Showing posts with label Suzanna. Show all posts
Showing posts with label Suzanna. Show all posts

Wednesday, November 12, 2008

Pilih Sendiri Cara Asyik Nyiapin Kematianmu!



Pernahkah kamu memperhatikan iklan-iklan Obituary yang kalau mau repot-repot dihitung, ternyata setiap harinya menyita cukup banyak space permilimeter kolom di koran-koran nasional? Lazimnya iklan-iklan semacam ini selalu menampilkan deretan nama mereka-mereka yang turut merasakan duka cita dengan meninggalnya sang subjek obituari, entah mereka ini dari kalangan ayah-ibu, suami-istri, anak-ipar, sepupu-keponakan, cucu-cicit, handai taulan-tetangga, dan seterusnya.

Anehnya, dalam beberapa iklan dapat diindikasikan bahwa ada anggota keluarga yang turut berduka cita justru telah terlebih dahulu berpulang daripada subjek yang di-obituari-kan. Padahal apabila menggunakan logika agama atau kepercayaan manapun, bukannya seharusnya para “pendahulu”-nya merasa senang ya, karena dengan wafatnya si subjek obituari, artinya sekarang bertambah lagi temannya untuk melewatkan waktu di alam lain sana?

Satu hal lain yang cukup menarik diperhatikan dalam iklan-iklan obituari ini, biasanya foto yang ditampilkan untuk mengidentifikasi mendiang/almarhum/-ah, adalah foto andalan di masa-masa keemasan yang bersangkutan. Meskipun banyak juga sih yang menampilkan foto-foto di kala sudah memasuki usia senior (untuk tidak mengatakan uzur). Ditengarai, ini bisa jadi adalah pas foto yang bersangkutan ketika mendaftarkan diri untuk pembuatan KTP seumur hidup.

Rada aneh memang. Padahal kan pepatah mengatakan, “In this world, nothing is certain but death and taxes.” Tidak ada yang pasti dalam hidup ini selain kematian dan pajak. Nah, berhubung kematian itu sudah pasti datang, kenapa tidak disiapkan selagi ada waktu luang dan dana ekstra ya? Tentu saja maksud hati bukan menyarankan untuk melakukan tindakan seperti mendiang Suzanna Martha Frederika van Osch, yang telah membeli kafan sekitar 8 tahun sebelum dia berpulang. Tapi kan masih ada hal-hal lain yang terkait.
Misalnya, kalau orang-orang bisa meluangkan waktu, tenaga, konsentrasi dan dana sedemikian banyak untuk bikin foto-foto prewedding, kenapa tidak sekalian menyiapkan foto-foto untuk menyambut momen kematian? Toh biasanya kalau sedang disemayamkan di rumah duka, akan dipajang dalam pigura foto yang bersangkutan, seolah-olah ingin menatap satu-persatu para pelayat. So this already prepared photo must come in handy.
Namun tentu saja ada catatan khusus, yaitu disarankan agar pose si yang meninggal di dalam foto tidak harus serius, atau lebih buruk lagi, malah sengaja diseram-seramkan (secara ada kemungkinan sangat besar yang bersangkutan bukan dari kalangan paranormal, kan?). Itu sih membosankan dan tidak menarik, dan niscaya membuat para pelayat tidak nyaman. Masa kalau pengen didoakan agar diampuni dosanya dan bisa masuk surga, masih nakut-nakutin orang sih?

Jadi teringat dalam salah satu adegan di film yang dibintangi di masa-masa awal karirnya (baca, ketika giginya masih gingsul), Tom Cruise pernah ditugaskan oleh dosennya di sekolah bisnis untuk menulis sendiri obituarinya. Penilaian utama diberikan berdasarkan content materi ”jualan” yang bersangkutan tentang dirinya sendiri di masa ketika masih hidup.
Hal ini sesungguhnya menarik untuk dicermati dan dilakukan di masa kini, apalagi bagi mereka-mereka yang sangat mementingkan citra positif di masa-masa semasih hidup, sampai tidak sungkan mengeluarkan dana superekstra untuk menghadiri acara-acara sosialita (minimal, gaun yang dikenakan di setiap acara harus beda) demi bisa terpajang di halaman Tatler, dewi maupun Prestige. Karena seperti kata pepatah, ”Gajah mati meninggalkan gading, Harimau mati meninggalkan belang”. Kalau manusia yang is dead? Ya tinggalkan citra diri yang positif dong.

Nah, barangkali yang bisa menjadi salah satu alternatif demi menjaga kelanggengan citra positif ini, misalnya kalau calon migran antar-alam maupun ahli warisnya punya dana super berlebih dan canggung meninggalkan gaya hidup bermewah-mewah yang terlanjur diakrabi, sembari mungkin berpikir panjang nantinya ingin memudahkan anak cucu cicit berziarah dengan nyaman, bisa pilih-pilih kapling di San Diego Hill Memorial Park and Funeral Homes. Bayangkan saja, tagline produk properti ini saja sudah sangat menjanjikan ketenangan dan eksklusifitas : “There is no other cemetery like this.” Mantap ya?!

Jadi artinya, tidaklah perlu sampai harus memaksa-maksa diberikan tempat peristirahatan terakhir di salah satu taman makam pahlawan yang tersebar di seluruh negeri ini kok, hanya demi sebuah branding nama besar / nama baik. Sekedar untuk dijadikan pembanding, almarhum Bung Tomo yang tersohor berkat ketegasan sikap dan kepemimpinannya dalam perang mempertahankan kemerdekaan Republik di Surabaya, 10 November 1945 saja, tidak mendapatkan gelar pahlawan nasional hingga tahun ini.

Nah, apalagi bagi mereka – mudah-mudahan saja bukan Anda – yang bayar pajak kepada negara ini secara jujur saja masih enggan, masa masih ingin mendapatkan perlakuan lebih istimewa? Nanti apa kata dunia?


Monday, July 28, 2008

"Semuuwa Menjeeeeriiiittt ... !!"


Membicarakan film-film horor Indonesia masa kini tentu harus beda perspektifnya dengan produksi sebelum dekade 1990-an. Dari sisi teknik produksi sinema, masa kini sudah tentu (dan memang seharusnya) jauh lebih canggih. Jadi hantu-hantu yang eksis di layar lebar harusnya juga lebih canggih dan lebih happening lagi dalam menampilkan diri. Tidak lagi mempergunakan teknik ”ting!” lalu hantu menghilang.
Ini trik yang lazim dipakai di film-film nasional waktu masih ada Departemen Penerangan. Biasanya sih aku menyebutnya trik Jinny oh Jinny, mengutip judul sinetron komedi yang dibintangi Sahrul Gunawan dan Diana Pungky yang berperan sebagai Jinny, sesosok jin perempuan pinpinbo (pinter-pinter bodoh) yang hidup di dalam cangkang kerang extra large, yang dalam sepakterjangnya selalu dan always pakai teknik on-off cam buat memunculkan atau menghilangkan barang maupun orang (disertai sound effect "ting!") dalam setiap episode serial ini.
Meskipun tentu saja, penyebutan ini tidak tepat karena teknik efek spesial cara ini telah dipergunakan sejak lamaaa sebelumnya. Bisa jadi malahan sudah dilakukan sejak dalam film Loetoeng Kasaroeng kali ya?

Kembali ke perbincangan seputar era kebangkitan kembali film Indonesia dari liang lahat – untungnya itu liang belum ditimbun jadi masih lebih mudah keluarnya daripada harus susah payah gali-gali sendiri, makin horor deh jadinya! – yang katanya ditandai dengan suksesnya film Petualangan Sherina, ada satu film lain yang kala itu kehadirannya cukup menghentak dunia hiburan negeri ini. Judulnya pun cukup memancing rasa ingin tahu dan kehororan: Jelangkung.
Yang jelas, happening banget deh pokoknya film Jelangkung ini, sampai ada urban legend yang katanya film ini memang beneran ada hantunya (kaya masa kini beli hape dibundel kartu perdana, nah ini film dibundel sama setannya), atau yang terpaksa disensor ulang lah karena terlalu seram sampai bikin orang kerasukan saat nonton, atau isunya bahkan ada satu baris dalam tiap gedung bioskop yang harus dikosongkan setiap pemutaran sebagai ”syarat” dari alam ghaib. Yang terakhir ini malah dijadikan premis untuk membuat sekuelnya, Jelangkung 3. Tapi film yang disebut terakhir ini paling kacau deh, katro abis. Belum lagi dialognya yang bikin ketawa ngakak, masa dua orang anak yang tinggal di rumah mewah dengan pembantu segala sampai bertengkar gara-gara rebutan Pop Mie! (Penting banget yak?!)


Nah, salah satu yang paling diingat dari film Jelangkung besutan Jose Poernomo dan Rizal Mantovani ini adalah diorbitkannya salah satu karakter utama film horor ini ke level legendary superstardom.
Halah! Tentu saja bukan karakter Roni Dozer yang tipikal gendud-bodoh atau Harry Panca yang sok jagoan-reckless-stupid, atau siapalah nama perempuan itu yang teriak-teriak ga penting melulu (minta ditampol!), dan juga bukan Winky Wiryawan yang takut-panik tetap manis-manis jambu air.
Yang paling happening dari film ini justru sosok Suster Ngesot yang entah mengapa tampilannya begitu mengerikan. Padahal kan dia ngesot-ngesot doang ya. Tendang aja kalo mendekat terus kabuuur! Sprint 3 menit juga kayanya sudah cukup, itu suster pasti udah ketinggalan jauh di belakang. Kan dia pasti capek ngesot-ngesot kesana-kemari. By the way sekedar trivia, sosok suster ngesot yang seram di film Jelangkung itu kan sebenarnya diperankan oleh seorang lelaki bernama Arief (Yap! Aku tahu pasti karena waktu itu mantengin sampai credit title saking penasarannya). Nah, jadi ga serem lagi kan pas udah tahu? He! He!
Lalu waktu itu lihat episode perdana Extravaganza yang sketsa terakhirnya ada suster ngesot diperankan oleh Aming, malah si suster tampil kocak dan lucu banget. Masa ngesot dari Terminal Kampung Rambutan sampai Studio 1 Trans TV di Tendean? Ga lecet-lecet dan berdarah-darah tuh bokong sampai betis? (sebagai catatan, kalau naik bis aja waktu tempuhnya bisa satu jam lebih lho! Bayangin aja kalo ngesot ...)
Terus waktu aku lihat episode perdana sinetron cupu Di Sini Ada Setan, eh kok ya hantunya suster ngesot lagi sih? Malah ceritanya di situ mengapa sampai ada suster yang ngesot-ngesot makin ga penting. Demikian seterusnya.

Bahkan kini, hampir satu dekade sejak dirilisnya film Jelangkung, sosok suster ngesot masih saja dieksploitasi. Ga ngerasa bosan apa ya? Segala macam alasan udah dipakai untuk menjustifikasi mengapa sampai tercipta aktivitas ngesot tersebut. Mostly karena seks. Dasar orang-orang Indonesia pikirannya kinky juga. Ternyata banyak yang memiliki fetish terhadap petugas-petugas berseragam.
Nah, sepanjang ingatanku, terakhir ya dengan dirilisnya dalam waktu hampir berdekatan, film Suster Ngesot yang dibintangi oleh Nia Ramadhani dan Suster N: Legenda Suster Ngesot yang antara lain dibintangi Wulan Guritno.
Parahnya waktu itu masih ingat banget, ketika aku bersama Ralph dan Bradley mau nonton 28 Weeks Later di Plaza Senayan, saat sedang berjalan menuju studio tempat akan diputarnya film tersebut, tiba-tiba di tengah-tengah jalan, kami sedikit terhadang kehebohan. Seorang perempuan menangis sesenggukan dengan histeris, dan seorang lelaki yang diduga kuat pacarnya sedang berusaha menenangkan dan membujuk perempuan tersebut. Sementara itu beberapa petugas PS XXI tampak bingung berdiri membego di seputar pasangan tersebut. Brad yang memang hobi gosip dan suka mau tau langsung mengorek-ngorek informasi kepada salah satu satpam yang berada di seputaran tempat kejadian perkara dan diduga mengetahui secara pasti kejadian ini. Ternyata oh ternyata, oleh pihak rumah produksi film itu, biar happening mereka mempergunakan talent suster bohongan dengan make-up putih a la hantu-hantuan buat ngesot dan ngagetin penonton yang sedang menonton film tersebut. Entah cara ini bisa dikatakan terlalu sukses atau malah gagal total – judging from what we saw – yang jelas ada kehebohan besar yang diakibatkannya.
My deepest sympathy to the couple. If I were them, pasti langsung bikin tuntutan dan memperkarakan ke meja hijau. Biar tahu rasa itu yang punya ide bikin suster-susteran ngesot dalam ruangan studio saat pemutaran film. Ide bodoh!

Sama seperti masih bodoh aja – setidaknya menurutku – kalau bikin film horror dengan sosok Suster Ngesot sebagai main horror talent-nya. Blah! Sooo last decade aja gitu! Itu karakter sudah habis dieksploitasi, kalau misalnya dianalogikan dengan sumur minyak ya sudah seharusnya diisi dengan air panas lalu ditutup dan ditinggalkan.
Nah, ini juga kejadian yang kurang lebih sama dengan tokoh pocong; mau pakai embel-embel angka 2 kek, 3 lah, 40 kek atau ditaliin sekalipun, ya tetap aja penampilannya guling pake muka kusut (jadi inget salah satu adegan di film Pocong 2 yang sebenarnya sudah ketebak banget what would happened next). Tapi emang betul sih, muka seram mah memang sudah jadi modal dasar buat jadi setan sukses. Makin rusak dan menjijikkan, makin eksis!


Tapi kalau kita melongok ke belakang, salah satu wujud karakter setan tersukses – dan paling legendaris – dalam sejarah panjang sinema Indonesia, kok ternyata wajahnya tidak ada rusak-rusaknya sama sekali ya? Justru malahan mulus putih (banget!) berkat perawatan teratur (yang mungkin) bak putri keraton. Dan ternyata saking iconic-nya karakter setan ini, tidak ada satu pun aktris – sejak tahun 1980an hingga saat ini – yang mampu mendekati – apalagi menyamai – keseraman akting aktris pemeran karakter hantu tersebut.
Sebagai catatan khusus, berkat salah satu adegan yang diperaninya jugalah, ia berhasil merevolusi cara pandang masyarakat Indonesia terhadap sate, hingga saat ini.

Hayo, buat yang baca dan emang suka film-film nasional, terutama yang lahir sebelum tahun 1990-an, tentu pada tahu dong hantu mana yang kumaksudkan di sini?
Ga perlu sampai penasaran (awas hati-hati nanti jadi arwah P...), karena potongan klip video berikut ini menampilkan jawabannya! Selamat menyaksikan ...




Jayalah Sinema (Horor) Indonesia!

Sunday, June 29, 2008

Kirim Aku Bunga


Yap! Betul banget kalau dugaanmu seperti itu. Yang jadi judul entry kali ini diambil dari judul lagu salah satu group band terkeren negeri ini, Slank. Seperti biasa dengan lagu-lagu band ini, lirik lagu "Kirim Aku Bunga" emang asyik dan bermakna dalam getoh. Terus apa dong hubungannya dengan apa yang mau kutulis sekarang ini? Ga terlalu berkorelasi positif sih, soalnya cuma lagi pengen aja ngambil frase yang catchy gitu yang ada kata "bunga"-nya. Karena menurut petunjuk Bapak Presiden, hehehe ... – maaf ya Pak Harmoko yth., your era has long gone, cuma rada garing-garing kocak aja kalo balik ke masa jadul itu – anyway, sebenarnya yang mau aku sampaikan, menurut saran dari Bapak Stefan, guru mata pelajaran Bahasa Indonesia-ku di era sekolah menengah dulu, kalau mau tulisannya dibaca harus bisa menarik perhatian (calon) pembaca, dan itu tentunya butuh judul yang okeh. Jadilah kupakai judul semacam di atas itu. Nah, terus sekarang mau ngomongin apaan seh, you may ask. Sebenarnya sih memang mau ngomongin soal bunga. Tapi bukan bunga yang tumbuh-tumbuhan itu, karena tulisan ini ga ada kaitannya dengan tangkai kelopak putik benang sari dan segala macamnya itu, tapi mau ngrasani bunga yang artis itu. Iyaaa, yang juga ngetop dengan nama panggilan BCL. Sudah pada tahu dongs. Nah pertanyaannya sekarang, apa yang mau dibahas dari dara manis-manis manja group ini? (Disclaimer: BCL bukan merupakan salah satu anggota kwartet dangdut era 90-an awal itu) Satu hal yang rada-rada kurang penting juga sih. Masa semalam tuh aku mimpi, mimpi aneh sekali. Apa isinya? Sudah ga terlalu penting, dan emang rada-rada lupa juga apa persisnya, jadi ga perlu juga ditanyain karena ga bakalan dapat jawaban. Cuma garis besarnya doang yang masih bisa direka ulang. Jadi begini ceritanya ... (*dengan mimik serius a la narasumber serial cerita horor yang dulu sempat ngetop di RCTI*) Masa ya dalam mimpi aneh itu, aku ternyata berhubungan cukup dekat dengan si Bunga ini. Kurang lebih ya seperti orang pacaran gitu lah hubungannya, rutin nge-date dan semacamnya. Rada ga penting ya menurut kamu, secara BCL sekarang lagi seru-serunya dikabarkan berpacaran dengan cowok Malaysia itu? Ya terserah. Menurut aku sih jadi patut dipertanyakan saja mengapa bisa sampai demikian, soalnya ini adalah mimpi bersama selebriti-ku yang pertama, setidaknya dalam hitungan 3-4 tahunan belakangan ini. Dan dari sekian banyak artis atau selebritis yang pernah kubersua baik karena urusan pekerjaan maupun akibat pergaulan metropolis, atau yang hanya sekedar pernah lihat lewat layar kaca, masa yang dipilih alam bawah sadarku untuk dimimpikan adalah Bunga? Padahal ketemu BCL di Kemang juga waktu itu hanya karena kebetulan basa-basi belaka. Ngobrol juga engga kejadian. Makanya jadi aneh aja. Nah yang bikin bingung bin heran bin tak kuasa untuk berkata-kata, adalah karena di dalam mimpi itu ya, aku bisa sampai menganggap di antara kami berdua ada hubungan khusus, karena - lupa bagaimana awal mulanya - mendadak saja di dalam sebuah ruangan seperti rumah mewah gitu, si Bunga ini marah-marah kepadaku kaya akting dalam sinetron gitu, awalnya pakai mata melotot-lotot dan suara kenceng, tapi terus dia reduced to tears, nangis sesenggukan gitu. Terus aku jadi merasa sangat bersalah dan buat menenangkan Bunga, kurengkuh tubuhnya dan kupeluklah dia. Ciee ciee ... Jadi kaya adegan di film-film romantis ga penting itu, menangis di dalam pelukan. Abis itu aku terbangun dengan perasaan bingung dan penasaran karena akibat terbangun mendadak itu malahan jadi ga tau lanjutan mimpinya gimana. Adakah kiranya teman-teman yang membaca entry ini yang bisa membantuku mencari-tahu atau bahkan bisa bantu beri jawabannya ga? Mungkin kalau sudah kondisi penasaran kaya gini, bukan Bunga yang kubutuhkan - secara ga mungkin aja kan yaaa ..., plus ntar masuk infotainment pula - tapi berikan saja aku Yusuf. Bukan sembarang Yusuf, apalagi Yusuf anak Dokter Roland Siregar itu, karena aku saat ini justru sedang refer to that prophet yang memiliki kemampuan menafsirkan mimpi. Buat yang beragama Yahudi, Kristen maupun Islam (atau dibesarkan dengan mendapatkan pendidikan salah satu dari ketiga agama tersebut), tentu mengerti Yusuf mana yang aku maksud. Namun untuk bisa mendapatkan akses personal ke kedua sosok yang telah disebut di atas sama-sama impossible, yah minimal siapalah gitu yang punya kemampuan juga untuk tafsir mimpi bisa menolongku? Tapi please jangan suruh aku merujuk pada sumber-sumber literatur karya Sigmund Freud, apalagi mengharap dapat jawaban dari pembaca primbon yang minta sesajen kembang tujuh rupa (jadi teringat Suzanna di film Hantu Ambulance) atau sejenisnya. Karena yang terakhir itu lebih ga mungkin lagi secara emang ga percaya getoh. Tapi kalau bisa sih, jangan Ida juga yang tampil dan menawarkan bantuan sukarela, secara dia lebih sering tidak tepat dalam mengartikan mimpi aneh-aneh yang kualami (maaf ya, da!). Tapi menurut kamu yang baca entry ini, aneh ga sih kalau aku sampai mimpiin Bunga? Mudah-mudahan saja tidak yaa ...

Tuesday, May 27, 2008

Apa Lagi Yang Kau Cari, Samantha?


Akhirnya Kuntilanak 3 datang juga menghampiri para pemirsa (setianya, eh?!).

Diklaim sebagai sekuel pamungkas dari kisah para pemuja kekuatan gelap dan pemelihara arwah perempuan yang mati penasaran ini, Kuntilanak 3 berhasil menakut-nakuti penonton dengan pakem khas film horor.

Benarkah demikian?
Silahkan Anda menilainya sendiri.



Film ini dibuka dengan adegan Stella (diperankan oleh Paramitha Rusady yang terlihat tetap cantik semlohei dan awet muda dengan terapi suntik botox, ehm ..., maksudnya Laudya Cinthya Bella yang entah mengapa di dalam film ini memang terlihat dan terdengar sangat mirip Mitha) bercengkerama mesra dengan tunangannya (yang bahkan di situs 21cineplex tidak mendapat credit) sembari duduk berpelukan erat di depan cahaya api unggun yang berkelebat dalam hutan lebat di tengah kegelapan rimba yang begitu pekat (rhymes! tapi untungnya tidak sedang bertelanjang bulat *wink!*).
Hanya perlu melihat beberapa detik pertama dari opening scene tersebut, penonton film horor pintar (maksud sebenarnya, penontonnya yang pintar) pasti sudah langsung tahu kalau Stella akan mati secara gory bahkan sebelum opening credit muncul.

Cara menebaknya sebenarnya cukup mudah.
Di tengah hutan lebat di daerah antah-berantah alias no man’s land di tengah malam buta yang sangat dingin (diasumsikan demikian karena si pemeran pria memakai kaos dalam, kemeja, vest DAN jaket SEKALIGUS), Stella yang selalu tersenyum manis manja group mengenakan baju terbuka dengan belahan dada terlalu rendah sehingga memamerkan (jadi bukan sekedar memperlihatkan, lho, dicatet!) cleavage-nya yang tampak begitu menggoda. Tapi ternyata tidak cukup hanya dengan tampil seksi like such biatch, Stella JUGA BERANI MELAKUKAN "tipikal kesalahan fatal yang sudah begitu klisenya karena dilakukan oleh karakter-karakter yang ditakdirkan mati mengerikan dalam film-film horor", yaitu dengan bercanda tentang nasib buruk dan kematian. Di depan tunangannya sendiri (dan seluruh pemirsa), Stella berpura-pura diserang oleh sosok tak terlihat yang mencekiknya sampai sesak napas. Detik itu juga kita mengetahui alamat nasib buruk yang mengerikan sudah pasti menanti dirinya.
Pertanyaannya bukan lagi ”mengapa Stella?”, tapi ”kapan dan bagaimana?”. Penonton ternyata memang tidak perlu menunggu terlalu lama ...

Dan tentu saja tidak perlu intelijensia tinggi untuk mencerna alur cerita film yang berdurasi kurang lebih 2 jam lebih sedikit ini. Anda cuma perlu duduk manis dan siap-siaplah untuk dikagetkan – atau lebih ekstrem lagi, sampai menjerit kencang sambil menutup mata! seperti yang dilakukan oleh teman menonton saya. Biar tidak terlalu gengsi karena dianggap penakut, tunggulah cue dari ilustrasi musik garapan Andi Rianto, yang dijamin akan sangat memudahkan para penonton untuk menebak, ”Ayo siap-siap, setannya mau keluar lagi nih!”. Lalu dengan patuhnya si setan perempuan muncul ... duengg ! *kyaa!*

Tapi kalau polanya begitu terus sepanjang film, berputar-putar tanpa logika yang jelas – kecuali untuk satu hal, bahwa jelas-jelas semua tokoh yang berseliweran berebut screen time sambil melakukan / mengatakan hal-hal bodoh (please lihat lagi sample lain untuk "tipikal kesalahan fatal yang sudah begitu klisenya karena dilakukan oleh karakter-karakter yang ditakdirkan mati mengerikan dalam film-film horor") satu-persatu akan menemui ajal secara mengerikan demi memuaskan nafsu para penontonnya akan muncratan darah atau nafsu untuk ditakut-takuti – lama-kelamaan pasti capek juga melihatnya.


Yang kemudian justru menjadi tantangan menarik bagi penonton, setidaknya bagi saya sendiri lah!, adalah untuk menerka-nerka siapa dari keempat anak muda metropolis tersebut yang akan mati duluan, kapan kejadiannya dan bagaimana atau se-gory apa adegan pencabutan nyawa mereka, dan siapa yang akan menyusul mati berikutnya di tengah pekatnya selimut misteri hutan kelam Ujung Sedo. Setidaknya bagiku, sudah ga penting lagi apakah mereka akan berhasil menemukan mayat kedua sahabat mereka yang telah hilang duluan di dalam hutan, atau setidaknya bisa apakah mereka bisa melacak jejak bekas pipis atau pup si Stella dan tunangannya yang bodoh itu (ya iyalah! di dalam hutan seperti itu kan ga ada jamban!).

Dan begitu penonton berhenti mengkhawatirkan takdir mengerikan apa yang mengintai keempat sahabat dari balik rimbunnya pepohonan, rasanya tidak ada alasan lagi untuk juga peduli pada apa lagi yang bakal dialami Samantha (diperankan kembali untuk ketiga kalinya oleh Julie Estelle). Kalau dia bisa menemukan jalannya sendiri menuju hutan Ujung Sedo, dan kalau dia bisa menemukan gua menyeramkan itu hanya dengan mengandalkan intuisi, rasanya akan lebih baik kalau saja Samantha meninggalkan keempat sahabat tersebut dan tidak melibatkan mereka dalam petualangan yang sejak awal sudah kental bau darah ini. Toh begitu dia berhasil melepaskan diri dari keresehan dan kebodohan keempat sahabat itu, Samantha bisa dengan cepatnya menemukan dan lantas berhadapan langsung dengan sumber dari segala sumber rangkaian malapetaka yang bertubi-tubi menimpa dirinya tersebut, which happened in one of the technically best horror scenes ever graced Indonesian cinema.


However, kudos pantas diberikan untuk aspek-aspek teknis Kuntilanak 3 yang sangat berhasil membangun atmosfer ketegangan yang menakutkan, khususnya di beberapa adegan horor klimaks yang kelas dan kualitasnya jelas-jelas sekian tingkat di atas beberapa rilisan film horor Indonesia belakangan ini (am pointing at the legendary comeback of The Indonesia Queen of Horror, Suzanna. Such a shameful return, Ma’am).