Tuesday, July 29, 2008

The Most Beautiful Little Girl in The World

“You may find her look weird, but for me, she is the most beautiful little girl in the world.”



I was waiting for Gary at Plaza Senayan last Sunday evening because we want to catch up with one another latest details, i.e. sharing juicy gossips about people we know. Having no idea as where to go while waiting for him to arrive from his home at Wijaya, I decided to go browsing some new books at Kinokuniya.

Saat melewati salah satu rak yang khusus memajang buku-buku photography, pandangan mataku tertumbuk pada sebuah buku which boasting such a grand title: 100 Days in Photographs: Pivotal Events That Changed The World.
Berhubung sejak zaman masih berstatus anak sekolahan, mata pelajaran sejarah dunia entah mengapa seakan memiliki magnet tersendiri buatku, langsung saja buku tersebut kuambil dari rak dan kubuka.
Untungnya, buku tersebut tidak disegel dalam plastik kedap udara. Meskipun para pegawai Kinokuniya tidak pernah keberatan untuk membukakan segel plastik yang membungkus salah satu buku jualan mereka, tapi ada sekelumit rasa segan meminta tolong mereka membukakannya karena aku hanya iseng pengen lihat-lihat buku ini dan sudah pasti hampir pasti 99.99% tidak akan membelinya.

Paragraf pembuka di jaket buku bertutur tentang kekuatan foto yang mampu berbicara ketika mendokumentasikan sejarah manusia pertama yang mencoba berjalan menyeberangi Niagara Falls di atas seutas tambang – dan berhasil. Menarik sekali. Apalagi mengingat konteks sejarah terjadinya peristiwa mendebarkan ini yang lebih dari satu abad lalu.
Mulailah konsentrasiku terfokus untuk menyimak isi buku ini. Beragam banget entry-nya, semua disusun kronologis, mulai dari pembangunan Eiffel Tower, pembunuhan Abraham Lincoln, hijrah Gandhi demi mendobrak monopoli atas garam, korban bom atom Hiroshima, ... hingga satu halaman besar hitam-putih foto seorang pria yang sedang mendekap seorang anak kecil di dadanya.
Kalimat keterangan yang menyertai foto menyebutkan bahwa pria tersebut – dengan nama khas Rusia yang aku tidak bisa ingat lagi – adalah ayah dari seorang anak perempuan kecil yang dalam foto sedang dipeluknya dengan erat. Anak perempuan kecil itu lahir lebih dari satu dekade setelah bencana meledaknya reaktor nuklir Chernobyl.
Membaca kutipan ucapan pria tersebut ketika diwawancarai untuk artikel orisinil yang menyertai publikasi foto tersebut – yang kucoba tulis ulang berdasarkan kemampuan ingatanku di bagian pembuka tulisan ini – membuat seakan-akan jantungku naik ke tenggorokan dan hatiku terasa nyeri karena sakit.

Bayangkan saja, anaknya mengalami cacat permanent akibat terpapar efek radiasi nuklir sejak dalam kandungan, sehingga tidak akan pernah bisa duduk sendiri seumur hidupnya, let alone standing and walking. Tengkorak kepalanya membesar seperti anak-anak penderita hydrocephalus – yang beberapa kali menghiasi pemberitaan media nasional yang disebut-sebut sebagai dampak kelaparan akut negeri ini – dan tubuhnya tampak ringkih seakan-akan tidak bisa ia gerakkan sendiri. Dan terlepas dari segala kekurangan kondisi tubuh si anak perempuan kecil, kedua orang-tuanya, dengan kasih-sayang mereka yang begitu besar, benar-benar mencurahkan segalanya untuk merawat anak mereka itu.

Aku harus mencubit tanganku sendiri untuk mengalihkan terpaan gelombang kesedihan dan rasa haru ketika membaca tulisan tersebut.
You call me oversensitive? I am.

Karena sampai kini aku tidak bisa mengerti mengapa ada orang-tua yang tega melakukan kekerasan kepada anak kandung mereka, darah-dagingnya sendiri.
Waktu kecil, aku juga pernah sekali-dua dipukul oleh Bapak ataupun Ibu. Tapi itu juga karena memang diakibatkan oleh kenakalanku sendiri, misalnya menggunting gorden baru di ruang keluarga sehingga bolong-bolong, memecahkan kaca jendela karena terlalu seru bermain, atau karena ketahuan mencuri uang dari dompet Ibu karena lagi pengen belanja permen. Luapan emosi sesaat orang-tua, sesuatu yang aku anggap wajar saja. They’re no angels. Neither I am. Toh hanya sekali dua saja tangannya mendarat di tubuhku, tidak lebih. Besoknya juga sudah biasa lagi, dan tidak ada juga ’bekas gambar tangan’-nya di badan. Tidak sampai seperti yang belakangan sering diekspos oleh media massa, dimana ada anak yang disundut rokok atau tulangnya patah akibat hal-hal sesepele keisengan anak-anak. Dan syukurlah, apa yang aku alami ketika masih kecil sangat jauh bila dibandingkan dengan kesadisan seperti yang dialami almarhum Arie Hanggara.
All I can say, even when some shortcomings occurred once in awhile, that my childhood was very happy and pretty much content.

Dan mungkin bagi anak perempuan kecil yang berada di dalam dekapan ayahnya di dalam foto itu, hidup masa kecilnya barangkali adalah sebuah kehidupan yang berbahagia dan tidak berkekurangan.
Karena ada cinta dan kasih-sayang kedua orang-tuanya yang tercurah baginya.

If she is not the most beautiful little girl in the world by our “normal” standard, I sincerely hope she’s one of the happiest. By any standard.




Note from writer:
Images shown in this piece of writing are different
from the one which became the base of this writing

that was published in the 100 Days in Photographs book.

No comments: