Friday, December 5, 2008

Tak Kulihat Dia Bertanya, “Mengapa?”


Bisa dikatakan, aku termasuk suka menonton ”Oprah”.
Meskipun tidak bisa disebut penggemar berat, tapi terkadang kalau sedang ada topik-topik menarik yang dibahas dalam satu episode tertentu, aku bisa menghentikan segala aktivitas hanya untuk bisa menyimak dengan baik episode tersebut.

Seperti dalam salah satu episodenya yang paling terkenal yang dipancarteruskan beberapa tahun lalu, yang kemudian diliput oleh berbagai media di seluruh dunia, termasuk Kompas. Dalam episode itu, Oprah Winfrey memperkenalkan kepada audience di studio dan para pemirsanya, apa-apa saja ”Most Favorite Things” –nya pada tahun tersebut.
Yang membuat episode itu menjadi buah bibir dan sukses di mana-mana, adalah karena masing-masing penonton yang hadir di studio – semuanya merupakan guru-guru dari seluruh negara bagian Amerika Serikat – berhak atas setiap jenis produk favorit Oprah. Termasuk mobil ! Bisa jadi, hari itu adalah salah satu hari terbaik dalam hidup setiap guru tersebut.
Jadi sudah sepantasnya lah kalau dalam episode itu, semua penonton berteriak-teriak kencang, histeris, bahkan menangis sesenggukan karena begitu gembiranya. Aku sendiri yakin kalau saja saat itu aku juga merupakan salah satu dari para penonton di studio yang mendapatkan Blackberry dengan masa berlangganan gratis 3 bulan, puluhan voucher bernilai total (yang kalau dikonversikan bisa mencapai) puluhan juta rupiah, barang-barang elektronik, dan sebuah mobil; aku pun pasti akan menangis dan sujud syukur mencium tanah.
Ini seperti menang dalam”The Price is Right” tapi tanpa harus merasakan deg-degan takut, karena dalam game show itu, alih-alih bisa mendapatkan home appliances, mobil dan paket liburan ke Kepualuan Bahama, bisa jadi malah pulangnya bawa sebuah sepeda saja.

Anyway, kembali ke awal maksud dan tujuan tulisan ini, salah satu episode Oprah yang tidak menyenangkan untuk dilihat disiarkan pada tahun 2004. Betul sekali, sudah relatif lamaaa ...
Kepada para pemirsa, diperlihatkan bagaimana Oprah berinteraksi dengan beberapa tentara dan perwira dari angkatan bersenjata Amerika Serikat yang ditugaskan di Iraq saat Operation Iraqi Freedom, yang seperti kita semua tahu, berakhir dengan tumbangnya rejim Saddam Hussein.
Dalam perbicangannya dengan para ”pahlawan” perang Amerika itu – mayoritas terluka dalam tugas, bahkan ada yang sampai diamputasi kakinya – Oprah selalu memuji-muji keberanian mereka yang telah rela berjuang demi pembebasan rakyat Irak.
Tapi yang kuperhatikan sepanjang perbincangannya dengan para tentara dan perwira tersebut, tak pernah sekalipun dia mempertanyakan, mengapa secara pribadi, mereka – ratusan prajurit dan perwira ini – setuju maju berperang di negeri yang jauhnya separuh keliling bumi dari tempat asal mereka, melawan orang-orang yang tak pernah sekalipun menyakiti mereka maupun orang-orang yang mereka kenal, apalagi mereka cintai.
Tentu saja, jawaban yang kuharapkan di sini bukanlah karena rantai komando militer mewajibkan para bawahan patuh pada semua keputusan atasan, dalam hal ini, pucuk tertinggi komando berada di tangan Commander-in-Chief sekaligus Presiden Amerika Serikat sendiri, George W. Bush.
Bagiku, keseluruhan perbincangan dalam episode tersebut jadi terasa begitu bias, aneh dan menggelikan. Toh sepertinya seluruh penduduk dunia di luar Amerika Serikat yakin seyakin-yakinnya, bahwa Operation Iraqi Freedom itu dilancarkan oleh duet Bush-Cheney dengan didasarkan pada begitu banyak alasan serta hal-hal lain, dan ”untuk membebaskan rakyat Irak dari rejim opresif Saddam Hussein” tidak termasuk salah satu alasan utama, meskipun di depan media tentu saja mereka berkata lain.

Dengan segala hormat pada segala kapabilitas personal yang Anda miliki, Miss Winfrey, rasanya akan lebih bagus bagi Anda untuk menghindari membahas hal-hal strategis semacam Perang Irak. Biarkanlah tamu-tamu Anda yang lebih profesional dalam bidang tersebut, seperti Anderson Cooper dan Christiane Amanpour, yang melakukannya bagi rakyat Amerika.



No comments: