Tuesday, October 7, 2008

Singkat Cerita Tentang Belanja


Paling sebel rasanya kalau lagi pas punya duit ekstra buat dibelanjakan– which is tumben-tumbenan terjadi belakangan ini – untuk keperluan kurang penting dan tidak mendesak, terus hepi banget nemu fashion items bagus di toko favorit di mall, ternyata ... ukurannya ga ada yang cocok.

Seperti kemarin waktu nemenin Dia mencari hadiah ulang tahun untuk abangnya di Zara, ga sengaja nemu loafer berwarna putih yang tampak menarik dan enak dipakai. Kuintip bagian dalamnya, ternyata size 42. Itu kan ukuran kakiku saat masih jadi pelajar SMP !! Karena sudah terlanjur suka dengan that loafer’s looks, ditambah lagi dengan approval dari Dia yang bilang bakalan bagus di kakiku, maka kutanyalah kepada shop attendant terdekat apakah mereka memiliki stok dengan ukuranku. Jawabannya sangat mengecewakan, katanya that’s the only pair left. Siyal! Dengan kecewa kukembalikan pasangan loafers itu ke raknya.

Tapi biasanya aku akan lebih sebel lagi kalau sudah berhemat ekstra dan menabung serta menahan keinginan untuk beli ini-itu, pas duitnya sudah terkumpul dengan jumlah yang mencukupi, eh, itu barang yang diidam-idamkan dan menjadi alasan utama menabung, ternyata sudah habis terjual.

Pengalaman pribadi yang tak bisa terlupakan adalah waktu dulu masih kecil, kayanya masih duduk di kelas 3 SD. Kebetulan, orang-tuaku tidak membiasakan anaknya jajan sembarangan di luar, kebutuhan gizi kami 99,99 % dipenuhi di rumah. Implikasinya, aku dan saudara-saudaraku nyaris tak pernah diberi uang saku buat dijajanin. Kalau misalnya kami ingin punya mainan tertentu, biasanya harus minta dibelikan sama orang-tua. Tapi masalahnya, belum tentu permintaan tersebut akan dikabulkan.
Sama seperti suatu hari ketika dibawa orang-tuaku berbelanja di toko kelontong langganan yang lokasinya berada di luar kompleks, aku dan adikku memilih untuk berkeliaran di pojok yang memajang mainan sementara kedua orang-tua kami sibuk berbelanja. Saat sedang asyik melihat-lihat tumpukan mainan, pandangan mataku tertuju pada sebuah mainan bis bertingkat berwarna merah menyala yang dibuat dari bahan logam. Saat pertama melihatnya, aku langsung tahu kalau aku harus memilikinya. Tapi apa daya, ternyata Ibu menolak untuk membelikan. Aku lupa alasan persisnya saat itu. Yang jelas, aku jadi sangat kecewa. Dan selama beberapa minggu berikutnya, mainan bis bertingkat berwarna merah itu terus menggelayuti imajinasiku.
Beberapa bulan berlalu, dan setiap kali aku dibawa ke toko kelontong itu, yang selalu langsung kutuju untuk diperiksa adalah pojok mainan, untuk melihat apakah mainan bis bertingkat berwarna merah itu masih ada. Dan kalau misalnya sedang tidak ada yang memperhatikan, akan kuambil ia dari tumpukan di rak dan kumain-mainkan, sampai kudengar suara Ibu memanggil-manggil mencariku atau ada pembantu toko yang kebetulan lewat lantas melarang aku terus memainkannya.
Hingga suatu hari ada seorang Paman datang berkunjung dari jauh bersama istrinya. Mereka berdua sudah lanjut usia, bahkan mungkin sudah lebih tua daripada kedua orang-tuaku. Mungkin itu sebabnya mereka berdua sangat memperhatikan kami yang masih kanak-kanak, karena di mata mereka, kami sudah dianggap selayaknya cucu sendiri. Setelah menginap selama kurang lebih seminggu di rumah kami, mereka berdua pun pamit hendak pulang. Sebelum berpisah, tidak lupa Bibi menyelipkan salam tempel ke dalam genggaman tanganku. Saat kubuka telapak tangan ini untuk melihat apa isinya, hatiku terlonjak kegirangan melihat selembar Kartini terlipat-lipat di atasnya. Akhirnya aku bisa membeli mainan bis merah itu!
Tak sabar rasanya menunggu tibanya hari kunjungan belanja ke toko kelontong itu lagi. Harus bersama Ibu dan Bapak perginya, karena kami sebenarnya dilarang keluar kompleks tanpa pengawasan orang dewasa. Setidaknya demikianlah peraturan yang dikeluarkan oleh bagian Security kompleks.
Ketika hari berbelanja itu tiba, senang banget rasanya. Jantungku seakan melompat-lompat di dalam dada. Begitu mobil berhenti di halaman parkir toko, aku segera melompat keluar dan berlari kencang menuju rak di pojokan yang selama ini sudah begitu akrab bagiku. Celingukan pandanganku mencari, melongok-longok leherku mencoba meneliti. Aku tak bisa percaya penglihatanku, tapi mainan bis bertingkat berwarna merah menyala itu sudah tidak ada! Dengan rasa kecewa dan tak percaya yang membubung tinggi, kutanyakan perihal keberadaan mainan bis merah itu kepada anak penjaga toko kelontong yang kebetulan melintas di dekatku. Jawaban yang diberikannya membuatku sedih alang-kepalang : itu adalah mainan bis satu-satunya dari jenis dan bahan itu, dan itupun sudah terjual beberapa hari sebelumnya.
Buat seorang anak kecil yang memendam harap sebegitu besar dan lantas dikecewakan, kebayang dong emosinya kaya apa. Memang sih aku ga sampai nangis-nangis gitu, no way lah. Cuma barangkali ini salah satu penyebabnya aku jadi punya obsesi terpendam : ingin berkunjung ke London, hanya agar dapat menaiki bis bertingkatnya yang berwarna merah itu dan berwisata keliling ibukota Inggris.


Masih ada satu kondisi belanja lagi yang belum terbahaskan. Yaitu begini : ada satu barang yang sudah kita taksir sedemikian lama dan kemudian saking pengennya, kita sampai rela mengeluarkan duit ekstra untuk bisa memilikinya, meskipun implikasinya adalah kita harus berhemat ketat untuk sektor-sektor pengeluaran lainnya hingga jangka waktu tertentu. Saat kita lagi senang-senangnya dengan barang baru itu dan dengan bangga menggunakannya ke manapun dan kapanpun memungkinkan, ternyata tak lama kemudian di tokonya itu barang mengalami reduksi harga. Alias didiskon. Pengen marah kan jadinya?

Syukurlah hal yang begini ini belum pernah kualami. Jangan sampai. Kebayang deh betenya. Tetapi dari hasil ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang sahabat dekat, ternyata kejadian semacam ini pernah dialami oleh salah seorang di antara mereka. Sepatu Adidas-nya yang belum lagi sebulan dibeli dan dipakai, tiba-tiba sudah turun harga alias didiskon, dalam jumlah yang relatif besar pula : sekitar 30%. Mengetahui hal tersebut, olehnya sepatu itu langsung dikembalikan ke dalam kotak aslinya dan disimpan di dalam lemari untuk waktu yang cukup lama.

Kembali pada kejadian awal yang menjadi ide tulisan ini, setelah kecewa karena tidak jadi memiliki loafer putih Zara yang lucu itu, aku dan Dia berjalan-jalan keliling gerai-gerai lainnya, keluar masuk toko karena Dia masih merasa belum puas dan teryakinkan dengan hadiah kemeja kantoran yang dibelinya di Zara. Dan karena kami berkeliling-keliling mengukur luasnya mall (yang memang diklaim oleh pengembangnya sebagai salah satu yang terluas di Indonesia), akhirnya dari kunjungan bolak-balik itu aku jadi tergoda juga membeli selembar t-shirt Junk Food bergambarkan karakter-karakter Smurf. Padahal, baru akhir pekan sebelumnya aku membeli empat helai t-shirt impor dari Thailand.

Dasar si pemboros tukang belanja!

Tapi, yaaah, mau bilang apa? … Namanya juga berbelanja barang alternatif untuk sekedar menghibur diri.

No comments: