Showing posts with label billboard. Show all posts
Showing posts with label billboard. Show all posts

Tuesday, November 11, 2008

Two Lay Lit


INT.
Siang hari di Pizza Indonesia. Saat itu sebenarnya waktu makan siang, namun berhubung ini adalah hari Minggu, jadilah gerai Pizza Indonesia satu ini yang biasanya ramai oleh para pelanggan di hari kerja tampak relatif sepi. Terlihat ada dua-tiga keluarga dengan anak-anak kecil serta sekelompok anak muda berbicara lantang dengan logat suatu daerah dari Sumatra sedang asyik makan siang, menikmati roti tebal pizza yang khas a la Pizza Indonesia. Beberapa orang anak kecil terlihat asyik berkejaran sambil memainkan bebalonan warna-warni yang kini tampaknya menjadi standar aksesoris para pelayan Pizza Indonesia di hampir semua gerainya di seluruh negeri.

INT.
Pintu masuk gerai Pizza Indonesia terdorong membuka. “Kling!” demikian terdengar bunyi bel penanda kalau ada yang membuka pintu utama. Masuklah seorang lelaki yang usianya agak sukar ditebak, karena secara fisik terlihat seperti oom-oom tapi kalau dinilai dari pakaian yang dikenakannya, berupa t-shirt bergambar kartun lucu yang biasanya bisa ditemukan di Chatuchak dan celana pendek setrip-setrip, seharusnya ia tentu masih berusia 20-an. Si lelaki melangkah menuju counter depan – yang disediakan buat ‘mbak dan mas penjaga pintu’.


MBAK PIZZA INDONESIA:
Selamat siang! Selamat datang di Pizza Indonesia. (senyum merekah)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Eh, oh ya. Selamat siang.
(memasang senyum basa-basi karena masih kaget lihat pulasan tebal make-up si mbak Pizza Indonesia yang seperti cewek-cewek Puspita yang sempat dilihatnya dulu)

MBAK PIZZA INDONESIA:
Sendirian ya, Mas? Smoking atau non-smoking? (senyum tetap merekah lebar)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Oh, ga kok. Mau dibawa aja. (memberikan jawaban tidak nyambung)

MBAK PIZZA INDONESIA:
Oh, take away ya, Mas? Silahkan dipilih. (sambil menyodorkan daftar menu)

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
(sambil membolak-balik lembaran menu) Memangnya di sini bisa smoking ya, Mbak?

MBAK PIZZA INDONESIA:
Engga sih, Mas. Di sini semuanya non-smoking.

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
(bingung) Loh?! Kalau gitu kenapa tadi ditawarin smoking atau engga’?

MBAK PIZZA INDONESIA:
(sambil tetap tersenyum dengan perasaan tak bersalah)
Yah, sudah kebiasaan di sini, Mas. Tapi nanti kalau ada yang mau merokok, kita terpaksa persilahkan di luar saja.

LELAKI SEPERTI OOM-OOM MUDA:
Ooh, gitu? (basa-basi saja biar cepat dan ga panjang lagi ngobrolnya)


* * *



Adegan di atas memang direka ulang dari kejadian sesungguhnya, sekedar untuk memberikan gambaran bahwa ternyata sehari-hari di Kota Metropolitan ini masih saja banyak terjadi pembicaraan tidak nyambung, atau yang lazimnya di kalangan masyarakat awam dikenal sebagai tulalit. Mengapakah demikian?

Susah juga untuk memberi jawaban yang bisa dan layak dipertanggungjawabkan. Ini bukan sesuatu yang didasarkan pada teori semata. Karena pada dasarnya, komunikasi efektif itu ya bisa terjadi kalau dipraktekkan. Tapi tampaknya, masih seringkali justru sebatas angan-angan belaka. Nah, kelirunya, kalau beranggapan bahwa hanya mereka yang ”kurang berpendidikan” (sengaja pakai tanda baca quote endquote) saja yang gagal melakukannya, ... ternyata belum tentu juga!

Seorang teman bercerita, di kota tempat dia tinggal, ada sebuah billboard menampilkan sang kepala daerah – yang kabarnya memang hobi tampil, demi untuk tidak menyebut ’banci tampil’ – yang mencoba membangkitkan semangat nasionalisme anak bangsa, terkait dengan Peringatan 80 Tahun Sumpah Pemuda, ... dengan mengkampanyekan makan pakai tangan kanan.
Nah, lho?! Apa juga hubungan logisnya antara Sumpah Pemuda dengan tangan kanan? Melakukan berbagai aktivitas dengan mengutamakan penggunaan tangan kanan kan sebenarnya masalah norma dan kebiasaan yang berlaku sejak turun temurun, mungkin sudah dilakukan sejak jamannya Patih Majapahit. Ada-ada saja memang walikota satu itu. Tulalit deh jadinya.

Lain kota, lain pula ceritanya. Seorang teman lain bertutur, dia pernah kebetulan melintas di tengah-tengah demonstrasi massa di area seputaran Bundaran Hotel Itu...tuuuh, dan tema demo hari itu adalah menolak terjadinya kemaksiatan di depan mata dan bangkitnya pornografi yang jelas-jelas mengancam akhlak, dengan menampilkan tokoh antagonis : Majalah Cap Kelinci Indonesia.
Sebagai pusat perhatian dari lautan manusia yang berulangkali mengumandangkan takbir tersebut, berdirilah sang orator dengan gagah dan penuh semangat berapi-api berteriak, ”Kita harus menolak hadirnya Cap Kelinci ini di negara kita. Anda tahu kenapa, Ibu-ibu dan Bapak-bapak?!? Karena dalam bahasa Indonesia, Cap Kelinci itu artinya sama dengan bandot. Dan bandot itu kerjaannya memangsa anak-anak gadis!”
...
...
(kalau dianalogikan dengan manga, niscaya terdengar bunyi jangkrik, "Krik, krik, krik")
...
...
Eh, ehm, ini sih tulalit tingkat fantastis!
(Sekedar catatan: Teman saya yang kebetulan sekali mendengarkan orasi bombastis tersebut, terpaksa menahan tawanya dan buru-buru ambil jurus langkah sepuluh ribu – ceritanya biar sekalian melarikan diri sembari mendukung kampanye susu kalsium tinggi)

Nah, kebetulan sekali pada hari Minggu siang tempo dulu (9.11), nomor kontak pribadiku yang paling utama tidak bisa nyambung alias tulalit, terhitung sudah berlangsung selama lebih dari 24 jam. Padahal provider-nya lagi gencar-gencarnya pasang iklan sinyal kuat selalu nyambung terus di seluruh Nusantara. Selama ketiadaan sinyal bahkan satu baris doang pun itu, iklannya tentang cowok telmi yang asyik mengisi TTS dalam bis TransJakarta bolak-balik nongol di layar kaca. Saking sewotnya lihat iklan yang tidak sesuai dengan bukti di lapangan itu, sampai kumatikan televisi di kamar. Hah!
Berhubung sudah lewat masa tenggang waktu emosional yang di setting max. 24 jam, langsung saja kuhubungi nomer Call Center-nya. Sebetulnya malas sekali berbicara dengan petugas Customer Care provider ini (dan hampir semua provider lainnya) karena – entah mengapa – berbicara dengan mereka serasa berbicara dengan orang-orang ber-IQ pas rata-rata makan. Padahal aku (seharusnya) yakin tidak demikian halnya (berhubung ada teman-temanku semasa kuliah yang dulu sempat meniti karir jadi petugas Call Center semacam ini), karena pasti ada syarat kecerdasan minimum agar bisa lolos seleksi jadi petugas Call Center.
Dan benar saja, setelah harus pencet sana pencet sini agar tersambung dengan si petugas, dan setelah harus berdebat cukup lama dengan si mbak-mbak bersuara cempreng yang aku curigai dipilih karena suaranya ga enak di telinga jadi bikin yang menelpon ga betah berlama-lama, akhirnya yang bisa dia sarankan hanyalah agar aku sebagai pelanggan bersabar dan menunggu 3x24 jam hari kerja agar nantinya dihubungi oleh petugas mereka. Mendengar saran yang bikin naik pitam ini, langsung saja panggilanku kututup. Tulalit.

Mumpung menjelang Pemilu 2009 nih. Pastinya sudah mulai banyak kampanye lewat iklan di televisi. Beriklan di media luar ruangan semacam pemasangan spanduk, poster dan billboard juga sudah mulai marak. Biasanya saat begini ini nih yang perlu dicermati, siapa-siapa saja yang pintar berkomunikasi dan siapa-siapa yang ternyata jadi ”jaka sembung bawa golok”.
Tapi sebetulnya, kedua jenis ini juga sama-sama perlu diwaspadai. Terlalu pintar berkomunikasi jangan-jangan akhirnya sosok yang bersangkutan ternyata bisanya cuma jualan kecap manis cap jempol doang. Tapi kalau dari kampanyenya saja sudah ga nyambung antara omongan dan perbuatan, bahasa tuturan dengan kelakuan, apalagi kalau jadi pemimpin atau wakil rakyat? Pasti ngeri jadinya punya pemimpin macam begini. Tidak akan jelas negara mau dibawa ke mana, karena barangkali antara otak dan alat indra lainnya tidak saling terinterkoneksitasikan (nyeleneh dikit dari istilah interconnectedness).

Jadi ingat salah satu ucapan Mario Teguh tentang calon pemimpin yang kebetulan kulihat ditayangkan di Metro TV (di episode ini, aransemen piano dan biola bikin lagu "Frozen" yang dinyanyikan Nina Tamam jadi bagus banget). Saat itu ketika arah pembicaraan terhubungkan dengan money politics yang ditengarai marak menjelang setiap pelaksanaan pemilu, di mana ada calon pemimpin yang memberikan uang dengan imbalan dipilih untuk posisi apapun itu, Bapak ini dengan tegas memberikan saran, ”Ambil uangnya, jangan pilih orangnya! Karena begitu dia terpilih, dia pasti akan mengambil lebih banyak daripada yang telah dia beri.”
Bener banget! Setuju, Pak! Pernyataan yang ’Syuper’. (mengikuti cara pelafalan Bapak ini)

Tapi apa hubungannya statement Bapak Mario Teguh barusan dengan keseluruhan isi serta maksud dan tujuan dari tulisan ini?
Ehm, memang ga ada sih. Cuma kebetulan teringat, jadilah sekalian aja dimasukkan di sini.


Iya, iya, tahu.
Tulalit.







Catatan kaki:
Keanehan judul tulisan ini memang disengaja koq!
Namanya aja ... ... ...
Yap, betul!!

Monday, October 6, 2008

Imajinasi Tingkat Tinggi



Bisa jadi masih belum banyak penduduk negeri ini yang tahu dan sadar, bahwa sejak beberapa bulan lalu sampai awal tahun depan, adalah masa kampanye politik jelang Pemilu 2009. Barangkali karena masa kampanye kali ini sangat panjang apabila dibandingkan masa-masa sebelumnya yang hanya dalam hitungan tiga bulanan, jadi masih banyak partai politik yang seolah-olah testing the water dan cenderung mengambil sikap menunggu, menanti partai mana yang akan melakukan start duluan dan dengan cara apa. Mayoritas partai-partai politik ini belum lagi kencang menghambur-hamburkan dana untuk berpromosi, apalagi menggebrak dengan kampanye yang bersifat massive dan sensasional.

Barangkali baru sejak medio Agustus lah mulai ramai bermunculan berbagai spanduk, umbul-umbul, billboard dan bentuk-bentuk media luar ruang lainnya, yang mengusung nama, logo maupun wajah yang mewakili partai politik tertentu, menghiasi (atau mengotori ?) berbagai tempat strategis di seantero Jakarta dan sekitarnya. Sudah jamak memang apabila pesan politik disampaikan lewat berbagai media yang bisa mengakomodasinya, dengan titik-titik sentuh bersifat langsung dengan olahan seefektif mungkin (masih ingat kampanye Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Pemilu 2004 dengan slogan ”Moncong Putih” ?).

Salah satu medium penyampaian pesan politik yang paling diminati sejak dulu hingga kini, sudah tentu adalah lewat tayangan iklan di televisi. Belakangan ini, dua muka lama mulai rajin menyambangi layar kaca kita : Prabowo Subianto dari Partai Gerindra, dan Wiranto dari Partai Hanura. Sejujurnya buatku pribadi, agak seram melihat kedua sosok ini bangkit lagi di masa kini, mengingat track record keduanya yang tidak bisa dikatakan bersih dari pelanggaran hak azasi manusia pada masa keduanya masih menjadi pimpinan militer di era Orde Baru.
Namun yang juga menarik untuk dicermati adalah kemunculan dua wajah baru yang berusaha mengimbangi dua muka lama tadi, yaitu Soetrisno Bachir dari Partai Amanat Nasional, serta Rizal Mallaranggeng.
Khusus untuk nama yang disebut terakhir ini cukup memancing rasa penasaranku, karena beliau yang mengaku dalam iklan satu halamannya di harian Kompas, mengklaim dirinya tidak disokong oleh partai politik manapun dalam upayanya memperkenalkan diri ke publik. Plus, kata adik kandung penasihat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini, dirinya juga bukanlah seorang pengusaha. Intinya adalah, beliau menyatakan dirinya sebagai calon presiden independen yang berangkat dari jalur perseorangan.
Hal ini jelas-jelas di kemudian hari menimbulkan tanda tanya besar : darimanakah beliau mendapatkan dana untuk menjalankan kampanye politiknya? Terlebih kalau melihat billboard ekstrabesar dua sisi yang memasang wajahnya di seputaran Jembatan Semanggi yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Sekali lihat, pasti langsung terbayang gelontoran dana yang harus dikucurkan untuk mengisi kedua sisi billboard tersebut dengan wajah bapak berkumis tebal ini. Belum lagi, sekian banyak jenis dan versi iklan politik beliau. Perhitungan kasar pun memunculkan angka milyaran rupiah.
Sayangnya, menurut hasil polling yang kulihat bulan lalu di acara politik tvone, berbagai iklan politik beliau masih belum memberikan dampak nyata di tataran political awareness rakyat negeri ini. Barangkali karena rakyat negeri ini masih belum terbiasa dengan kampanya multi-media a la Barack Obama.

Sedangkan menurut pendapatku pribadi, memasang iklan politik di area sepanjang jalan Gatot Soebroto, Sudirman dan Thamrin, itu sudah biasa.
Yang menjadi luar biasa, barangkali apabila memasang iklan di beberapa tempat yang lebih lazim dipergunakan sebagai medium promosi niaga, seperti billboard aktif yang ada di dekat gedung BEI, di depan Pusdiklat Deplu, atau memblok area dinding luar salah satu mall terkenal di kawasan Senayan, yang seingatku pertamakali dilakukan oleh MRA Media untuk mempromosikan majalah Esquire Indonesia edisi perdana kurang-lebih satu tahun lalu, yang terbukti cukup sukses menggoyang pasar majalah khusus pria dewasa di negeri ini.




Setidak-tidaknya, dalam imajinasiku, kalau aku memiliki uang dalam jumlah besar untuk dihambur-hamburkan, aku pun ingin menampilkan wajahku dengan cara yang kurang-lebih serupa.
Apalagi kalau pemotretannya dilakukan oleh fotografer kelas dunia, seperti Annie Leibovitz atau David LaChappelle atau Mario Testino.
Lantas dicetak dalam ukuran raksasa dan dipajang di mall tadi.
Cukuplah memajangnya selama empat minggu, dengan empat versi berbeda yang berganti setiap minggunya; dijamin setidak-tidaknya akan ada beberapa juta pasang mata yang akan melihat poster raksasa itu selama kurun waktu tersebut, yang kemudian diharapkan akan dapat memancing rasa penasaran mereka untuk mencari tahu lebih banyak lagi.
Niscaya langkah ini tentu akan berhasil meningkatkan awareness atas diriku, suatu hal yang kata William sudah relatif berhasil kulakukan di beberapa situs jejaring sosial bersifat pertemanan (i.e. Friendster dan Facebook), berkat foto-foto pribadiku yang (kuharap bisa memberikan kesan) artistik.

Ngayal berlebihan, sekali-sekali boleh dong?





Wednesday, May 21, 2008

Beauty Gives You ...



Superpower.

At least that is what a self-acclaimed beauty soap claimed in their current multi-billion Rupiah multi-media mega-campaign, which translates into giant billboards in protocol streets throughout Indonesia, commercial ads on every major TV stations and radio syndicates, not to mention gracing all important magazines and tabloids.

Which I, in my humble opinion, think is a much overstated slogan.
Geez, by doing background reality checks of the so called beauty icons’ the soap promoting, even with the help of such bombastic tagline and the obviously expensive ad, am wondering who will really buy that “superpower” imagery?

I strongly suggest for those people behind that self-acclaimed beauty soap brand – even if they say they do have their own rationale on using the “superpower” label – to rethink of their current slogan.

Beauty doesn't necessarily give you superpower.

It gives you a more humane face.
Just like the rest of us.





* * *
Original format of "Beauty Gives You ..." was posted online on Thursday, 14 September, 2006.
This piece above has gone through a heavily editing process to avoid certain implication(s) in later days.