Monday, December 29, 2008

Shoe-ing That Insult


Why do you hate President Bush and his aides,
while he and his Republican peers couldn’t care any less?
That's why when you threw that shoe and missed,
he just laughed it off and not a second looked pissed.

Saturday, December 27, 2008

The Picnic Picture



There was an old photograph on your refrigerator pinned with a magnetic pineapple
Its colors turned to yellowish, a sure sign of years it has gone through
When I first looked at it, I thought it was the picture of Jesus and His disciples having a picnic under a big leafy tree
Because everyone in it had thick shaggy beards long wavy hair and wore some kind of long dresses
Like the robes they used to wear back then in the early years of Our Lord


But when I first saw the photograph, it was not because of what it depicted
It was because I had to divert my gaze from the kitchen window overlooking your backyard
Since I saw you getting steamy with another guy, not far from the pool we once made love inside


I know you’re no longer mine, but hey
Was it wrong if I feel jealousy looking at that scene with my very own eyes?


Wednesday, December 24, 2008

Menolak Untuk Melupakan Sejarah

Wajah perempuan itu terlihat begitu tua, kulitnya yang berwarna kecoklatan ditandai bintik-bintik hitam dengan guratan keriput pertanda rentang usia yang sudah begitu lama menghirup udara Nusantara. Giginya hanya tinggal beberapa, itu pun seringkali tersembunyi di balik katupan bibir yang dulunya pasti penuh dan merah, namun kini sudah ikut keriput juga. Dengan suara terbata-bata sambil sesekali mengusap air mata yang menggenangi pelupuk mata, perempuan tua itu bertutur tentang pengalamannya mencari suaminya yang sempat menghilang seharian. Suaminya yang kemudian dia temukan menjelang senja dalam kondisi sudah tak lagi bernyawa, tersungkur di sawah yang basah oleh air hujan bercampur darah manusia bersama puluhan mayat lainnya.

Nama perempuan tua itu, Wanti. Malam tadi kulihat dia dalam tayangan ”Nama dan Peristiwa” yang disiarkan oleh tvone. Wanti adalah salah satu janda korban pembantaian Rawa Gede, sebuah desa kecil yang terletak di Karawang, Jawa Barat.

Sekitar 61 tahun yang lalu, saat perundingan Renville terkait penentuan kedaulatan Indonesia baru dimulai satu hari sebelumnya, sepasukan tentara Belanda mengepung desa Rawa Gede, dalam upayanya mencari dan menangkap para tentara pejuang Indonesia yang diperkirakan bersembunyi di desa tersebut. Setiap rumah di Rawa Gede didobrak masuk dan digeladah untuk mencari senjata maupun para pejuang yang barangkali tinggal bersama penduduk.
Seluruh penduduk berjenis kelamin laki-laki di atas usia 15 tahun kemudian dikumpulkan dan digiring ke suatu tempat. Mereka semua dibariskan berjajar dan ditanyai tentang keberadaan para tentara Indonesia. Tak satu lelaki pun mengaku tahu, tak seorang pun bisa menjawab interogasi tentara Belanda itu.
Yang kemudian terjadi adalah, tanpa melalui prosedur pengadilan, tuntutan maupun pembelaan, seluruh lelaki itu diberondong dengan senapan mesin oleh para tentara Belanda. Mereka semua dibantai di tempat. Satu persatu tubuh para lelaki itu roboh ke bumi, meregang nyawa atau mati seketika. Beberapa mayat yang sudah saling menindih bahkan masih ditembaki beberapa kali, untuk meyakinkan bahwa mereka semua sudah mati.
Darah pun mengalir membasahi pertiwi.

Tidak cukup sampai di situ, tentara Belanda masih terus mencari jejak para lelaki yang diduga sempat melarikan diri. Mereka diburu seperti hewan liar, dikejar dengan bantuan anjing pelacak. Setiap lelaki dewasa yang ditemukan, ditembak mati di tempat. Hari itu, 9 Desember 1947, ratusan jiwa penduduk sipil melayang di Rawa Gede.

Malam tadi, menyaksikan penuturan Ibu Wanti tentang hari kelam 61 tahun yang lalu itu, membuat perih hati ini.
Dengan suaranya yang lirih dan semakin terbata-bata sambil terus mengusap air mata, Ibu Wanti bercerita bagaimana seorang tetangganya memberitahu bahwa suaminya tercinta tewas ditembak tentara Belanda. Dalam kondisi tengah hamil 9 bulan, Ibu Wanti ditemani oleh ibunya pergi mencari mayat suaminya. Di bawah derasnya hujan yang dicurahkan langit yang seakan turut menangisi kepergian ratusan lelaki Rawa Gede, Ibu Wanti bersama ibunya terpaksa harus mencari-cari di antara tumpukan mayat lelaki yang saling tumpang tindih di tengah sawah. Dua perempuan ibu dan anak ini, dalam kedukaan yang mendalam, tanpa lelah terus mencari lelaki yang mereka kasihi, bersama dengan puluhan perempuan Rawa Gede lainnya. Setelah mayat suaminya berhasil ditemukan, berdua bersama ibunya, Ibu Wanti harus bersusah payah membawa mayat tersebut kembali ke desa untuk dimakamkan secara Islam. Tak bisa kubayangkan betapa hancurnya hati Ibu Wanti dan ibunya senja itu, karena imam sekaligus pencari nafkah keluarga mereka telah pergi untuk selamanya.

Malam tadi, baru untuk pertama kalinya aku mengetahui ada peristiwa keji semacam ini terjadi di negeriku Indonesia. Tak habis pikir rasanya, mengapa kejahatan perang semacam ini tak pernah masuk dalam catatan peristiwa di buku-buku sejarah yang kupelajari semasa sekolah.
Apakah nyawa ratusan lelaki dari sebuah desa kecil di Karawang yang direnggut paksa tersebut tidak bermakna apapun juga?
Dan mengapa, berdasarkan beberapa wawancara yang ditayangkan dalam program acara malam tadi, Pemerintah kita – termasuk para anggota Dewan terhormat – seakan turut menutup mata dan tidak peduli, tak pernah secara serius memperhatikan nasib mereka dan mendukung upaya advokasi para korban untuk memperkarakan kejahatan perang ini di Mahkamah Internasional?

Apakah sebegitu tidak relevannya bagi bangsa ini, penderitaan yang harus ditanggung oleh para penduduk Rawa Gede yang hidupnya berubah drastis untuk seterusnya, sejak hari naas 9 Desember, 61 tahun yang lalu itu?

Apakah kita ’diharapkan’ lupa pada sejarah perjuangan bangsa ini – serta seluruh pengorbanan yang diserahkan oleh para pendahulu kita – saat berupaya mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Negara Indonesia?

Aku memilih untuk tetap ingat. Setidaknya dengan caraku sendiri.
Itulah sebabnya aku membuat tulisan ini.


Tuesday, December 23, 2008

Of Wishes and Dreams



Within those long nights when everything seems to go wrong
I had these strange dreams that keep recurring
That I hid behind this certain thicket fence
And see the world through different eyes
It rushes and left me alone silently watching

I need someone to help me figure these dreams out
What they mean when they kept rushing right through my life
And let me playing with my tears before they dried in the sun

It seems like years
I don’t think you will ever be coming back for more
At first I was afraid to set you free
Even when I know that’s the way things should be

Now let me kiss away the pain of our old memories
And stop trying to make sense of everything
Just look beyond ourselves so we can survive
Through the dreams and reminiscences

If you still have doubt, let the night decide
Because I still have this one wish,
To kiss you tenderly to sleep

Friday, December 19, 2008

Salaam, Saudaraku



Ada yang perlu dicermati secara khusus tentang pelaksanaan kerukunan antarumat beragama di negeri ini, ketika ...

Perusahaan-perusahaan besar berlomba-lomba membuat iklan khusus dan memasangnya dalam jumlah ratusan spot yang bernilai milyaran rupiah di berbagai stasiun televisi, dengan bertemakan toleransi antarumat beragama - yang entah mengapa seringkali memperlihatkan pengadeganan mereka yang menganut agama bukan mayoritas di Nusantara dengan sukarela mengulurkan tangan membantu temannya dari agama mayoritas untuk menunaikan ibadah.

Ini merupakan jenis tema iklan yang sebenarnya akan lebih menyentuh sanubari dan membanggakan lagi, andai saja yang kemudian terjadi adalah ...

Munculnya versi 'balasan', di mana giliran si penganut agama mayoritas yang sebelumnya dibantu dalam melancarkan penunaian ibadahnya oleh si penganut agama minoritas, gantian mengulurkan tangan dengan tulus membantu ketika menjelang dan selama perayaan hari besar agama-agama minoritas lainnya yang berlangsung di lingkungannya.

Dan ketika justru hal ini tidak terjadi, lalu ...

Bagaimana mungkin toleransi tercipta dan kerukunan terjaga, apabila ego yang lebih berkuasa?

Wednesday, December 17, 2008

Menikmati Secangkir Teh Prancis



“I can’t understand any French movies. Probably, they’re just not my cup of tea ...”


Sahabatku Bradley pernah bersumpah bahwa dia tak akan pernah lagi mau membuang waktunya untuk menonton film Prancis manapun. Aku tak tahu apakah Francophone movies termasuk dalam kategori sumpahnya itu, yang jelas sepanjang pengetahuanku sejak dia mengucap sumpah itu usai menonton salah satu film produksi Prancis dalam ajang Festival Sinema Prancis tiga tahun silam, tak pernah sekalipun dia menonton lagi film dari negara mode itu.

Sumpah Bradley terujar bukan karena kala itu dia dipaksa – dan setengah diseret menuju bioskop – oleh salah satu teman dekatnya yang kebetulan juga kukenal untuk menemaninya menonton, tapi lebih karena menurutnya menonton film Prancis merupakan pengalaman traumatis yang menyiksa. Dia tak bisa mengerti dimana bagusnya film Prancis manapun yang pernah dia lihat, dan dia tidak terlalu terkesan dengan kenyataan betapa mudahnya aktor-aktris Prancis tampil polos tanpa malu seperti bayi baru dilahirkan di layar lebar untuk dipelototi dan dikonsumsi dengan rakus oleh mata para penonton. Padahal bagiku dulu waktu baru mulai memasuki usia puber, justru inilah alasan satu-satunya aku bertahan dan membetahkan diri menonton TV5 Monde.

Pada masa-masa awal ketika aku tahu tentang sumpah Bradley ini, entah mengapa aku berusaha membuat Bradley mengubah pikirannya. Alasanku waktu itu, it’s going to be his loss kalau menolak menonton film-film yang bagus dan bermutu dari negara moyangnya sinema dunia itu. Ketika dia bertanya balik setengah mendesak, apakah aku bisa menyebutkan film Prancis apa yang telah dia lewatkan sehingga akan membuat dia menyesali keputusannya itu, giliran aku yang terdiam.

Aku nyaris menyebut “Léon The Professional”, lalu aku teringat bahwa Jean Reno memang aktor Prancis dan Luc Besson adalah sutradara kondang Prancis, tapi film itu diproduksi oleh Sony Pictures dan juga dibintangi oleh Natalie Portman dan Gary Oldman yang notabene berstempel “Made in Hollywood”. So it is not a pure French movie, in a ‘traditional’ sense. (By the way while I’m still on this subject, can someone tell me why oh why Monsieur Reno agreed to act in such a stupid monster movie, “Godzilla”?)

Ada “Belphegor La Phantom de Louvre”, tapi film itu standar horor a la Hollywood, ga bisa juga disebut bagus. Yang lebih buruk lagi adalah film komedi slapstick “Taxi” dan semua sekuelnya yang garing bin boring itu. Sedangkan menonton film kelas festival semacam “Baise Moi” terasa lebih seperti menonton orgy of sex (obviously!) and violence, dan “Irreversible” malah membuatku sempat beberapa kali memalingkan wajah karena ngeri saat adegan-adegan kekerasan yang (bagiku) tampak sangat nyata dan vulgar dijembreng di depan mata (adegan pemerkosaan di underground tunnel itu membuat aku mual-mual seharian).

Ada juga ”Bleu”, yang diikuti oleh sekuelnya ”Bialy” dan ”Rouge”, tapi aku belum menontonnya, jadi ga bisa juga kupakai judul-judul itu sebagai argument untuk meyakinkan Bradley mengubah pikirannya. Dari hasilku meng-googling sembari menulis this ramblings, ada beberapa judul film yang disutradarai Francois Truffaut dan Jean Luc Goddard yang sepertinya pantas disebut, tapi kasusnya sama seperti trilogi tiga warnanya Krzystof Kieslowski (yes, I have to google in order to spell his name correctly), aku ga pernah menontonnya.

Sekian tahun kemudian, ada satu film Prancis yang ketika kusaksikan di salah satu bioskop di daerah Jakarta Pusat, masih dalam ajang Festival Sinema Prancis, nyaris bikin aku tersedak kaget – dan bagi beberapa penonton perempuan membuat mereka tertawa terkikik-kikik serta penonton laki-laki mendadak gelisah dan tak nyaman – karena memperlihatkan adegan di mana sepasang pria homoseksual sedang bercinta. Ya, betul. Dalam keadaan telanjang bugil bulat. And you can see some very visibly hard cocks (I was about to say, erected penises, but opted for a less formal term instead) on the big screen. Tapi film yang tak akan kusebutkan di sini judulnya, menurut hematku bukanlah film yang bagus-bagus amat, karena plotnya yang sangat tipikal: homosexual charater(s) are doomed to meet horrible death or ugly fate in the end of the movie. Euch!

Masih dari ajang yang sama, meskipun beda tahun pelaksanaan, aku sempat menonton “Cache” dan “L’enfant” serta “La Marche de l’empereur”. Tapi dua judul pertama membuat aku menyesal membuang waktu masing-masing lebih dari dua jam untuk menontonnya, karena kembali menurut hematku pribadi, kedua judul ini ga ada bagus-bagusnya !
“Cache” berakhir dengan kebingungan dan tanda tanya besar yang sangat menyebalkan dan mengganggu (daripada jadi spoiler dengan membeberkan akhir ceritanya di sini jadi sengaja tidak diungkap), sedangkan “L’enfant” – yang sebenarnya adalah film Belgia tapi karena mereka juga bertutur dalam bahasa Prancis jadi bisalah dimasukkan dalam pembahasan kali ini – membuatku pengen melompat dari kursi dan memukuli si aktor utama saking kesalnya (I even posted a specific blog entry for this ugly feature). Sedangkan judul ketiga yang kusebutkan, adalah film documenter yang lucu dan mengharukan, rasa-rasanya malah jadi ineligible to ‘compete’ dalam kategori yang sama dengan judul-judul lainnya yang sudah kusebutkan di muka.

Dan di sinilah aku mulai kehabisan ‘amunisi’ untuk mendebat Bradley dan meminta dia mengubah pikiran serta untuk menarik / membatalkan sumpah anti-film Prancisnya. Secara film Prancis terakhir yang kutonton, “De battre mon coeur s'est arrêté”, sama sekali tidak bisa membantuku berargumentasi positif, karena aku sendiri merasa tersiksa waktu menonton film tentang perselingkuhan ini. Ugh!

Akhirnya apabila kamu yang membaca tulisan ini bertanya, what is my standpoint now on the issue of watching French movies after all those experiences, well, sadly to say, aku jadi cenderung mengikuti dan mengamini sumpah Bradley (walau tidak sampai bibir ini mengucap seperti yang ia lakukan beberapa tahun lalu).
Meskipun tentu saja, dalam beberapa kondisi khusus dan untuk beberapa judul aku mencoba membuat perkecualian, misalnya untuk film animasi hitam putih “Renaissance” yang lumayan mendebarkan, film musikal "Les choristes" yang lumayan menyentuh, the feel good romantic comedy "Le fabuleux destin d'Amélie Poulain", serta biopic “La Môme” yang membuat mata ini berkaca-kaca karena terharu (and yes, I do believe Marianne Cotillard deserved her Oscar).

Kita lihat saja apakah dalam waktu dekat aku kembali akan membuat perkecualian lainnya (termasuk untuk other Francophone titles), yang dalam istilah Bradley, “Now that’s what I call my cup of tea”.


Tuesday, December 16, 2008

And I Remember Our Last Kiss



There will be no kisses tonight because
we are no longer lovers like we used to be

You know damn too well you’ve broke my heart and
I can’t understand why it felt like the fireworks blew up above our head and
its lights shone down on us

You promised me that you would
never kiss anyone who doesn’t burn you like
rays of sun at midday

I still remember our last kiss like our very first
and I would like to keep the memory of that first kiss
as it is

Monday, December 15, 2008

Sebentar Lagi, ...



Kebiasaan kalau hari Sabtu siang lagi bengong ga ada kerjaan, dipikir-pikir daripada cuma tiduran berhibernasi di kamarku yang sejuk atau menonton acara gosip ga jelas dan membosankan, mendingan sekalian jalan-jalan 10 ribu langkah sembari menyambangi salah satu tempat perbelanjaan yang isinya macam-macam di area Casablanca. Dan itulah yang kulakukan weekend kemarin, sekalian mau lunch, ceritanya.

Sesampainya di mall kondang tersebut, dan bersyukur karena tidak terjebak kemacetan yang menjadi ‘ritual’ di depan mall ini setiap akhir pekan, dengan bersemangat kucari dulu makanan apa yang rasanya enak dan cocok untuk mengisi perutku yang sudah mulai keruyukan minta diisi. Setelah mondar-mandir cukup lama akhirnya kuputuskan untuk makan menu Manado, apalagi kalau bukan a la rica-rica.

Karena suasana tempat makan ini sama sekali tidak nyaman, pilihan satu-satunya adalah untuk segera menghabiskan makanan lalu buru-buru angkat kaki dari area food court yang berisik itu.

Sebenarnya kalau kondisinya lebih manusiawi dan lebih bersih, beraktivitas menongkrong di area food court sebuah mall merupakan aktivitas killing time yang menyenangkan. Sambil duduk dan pura-puranya menikmati makanan yang dihidangkan di depan tubuh, mata bisa sambil plirak-plirik kiri-kanan dan melihat serbaneka manusia. Terkadang, ada hal-hal menarik yang bisa bikin surprise dan lumayan menghibur bisa disaksikan melintas di depan mata. Seperti kemarin ini, ada seorang pria pakai t-shirt tie-dye dengan warna fantasi seperti kaos reagge gitu, dengan bawahan celana kotak-kotak kecil hitam putih abu-abu. Benar-benar menjadi tantangan buat mata. “Bold choice,” kalau istilah para Condé Nasties. Dan pakaian pria tersebut masih dilengkapi dengan trucker cap butut (bukan yang sengaja dibuat butut kaya Ed Hardy’s, catet!) dan aksesoris tas pinggang hitam yang tampak lusuh. Ehem! ... Seorang teman pasti akan mengatakan aku ga sopan dengan membahas hal-hal remeh serta dangkal semacam ini.

Nah, biar ga makin bertambah saja dosa-dosaku hanya karena duduk di situ, jadi selesai makan aku segera angkat kaki.

Pindah ke mall sebelahnya, dan sempat kepikiran (dan memang tergoda) untuk menyambangi beberapa toko yang biasanya menjual t-shirt dan aksesoris lucu-lucu gitu, biasanya sih barang-barang yang diimpor dari Thailand. Ini sebenarnya dilakukan hanya untuk sekedar iseng, mengecek apakah ada barang baru yang relatif murah dan tak dijual di mall kelas luxe yang biasanya berlokasi di area-area prima. Lumayan kan, buat nambah-nambahin koleksi kalau lagi males rapih pas ke kantor saat hari Jumat (maupun saat terpaksa lembur di akhir pekan).

Tapi niatan ini terpaksa diurungkan, karena saat melintasi beberapa toko, baru teringat kalau masih ada beberapa kemeja yang tempo hari dibeli dan sampai hari ini masih belum sempat dikenakan sekali pun. Daripada jadi pemborosan, mending ditunda dulu saja niatan untuk melihat-lihat (dan yang biasanya sih ujung-ujungnya jadi belanja) ini.

Lagipula, kalau berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang dibentuk oleh tradisi sejak beberapa tahun lalu, biasanya pada saat akhir pekan terakhir sebelum Natal, akan ada satu agenda spesial yang butuh pos pengeluaran khusus, yaitu Diskon Akhir Tahun Kinokuniya. Rata-rata semua buku didiskon 20%, menarik banget kan? Setelah tahun lalu membeli Truman Capote dan David Sedaris, tahun ini rencananya mau mengumpulkan beberapa novel lainnya yang sudah diadaptasi ke layar lebar maupun yang memenangkan penghargaan di berbagai ajang literatur. Misalnya, ”On The Road”-nya Jack Kerouac versi selebrasi 50 tahun, yang katanya lebih lengkap daripada yang telah dikenal luas selama ini (ternyata ada beberapa bagian yang disensor di terbitan-terbitan awal). Interesting, eh?

Jadi sebenarnya kalau ada yang iseng bertanya perihal daftar belanja Natal-ku untuk tahun ini, ya cuma itu jawabannya: borong buku di Kinokuniya.

By the way lagi ngebahas topik ini dan kebetulan pandangan mata secara otomatis bergerak untuk mengecek kalender, baru nyadar kalau ternyata Diskon Akhir Tahun Kinokuniya itu seharusnya akhir pekan ini dong ya kejadiannya? Secara hari Kamis depan kan sudah Natal. Sedikit terlupa karena tidak ada persiapan khusus menyambut perayaan tahun ini, selain gantungan kaos kaki merah dengan daun holly plastik di depan pintu kamar.

Perayaan Natal tahun ini bagiku pribadi tampaknya akan mengambil tema ”Kontemplasi dalam Kesunyian dengan Kerendahan Hati yang Tulus”. Bisakah?

I’ll just wait and see.

Wednesday, December 10, 2008

A Father I Have Known



Up on the mountainous northern part of the mineral-rich and fertile island
There laid this little village inhabited by less than one hundred people
It had neither electrical supply, convenient store nor a gas station
The closest ones were forty minutes ride by car from that little village

The small old wooden houses in that little village were spread on the mountain
Going from one house to another to visit the neighbors need extra physical work
Walking minutes to hours on the dirt roads, because there’s no other way than that

So it was not to anyone’s amazement when the little village was bit by bit left crumbling
Witnessed by its natural inhabitants, the underage kids and the elderly who could say nothing

Just like my father who left the little village even before he turned thirteen
Because he had his own dreams, to build his own better future
Riding in shiny motorcycles and living in a brick house with big glass windows
Instead of sweating and straining his muscles cultivating the rice fields
And struggling with low temperature at nights that freezes your breaths into dews once you exhaled

Because back in the time when the Dutch still colonized those fertile lands
Of the mountainous northern part of the mineral-rich and fertile island
Everyone wants to be like the people in the big cities

Just like my father who saw those big cities
From the thirty-five millimeters celluloid projected on large white fabric functioned as screen
Together with his peers and hundred others on that big grassy field
In the little town thirty minutes ride by car from his own village

That’s what people did back then to have some fun
That’s how my father got his inspirations and dreams for a better future
That’s also where and when he saw my mother for the very first time
That’s also why he left his parents in their old wooden house up on the mountain

Because he had his own dreams and he had fought to make them came true

So here I am now standing
Mere couple of years before turning thirty
And recently realized that
Probably, I was one of his many dreams but
Obviously he never told me that in words

He didn’t have to do it so simply because I already knew

Everytime I came home and hugged him
He hugged me back
The mutual feelings shared without any words being exchanged

I know I have to make it right this time to pay him back and make him proud





Note:
The old photograph posted above was taken from a Singaporean's blog.

Tuesday, December 9, 2008

From Yesterday



I see you coming from Yesterday
Still looking as graceful as I remembered you from your youth
Radiant skin gleaming smiles
And beautiful bangs of hair framed your freckled face

How could I ever forget our first kiss ?
Your lips sweet and wet
But probably it was your perfect lip gloss I tasted

How are you doing now, Darling,
The girl who just arrived from Yesterday ?

Friday, December 5, 2008

Tak Kulihat Dia Bertanya, “Mengapa?”


Bisa dikatakan, aku termasuk suka menonton ”Oprah”.
Meskipun tidak bisa disebut penggemar berat, tapi terkadang kalau sedang ada topik-topik menarik yang dibahas dalam satu episode tertentu, aku bisa menghentikan segala aktivitas hanya untuk bisa menyimak dengan baik episode tersebut.

Seperti dalam salah satu episodenya yang paling terkenal yang dipancarteruskan beberapa tahun lalu, yang kemudian diliput oleh berbagai media di seluruh dunia, termasuk Kompas. Dalam episode itu, Oprah Winfrey memperkenalkan kepada audience di studio dan para pemirsanya, apa-apa saja ”Most Favorite Things” –nya pada tahun tersebut.
Yang membuat episode itu menjadi buah bibir dan sukses di mana-mana, adalah karena masing-masing penonton yang hadir di studio – semuanya merupakan guru-guru dari seluruh negara bagian Amerika Serikat – berhak atas setiap jenis produk favorit Oprah. Termasuk mobil ! Bisa jadi, hari itu adalah salah satu hari terbaik dalam hidup setiap guru tersebut.
Jadi sudah sepantasnya lah kalau dalam episode itu, semua penonton berteriak-teriak kencang, histeris, bahkan menangis sesenggukan karena begitu gembiranya. Aku sendiri yakin kalau saja saat itu aku juga merupakan salah satu dari para penonton di studio yang mendapatkan Blackberry dengan masa berlangganan gratis 3 bulan, puluhan voucher bernilai total (yang kalau dikonversikan bisa mencapai) puluhan juta rupiah, barang-barang elektronik, dan sebuah mobil; aku pun pasti akan menangis dan sujud syukur mencium tanah.
Ini seperti menang dalam”The Price is Right” tapi tanpa harus merasakan deg-degan takut, karena dalam game show itu, alih-alih bisa mendapatkan home appliances, mobil dan paket liburan ke Kepualuan Bahama, bisa jadi malah pulangnya bawa sebuah sepeda saja.

Anyway, kembali ke awal maksud dan tujuan tulisan ini, salah satu episode Oprah yang tidak menyenangkan untuk dilihat disiarkan pada tahun 2004. Betul sekali, sudah relatif lamaaa ...
Kepada para pemirsa, diperlihatkan bagaimana Oprah berinteraksi dengan beberapa tentara dan perwira dari angkatan bersenjata Amerika Serikat yang ditugaskan di Iraq saat Operation Iraqi Freedom, yang seperti kita semua tahu, berakhir dengan tumbangnya rejim Saddam Hussein.
Dalam perbicangannya dengan para ”pahlawan” perang Amerika itu – mayoritas terluka dalam tugas, bahkan ada yang sampai diamputasi kakinya – Oprah selalu memuji-muji keberanian mereka yang telah rela berjuang demi pembebasan rakyat Irak.
Tapi yang kuperhatikan sepanjang perbincangannya dengan para tentara dan perwira tersebut, tak pernah sekalipun dia mempertanyakan, mengapa secara pribadi, mereka – ratusan prajurit dan perwira ini – setuju maju berperang di negeri yang jauhnya separuh keliling bumi dari tempat asal mereka, melawan orang-orang yang tak pernah sekalipun menyakiti mereka maupun orang-orang yang mereka kenal, apalagi mereka cintai.
Tentu saja, jawaban yang kuharapkan di sini bukanlah karena rantai komando militer mewajibkan para bawahan patuh pada semua keputusan atasan, dalam hal ini, pucuk tertinggi komando berada di tangan Commander-in-Chief sekaligus Presiden Amerika Serikat sendiri, George W. Bush.
Bagiku, keseluruhan perbincangan dalam episode tersebut jadi terasa begitu bias, aneh dan menggelikan. Toh sepertinya seluruh penduduk dunia di luar Amerika Serikat yakin seyakin-yakinnya, bahwa Operation Iraqi Freedom itu dilancarkan oleh duet Bush-Cheney dengan didasarkan pada begitu banyak alasan serta hal-hal lain, dan ”untuk membebaskan rakyat Irak dari rejim opresif Saddam Hussein” tidak termasuk salah satu alasan utama, meskipun di depan media tentu saja mereka berkata lain.

Dengan segala hormat pada segala kapabilitas personal yang Anda miliki, Miss Winfrey, rasanya akan lebih bagus bagi Anda untuk menghindari membahas hal-hal strategis semacam Perang Irak. Biarkanlah tamu-tamu Anda yang lebih profesional dalam bidang tersebut, seperti Anderson Cooper dan Christiane Amanpour, yang melakukannya bagi rakyat Amerika.



Tuesday, December 2, 2008

Not Gonna (Give Up)


What’s good having you by my side
If your heart belongs to someone else?
But baby, I’m not gonna give you up easily
On that, you can count me on
I will make you fall in love with me all over again
Because remember baby, I’m not gonna give you up

Friday, November 28, 2008

Ini yang Katanya Piawai ?



Kalau ditanya, pos belanja apa yang paling disesali dalam bulan ini, jawabanku bisa jadi adalah, mengeluarkan uang sebanyak Rp. 32.500,- untuk membeli “Telaga Fatamorgana”. Ini adalah sebuah buku yang berisikan himpunan cerita pendek karangan Happy Salma.

Kalau ditanya kenapa bisa membeli buku ini, jawabnya, adalah karena rasa penasaran sehabis baca blurb-nya. Plus, fakta bahwa buku kumpulan cerita pendek Nona Salma sebelum ini yang merupakan debutnya di ranah sastra Indonesia berhasil mengantarkannya menjadi nominator Khatulistiwa Literary Award untuk kategori Penulis Muda Berbakat.

Awalnya ketika membaca bagian kata pengantar yang dijuduli ‘Menulis Sebagai Hidup’, sempat terbersit rasa heran karena dengan jujur Nona Salma mengungkapkan bahwa ada beberapa judul cerpennya yang ditolak untuk diterbitkan oleh beberapa publikasi / majalah karena dinilai kurang sesuai dengan visi media yang bersangkutan.

Namun setelah membaca lebih dari separuh isi "Telaga Fatamorgana", yang muncul dalam pikiran justru pertanyaan, jangan-jangan tujuh cerita pendek pertama dari duabelas yang dikumpulkan dalam buku ini adalah rejected short stories, karena menurut hematku, sungguh tidak ada satu pun yang berkualitas baik untuk dipublikasikan bagi konsumsi publik literasi. Bingung rasanya mencari-cari dimana letak kepiawaian menulis seorang Nona Salma yang diklaim demikian di bagian belakang sampul buku himpunan ini.

Mau ga mau meskipun enggan terlihat seperti orang sinis dan / atau nyinyir, aku jadi sedikit curiga dan bertanya-tanya, apakah buku ini dinilai penerbitnya layak terbit menurut hitung-hitungan bisnis lebih karena faktor nama pengarangnya yang sudah dikenal khalayak luas semata?

Anda pun bisa turut menentukannya, karena dengan senang hati akan aku pinjamkan buku ini. Silahkan mendaftar dalam kolom yang tersedia.

Thursday, November 27, 2008

Duka Bagi Mumbai


ketika teror mengintai dari balik gelapnya bayangan
menantikan saat-saat kelengahan menjelang
lalu pada masanya
teror pun menyergap dengan tiba-tiba



kebuasan yang meradang dan menerjang
bangkit menyerang dari relung jiwa yang paling kelam
kini tak lagi ia pedulikan identitasmu
tak lagi ia perhatikan siapa dirimu



dalam kebuasan teror yang memberontak
meluncur kencang dari hati yang membusuk karena dendam
kini yang dicari dan dimintanya dari dunia hanyalah



kerusakan
penderitaan
kehancuran
kematian


empati dan duka mendalam bagi para korban aksi terorisme di Mumbai
semoga jiwa-jiwa yang tercerabut mendapatkan ketenangan dan kedamaian di lain dunia


Menikmati M*



Pernah kubaca entah di mana, seseorang yang kulupa entah siapa, mengatakan bahwa menulis blog itu sama saja dengan bermasturbasi dengan pikirannya.

Oops !
Menurut hematku pribadi, pendapat yang diparafrasekan kembali di atas itu lumayan vulgar. Dan terasa tidak pada tempatnya. Bisa jadi – ini berdasarkan kecurigaan tak berdasar semata – karena yang mengeluarkan pendapat itu cuma asal bunyi saja, sekedar cetusan mencari sensasi belaka.
Ibarat kata, biar happening aja gitu.
(Menggunakan idiom ”ibarat kata” barangkali akan membuat sementara pihak menduga kalau aku terinspirasi oleh Dewi Perssik kala dirinya sedang diinterview oleh para wartawan infotainment)

Soalnya, apa perbedaan nyata antara aktivitas menulis blog dengan menulis diary, selain medium yang dipergunakannya ?
Menulis blog jelas-jelas ditujukan untuk konsumsi khalayak – karena kalau tidak, buat apa dipasang di wilayah yang terkategorikan sangat umum karena bisa diakses oleh sejuta umat. Benar demikian, bukan ? Sedangkan menulis diary jelas-jelas termasuk dalam ranah pribadi, karena rasa-rasanya tidak ada yang melakukannya dengan tujuan untuk kemudian sengaja diekspos/dipublikasikan kepada masyarakat luas.
Tapi tak pernah kudengar ada pendapat yang mengatakan kalau rajin menulis diary berarti gemar bermasturbasi (masih “dengan pikirannya”, ingat dong embel-embel yang ini jangan sampai lupa). Padahal kegiatan menulis diary kan cenderung dilakukan kala si penulis sedang sendirian di dalam sebuah ruangan, saat dirinya merasa rileks dan nyaman serta bisa berkonsentrasi penuh pada aktivitas yang ingin dilakukannya. Bedanya apa coba dengan kondisi yang memungkinkan seseorang bermasturbasi ?

Nah, apabila kembali lagi ke premis yang mendasari tulisan ini, yaitu untuk mengomentari pendapat di atas, rasanya jadi agak semakin membingungkan. Bila dikatakan ”target” pembaca blog itulah yang menjadi dasar pembentukan pendapat itu tadi, berarti bisa jadi ”tuduhan” sesungguhnya adalah bahwa penulis blog itu eksibisionis dong. Secara ”masturbasi” dengan tujuan bisa dinikmati oleh orang lain. [*euw*]

Barangkali hanya aku saja yang jadinya berpendapat begini : si pencetus pendapat itu tadi malah terkesan pervert yah. Seperti si kakek cabul di Dragon Ball, yang memiliki kecenderungan (baca: fetish) berbeda dengan mayoritas orang lainnya, tapi malah menganggap kelompok mayoritas lah yang memiliki kekeliruan. Hhhmm ...

Ngomong-ngomong nih, mengapa lebih banyak orang Indonesia yang tidak mengetahui bahwa padanan kata dalam bahasa Indonesia untuk masturbasi adalah ”merancap” ?
Entah apa akar katanya, dan aku belum sempat mencoba mencari referensi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, apa bentuk kata dasarnya; apakah ’ancap’ atau ’rancap’.

Barangkali ada yang bisa membantu memberikan pencerahan ?

Saturday, November 22, 2008

"Muslimah" yang Tidak Islami



Penghentian penayangan program “Empat Mata” di Trans 7 setelah menayangkan episode kontroversial yang menampilkan aksi Sumanto memakan kodok hidup-hidup barangkali memenuhi asas keadilan mayoritas pemirsa televisi negeri ini. Aku sendiri kebetulan tidak menyaksikannya, karena memang jarang menonton televisi. Namun setelah mendengarkan deskripsi dari seorang rekan betapa vulgarnya gambar-gambar yang dipancarteruskan oleh Trans 7, terus terang aku sendiri jadi sangat mengerti dan memahami serta menyetujui dihenti-tayangkannya “Empat Mata” sampai waktu yang belum ditentukan.

Peristiwa ini lantas mengingatkanku pada satu kejadian yang sangat mengganggu pikiran dan nurani, terkait penayangan sebuah sinetron religi. Kalau misalnya kita berbicara betapa buruknya kualitas mayoritas sinetron Indonesia, sudahlah, pasti akan menjadi obrolan panjang kali lebar tanpa ujung. Namun khusus untuk satu ini, aku sungguh berharap Komisi Penyiaran Indonesia memperhatikan dengan sangat serius serta memberikan peringatan keras kepada rumah produksi yang memproduksi, serta Indosiar sebagai stasiun televisi yang menayangkan sinetron berjudul “Muslimah” (tayang setiap hari antara jam 18.00 s.d. 19.00 WIB).

Bayangkan saja, dalam salah satu episode-nya yang tayang pada tanggal 28 Oktober 2008, sungguh membuat aku bertanya-tanya dan tidak habis pikir, sesungguhnya apa yang ada di dalam kepala si penulis cerita, sutradara, para aktor dan aktris hingga produser sinetron “Muslimah”, karena bisa-bisanya menghasilkan suatu tayangan sebusuk ini.

Kebetulan pada saat itu aku hanya menonton satu segmen – yang kurang lebih berdurasi 8-10 menit, tapi dari hanya satu segmen itu sudah berhasil membuatku jijik dan mual habis-habisan. Sekedar informasi, episode yang tayang tanggal 28 Oktober tersebut merupakan satu-satunya episode “Muslimah” yang kusaksikan.

Bayangkan saja, dalam satu segmen tersebut, pertama kali yang kulihat adalah seorang perempuan (yang sepertinya tokoh antagonis) sedang mengintai si tokoh protagonist (Titi Kamal dengan peran bernama Muslimah, the titular character), yang sepertinya sedang dirawat inap dalam sebuah kamar di rumah sakit. Kebetulan sekali saat itu lewatlah seorang perempuan petugas cleaning service yang memergoki si tokoh antagonis. Dasar sial, si perempuan petugas cleaning service dipukul kepalanya sampai tak sadarkan diri oleh si tokoh antagonis, lalu baju seragamnya dicopot untuk dipakai si tokoh antagonis menyamar. Ini artinya, si perempuan petugas cleaning service dibiarkan terbaring hanya mengenakan pakaian dalam.
Adegan berikutnya berganti dengan memperlihatkan dua orang cewek yang terlibat dalam cekcok mulut yang begitu intens, lalu salah satu cewek itu menampar cewek lainnya, yang dibalas dengan tonjokan di wajah cewek pertama, tapi perkelahian mereka tak berlanjut karena terdengar bunyi bel pintu.
Adegan selanjutnya berganti lagi menjadi sebuah ruangan lain. Seroang perempuan dengan emosi mengambil seorang bayi dari dalam boks tempat tidurnya, lantas berteriak-teriak keras dengan mata melotot-lotot tajam ke si bayi, membuat si bayi menangis dengan keras.
Berikutnya adegan kembali ke awal segmen, ketika si perempuan antagonis yang sudah menyamar sebagai petugas cleaning service sudah berada di dalam kamar dan sedang berusaha menikamkan pisau dapur panjang ke tubuh Muslimah untuk membunuhnya, sambil menjambaknya keras hingga jilbab Muslimah copot.

Persis di adegan tersebut, aku berhenti menonton. Tak sanggup rasanya.

Benar-benar gila !! Ini sih tindakan pembodohan tingkat luar biasa yang dilakukan secara sadar dan sengaja, yang entah mengapa bisa dipancarteruskan dengan leluasa, bahkan menempati jam tayang utama, ketika anak-anak masih bisa bebas menyaksikannya !!

Yang membuat aku betul-betul sedih, adalah karena sinetron “Muslimah” ini, yang memang awal produksinya untuk menyambut bulan Ramadhan tempo hari, ‘menjual’ semua kekerasan dan ketidakmanusiawian itu dalam bungkusan agama Islam. Padahal masih ada begitu banyak jalan lain yang lebih cantik dan santun untuk menyiarkan pesan-pesan agama, tanpa perlu menampilkan adegan-adegan kekerasan secara eksesif seperti yang kudeskripsikan di atas. Andaikan aku seorang Muslim, pastinya tak bisa kuterima agama yang kupercayai ditampilkan dengan cara demikian, dan dikait-kaitkan dengan tindakan kekerasan yang tidak berperikemanusiaan.

Satu harapanku kepada teman-teman yang membaca tulisan ini, khususnya apabila teman-teman sudah memiliki anak, agak menjaga betul anak-anak Anda. Sedapat mungkin, jauhkan dari berbagai tayangan televisi, terutama dari sinetron kita yang aku yakin, minimal 90 % -nya mengandung content yang tidak akan memberikan manfaat apapun bagi pemirsa.

Sayangi keluarga Anda, lindungi anak-anak Anda, boikot tayangan-tayangan tidak bermoral di televisi kita.



Friday, November 21, 2008

OH @ a Hotel’s Lobby


Di suatu siang yang relatif panas akibat garangnya terik sinar matahari untuk standar suhu bulan November yang seharusnya lebih adem daripada saat ini, tapi semua itu tidak terasa sama sekali di area lobby berpenyejuk ruangan sentral di sebuah hotel berbintang lima di seputaran Jakarta Pusat.

Terlihat di salah satu sofa duduklah seorang lelaki yang tampak matang usia dan ramah karena selalu tersenyum dan beberapa kali terdengar tawanya pecah, sedang asyik berbincang dengan seorang perempuan berambut pendek sebahu yang mengenakan pakaian serbahitam, tapi pastinya kalau dinilai dari bentuknya bukan seragam dari kantor manapun.

Lelaki : Eh, jadi nih kita ke Warung Kopi kondang itu?
Perempuan : Ya sudah, hayu’ atuh.
Lelaki (sambil bangkit berdiri dari sofa) : Tapi bentar dulu ya. Gue kebelet pipis nih.
Perempuan (ikut-ikutan bangkit dari sofa) : Oh, kalau gitu kita barengan aja. Kebetulan gue haus nih.
Lelaki (berhenti mendadak) : ... ... Eh ?!?! (lalu tawanya kembali meledak)



Twitterer lazim menyebut pengutipan semacam ini
– dalam versi yang lebih singkat – dengan akronim OH.







Thursday, November 20, 2008

Yearning For More ...


It is 30 minutes past 1 AM already.
Thursday, November 20th, 2008.

After facing my personal computer in this darn office for over 12 hours, I start to imagining things,
That I’m already sleeping soundly on my comfortable bed and dreaming about electronic sheep and a paradise on earth where I don’t have to work my ass for miniature income until such wee hours.

Sleep, nothing that I crave more than it now.




Tuesday, November 18, 2008

Arogan



Sori banget nih kalau gw tidak merespon elo
Dan nyuekin elo habis-habisan
Juga karena bertingkah seolah elo itu ga ada dalam jangkauan radar gw
Menjadikan elo bagaikan seorang yang tak bisa terdeteksi oleh panca indra

Sesungguhnya itu semua gw lakukan karena
Suatu alasan yang sebenarnya cukup sederhana
Tapi mungkin elo ga pernah menyadarinya
Karena ga ada yang berani, bisa dan mau ngasitau langsung ke elo

Sejujurnya,
Gw tuh udah bosen banget denger berjuta janji surga
Yang terus aja lo berikan, tapi
Sampai kini ga pernah bisa elo tepati

Coba sesekali elo pikirkan sendiri,
Emangnya di dunia ini
Cuma elo seorang yang suka sama gw?

Monday, November 17, 2008

Era Baru Komunikasi Politik Indonesia



Bagiku pribadi, yang menarik disimak dari kemenangan telak kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat, Barack Obama, atas kandidat dari Partai Republik, John McCain, adalah terkait metode kampanye yang dipergunakan oleh President-elect Obama ini.

Bahkan sejak waktu pertama kali beliau terjun untuk menjadi calon kandidat dari Partai Demokrat – yang antara lain harus bersaing menghadapi Senator Hillary Clinton, sepak terjang Obama sangat diperhatikan karena ia sangat memanfaatkan dan mengandalkan kekuatan dunia virtual alias media internet.
Hampir semua situs jejaring sosial terkemuka dimanfaatkan oleh tim sukses beliau untuk berkampanye. Hingga akhirnya beliau memang kemudian menang dalam pemilihan dan terpilih dalam Konvensi Partai Demokrat untuk maju sebagai calon Presiden dari Partai Demokrat.

Penggunaan situs jejaring sosial secara maksimal oleh tim sukses Barack Obama bukan tidak diperhatikan dengan teliti oleh para pesaingnya. Dalam salah satu pidatonya ketika berkampanye, si ‘Bapak Tua yang Ketinggalan Jaman’ alias John McCain, menyindir saingannya dengan menyatakan betapa rajinnya Barack Obama menghabiskan waktu untuk tweeting dan apakah dia pernah bertemu dengan sesama fellow Twitterer, istilah yang dipergunakan oleh para pengguna layanan Twitter ketika meng-update informasi tentang diri mereka.

Sebagai salah satu pengguna setia (alias Twitterer) sejak lebih dari satu tahun belakangan ini, aku sempat merasa geli sendiri pada ketertinggalan zaman si Bapak Tua McCain. Dia membuat dirinya sendiri tampak bodoh di mata para pemilih muda yang sangat akrab dengan teknologi informasi alias internet (mereka yang dapat juga disebut sebagai "Generasi Mac", bukan karena mereka mendukung McCain, tapi karena merupakan generasi yang sangat akrab dengan teknologi dan menjadi konsumen loyal dari produk-produk Apple).

Dan sebagaimana yang akhirnya telah kita semua ketahui bersama, semua upaya dan kerja keras tim sukses Obama membuahkan hasil gemilang dengan kemenangan mutlak Obama atas McCain.

Yang kemudian menjadi fenomena menarik yang patut disimak adalah, metode kampanye Barack Obama ini bukan tidak mungkin akan ditiru oleh para aspirant calon pemimpin di seluruh dunia.
Ini adalah taktik yang juga sudah mulai diadopsi oleh Bapak Rizal Mallaranggeng (yang punya blog dan akun Facebook), dan secara terbuka diakui beliau memang diinspirasikan oleh metode kampanye Mr. Obama.




Mengingat bahwa penetrasi internet (alias melek internet) di negeri ini sedang sangat digalakkan (ingat rangkaian iklan Telkom seri "Internet Masuk Desa" ?), bukan tidak mungkin dengan semakin meningkatnya suhu politik nasional menjelang Pemilu bulan April 2009 (mohon dikoreksi bila aku keliru), mulai awal tahun depan kampanye calon presiden Republik Indonesia juga akan menyerbu dunia virtual yang selama belasan tahun ini relatif steril dari siapapun kandidat pemimpin negeri ini.

Bisa jadi, bukan hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saja yang rajin menyapa rakyat negeri kita lewat kiriman SMS massal, tapi juga para kandidat pemimpin lainnya. Belum lagi belakangan ini diberitakan luas bahwa salah satu partai besar sudah menyatakan akan meninggalkan metode kampanye melalui pengumpulan massa. Barangkali mereka masih tidak bisa melupakan salah satu foto yang pernah tampil di Kompas pada tahun 2003, memperlihatkan satu orang pria yang sama yang ikut dalam kampanye tiga partai politik berbeda (sayang, aku tidak bisa mendapatkan foto itu). Kita lihat saja apakah komitmen partai ini benar-benar dilaksanakan atau tidak tahun depan.

Yang jelas, marilah kita tetap bersemangat menyambut datangnya era baru komunikasi politik di Indonesia!


Friday, November 14, 2008

menggumam pelan

dan ketika kubuka mataku pagi tadi tak lagi kutemukan dirimu terlelap di sampingku membuatku sadar bahwa hari-hari itu telah silam dan harusnya tak lagi kuharap kembali tapi entahlah mungkin aku sudah terlalu terbiasa menatap senyummu yang menghiasi wajah meskipun aku tahu pikiranmu sedang berkelana dan kuyakin sudah lama hal itu kamu ketahui dari caraku menatapmu setiap kali kita bertatap pandang yakinlah bahwa aku masih sayang.

Wednesday, November 12, 2008

Pilih Sendiri Cara Asyik Nyiapin Kematianmu!



Pernahkah kamu memperhatikan iklan-iklan Obituary yang kalau mau repot-repot dihitung, ternyata setiap harinya menyita cukup banyak space permilimeter kolom di koran-koran nasional? Lazimnya iklan-iklan semacam ini selalu menampilkan deretan nama mereka-mereka yang turut merasakan duka cita dengan meninggalnya sang subjek obituari, entah mereka ini dari kalangan ayah-ibu, suami-istri, anak-ipar, sepupu-keponakan, cucu-cicit, handai taulan-tetangga, dan seterusnya.

Anehnya, dalam beberapa iklan dapat diindikasikan bahwa ada anggota keluarga yang turut berduka cita justru telah terlebih dahulu berpulang daripada subjek yang di-obituari-kan. Padahal apabila menggunakan logika agama atau kepercayaan manapun, bukannya seharusnya para “pendahulu”-nya merasa senang ya, karena dengan wafatnya si subjek obituari, artinya sekarang bertambah lagi temannya untuk melewatkan waktu di alam lain sana?

Satu hal lain yang cukup menarik diperhatikan dalam iklan-iklan obituari ini, biasanya foto yang ditampilkan untuk mengidentifikasi mendiang/almarhum/-ah, adalah foto andalan di masa-masa keemasan yang bersangkutan. Meskipun banyak juga sih yang menampilkan foto-foto di kala sudah memasuki usia senior (untuk tidak mengatakan uzur). Ditengarai, ini bisa jadi adalah pas foto yang bersangkutan ketika mendaftarkan diri untuk pembuatan KTP seumur hidup.

Rada aneh memang. Padahal kan pepatah mengatakan, “In this world, nothing is certain but death and taxes.” Tidak ada yang pasti dalam hidup ini selain kematian dan pajak. Nah, berhubung kematian itu sudah pasti datang, kenapa tidak disiapkan selagi ada waktu luang dan dana ekstra ya? Tentu saja maksud hati bukan menyarankan untuk melakukan tindakan seperti mendiang Suzanna Martha Frederika van Osch, yang telah membeli kafan sekitar 8 tahun sebelum dia berpulang. Tapi kan masih ada hal-hal lain yang terkait.
Misalnya, kalau orang-orang bisa meluangkan waktu, tenaga, konsentrasi dan dana sedemikian banyak untuk bikin foto-foto prewedding, kenapa tidak sekalian menyiapkan foto-foto untuk menyambut momen kematian? Toh biasanya kalau sedang disemayamkan di rumah duka, akan dipajang dalam pigura foto yang bersangkutan, seolah-olah ingin menatap satu-persatu para pelayat. So this already prepared photo must come in handy.
Namun tentu saja ada catatan khusus, yaitu disarankan agar pose si yang meninggal di dalam foto tidak harus serius, atau lebih buruk lagi, malah sengaja diseram-seramkan (secara ada kemungkinan sangat besar yang bersangkutan bukan dari kalangan paranormal, kan?). Itu sih membosankan dan tidak menarik, dan niscaya membuat para pelayat tidak nyaman. Masa kalau pengen didoakan agar diampuni dosanya dan bisa masuk surga, masih nakut-nakutin orang sih?

Jadi teringat dalam salah satu adegan di film yang dibintangi di masa-masa awal karirnya (baca, ketika giginya masih gingsul), Tom Cruise pernah ditugaskan oleh dosennya di sekolah bisnis untuk menulis sendiri obituarinya. Penilaian utama diberikan berdasarkan content materi ”jualan” yang bersangkutan tentang dirinya sendiri di masa ketika masih hidup.
Hal ini sesungguhnya menarik untuk dicermati dan dilakukan di masa kini, apalagi bagi mereka-mereka yang sangat mementingkan citra positif di masa-masa semasih hidup, sampai tidak sungkan mengeluarkan dana superekstra untuk menghadiri acara-acara sosialita (minimal, gaun yang dikenakan di setiap acara harus beda) demi bisa terpajang di halaman Tatler, dewi maupun Prestige. Karena seperti kata pepatah, ”Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang”. Kalau manusia yang is dead? Ya tinggalkan citra diri yang positif dong.

Nah, barangkali yang bisa menjadi salah satu alternatif demi menjaga kelanggengan citra positif ini, misalnya kalau calon migran antar-alam maupun ahli warisnya punya dana super berlebih dan canggung meninggalkan gaya hidup bermewah-mewah yang terlanjur diakrabi, sembari mungkin berpikir panjang nantinya ingin memudahkan anak cucu cicit berziarah dengan nyaman, bisa pilih-pilih kapling di San Diego Hill Memorial Park and Funeral Homes. Bayangkan saja, tagline produk properti ini saja sudah sangat menjanjikan ketenangan dan eksklusifitas : “There is no other cemetery like this.” Mantap ya?!

Jadi artinya, tidaklah perlu sampai harus memaksa-maksa diberikan tempat peristirahatan terakhir di salah satu taman makam pahlawan yang tersebar di seluruh negeri ini kok, hanya demi sebuah branding nama besar / nama baik. Sekedar untuk dijadikan pembanding, almarhum Bung Tomo yang tersohor berkat ketegasan sikap dan kepemimpinannya dalam perang mempertahankan kemerdekaan Republik di Surabaya, 10 November 1945 saja, tidak mendapatkan gelar pahlawan nasional hingga tahun ini.

Nah, apalagi bagi mereka – mudah-mudahan saja bukan Anda – yang bayar pajak kepada negara ini secara jujur saja masih enggan, masa masih ingin mendapatkan perlakuan lebih istimewa? Nanti apa kata dunia?


Tuesday, November 11, 2008

Two Lay Lit


INT.
Siang hari di Pizza Indonesia. Saat itu sebenarnya waktu makan siang, namun berhubung ini adalah hari Minggu, jadilah gerai Pizza Indonesia satu ini yang biasanya ramai oleh para pelanggan di hari kerja tampak relatif sepi. Terlihat ada dua-tiga keluarga dengan anak-anak kecil serta sekelompok anak muda berbicara lantang dengan logat suatu daerah dari Sumatra sedang asyik makan siang, menikmati roti tebal pizza yang khas a la Pizza Indonesia. Beberapa orang anak kecil terlihat asyik berkejaran sambil memainkan bebalonan warna-warni yang kini tampaknya menjadi standar aksesoris para pelayan Pizza Indonesia di hampir semua gerainya di seluruh negeri.

INT.
Pintu masuk gerai Pizza Indonesia terdorong membuka. “Kling!” demikian terdengar bunyi bel penanda kalau ada yang membuka pintu utama. Masuklah seorang lelaki yang usianya agak sukar ditebak, karena secara fisik terlihat seperti oom-oom tapi kalau dinilai dari pakaian yang dikenakannya, berupa t-shirt bergambar kartun lucu yang biasanya bisa ditemukan di Chatuchak dan celana pendek setrip-setrip, seharusnya ia tentu masih berusia 20-an. Si lelaki melangkah menuju counter depan – yang disediakan buat ‘mbak dan mas penjaga pintu’.


MBAK PIZZA INDONESIA:
Selamat siang! Selamat datang di Pizza Indonesia. (senyum merekah)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Eh, oh ya. Selamat siang.
(memasang senyum basa-basi karena masih kaget lihat pulasan tebal make-up si mbak Pizza Indonesia yang seperti cewek-cewek Puspita yang sempat dilihatnya dulu)

MBAK PIZZA INDONESIA:
Sendirian ya, Mas? Smoking atau non-smoking? (senyum tetap merekah lebar)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Oh, ga kok. Mau dibawa aja. (memberikan jawaban tidak nyambung)

MBAK PIZZA INDONESIA:
Oh, take away ya, Mas? Silahkan dipilih. (sambil menyodorkan daftar menu)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
(sambil membolak-balik lembaran menu) Memangnya di sini bisa smoking ya, Mbak?

MBAK PIZZA INDONESIA:
Engga sih, Mas. Di sini semuanya non-smoking.

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
(bingung) Loh?! Kalau gitu kenapa tadi ditawarin smoking atau engga’?

MBAK PIZZA INDONESIA:
(sambil tetap tersenyum dengan perasaan tak bersalah)
Yah, sudah kebiasaan di sini, Mas. Tapi nanti kalau ada yang mau merokok, kita terpaksa persilahkan di luar saja.

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Ooh, gitu? (basa-basi saja biar cepat dan ga panjang lagi ngobrolnya)


* * *



Adegan di atas memang direka ulang dari kejadian sesungguhnya, sekedar untuk memberikan gambaran bahwa ternyata sehari-hari di Kota Metropolitan ini masih saja banyak terjadi pembicaraan tidak nyambung, atau yang lazimnya di kalangan masyarakat awam dikenal sebagai tulalit. Mengapakah demikian?

Susah juga untuk memberi jawaban yang bisa dan layak dipertanggungjawabkan. Ini bukan sesuatu yang didasarkan pada teori semata. Karena pada dasarnya, komunikasi efektif itu ya bisa terjadi kalau dipraktekkan. Tapi tampaknya, masih seringkali justru sebatas angan-angan belaka. Nah, kelirunya, kalau beranggapan bahwa hanya mereka yang ”kurang berpendidikan” (sengaja pakai tanda baca quote endquote) saja yang gagal melakukannya, ... ternyata belum tentu juga!

Seorang teman bercerita, di kota tempat dia tinggal, ada sebuah billboard menampilkan sang kepala daerah – yang kabarnya memang hobi tampil, demi untuk tidak menyebut ’banci tampil’ – yang mencoba membangkitkan semangat nasionalisme anak bangsa, terkait dengan Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda, ... dengan mengkampanyekan makan pakai tangan kanan.
Nah, lho?! Apa juga hubungan logisnya antara Sumpah Pemuda dengan tangan kanan? Melakukan berbagai aktivitas dengan mengutamakan penggunaan tangan kanan kan sebenarnya masalah norma dan kebiasaan yang berlaku sejak turun temurun, mungkin sudah dilakukan sejak jamannya Patih Majapahit. Ada-ada saja memang walikota satu itu. Tulalit deh jadinya.

Lain kota, lain pula ceritanya. Seorang teman lain bertutur, dia pernah kebetulan melintas di tengah-tengah demonstrasi massa di area seputaran Bundaran Hotel Itu...tuuuh, dan tema demo hari itu adalah menolak terjadinya kemaksiatan di depan mata dan bangkitnya pornografi yang jelas-jelas mengancam akhlak, dengan menampilkan tokoh antagonis : Majalah Cap Kelinci Indonesia.
Sebagai pusat perhatian dari lautan manusia yang berulangkali mengumandangkan takbir tersebut, berdirilah sang orator dengan gagah dan penuh semangat berapi-api berteriak, ”Kita harus menolak hadirnya Cap Kelinci ini di negara kita. Anda tahu kenapa, Ibu-ibu dan Bapak-bapak?!? Karena dalam bahasa Indonesia, Cap Kelinci itu artinya sama dengan bandot. Dan bandot itu kerjaannya memangsa anak-anak gadis!”
...
...
(kalau dianalogikan dengan manga, niscaya terdengar bunyi jangkrik, "Krik, krik, krik")
...
...
Eh, ehm, ini sih tulalit tingkat fantastis!
(Sekedar catatan: Teman saya yang kebetulan sekali mendengarkan orasi bombastis tersebut, terpaksa menahan tawanya dan buru-buru ambil jurus langkah sepuluh ribu – ceritanya biar sekalian melarikan diri sembari mendukung kampanye susu kalsium tinggi)

Nah, kebetulan sekali pada hari Minggu siang tempo dulu (9.11), nomor kontak pribadiku yang paling utama tidak bisa nyambung alias tulalit, terhitung sudah berlangsung selama lebih dari 24 jam. Padahal provider-nya lagi gencar-gencarnya pasang iklan sinyal kuat selalu nyambung terus di seluruh Nusantara. Selama ketiadaan sinyal bahkan satu baris doang pun itu, iklannya tentang cowok telmi yang asyik mengisi TTS dalam bis TransJakarta bolak-balik nongol di layar kaca. Saking sewotnya lihat iklan yang tidak sesuai dengan bukti di lapangan itu, sampai kumatikan televisi di kamar. Hah!
Berhubung sudah lewat masa tenggang waktu emosional yang di setting max. 24 jam, langsung saja kuhubungi nomer Call Center-nya. Sebetulnya malas sekali berbicara dengan petugas Customer Care provider ini (dan hampir semua provider lainnya) karena – entah mengapa – berbicara dengan mereka serasa berbicara dengan orang-orang ber-IQ pas rata-rata makan. Padahal aku (seharusnya) yakin tidak demikian halnya (berhubung ada teman-temanku semasa kuliah yang dulu sempat meniti karir jadi petugas Call Center semacam ini), karena pasti ada syarat kecerdasan minimum agar bisa lolos seleksi jadi petugas Call Center.
Dan benar saja, setelah harus pencet sana pencet sini agar tersambung dengan si petugas, dan setelah harus berdebat cukup lama dengan si mbak-mbak bersuara cempreng yang aku curigai dipilih karena suaranya ga enak di telinga jadi bikin yang menelpon ga betah berlama-lama, akhirnya yang bisa dia sarankan hanyalah agar aku sebagai pelanggan bersabar dan menunggu 3x24 jam hari kerja agar nantinya dihubungi oleh petugas mereka. Mendengar saran yang bikin naik pitam ini, langsung saja panggilanku kututup. Tulalit.

Mumpung menjelang Pemilu 2009 nih. Pastinya sudah mulai banyak kampanye lewat iklan di televisi. Beriklan di media luar ruangan semacam pemasangan spanduk, poster dan billboard juga sudah mulai marak. Biasanya saat begini ini nih yang perlu dicermati, siapa-siapa saja yang pintar berkomunikasi dan siapa-siapa yang ternyata jadi ”jaka sembung bawa golok”.
Tapi sebetulnya, kedua jenis ini juga sama-sama perlu diwaspadai. Terlalu pintar berkomunikasi jangan-jangan akhirnya sosok yang bersangkutan ternyata bisanya cuma jualan kecap manis cap jempol doang. Tapi kalau dari kampanyenya saja sudah ga nyambung antara omongan dan perbuatan, bahasa tuturan dengan kelakuan, apalagi kalau jadi pemimpin atau wakil rakyat? Pasti ngeri jadinya punya pemimpin macam begini. Tidak akan jelas negara mau dibawa ke mana, karena barangkali antara otak dan alat indra lainnya tidak saling terinterkoneksitasikan (nyeleneh dikit dari istilah interconnectedness).

Jadi ingat salah satu ucapan Mario Teguh tentang calon pemimpin yang kebetulan kulihat ditayangkan di Metro TV (di episode ini, aransemen piano dan biola bikin lagu "Frozen" yang dinyanyikan Nina Tamam jadi bagus banget). Saat itu ketika arah pembicaraan terhubungkan dengan money politics yang ditengarai marak menjelang setiap pelaksanaan pemilu, di mana ada calon pemimpin yang memberikan uang dengan imbalan dipilih untuk posisi apapun itu, Bapak ini dengan tegas memberikan saran, ”Ambil uangnya, jangan pilih orangnya! Karena begitu dia terpilih, dia pasti akan mengambil lebih banyak daripada yang telah dia beri.”
Bener banget! Setuju, Pak! Pernyataan yang ’Syuper’. (mengikuti cara pelafalan Bapak ini)

Tapi apa hubungannya statement Bapak Mario Teguh barusan dengan keseluruhan isi serta maksud dan tujuan dari tulisan ini?
Ehm, memang ga ada sih. Cuma kebetulan teringat, jadilah sekalian aja dimasukkan di sini.


Iya, iya, tahu.
Tulalit.







Catatan kaki:
Keanehan judul tulisan ini memang disengaja koq!
Namanya aja ... ... ...
Yap, betul!!

Friday, November 7, 2008

Cerita Jakarta : Antara Bis Kota dan Taksi


Setelah lebih dari 1 tahun lamanya masa-masa itu kubiarkan berlalu, akhirnya tadi pagi aku mencobanya lagi ...

Naik Metromini !
Nomer 75, rute Blok M – Pasar Minggu.

Dan cara sopir metromini tadi mengemudikan bis ukuran setengah ini, ya ampun bikin aku mendadak merasa uzur karena terpaksa harus berpegangan erat pada sandaran kursi di depanku karena khawatir terjatuh dan karena tubuhku terdoyong-doyong. Jantung pun berdegup keras, takut terjadi apa-apa dan malah berakhir celaka sebagaimana yang biasa kulihat di berita tengah malam. Syukurlah, tadi aku selamat sampai di tujuan hingga bisa turun di halte dekat pom bensin Shell.

Dan kini tentu saja, merasa tidak sabar untuk menuangkannya dalam deret kalimat.

Jadilah sekarang kuteringat pengalaman-pengalaman awal mencoba ”bertualang” naik bis ukuran setengah bernama Metromini maupun Kopaja. Kepanasan, berdesak-desakan, keringatan atau terpaksa mengaromai keringat orang lain (hueks!), belum lagi harus kudu musti wajib waspada tingkat tinggi, jangan-jangan ada pelaku kriminal yang mencoba mencopet barang berharga yang sedang kubawa, atau mencoba merampok seluruh penumpang bis. Seperti yang biasa kubaca di koran-koran. Seram dan mudah-mudahan tidak akan sampai kejadian atasku.

Sejak adanya TransJakarta yang rutenya hampir menjangkau sebagian besar wilayah Ibukota, dan saat itu didukung oleh kondisi perekonomian personal yang – Alhamdulillah – meningkat jadi lebih sejahtera, mulailah kutinggalkan bis kota (besar maupun kecil) dan beralih menjadi pengguna setia kombinasi antara TransJakarta dengan taksi. Atau terkadang, penggunaannya dikombinasikan, terutama apabila terpaksa harus melewati ruas jalan yang sudah hampir pasti selalu macet. Bila kondisinya semacam ini, TransJakarta menjadi pilihan. Setelah melewati deretan titik-titik kemacetan dan kebetulan apabila tujuan akhir belum dilewati oleh busway, barulah kusambung dengan menggunakan taksi. So that I can still arrive at the designated place with style, dan tentu saja, tanpa keringat dan bau asap knalpot!

Kembali ke cerita pengalaman naik Metromini pagi ini, untungnya ada kesempatan untuk bisa memilih Metromini yang tidak padat. Jadi bisa mendapatkan tempat duduk yang diharapkan setidaknya bisa memberikan kenyamanan: tak perlu berdiri!

Ada satu keanehan perasaan yang sebenarnya sangat kuperhatikan. Bayangkan saja, aku jauh lebih takut mengalami kecelakaan lal-lintas dan menjadi korban saat menumpang Metromini dan sejenisnya. Padahal ukurannya yang besar, setidaknya menurutku, seharusnya bisa memberikan – meskipun hanya suatu ilusi – rasa nyaman. Coba dibandingkan dengan naik taksi yang ‘hanya’ berupa sedan kecil. Kalau misalnya ketabrak bis, kan bisa terpelanting tuh mobil?! Yang otomatis akibatnya jelas bisa lebih fatal, bagi si pengemudi apalagi penumpang taksi.

Ada satu hal lagi yang kuperhatikan ketika naik Metromini pagi ini. Aku baru tahu kalau ternyata tarifnya sekarang jauh-dekat Rp 2.500. Padahal perasaanku, terakhir kali naik Metromini dan/atau Kopaja, tarifnya masih Rp. 1.500. Berarti itu kejadian tahun kapan ya? Dan apabila nanti setelah 1 Desember 2008 di mana Pemerintah resmi menurunkan harga bahan bakar minyak jenis Premium sebesar Rp 500 / liter, bakal berpengaruh juga tidak ya ke tarif taksi? Secara bis kan jelas-jelas mengkonsumsi solar.

Siapatau kan nantinya tarif taksi ada penyesuaian, dalam arti berkurang beberapa ratus rupiah. Setidaknya, flagfall (tarif buka pintu) dan perkilometernya bisa disesuaikan. Ini sih kata teman-temanku, adalah ”harapan babu”. Jauh panggang daripada api. Harapan yang nyaris mustahil terwujud.
Tapi kalau misalnya kejadian, yang jelas makin rajinlah aku naik taksi dan akan mengucapkan ’selamat tinggal!’ pada bis-bis segala macam ukuran di Ibukota ini yang kondisi lebih sering tidak aman-nyaman, apalagi manusiawi.

Thursday, November 6, 2008

Omi Gawsh, Jens!



Rasanya masih susah untuk bisa benar-benar percaya!!
Ini beneran ga sih, kalau Jens Lekman emang bakal manggung di Indonesia??
Wah wah wah! Jadi bersemangat!!
Tapi koq venue-nya jauh banget ya?! Mengapa ga diadakan di Ibukota aja sih?




*Mulai merancang agenda liburan demi bisa menonton Jens Lekman live on stage.

Wednesday, November 5, 2008

Welcoming "Change"


Like the majority of people in the world and most citizens of the U.S.A., I never really thought I could live to see an African-American person becomes The President of The United States of America, not to mention a winning by landslide.

Your hard works has been paid back in rich dividends, Mr. President Barack Obama.

Congratulations!

Tuesday, November 4, 2008

OH @ a Local Branch of an International Bookstore



Pada suatu petang di sebuah akhir pekan, dalam sebuah mall kelas menengah-atas di kawasan selatan Jakarta, aku dan Dia lebih memilih untuk masuk ke dalam sebuah toko buku cabang lokal dari sebuah jaringan toko buku internasional. Kami sedang sibuk membuka-buka lembaran majalah asing terbitan terkini, the latest editions. Aku lebih memilih browsing majalah Vanity Fair dan Dia memilih GQ. We’re such loyal Condé Nasties. Apabila ditambah dengan Natalie, Rick dan Vic, makin kompletlah rombongan Condé Nast enthusiasts tersebut.

Saat itu kami berdua sama-sama sedang berdiri menghadapi rak-rak majalah impor yang membuat posisi kami jadi membelakangi pintu masuk, tapi telingaku yang relatif sensitif apabila difungsikan untuk menguping, kebetulan menangkap suara-suara dari seorang pria yang bertutur dalam bahasa Inggris, sedang terlibat dalam dialog bersama salah satu penjaga toko buku tersebut. Potongan dialog yang di-reenact berikut ini sukses luar biasa dalam mengalihkan perhatianku dari lembaran-lembaran Vanity Fair, dan ‘memaksa’-ku untuk secara khusus menoleh untuk melihat kedua lelaki yang terlibat dalam pembicaraan tidak nyambung tersebut.

Pria Asing: Excuse me, do you have books on Flores?
Penjaga Toko Buku: Wait a minute, Sir. (dan beberapa saat kemudian menyerahkan buku kepada si Pria Asing)
Pria Asing: Oh, no. Not this. I’m asking for a book about Flores. The city. Not a book about floors.
Penjaga Toko Buku: Oh, wait. I’ll go check. (dan tak lama kemudian kembali menyerahkan sebuah buku lain kepada si Pria Asing)
Pria Asing: This book is about Nusa Tenggara Timur, right? (katanya sambil melihat judul sampul depan buku)
Penjaga Toko Buku: No, it’s about N.T.T. (sambil melafalkan akronim tersebut dalam Bahasa Inggris)

Sepertinya, dalam upaya keras untuk bisa melayani calon pembeli, yaitu si Pria Asing, si Penjaga Toko Buku malah justru jadi bolak-balik melakukan kesalahan-kesalahan tolol. Apakah para petugas di jaringan toko ini tidak dilatih dengan baik sebelumnya?



Twitterer lazim menyebut pengutipan semacam ini
– dalam versi yang lebih singkat – dengan akronim OH.