Friday, April 17, 2009

Sesosok Pria Yang Selalu Tampak Tersenyum



Kalau kita sudah ’terlanjur’ mengakrabi sosok seseorang di masa-masa ketika ia sudah tidak muda usia lagi, tentunya akan terasa sedikit aneh apabila kemudian melihat dari foto atau bentuk dokumentasi lainnya, bagaimana penampakan orang tersebut di masa muda.

Misalnya, sejak pertama kali aku bisa mengingat pun, rasanya Bapak sudah terlihat cukup tua. Mungkin saat itu umurnya sudah lebih dari empatpuluh tahun. Rambutnya sudah mulai memutih karena ubannya sudah tumbuh banyak, tapi dia mengakalinya dengan cat rambut hitam merk tancho.
Masih bisa pula kuingat piring kaleng kecil yang biasanya ia jadikan wadah untuk mengaduk formula tancho itu. Diameternya paling sekitar limabelas sentimeter, dengan ornamen dedaunan hijau dan kembang berwarna merah yang entah apa jenisnya dan telah berubah warna karena berulang-kali terkena tancho. Biasanya, Ibu lah yang mempersiapkan formula tancho itu, lantas menyemirkannya di kepala suaminya sambil mereka berdua asyik mengobrol entah tentang apa saja yang melintas di kepala.

Masih bisa juga kuingat, ketika aku bersama Adik dan Kakak ditemani Ibu berdiri di tepian jalan aspal, berbaris bersama ratusan orang lainnya.
Saat itu aku masih sangat kecil, belum lagi mulai masuk sekolah. Kakak tampak begitu bersemangat siang itu, dan memilih bergabung bersama teman-temannya yang tampak sibuk mengibar-ngibarkan bendera Merah Putih.
Ibu menggenggam tanganku dan Adik. Ibu bilang, kami berdiri di tepi jalan untuk menyambut kedatangan Bapak Presiden. Ibu tampak begitu bersemangat, sama seperti wajah semua orang yang berdiri di tepian jalan aspal itu. Adikku sedikit berbeda, wajahnya sedang cemberut, karena tadi dipaksa mandi dan bersiap-siap oleh Ibu, padahal dia masih ingin bermain dengan tentara-tentaraan plastik hadiah ulang tahun kami. Terkadang Adikku sering bertingkah konyol dan menyebalkan, tapi Ibu jarang memarahinya. Kakakku pernah bilang, itu karena Adik adalah anak bungsu di keluarga kami. Entah apa maksudnya ketika itu berkata demikian, dan baru ketika usiaku semakin bertambah barulah kupahami makna tersiratnya.

Orang-orang mulai ramai berteriak-teriak, dan ratusan tangan, entahlah berapa banyak persisnya, tapi ada terlihat begitu banyak tangan terangkat mengacung ke udara, dan ratusan bendera Merah Putih kecil-kecil terkibar dengan kencang dan bersemangat.
Siang itu rasanya sama seperti siang-siang sebelumnya. Langit masih tetap berwarna biru cerah, dan matahari tetap bersinar terik. Biasanya Ibu suka bawel kalau aku dan Adik serta teman-teman bermain sepak bola di lapangan saat panas terik begini. Ibu tak ingin kami terlihat dekil dan kumal, karena nanti Bapak akan marah dan menganggap Ibu tak becus mengurus anak-anaknya sendiri. Namun siang ini justru Ibu yang terlihat bersemangat meskipun keringatnya terlihat mengalir cukup deras.
Pasti ada yang tidak biasa hari ini, demikian pikirku. Siapapun Bapak Presiden itu, dia pasti penting sekali, sampai-sampai Ibu memakai salah satu baju terusannya yang masih relatif baru yang ia jahit sendiri untuk acara Natal tahun sebelumnya, dan kuperhatikan juga betapa berbedanya wajah Ibu saat itu. Ia mengenakan rias wajah sedikit, sesuatu yang tampak tidak biasa. Dan wajahnya tetap tersenyum, meskipun kulihat bajunya sudah mulai basah karena keringat.

Lalu aku mendengar bunyi sirene kencang mengaung-ngaung. Perhatianku langsung tertuju ke jalan, mencoba menyelip menyelinap untuk bisa melihat lebih jelas.
Ah, aku kesal sekali, terlalu banyak orang dewasa menghalangi pandanganku, padahal aku mau melihat lebih jelas kenapa ada sirene meraung kencang. Tapi Ibu tak mau melepas pegangannya di tanganku, meskipun sudah kutarik-tarik. Akhirnya aku mundur dan kembali merapat ke dekat kaki Ibu. Kesal, karena tak bisa melihat apapun selain orang-orang dewasa. Huh, kalau saja aku sudah lebih besar ..., demikian pikirku.

Tak lama, lewatlah berderet-deret motor tentara dengan sirene berbunyi kencang dan lampunya berwarna terang berkilatan. Gagah sekali rasanya naik motor seperti itu. Seperti para polisi di serial Chips yang biasa ditonton oleh Ibu dan Bapak dari siaran televisi Malaysia. Di belakang motor-motor itu ada mobil jip tentara, dan diikuti pula oleh beberapa sedan gelap berkaca hitam.
Semua orang tampak berteriak-teriak penuh semangat dan semakin histeris melambai-lambaikan bendera Merah Putih kecil yang berada di tangan masing-masing ke arah sedan gelap berkaca hitam itu. Aku tak mengerti, mobil siapa itu sebenarnya? Mana Bapak Presiden yang katanya mau lewat? Aku masih belum lagi melihatnya.
Tampak di belakang sedan gelap berkaca hitam yang melaju dengan sangat kencangnya itu, lewatlah entah berapa mobil lagi yang juga tak jelas siapa yang berada di dalamnya. Semuanya tampak berkaca gelap dan tak terlihat sedikit pun siapa-siapa saja yang duduk di kursi belakang.

Lalu tiba-tiba saja semuanya selesai. Orang-orang mulai membubarkan diri dari barisan, dan Ibu sambil menarik tanganku dan Adik berkata, “Ayo, Nak, kita pulang. Bapak Presiden sudah lewat.”
Wajah Adik langsung berubah cerah, sedangkan aku masih saja tak mengerti. “Bapak Presidennya mana, Bu? Kok aku belum melihatnya dari tadi?”
”Tadi sudah lewat kok, Sayang. Di dalam salah satu sedan gelap berkaca hitam itu. Ibu juga tak tahu dia di mobil yang mana. Tapi Ibu bangga, Bapak Presiden mau berkunjung ke kota kita. Bapak kalian mungkin nanti bisa melihat beliau langsung saat di pabrik nanti. Kita tunggu Bapak kalian pulang saja ya, mungkin nanti dia bisa bercerita banyak tentang Bapak Presiden.”
Malamnya ketika Bapak pulang, seingatku dia tak bercerita apapun tentang kunjungan Bapak Presiden pada hari itu. Atau barangkali ingatanku keliru, dan Bapak sungguh bercerita kepada kami semua, tapi aku saja yang sudah lupa.

Hingga malam kemarin, ketika aku membongkar salah satu kardus tua yang menumpuk di dalam gudang untuk mencari kotak Monopoli yang dibelikan Kakak ketika dia masih kuliah, lebih dari sepuluh tahun lalu, sebagai hadiah kenaikan kelas. Entah mengapa aku mendadak kangen untuk bermain Monopoli lagi, meskipun malam kemarin tak ada seorang pun yang bisa kuajak bermain. Begitu kubuka kardus tua itu, yang pertama kali kulihat adalah sebuah album prangko yang sudah kumal dan sedikit berdebu. Ah, jadi teringat hobi filateli yang kutekuni saat aku masih duduk di sekolah dasar. Malam kemarin, tak bisa kuingat kenapa kemudian aku berhenti mengoleksi prangko. Bisa jadi karena bosan. Kubuka sampul depan album, dan kubalik lembar demi lembar halamannya yang tebal. Tak sengaja, mataku tertuju pada deretan koleksi wajah Bapak Presiden dalam prangko. Seperti sebuah milestone saja, melihat serangkaian memorabilia yang seakan membawamu kembali ke masa lalu. Salah satunya yang kemudian mengingatkanku kembali pada satu siang ketika aku, Adik, dan Ibu berdiri di tepi jalan di bawah cahaya matahari yang panas dan terik, adalah wajah Bapak Presiden sedang mengenakan peci dan setengah tersenyum. Tahun yang tercantum di dalam prangko : 1974. Ah, jadi seperti ini ya wajah beliau ketika masih belum terlalu lanjut usia, demikian batinku berkata. Entah mengapa aku bisa lupa.

Yang masih kuingat sangat jelas, sampai Bapak Presiden meninggal beberapa tahun lalu, belum pernah sekalipun aku melihat sosoknya yang sudah berusia lanjut itu secara langsung dengan mata kepalaku sendiri.
Di dalam bayanganku, beliau hanyalah sesosok pria tua yang selalu tampak tersenyum lebar mirip meringis, yang kukenal lewat tayangan-tayangan di layar kaca. Atau dari koran Suara Karya yang dibagikan gratis dari kantor Bapak. Atau dari harian Kompas yang memang jadi langganan keluarga kami.
Hanya melalui siaran televisi sajalah, bisa kulihat jelas sosok Bapak Presiden. Dari tayangan-tayangan di layar kaca itu, beliau tampak jauh lebih dekat dan lebih akrab daripada hari itu, di siang yang panas terik ketika kami berdiri di tepi jalan dan sedan gelap berkaca hitam melaju kencang di depan kami semua.


No comments: