your sweet perfume

If I asked you then would you say yes?

If I tell you now will you ever believe me?

And if I say “I’ll love you forever” will you wait for my return?

Tuesday, April 14, 2009

Antara Tidur Siang dan Pakai Kemeja Batik


Mengapa sih rasa kantuk itu diciptakan ?
Berhubung tidak ada Galileo maupun Newton apalagi Dr. Oz buat ditanya, jadi terpaksa mencari jawaban sendiri deh. Untung masa kini ada Google buat menemukan solusi atas mayoritas pertanyaan.

Katanya sih, kantuk dan diikuti aktivitas tidur itu sebagai mekanisme tubuh untuk shutting down semua kerja otot – kecuali jantung tentu saja, karena kalau begitu jadinya bakalan is dead – serta untuk memulihkan energi. Selain itu, bisa juga dimanfaatkan oleh sel-sel tubuh untuk meregenerasi diri.
Terkadang, membaca jawaban khususnya yang terakhir, yang terbayangkan olehku adalah sel-sel kulit mengelupas luruh jatuh ke atas seprai kasur, dan akibatnya setiap bangun pagi jadi harus sibuk bersih-bersih deh. Konyol juga imajinasi semacam itu. Memangnya ular yang kerap berganti kulit?

Jadi sebenarnya hendak bercerita, kalau tadi pagi aku baru mulai sesi pertama di gym dengan personal trainer.

Cieee. Serasa keren banget ga sih, pake PT segala. Jadi teringat Madonna yang umurnya sudah tidak belia lagi tapi bodinya masih aja yahud, nyaris tanpa lemak. Melihat tubuhnya di cover Vanity Fair beberapa bulan lalu emang bikin hati ini terluka. Lebay sih, sebenarnya maksudku merasa tersindir saja.

Jadi ceritanya pakai jasa si Personal Trainer ini menjadi pilihan terpenting bulan ini, mengingat lemak perutku udah bleber kemana-mana. No longer cute love handles. Dan khawatirnya kalau sok-sokan mau coba-coba bakar lemak sendiri, bisa jadi ga fokus karena memang ga tau caranya dan tidak punya ilmunya.

Yang kemudian terjadi, sesi pertama bersama si PT sukses bikin banjir keringat, which is good, dan bikin seluruh tumpukan lemak di tubuh ini jadi gemebyar, mirip gerakan umbul-umbul yang ditiup angin. Kalau kurang bisa divisualisasikan, coba aja dibantu dengan lirik lagu ”Rayuan Pulau Kelapa”.

Anyway, setelah pagi-pagi dibolak-balik hingga gemetaran sekujur badan sama itu PT, sampai sesak napas plus keringat dingin bikin aku lagi-lagi cemas terkena serangan jantung (huah!), lantas melewatkan waktu hampir 10 menit di dalam steam room sangat membantu relaksasi otot-otot yang tadinya sempat kaku.

Apalagi, tadi hanya bersendirian di dalam ruangan penuh uap pekat itu. Senangnya! Meskipun ga berani jauh-jauh dari pintu, takut mendadak ada kenapa-kenapa dengan jantung ini yang mendadak mencurigakan kondisinya, jadi biar bisa langsung keluar dari dalam ruangan bertekanan tinggi. *terasa lebay.

Nah, awalnya aku masih saja bersemangat, tiba-tiba siang ini di kantor saat semua orang lagi dibuat sibuk karena ada proses pitching dengan sebuah institusi keuangan plat merah, rasa kantuk luar biasa menghadang menerjang.

Jangankan buat diajak berpikir, untuk sekedar buka mata saja rasanya tak sanggup. Akhirnya setelah segala daya gagal untuk mempertahankan kesadaran, aku pun memilih pulas sejenak di atas sofa. Tapi kendalanya, ya itu tadi, orang-orang lagi pada sibuk mengerjakan pitching, yang ada beberapa kali aku terbangun akibat bunyi pesawat telepon yang bolak-balik berbunyi kencang. Masih ditingkahi oleh suara telepon genggam entah siapa. Berisik!

Pengen murka rasanya karena istirahat siangku diganggu, tapi tak pada tempatnya juga sih. Secara ini di kantor. Dan jam kerja pula. Tidak ada alasan apapun yang bisa menjustifikasi tidur siangku ini.

Kalau di kantor lama sih, bahkan ketiduran di kantor saat jam sudah lewat pukul delapan malam saja masih dijadikan masalah sama supervisor. Alasannya, kantor buat bekerja! Bukan untuk tidur!

Dikira orang robot apa ya? Masa sudahlah masuknya jam delapan pagi dan langsung sibuk, duabelas jam kemudian istirahat sebentar masih tidak boleh? Sudah gila. Untung saja jaman-jaman jahiliyah itu sudah kulalui dengan selamat. Meskipun sempat sakit-sakitan sebentar, tapi untungnya tidak sampai harus rawat inap seperti beberapa orang teman.

Ngomong-ngomong soal inap menginap, sepertinya ada yang berjanji mau menginap in my crib deh weekend ini. Saat janji tersebut dikemukakan, sempat merasakan happy sejenak sih. Sudah kebayang aktivitas seru apa saja yang akan dilakukan. *smirking*.

Lalu saat membuka e-mail, cengiran itu menghilang, terhapus dari wajah. Ya ampun, Sabtu ini kan ada resepsi nikah salah satu sahabat di masa kuliah dulu? Lokasinya relatif dekat pula, hanya limabelas menit dengan taksi. Tampaknya tidak ada alasan sahih apapun yang akan diterima kalau sampai tidak memunculkan batang hidung di sana.

Kalau begitu, nanti sore sepulang dari kantor, harus segera mengeluarkan baju batik kerah Nehru – yang kubeli dua tahun lalu dari Yogyakarta tapi baru dipakai sekali doang itu – dari dalam lemari untuk diangin-anginkan. Mudah-mudahan tidak kusut tertimpa baju yang lain, dan tidak sampai apek karena dikeluarkan dari dalam lemari hanya sekali setahun.

Ajak si Dia buat menemaniku menghadiri resepsi, tidak ya?

Soalnya, Dia kan sudah berulang-kali mengungkapkan keinginannya untuk melihat aku mengenakan baju batik dan tampil dengan gaya tradisional khas Indonesia. Aku rasa, Dia sih pasti tidak akan menolak. Dan toh, aku juga pasti akan senang didampingi. Asyik !

Monday, April 6, 2009

Is Now The Time To Move On ?


I need to move on with my life.
I don’t want to be stuck here forever, the place which started to feel like a comfort zone.
Do I have to change my job?
Looking at things which happened these latter days, the answer is probably: Yes.
But the future might be bleak, having no money and living by yourself here in this cruel city that reserve no sympathy for people who has no money or resources.
And I don’t want to beg for job to my friends or relatives, and definitely, NOT money, from anyone.
Do I have guts to follow the path of one of my best friend, who resigned from her promising position in her office, and follow her dreams of becoming a writer?
The answer for this time is probably: No.
Gosh, I am oh so confused now.

Friday, April 3, 2009

Sebelum Sekarang



I get bored quite easily.

Hal ini sudah kusadari sejak empat hingga lima tahun belakangan ini. Itulah sebabnya mengapa sepertinya berganti pekerjaan tiga kali dalam kurun waktu tiga tahun tidaklah menjadi suatu hal yang terlalu membuatku pusing kepala. Kecuali tentu saja, saat-saat tidak ada uang karena tidak punya pemasukan rutin dan stabil. Tapi itu adalah cerita lain.

Kalau mencoba melihat-lihat ke belakang, dalam kurun waktu empat hingga lima tahun ini pun, baru sekarang ini tercipta stabilitas dalam hubunganku.
Eh, hubungan apa dulu nih?
Itu lho, yang kalau dalam situs pergaulan statusnya mestilah dicantumkan, dengan pilihan beragam, mulai dari Single hingga Married atau Open Relationship. Jadi judulnya aku sekarang sudah In a Relationship.
(Hore! Sebentar lagi anniversary pertama lho!)
Boleh saja empat hingga lima tahun lalu aku berganti pasangan setiap melewatkan Ramadhan. Tapi bagaimana dengan sekarang? Time to move on, dude, pindah sajalah ke ’jalur lambat’.

Ya iyalah. Meskipun terkadang masih terngiang ucapan Marcella Zalianty dalam salah satu sinetronnya yang tayang 3 tahunan lalu, ”Cowok setia itu membosankan!”, tapi kalau mau jadi lelaki dewasa dan bertanggung-jawab, pilihannya hanya ada satu dan memang cuma yang satu itu saja: setia!

Sebagaimana yang tersurat dalam lirik puitis sebuah lagu dangdut (Meggy Z., wasn’t it?), “Semut pun kan marah jika diperlakukan begitu” (baca: dikhianati), apalagi seorang manusia ! (untuk lebih spesifik lagi, ego seorang lelaki) Makanya kuputuskan dengan tekad bulat, untuk yang kali ini, aku harus bisa setia.
Sudah cukup lah rasanya merasakan apa itu yang namanya pilihan alternatif (baik menjadikan maupun dijadikan). Saat usia sudah mendekati senja kala dua warsa, tentu saatnya telah tiba untuk menentukan sikap.

Oh, no. Wait a minute.
”It’s Complicated”, katamu? Hah, that was so 2005 ! Masa jaya-jayanya Friendster tuh. Dan maaf saja bung, era itu telah berlalu. Biar saja status tak jelas seperti itu jadi mainan mereka yang usianya lebih muda, ... yNg mSTi bLJr NuliS bNr dL bRu nGmNg sX.

Berbicara soal belajar menulis dengan benar (yap! Itulah maksud sepotong kalimat sandi di atas itu), sekitar empat tahunan lalu aku masih sangat bersemangat untuk meluapkan segala macam campur-adukan bleh ide dan pemikiran yang menumpuk membentuk isi kepala ini untuk menjadi deretan kalimat bermakna. Sampai sempat berniat belajar khusus dengan menodong seorang teman untuk membantu membuatkan dan mengajarkan caranya menulis blog.
Eh, ketika si teman tersebut sekitar satu setengah tahun silam sudah berhasil menelurkan – atau karena dia seorang perempuan, apakah lebih pantas disebut memberanakkan ? tapi ini bukan untuk diperdebatkan – sebuah buku yang sebenarnya adalah kompilasi dari beberapa entry yang dianggap paling ciamik dari blog-nya, aku justru malah merasa mandeg dan bosaaaaann dengan blog kupu-kupu ku ini.
Kalau diandaikan, bisa jadi tiga tahun lalu aku masih merasakan romantisme d’amor sampai termehe’-mehe’ dicampur semangat membara layaknya seorang pejuang kemerdekaan dalam tekad dan niat untuk terus senantiasa memperbarui konten blog, ...

Tapi kalau sekarang?

Jawabannya sebenarnya mudah banget.
Kan sudah diberikan di awal tulisan ini.
Coba di scroll lagi back to the top. Atau pencet tombol Page Up.

Get it ? ;-))

Wednesday, April 1, 2009

I Just Don't ...


... celebrate April Fool’s Day.

Bukan karena hari ini berawal dari tradisi Yahudi, seperti yang diyakini sepenuh hati oleh seorang teman yang sangat membenci orang-orang Yahudi tapi ternyata bertemu dengan seorang pun saja belum pernah.
Dan bukan juga karena April Fool’s Day seringkali hanya diperingati oleh orang-orang yang tingkat kedewasaannya pantas diragukan, karena ternyata tipu-muslihat yang dibuat seringkali dipikirkan dan dirancang secara matang dan seserius mungkin oleh para pelakunya yang sudah sangat dewasa dan matang dalam kehidupan sehari-hari.

What’s the reason then, you may ask.

Alasannya, adalah karena aku sudah sering mengerjai dan mengolok-olok teman-temanku hampir setiap hari. Tidak perlu menunggu datangnya satu hari khusus dalam setahun untuk bisa ngisengin orang.
Meskipun katanya, para korban April Fool’s Day tidak boleh marah-marah setelah tau kalau dirinya dikerjain. Kalau memang begitu, terus apa dong bedanya dengan para selebriti yang dikerjain Ashton Kutcher dalam acara Punk’d?

Oh well, tapi buatku pribadi, justru karena sering ngerjain teman itulah makanya jadi malas untuk mendedikasikan satu hari ini khusus untuk hal-hal iseng.
Rasanya akan jauh lebih baik dan bermanfaat apabila aku mengisi waktu dengan melanjutkan baca novel Michael Chabon yang jadi 'My Personal Book of April'.