Showing posts with label celebrity. Show all posts
Showing posts with label celebrity. Show all posts

Tuesday, March 24, 2009

Kok Bisa Yaaa ... ?


Kebetulan saja lagi tinggi hasrat bergosipnya hari ini.

Kebetulan kemarin abis bangun pagi instead of mandi, aku leyeh-leyeh dulu di kasur sambil nonton TV. No particular channel or program sih yang dilihat. Just flipping through channels.

Nah, kebetulan saja pas di salah satu kanal, sedang ada gossip selebriti a.k.a. acara infotainment. Sebenarnya pas baru liat orang yang dijadikan pembahasan, sempat males ngelanjutin nontonnya. Tapi entah kenapa saat itu I stay put. Dan kabar yang kemudian kudengar, membuatku sangat terkejut (alias shocking news!).

Ternyata si selebriti mediocre (untuk tidak menyebut dirinya artis, karena ya emang menurutku ga pantes aja, sebab sepanjang pengetahuanku yang bersangkutan ga ada kemampuan art-nya sama sekali) yang sedang dikerubutin wartawan ini lagi diinterview untuk sebuah prestasinya (tumben banget). Biasanya sih, si selebriti mediocre ini kan dirubung wartawan gossip kalau ada kasus (negatif) baru yang menyeret maupun membawa-bawa namanya.
Masih pada ingat dong, sebelumnya si selebriti mediocre ini sempat ”kondang” lagi namanya di infotainment lewat skandal tersebarnya foto-foto yang bersangkutan di bawah shower sedang telanjang bul-bul bersama her sister (sempat dikomentari oleh seorang ”pakar” telematika berinisial R.S. sebagai foto aseli bukan rekayasa) sambil berpose sensual dan terbuka. Persisnya bagaimana, silahkan googling sendiri saja ya.

Ternyata untuk kali ini aku keliru sungguh.
Si selebriti ini kembali masuk radar pemberitaan infotainment, karena dia baru saja diwisuda dan resmi memegang gelar Sarjana Ilmu Politik dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Paramadina.
Tak tanggung-tanggung, skripsinya yang mengulas hubungan diplomatik Republik Indonesia dengan Timor Leste terkait kerjasama perbatasan, berhasil mengantarkan sang selebriti lulus dengan nilai akhir tiga koma empat tujuh.
Yap, betul sekali. Kamu tidak salah baca. IPK-nya benar 3.47. Artinya, nyaris mendekati limit minimal untuk lulus dengan pujian (cum laude).

Sempat aku bertanya-tanya, apakah selama ini aku terlalu memandang rendah si selebriti terkait tingkat intelektualitasnya?
Berhubung aku pernah bekerjasama dengan si selebriti ini, dan dari hasil perbincanganku dengan salah satu teman dekat yang adalah juga saudara sepupunya si selebriti, dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya dia relatif kurang tanggap dalam soal keilmuan (ini adalah eufemisme). Mungkin karena dia susah atau kurang berkonsentrasi saja selama ini (sekali lagi, eufemisme). Itulah sebabnya, mendengar kabar infotainment kalau yang bersangkutan lulus nyaris cum laude, bagiku benar-benar menjadi surprise yang shocking.

Wow! Masih bisa kuingat, beberapa orang teman yang aku tahu persis otaknya berlabirin banyak alias pintar banget, sempat dibuat jungkir balik di almamater untuk bisa meraih IPK tiga koma empatpuluhan.
Aku sendiri juga sempat dibuat tidak bisa tidur demi nilai rata-rata tiga koma empat sekian itu. Dan mendengar si selebriti yang bisa meraih indeks prestasi kumulatif lebih tinggi daripada yang kudapatkan ketika lulus, rasanya hati ini dibakar rasa iri dan tak bisa menerima keampuhan otak orang lain. Huh! Kok bisa-bisanya ya dia?

Dari awalnya rasa iri, kemudian malah jadi timbul kecurigaan (namanya juga lagi niat berghibah yang kebetulan bisa diakomodir habis-habisan di sini), sebenarnya bagaimanakah standar penilaian mahasiswa di Universitas Paramadina, apabila dibandingkan dengan almamater teman-teman?
Rasanya pertanyaan ini harus kuajukan kepada seorang teman yang pernah menjadi staff pengajar di perguruan tinggi tersebut, dan kebetulan merupakan jurusan yang sama seperti yang diambil sang selebriti.

Korek-korek info dulu aaahh ...

Friday, November 28, 2008

Ini yang Katanya Piawai ?



Kalau ditanya, pos belanja apa yang paling disesali dalam bulan ini, jawabanku bisa jadi adalah, mengeluarkan uang sebanyak Rp. 32.500,- untuk membeli “Telaga Fatamorgana”. Ini adalah sebuah buku yang berisikan himpunan cerita pendek karangan Happy Salma.

Kalau ditanya kenapa bisa membeli buku ini, jawabnya, adalah karena rasa penasaran sehabis baca blurb-nya. Plus, fakta bahwa buku kumpulan cerita pendek Nona Salma sebelum ini yang merupakan debutnya di ranah sastra Indonesia berhasil mengantarkannya menjadi nominator Khatulistiwa Literary Award untuk kategori Penulis Muda Berbakat.

Awalnya ketika membaca bagian kata pengantar yang dijuduli ‘Menulis Sebagai Hidup’, sempat terbersit rasa heran karena dengan jujur Nona Salma mengungkapkan bahwa ada beberapa judul cerpennya yang ditolak untuk diterbitkan oleh beberapa publikasi / majalah karena dinilai kurang sesuai dengan visi media yang bersangkutan.

Namun setelah membaca lebih dari separuh isi "Telaga Fatamorgana", yang muncul dalam pikiran justru pertanyaan, jangan-jangan tujuh cerita pendek pertama dari duabelas yang dikumpulkan dalam buku ini adalah rejected short stories, karena menurut hematku, sungguh tidak ada satu pun yang berkualitas baik untuk dipublikasikan bagi konsumsi publik literasi. Bingung rasanya mencari-cari dimana letak kepiawaian menulis seorang Nona Salma yang diklaim demikian di bagian belakang sampul buku himpunan ini.

Mau ga mau meskipun enggan terlihat seperti orang sinis dan / atau nyinyir, aku jadi sedikit curiga dan bertanya-tanya, apakah buku ini dinilai penerbitnya layak terbit menurut hitung-hitungan bisnis lebih karena faktor nama pengarangnya yang sudah dikenal khalayak luas semata?

Anda pun bisa turut menentukannya, karena dengan senang hati akan aku pinjamkan buku ini. Silahkan mendaftar dalam kolom yang tersedia.

Monday, August 4, 2008

If The Photographs Worth Millions ...




















People and Hello! Magazine was widely reported has paid US $ 14 million in order to secure a deal for publication rights of first exclusive photographs of Vivienne Marcheline & Knox Léon Jolie-Pitt, the fraternal twins of ‘The Hollywood’s Sexiest Couple’, Brad Pitt and Angelina Jolie.

Those photographs later on were published in People’s first week of August 2008 special double edition issue. Looking at these family pictures which were spread in 19 pages, would give you a sense so sweet and ethereal, ones that definitely make you go Oohs and Aahs.

I’m sure you’ve heard all the buzz following these coveted celebrity babies’ photos before I posted this, but it turned out, before agreeing on giving the rights to People and Hello!, the Jolie-Pitt couple also successfully nailed an agreement with those two magazines to no longer refer to Jolie & Pitt as ‘Brangelina’. Nice move.
Or perhaps this was because Angeline never likes her name comes in second after Brad’s.

If only that amount of money paid by People and Hello! was invested in some businesses, or Angelina & Brad just deposited it all in a bank, Vivienne and Knox each would be worth more than what Paris Hilton will get from her inheritance.

But in reality, it was reported that all payment went for charity under Jolie-Pitt Foundation.
Imagine how many students could get free education from primary level until they graduate from college, if only Jolie-Pitt Foundation use that amount for scholarship in the Third World.
Obviously, I don’t know in what field this Foundation works in, but hopefully they really do use that money for helping others. Just like what their spokesperson said.

Sunday, June 29, 2008

Kirim Aku Bunga


Yap! Betul banget kalau dugaanmu seperti itu. Yang jadi judul entry kali ini diambil dari judul lagu salah satu group band terkeren negeri ini, Slank. Seperti biasa dengan lagu-lagu band ini, lirik lagu "Kirim Aku Bunga" emang asyik dan bermakna dalam getoh. Terus apa dong hubungannya dengan apa yang mau kutulis sekarang ini? Ga terlalu berkorelasi positif sih, soalnya cuma lagi pengen aja ngambil frase yang catchy gitu yang ada kata "bunga"-nya. Karena menurut petunjuk Bapak Presiden, hehehe ... – maaf ya Pak Harmoko yth., your era has long gone, cuma rada garing-garing kocak aja kalo balik ke masa jadul itu – anyway, sebenarnya yang mau aku sampaikan, menurut saran dari Bapak Stefan, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia-ku di era sekolah menengah dulu, kalau mau tulisannya dibaca harus bisa menarik perhatian (calon) pembaca, dan itu tentunya butuh judul yang okeh. Jadilah kupakai judul semacam di atas itu. Nah, terus sekarang mau ngomongin apaan seh, you may ask. Sebenarnya sih memang mau ngomongin soal bunga. Tapi bukan bunga yang tumbuh-tumbuhan itu, karena tulisan ini ga ada kaitannya dengan tangkai kelopak putik benang sari dan segala macamnya itu, tapi mau ngrasani bunga yang artis itu. Iyaaa, yang juga ngetop dengan nama panggilan BCL. Sudah pada tahu dongs. Nah pertanyaannya sekarang, apa yang mau dibahas dari dara manis-manis manja group ini? (Disclaimer: BCL bukan merupakan salah satu anggota kwartet dangdut era 90-an awal itu) Satu hal yang rada-rada kurang penting juga sih. Masa semalam tuh aku mimpi, mimpi aneh sekali. Apa isinya? Sudah ga terlalu penting, dan emang rada-rada lupa juga apa persisnya, jadi ga perlu juga ditanyain karena ga bakalan dapat jawaban. Cuma garis besarnya doang yang masih bisa direka ulang. Jadi begini ceritanya ... (*dengan mimik serius a la narasumber serial cerita horor yang dulu sempat ngetop di RCTI*) Masa ya dalam mimpi aneh itu, aku ternyata berhubungan cukup dekat dengan si Bunga ini. Kurang lebih ya seperti orang pacaran gitu lah hubungannya, rutin nge-date dan semacamnya. Rada ga penting ya menurut kamu, secara BCL sekarang lagi seru-serunya dikabarkan berpacaran dengan cowok Malaysia itu? Ya terserah. Menurut aku sih jadi patut dipertanyakan saja mengapa bisa sampai demikian, soalnya ini adalah mimpi bersama selebriti-ku yang pertama, setidaknya dalam hitungan 3-4 tahunan belakangan ini. Dan dari sekian banyak artis atau selebritis yang pernah kubersua baik karena urusan pekerjaan maupun akibat pergaulan metropolis, atau yang hanya sekedar pernah lihat lewat layar kaca, masa yang dipilih alam bawah sadarku untuk dimimpikan adalah Bunga? Padahal ketemu BCL di Kemang juga waktu itu hanya karena kebetulan basa-basi belaka. Ngobrol juga engga kejadian. Makanya jadi aneh aja. Nah yang bikin bingung bin heran bin tak kuasa untuk berkata-kata, adalah karena di dalam mimpi itu ya, aku bisa sampai menganggap di antara kami berdua ada hubungan khusus, karena - lupa bagaimana awal mulanya - mendadak saja di dalam sebuah ruangan seperti rumah mewah gitu, si Bunga ini marah-marah kepadaku kaya akting dalam sinetron gitu, awalnya pakai mata melotot-lotot dan suara kenceng, tapi terus dia reduced to tears, nangis sesenggukan gitu. Terus aku jadi merasa sangat bersalah dan buat menenangkan Bunga, kurengkuh tubuhnya dan kupeluklah dia. Ciee ciee ... Jadi kaya adegan di film-film romantis ga penting itu, menangis di dalam pelukan. Abis itu aku terbangun dengan perasaan bingung dan penasaran karena akibat terbangun mendadak itu malahan jadi ga tau lanjutan mimpinya gimana. Adakah kiranya teman-teman yang membaca entry ini yang bisa membantuku mencari-tahu atau bahkan bisa bantu beri jawabannya ga? Mungkin kalau sudah kondisi penasaran kaya gini, bukan Bunga yang kubutuhkan - secara ga mungkin aja kan yaaa ..., plus ntar masuk infotainment pula - tapi berikan saja aku Yusuf. Bukan sembarang Yusuf, apalagi Yusuf anak Dokter Roland Siregar itu, karena aku saat ini justru sedang refer to that prophet yang memiliki kemampuan menafsirkan mimpi. Buat yang beragama Yahudi, Kristen maupun Islam (atau dibesarkan dengan mendapatkan pendidikan salah satu dari ketiga agama tersebut), tentu mengerti Yusuf mana yang aku maksud. Namun untuk bisa mendapatkan akses personal ke kedua sosok yang telah disebut di atas sama-sama impossible, yah minimal siapalah gitu yang punya kemampuan juga untuk tafsir mimpi bisa menolongku? Tapi please jangan suruh aku merujuk pada sumber-sumber literatur karya Sigmund Freud, apalagi mengharap dapat jawaban dari pembaca primbon yang minta sesajen kembang tujuh rupa (jadi teringat Suzanna di film Hantu Ambulance) atau sejenisnya. Karena yang terakhir itu lebih ga mungkin lagi secara emang ga percaya getoh. Tapi kalau bisa sih, jangan Ida juga yang tampil dan menawarkan bantuan sukarela, secara dia lebih sering tidak tepat dalam mengartikan mimpi aneh-aneh yang kualami (maaf ya, da!). Tapi menurut kamu yang baca entry ini, aneh ga sih kalau aku sampai mimpiin Bunga? Mudah-mudahan saja tidak yaa ...

Monday, March 31, 2008

To Die For : The Ira Lennon Story




Sekapur Sirih: Sebuah Pengantar

Tersebutlah beberapa tahun silam, Nicole Kidman membintangutamai sebuah film drama-komedi berjudul To Die For. Plot utama film ini adalah obsesi seorang perempuan (yang diperankan oleh Kidman) yang bekerja di sebuah stasiun TV lokal untuk meraih popularitas dengan cara menjadi seorang anchorlady. Masalah mulai timbul karena perempuan ini bersediah menempuh segala cara dan mengorbankan apa saja yang dianggapnya perlu – termasuk menyuruh orang lain membunuh suaminya sendiri – demi meraih cita-citanya tersebut. Demi mencapai satu hal abstrak bertajuk “ketenaran” ! Demi sebuah popularitas !

Akan tetapi pertanyaan yang kemudian timbul adalah, apakah hubungan antara plot cerita tersebut dengan teman kita yang lebih popular dengan nama cantik Ira Lennon?

Barangkali akan sukar menemukan keterkaitan di antara keduanya, kalau saja kita tidak terlebih dahulu mengenal Nona Ira sebagai salah satu anggota aktif IWAPI (Ikatan Wanita Penggoda Iman) yang haus akan popularitas.

Sebelum sidang pembaca menyimak kisah nyata yang akan dituturkan berikut ini, perkenankan penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada saudara Arief Rachman yang telah berjasa untuk pertama kalinya menyingkapkan rahasia DSP (Desperately Seeking Popularity) syndrome yang menjangkiti beberapa orang Hilander98, dan menjadikannya satu topik semi-ilmiah yang menarik untuk dieksplorasi.

Tanpa bermaksud menghambat niat dan hasrat sidang pembaca yang telah menggebu-gebu untuk mencari tahu seperti apa dan bagaimana DSP syndrome ini sesungguhnya, perlu kiranya penulis sampaikan di muka bahwa diturunkannya laporan khusus berikut ini telah mendapatkan persetujuan lisan dari saudari Ira Lennon yang sama sekali tidak berkeberatan (bahkan di mata penulis cenderung terlihat kegirangan) dengan dituturkannya kembali kisah sejati dirinya melalui tangan penulis.

Akhir kata, penulis menghaturkan banyak terimakasih karena sidang pembaca telah berkenan meluangkan waktu online-nya yang berharga untuk membaca rangkaian kalimat sekapur sirih ini, dan ...

Selamat membaca!



* * *

To Die For : The Ira Lennon Story
[juga dikenal sebagai kasus “Desperately Seeking Popularity Syndrome”]


Hari Rabu siang, tepatnya pada tanggal 17 April silam, di tengah-tengah berlangsungnya sebuah acara diskusi mengenai kawasan Asia Timur yang disponsori oleh sekelompok teman dari kalangan Hilander98, tampaklah seorang pria tak dikenal beredar wara-wiri di antara kalangan mahasiswa yang secara terpaksa harus menghadiri acara ini di ruang seminar yang berada di lantai 2, gedung Dekan.

Setelah sekian lama mondar-mandir tidak jelas, lantas pria ini mendekati sekelompok mahasiswa yang tengah santai berdiskusi (untuk tidak menyebut bergosip) di depan kantor Dekan, dengan disaksikan oleh jejeran foto para mantan Rektor almamater tercinta.
Tanpa terlebih dahulu memperkenalkan identitasnya, pria ini mulai mengajukan serangkaian pertanyaan ‘maksa’ kepada kumpulan mahasiswa tersebut, yang kebetulan sebagian di antaranya adalah personil panitia acara diskusi semi-formal tentang Asia Timur ini.

Setelah rangkaian sesi tanya-jawab berakhir dengan agak terpaksa (karena yang menjawab hanya dua orang saja, yaitu saudara Ichsan dan saudari Fifi; sedangkan penulis dan saudara Rizal, Sony, dan saudari Mirna yang juga duduk di tempat yang sama tampak asyik mengupas tuntas konten sebuah novel Jepang pemberian saudari Syufra); maka barulah pria ini memperkenalkan identitasnya sebagai wartawan harian Metro Bandung.

Pria yang mengaku dirinya wartawan ini kemudian mencoba mengorek informasi dari Ichsan tentang kenalan-kenalannya sesama mahasiswa yang memiliki kemampuan dan kegemaran memasak, untuk diwawancarai. Berhubung Ichsan hanya memiliki pengetahuan terbatas tentang hal ini, maka pembicaraan pun berakhir dengan cepat. Namun sang wartawan seakan enggan meninggalkan tempat duduknya dan justru malah terlihat sibuk menulis entah apa di dalam buku catatannya.

Pada saat yang sama, dari selasar tangga yang berhadapan dengan kursi tempat kami sedang berkumpul, terdengar ketukan berirama langkah seseorang. Tak lama, terlihat Ira Lennon berjalan melenggang perlahan dengan pose seolah-olah sedang memeragakan busana di atas catwalk. Secercah senyum sesegar tomat merah merekah di wajahnya yang sumringah melihat penulis yang sedang duduk santai sambil membaca.

Dengan rasa percaya diri yang takarannya cenderung overdosis, Ira segera mengambil tempat di sebelah kiri penulis dan mulai melancarkan jurus “rangkaian bugar”: BUjukan – GodaAn - Rayuan, dengan tujuan agar penulis mengekspos dirinya dalam postingan edisi berikutnya di forum Hilander98. Karena ketulusan hati dan didorong oleh niat baik agar temannya yang cantik ini dapat memenuhi hasrat terpendam akibat pengaruh DSP syndrome yang tampak mengakar kuat dalam kepribadiannya, maka penulis berinisiatif memperkenalkan Ira kepada si kuli tinta tersebut.

Ternyata, tanpa bermaksud menyia-nyiakan sedetikpun waktu dan seumpritpun kesempatan, secara sigap dan agresif Ira berupaya menarik perhatian si wartawan, dengan bergaya seolah-olah mewawancarai wartawan tersebut sambil pura-pura menyorongkan mike ke wajah pria itu.

“Bagaimana, Mas, rasanya menjadi seorang wartawan? Sering nggak dikejar-kejar deadline? Susah nggak mewawancarai orang?” adalah sedikit dari sedemikian banyak pertanyaan yang diajukan Ira. Pertanyaan yang sesungguhnya tidak dia cari jawabannya, karena yang dibutuhkannya justru adalah perhatian wartawan tersebut.

“Gimana sih, Mas, caranya menjadi wartawan? Apa setiap tahun ada buka lowongan untuk menjadi wartawan? Soalnya teman saya ada yang ingin menjadi jurnalis.” Tampaknya Ira menganggap perlu memberikan alasan logis atas brondongan pertanyaannya itu. Karena si wartawan justru terlihat gelagapan dan jadi salah tingkah tidak bisa berkata apapun, akhirnya keluarlah kalimat pengakuan dari Ira, “Saya mau dong diwawancarai.”

Karena merasa sedikit iba melihat ekspresi kaget wartawan tersebut, maka penulis berusaha menengahi dengan maksud mempertautkan tujuan keduanya: si wartawan sedang mencari narasumber yang gemar memasak untuk diwawancara, sedangkan si mahasiswi mencari kesempatan untuk ditampilkan di dalam media massa jenis apapun (jika tidak bisa nasional maupun tingkat daerah, yang berskala lokal pun boleh lah).

“Kalau boleh tahu, kegemarannya apa, mbak?” tanya si wartawan berbasa-basi, setelah berhasil mengatasi keterkejutannya akan agresivitas Ira. Tampaknya upaya Ira berhasil nih!

Sambil langsung mengambil pose duduk seperti yang diajarkan oleh sekolah kepribadian yang dianggap paling pantas dan paling cocok memancarkan daya tarik kewanitaannya, dengan santainya Ira menjawab, “Saya sangat menggemari dua hal: memasak dan cowok ganteng. Tapi saya paling senang satu hal, memasak cowok ganteng.” Entah apa yang dimaksudkan oleh Ira dengan pernyataan tidak logis ini, namun senyum lebarnya yang menggoda itu tidak pernah lepas sekejap pun dari wajahnya.

Si wartawan mencoba bertahan dengan mengajukan pertanyaan, “Mbak paling jago memasak apa?”, yang dijawab Ira sambil tetap memamerkan cengiran khasnya, “Memasak air, kadang sampai habis.”

Barangkali karena menduga niat utamanya tidak akan kesampaian jika menghadapi tipe wanita dengan kepribadian seunik Ira, si wartawan mengubah taktik. Dengan mimik sedikit kaku dia bertanya lagi, “Saya serius, mbak. Sebenarnya mbak senang memasak apa?”

Bisa jadi karena merasakan perubahan intonasi bicara, Ira mengubah caranya menjawab, “Mas tau opor ayam?”, yang dijawab “Ya” oleh si wartawan sambil mengangguk.

“Kalau balado opor ayam?” lanjut Ira. “Apa Mas suka?”

“Ya, tau. Lumayan suka” jawab si wartawan.

Sementara itu penulis jadi sibuk menduga-duga seperti apa gerangan wujud masakan yang bernama balado opor ayam itu, dan tentu saja, karena telah mengenal kepribadian temannya ini, penulis juga mencoba-coba menerka apa sebenarnya yang ingin disampaikan oleh Ira.

“Nah,” lanjut Ira masih dengan mimik agak serius. “Kalau saya lebih suka balada anak tiri”, dan kemudian ia tertawa. Mendengar jawaban Ira yang tidak terduga ini, lepaslah tawa penulis, terbahak-bahak. Sedangkan si wartawan terlihat sebal, dan mungkin sedikit menyesal memberikan perhatian dan meluangkan waktunya mewawancarai gadis ini.

Karena merasa tidak enak kepada si wartawan, maka penulis beranjak pergi hendak meninggalkan kedua insan yang sedang ‘mempermainkan-dan-dipermainkan’ itu.

“Wah, Marko, elo jangan pergi dong. Temenin gue nih wawancara,” panggil Ira sambil melambaikan tangan dan jemarinya yang pendek-pendek namun dipaksakan melengkung lentik, laksana seorang artis yang sedang menghadapi salah satu rutinitas kehidupan sebagai seorang selebriti, yaitu diwawancarai infotainment.

“Gak mau ah, elo kaya’ gitu sih!” sahut penulis sambil melangkah ke selasar dan mulai menuruni anak tangga.

“Emangnya elo mau ke mana sih? Kalau ke Nanang, gue nitip apa aja ya, satu!” teriak Ira dan kemudian kembali mengalihkan perhatiannya kepada si wartawan, dengan harapan agar ia dapat kembali diwawancarai.

Yang kemudian tersisa adalah begitu banyak pertanyaan:
Apakah maksud Ira Lennon untuk diwawancarai tercapai?
Apakah si wartawan sanggup bertahan menghadapi tingkah-laku ‘ajaib’ salah satu pengidap sindrom DSP akut ini?
Apakah tujuan si wartawan Metro Bandung yang berupaya mencari narasumber bagi tugas peliputannya tercapai?
Sesungguhnya penulis tidak tahu jawaban atas misteri ini, karena lebih memilih untuk nongkrong di lokalisasi perjudian Pojok Kasino ’99, yang saat itu ditempati oleh beberapa konsumen Baso Malang Arema.
Apakah kepentingan kedua belah pihak, Ira Lennon dan si wartawan, dapat dipertemukan bagaikan gayung bersambut?
Apakah ‘pengorbanan’-nya menjalani proses wawancanda tersebut membuahkan hasil?
Jadikah pendapat Ira mengenai hobi memasaknya dimuat di koran tersebut?
Adakah yang sempat membaca harian Metro Bandung keesokan harinya (edisi Kamis, 18 April 2002)?
Dan apakah Ira berhasil maju selangkah dalam usahanya menapaki jalan terjal menuju puncak popularitas?
Apakah Ira siap melakukan dan mengorbankan apa saja demi sebuah ketenaran?
Apakah di kemudian hari Ira akan berhasil menjadi seorang selebriti seperti yang didambakannya selama ini?

Jelas sekali bahwa rangkaian pertanyaan ini sukar untuk mendapatkan jawaban yang pasti.

Barangkali jawaban terbaik yang bisa diberikan adalah dengan mengutip sebaris lirik single grup Warna yang menjadi soundtrack film Ca Bau Kan, “... hanya waktu yang kan menjawab semua ...” ***



- Format original artikel To Die For: The Ira Lennon Story pertama kali dipublikasikan online di milis Hilander98 pada tanggal 21 April 2002. Yang Anda baca di sini adalah versi yang telah mengalami pengeditan ulang -