Monday, July 28, 2008

"Semuuwa Menjeeeeriiiittt ... !!"


Membicarakan film-film horor Indonesia masa kini tentu harus beda perspektifnya dengan produksi sebelum dekade 1990-an. Dari sisi teknik produksi sinema, masa kini sudah tentu (dan memang seharusnya) jauh lebih canggih. Jadi hantu-hantu yang eksis di layar lebar harusnya juga lebih canggih dan lebih happening lagi dalam menampilkan diri. Tidak lagi mempergunakan teknik ”ting!” lalu hantu menghilang.
Ini trik yang lazim dipakai di film-film nasional waktu masih ada Departemen Penerangan. Biasanya sih aku menyebutnya trik Jinny oh Jinny, mengutip judul sinetron komedi yang dibintangi Sahrul Gunawan dan Diana Pungky yang berperan sebagai Jinny, sesosok jin perempuan pinpinbo (pinter-pinter bodoh) yang hidup di dalam cangkang kerang extra large, yang dalam sepakterjangnya selalu dan always pakai teknik on-off cam buat memunculkan atau menghilangkan barang maupun orang (disertai sound effect "ting!") dalam setiap episode serial ini.
Meskipun tentu saja, penyebutan ini tidak tepat karena teknik efek spesial cara ini telah dipergunakan sejak lamaaa sebelumnya. Bisa jadi malahan sudah dilakukan sejak dalam film Loetoeng Kasaroeng kali ya?

Kembali ke perbincangan seputar era kebangkitan kembali film Indonesia dari liang lahat – untungnya itu liang belum ditimbun jadi masih lebih mudah keluarnya daripada harus susah payah gali-gali sendiri, makin horor deh jadinya! – yang katanya ditandai dengan suksesnya film Petualangan Sherina, ada satu film lain yang kala itu kehadirannya cukup menghentak dunia hiburan negeri ini. Judulnya pun cukup memancing rasa ingin tahu dan kehororan: Jelangkung.
Yang jelas, happening banget deh pokoknya film Jelangkung ini, sampai ada urban legend yang katanya film ini memang beneran ada hantunya (kaya masa kini beli hape dibundel kartu perdana, nah ini film dibundel sama setannya), atau yang terpaksa disensor ulang lah karena terlalu seram sampai bikin orang kerasukan saat nonton, atau isunya bahkan ada satu baris dalam tiap gedung bioskop yang harus dikosongkan setiap pemutaran sebagai ”syarat” dari alam ghaib. Yang terakhir ini malah dijadikan premis untuk membuat sekuelnya, Jelangkung 3. Tapi film yang disebut terakhir ini paling kacau deh, katro abis. Belum lagi dialognya yang bikin ketawa ngakak, masa dua orang anak yang tinggal di rumah mewah dengan pembantu segala sampai bertengkar gara-gara rebutan Pop Mie! (Penting banget yak?!)


Nah, salah satu yang paling diingat dari film Jelangkung besutan Jose Poernomo dan Rizal Mantovani ini adalah diorbitkannya salah satu karakter utama film horor ini ke level legendary superstardom.
Halah! Tentu saja bukan karakter Roni Dozer yang tipikal gendud-bodoh atau Harry Panca yang sok jagoan-reckless-stupid, atau siapalah nama perempuan itu yang teriak-teriak ga penting melulu (minta ditampol!), dan juga bukan Winky Wiryawan yang takut-panik tetap manis-manis jambu air.
Yang paling happening dari film ini justru sosok Suster Ngesot yang entah mengapa tampilannya begitu mengerikan. Padahal kan dia ngesot-ngesot doang ya. Tendang aja kalo mendekat terus kabuuur! Sprint 3 menit juga kayanya sudah cukup, itu suster pasti udah ketinggalan jauh di belakang. Kan dia pasti capek ngesot-ngesot kesana-kemari. By the way sekedar trivia, sosok suster ngesot yang seram di film Jelangkung itu kan sebenarnya diperankan oleh seorang lelaki bernama Arief (Yap! Aku tahu pasti karena waktu itu mantengin sampai credit title saking penasarannya). Nah, jadi ga serem lagi kan pas udah tahu? He! He!
Lalu waktu itu lihat episode perdana Extravaganza yang sketsa terakhirnya ada suster ngesot diperankan oleh Aming, malah si suster tampil kocak dan lucu banget. Masa ngesot dari Terminal Kampung Rambutan sampai Studio 1 Trans TV di Tendean? Ga lecet-lecet dan berdarah-darah tuh bokong sampai betis? (sebagai catatan, kalau naik bis aja waktu tempuhnya bisa satu jam lebih lho! Bayangin aja kalo ngesot ...)
Terus waktu aku lihat episode perdana sinetron cupu Di Sini Ada Setan, eh kok ya hantunya suster ngesot lagi sih? Malah ceritanya di situ mengapa sampai ada suster yang ngesot-ngesot makin ga penting. Demikian seterusnya.

Bahkan kini, hampir satu dekade sejak dirilisnya film Jelangkung, sosok suster ngesot masih saja dieksploitasi. Ga ngerasa bosan apa ya? Segala macam alasan udah dipakai untuk menjustifikasi mengapa sampai tercipta aktivitas ngesot tersebut. Mostly karena seks. Dasar orang-orang Indonesia pikirannya kinky juga. Ternyata banyak yang memiliki fetish terhadap petugas-petugas berseragam.
Nah, sepanjang ingatanku, terakhir ya dengan dirilisnya dalam waktu hampir berdekatan, film Suster Ngesot yang dibintangi oleh Nia Ramadhani dan Suster N: Legenda Suster Ngesot yang antara lain dibintangi Wulan Guritno.
Parahnya waktu itu masih ingat banget, ketika aku bersama Ralph dan Bradley mau nonton 28 Weeks Later di Plaza Senayan, saat sedang berjalan menuju studio tempat akan diputarnya film tersebut, tiba-tiba di tengah-tengah jalan, kami sedikit terhadang kehebohan. Seorang perempuan menangis sesenggukan dengan histeris, dan seorang lelaki yang diduga kuat pacarnya sedang berusaha menenangkan dan membujuk perempuan tersebut. Sementara itu beberapa petugas PS XXI tampak bingung berdiri membego di seputar pasangan tersebut. Brad yang memang hobi gosip dan suka mau tau langsung mengorek-ngorek informasi kepada salah satu satpam yang berada di seputaran tempat kejadian perkara dan diduga mengetahui secara pasti kejadian ini. Ternyata oh ternyata, oleh pihak rumah produksi film itu, biar happening mereka mempergunakan talent suster bohongan dengan make-up putih a la hantu-hantuan buat ngesot dan ngagetin penonton yang sedang menonton film tersebut. Entah cara ini bisa dikatakan terlalu sukses atau malah gagal total – judging from what we saw – yang jelas ada kehebohan besar yang diakibatkannya.
My deepest sympathy to the couple. If I were them, pasti langsung bikin tuntutan dan memperkarakan ke meja hijau. Biar tahu rasa itu yang punya ide bikin suster-susteran ngesot dalam ruangan studio saat pemutaran film. Ide bodoh!

Sama seperti masih bodoh aja – setidaknya menurutku – kalau bikin film horror dengan sosok Suster Ngesot sebagai main horror talent-nya. Blah! Sooo last decade aja gitu! Itu karakter sudah habis dieksploitasi, kalau misalnya dianalogikan dengan sumur minyak ya sudah seharusnya diisi dengan air panas lalu ditutup dan ditinggalkan.
Nah, ini juga kejadian yang kurang lebih sama dengan tokoh pocong; mau pakai embel-embel angka 2 kek, 3 lah, 40 kek atau ditaliin sekalipun, ya tetap aja penampilannya guling pake muka kusut (jadi inget salah satu adegan di film Pocong 2 yang sebenarnya sudah ketebak banget what would happened next). Tapi emang betul sih, muka seram mah memang sudah jadi modal dasar buat jadi setan sukses. Makin rusak dan menjijikkan, makin eksis!


Tapi kalau kita melongok ke belakang, salah satu wujud karakter setan tersukses – dan paling legendaris – dalam sejarah panjang sinema Indonesia, kok ternyata wajahnya tidak ada rusak-rusaknya sama sekali ya? Justru malahan mulus putih (banget!) berkat perawatan teratur (yang mungkin) bak putri keraton. Dan ternyata saking iconic-nya karakter setan ini, tidak ada satu pun aktris – sejak tahun 1980an hingga saat ini – yang mampu mendekati – apalagi menyamai – keseraman akting aktris pemeran karakter hantu tersebut.
Sebagai catatan khusus, berkat salah satu adegan yang diperaninya jugalah, ia berhasil merevolusi cara pandang masyarakat Indonesia terhadap sate, hingga saat ini.

Hayo, buat yang baca dan emang suka film-film nasional, terutama yang lahir sebelum tahun 1990-an, tentu pada tahu dong hantu mana yang kumaksudkan di sini?
Ga perlu sampai penasaran (awas hati-hati nanti jadi arwah P...), karena potongan klip video berikut ini menampilkan jawabannya! Selamat menyaksikan ...




Jayalah Sinema (Horor) Indonesia!

No comments: