Sunday, October 5, 2008

Bukan Kekasihku



Hari ini menandai telah 8 bulan kami saling bertemu secara eksklusif. Dan rahasia. Sifat yang disebut terakhir ini paling penting, karena kami memang perlu berupaya keras sedapat mungkin untuk mempertahankan hubungan ini tertutup, hanya diketahui oleh sesedikit mungkin orang.
Dan dari semua jenis orang yang menghirup udara kota ini, subspesies yang paling penting untuk dihindari adalah gerombolan manusia liar dengan tabiat cenderung brutal yang berani menamai diri wartawan infotainment.
“Cis! Berani-beraninya menyebut diri wartawan, padahal mereka tak mengerti apapun tentang kode etik jurnalisme!” demikian desisnya padaku suatu kali, ketika dalam satu kesempatan nyaris terpergok sedang berjalan bersama denganku.
Itulah sebabnya kami sekarang lebih ketat dalam mengatur pertemuan, harus selalu dengan pengaturan-pengaturan khusus. Tidak bisa langsung berjanji bertemu di satu tempat ketika ingin bersua.
Semua karena sosoknya yang terlalu banyak dikenali di kota ini. Padahal ia harus menjaga status sosialnya demi mempertahankan nama baik keluarga yang sudah terkemuka bahkan sejak bangsa ini belum merdeka. Sedangkan aku harus mempertahankan posisiku di perusahaan raksasa ini, yang terlanjur memanjakanku dengan terlalu banyak kenyamanan.
Aku sebenarnya benci bersandiwara, tak pernah kuanggap diriku bisa, tapi demi hubungan kami terjaga, harus kupaksa.
Itulah sebabnya setiap kali mendapatkan undangan untuk menghadiri acara-acara sosialita, harus kubertanya terlebih dulu padanya. Barangkali saja dia akan turut hadir di sana.
Kami sama-sama menyadari, keberadaan kami dalam rentangan jarak yang terlalu dekat bisa jadi berbahaya. Karena kedua tubuh kami bagaikan dua kutub magnet berbeda, yang dengan kekuatan luar biasa akan saling tarik, ingin menyatukan diri bersama. Daripada tertangkap basah sedang bercumbu di sudut-sudut gelap dan tersembunyi yang seringkali susah menemukannya, lebih baik kami saling menghindar, menahan dorongan jasmani.
Itulah sebabnya sekarang kami lebih akrab dengan sudut-sudut tua dan kelam kota ini, yang lebih menjamin reklusifitas bila dibandingkan dengan klab malam manapun di Selatan.
“Sampai kapan sih kita harus begini terus?”, pernah kubertanya saat ia masih dalam pelukanku. Buliran keringat yang tadinya membasahi punggungnya belum kering benar.
“Sampai aku mengatakan, ‘This is it. This is our time.’” sahutnya dengan suara pelan sedikit mendesah.
Aku tahu dia pasti sudah setengah jalan menuju kelelapan tidur. Tak apa, aku suka memeluknya saat ia tidur. Kulitnya lembut dan rambutnya selalu wangi terjaga. Mengantarkanku sendiri kepada nyenyak. Setiap kali usai bercinta dengannya, aku selalu bisa terlelap dengan mudah, dan mendapatkan mimpi indah. Sayang sekali waktu semacam ini tidak pernah bisa kami nikmati lebih lama daripada satu malam dalam setiap pertemuan.
Karena ia harus menjaga status sosialnya, dan aku dengan posisi di perusahaan multinasional itu.
Hidup lebih sering tidak bisa memberikan segala hal yang kamu inginkan.

No comments: